[ Dr. Nur Cholish Madjid / Bilik-Bilik Pesantren ]

 
Tasawuf
dan Kiprah Pesantren di dalamnya
Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf 

Seorang Muslim hampir dapat dipastikan akan mengatakan bahwa ajaran agamanya dimulai dengan kalimat Lâ ilah-a illa 'l-Lâh yang artinya "tidak ada tuhan melainkan Allah". Perkataan "Allah" sendiri berarti "Tuhan" (dengan huruf besar), yaitu Tuhan yang sebenarnya. Maka dengan suatu penafsiran, kalimat tersebut akan berarti "tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang sebenarnya itu sendiri". Bersamaan dengan kalimat Muhammad-un rasûl-u 'I-Lâh yang berarti "Muhammad adalah utusan Allah". Kalimat pertama itu membentuk dua kalimat persaksian atau syahâdah yang wajib diucapkan dengan lisan dan diyakini dalam hati oleh setiap orang yang hendak menyatakan diri memeluk atau masuk Islam. Biasanya kedua kalimat itu ditambah dengan perkataan "saya bersaksi", sehingga akan berbunyi, “Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, dan saya bersaksi bahwa Muharnmad adalah utusan Allah" (Asyhadu an-lâ ilâh-a illa 'I-Lâh, wa asyhadu anna Mukammad-an rasûl-u 'I-Lâh).

Dengan kata lain seorang Muslim akan mengatakan bahwa pokok pangkal agamanya adalah ajaran tawhîd atau pengesaan Tuhan, suatu monoteisme yang keras dan tidak mengenal kompromi. Sepanjang ajaran al-Qur'ân, tawhîd adalah inti ajaran dan agama yang dianut para rasul dan nabi sepanjang zaman. Akan tetapi juga ada petunjuk bahwa yang pertama mengemukakan ajaran tawhîd itu dengan jelas dan sitematis adalah Nabi Ibrahim yang kelak mewariskan agama-agama monoteistis utama. Tiga di antaranya tetap hidup sampai sekarang, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Di kalangan bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad, agama Nabi Ibrahim ini juga sudah dikenal, khususnya oleh penduduk kota Makkah suku Quraisy. Para pengamal agama itu disebut "orang-orang hanîf atau hunafa’”, yang berarti orang-orang yang memelihara dan memegang teguh kebenaran. Muhammad yang kelak menjadi nabi itu termasuk seorang hunafa'.

Dalam menjalankan misinya Nabi Muhammad sering menegaskan bahwa beliau hanyalah menyerukan kepada umat manusia agar kembali memegang teguh pokok ajaran agama para nabi sebelumnya, khususnya ajaran agama Nabi Ibrahim. Kontinuitas yang konsisten antara agama Muhammad dengan agama para nabi itu antara lain ditegaskan dalam (Q.S. al-Syûrâ/42: 13, "Allah telah menciptakan bagi kamu sekalian agama sebagaimana yang diajarkan-Nya kepada Nuh dan yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) serta yang Kami ajarkan kepada Ibrâhîm, Mûsâ, dan ‘Îsâ, yaitu hendaknya kamu sekalian berpegang teguh kepada agama (yang murni) dan janganlah berpecah belah! Sungguh berat bagi para penyembah berhala (musyrikin) apa yang engkau serukan ini. Tuhan menarik kepadaNya siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia menunjukkan jalan kepada agama-Nya siapa saja yang mendekati-Nya."

Bertitik tolak dari ajaran dan semangat tawhîd itu, maka tidaklah mengherankan bahwa risalah atau misi Nabi Muhammad diliputi oleh perjuangan yang sangat gigih memberantas setiap bentuk syirik atau politeisme, terutama sebagaimana diwujudkan dalam agama penyembahan berhala penduduk kota Makkah. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, pertentangan sengit antara tawhîd dan syirik itu memaksa Nabi Muhammad beserta para pengikutnya meninggalkan Makkah dan pindah ke Yatsrib yang kemudian diganti nama Madînah (artinya kota atau tempat peradaban). Dengan hijrah itu Nabi Muhammad memulai karier baru. Pertentangan dengan kaum Musyrik Makkah berkembang menjadi peperangan-peperangan yang berlangsung selama hampir sepuluh tahun, yang akhirnya secara mutlak dlmenangkan kaum Muslim.

Hal yang sudah menjadi pengetahuan umum itu dikemukakan di sini dengan maksud memberi gambaran betapa sentralnya ajaran tawhîd dalam keseluruhan sistem agama Islam. Bagaimana wujud tawhîd itu di zaman Nabi Muhammad sendiri adalah sesuatu yang hanya dapat diketahui dengan studi cermat tentang ajaran-ajaran dalam kitab suci dan sunnah atau tradisi serta sejarah Nabi. Akan tetapi pada masa sekarang kaum Muslim lebih mengenal ajaran tawhîd itu melalui karya-karya para sarjana ilmu kalam atau teologi Islam, terutama skolastisisme Asy'âri (Abu 'l-Hasan ‘Alî al-Asy'ârî). Ahli kalam ini merumuskan kepercayaan, khususnya tentang ajaran tawhîd dalam Islam, secara sistematis dengan menggunakan cara berpikir filsafat Yunani, terutama filsafat Aristotelianisme. Maka sekarang ini kaum Muslim di selurah dunia, terutama golongan ortodoks atau sunni (ahlus sunnah) berpedoman pada Asy'ârisme dalam hal pokok-pokok kepercayaan yang dinamakan ilmu tawhîd. Ilmu tawhîd ini sering disebut ilmu kalam, ilmu 'aqa'â’id, dan ilmu ushuluddîn.

Dalam teologi Asy'ârî sangat ditekankan ajaran bahwa Tuhan adalah transendental, yaitu mengatasi dan terpisah dari apa pun yang merupakan ciptaan-Nya. Perincian tentang sifat-sifat Tuhan yang dua puluh mencakup sifat mukhâlafat-u li '1 hkawâdits-i, bahwa Tuhan berbeda dari seluruh makhluk atau alam ciptaan-Nya. Ayat-ayat al-Qur'ân yang menjadi pusat perhatiannya adalah ayat-ayat yang menegaskan transendentalisme itu. Seperti Q.s., al-Syura/42: 11, "Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat." Kemudian Q.s., al-Ikhlâsh/112: 4, "Dan tidak ada seorang pun yang sebanding dengan Dia." Juga Q.s., al-An’âm/6: 102-103, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Pencipta segala sesuatu; maka sembahlah Dia. Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedanghan Dia dapat melihat segala penglihatan itu. Dia adalah Zat Yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui".

Karena itu, syeikh Muhammad bin 'Abd-u 'l-Wahhâb, pemimpin gerakan di Jazirah Arabia pada abad lalu yang menganjurkan umat Islam kembali pada faham salaf atau asli, mengatakan bahwa tawhîd tidaklah cukup hanya rnenyatakan atau meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan yaitu Allah, Pencipta Alam Semesta. Pengakuan dan Keyakinan ini memang bisa dinamakan tawhîd, tetapi hanya tawhîd rubûbiyah, dan sudah dikenal serta dianut oleh orang-orang Makkah masa Jahiliyah. Ini digambarkan dalam Q.s., al-'Ankabût/29: 61, "Dan jika engkau tanyakan kepada mereka (orang-orang kafir Makkah): 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi serta mengatur perjalanan matahari dan bulan?'Mereka akan menjawab: “Allah!” Namun mengapa mereka berpaling juga dari kebenaran?”.

Justru orang-orang Makkah yang menganut tawhîd rubûbiyah itulah yang akhirnya berhadapan dengan Nabi Muhammad dalam peperangan-peperangan. Karena itu, Nabi Muhammad membawa ajaran yang lebih daripada sekedar tawhîd rubûbiyah, yaitu tawhîd ulûhiyah. Dalam tawhîd ulûhiyah ini semangat tawhîd tidak hanya berupa pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta langit dan bumi, tetapi juga meliputi keyakinan bahwa hanya Allahlah yang patut disembah, sebab hanya Dia yang memiliki sifat-sifat keilahian di alam ini, sebagian atau seluruhnya.(1) Jadi merupakan suatu penegasan sifat-sifat Tuhan yang serba transendental. Dan ternyata pada orang-orang Makkah tersebut tawhîd rubûbiyah saja masih memungkinkan adanya praktek-praktek pemujaan pada selain Tuhan. Mereka menyembah berhala karena beranggapan bahwa berhala itu bisa menjadi perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sehingga mereka terjatuh pada dosa syirik, dosa paling besar yang tidak akan diampuni oleh Tuhan.(2)

Bahwa inti ajaran al-Qur'ân adalah tawhîd merupakan sesuatu yang tldak boleh diragukan. Tetapi bagi kaum sufi, al-Qur’ân tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang mengisaratkan bahwa Tuhan adalah serba transcendental. Justru banyak ayat yang memberikan Keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa Tuhan adalah serba immanent, senantiasa hadir bersama hamba-Nya dan selalu maujûd di mana-mana. Ayat-ayat berikut ini merupakan tumpuan pandangan hidup kaum sufi: "Dan jika hambaku bertanya kepadamu (Mukammad) tentang Diriku, maka (katakanlah) bahwa sesungguhnya Aku ini dekat” (Q.s., al-Baqarah/2: 186), “...dan kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya sendiri" (Q.s., Qâf/ 50: 16), "Dan kepunyaan Allahlah baik timur maupun barat, maka kemana pun kamu menoleh, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatnya) dan Maha Mengetahui" (Q.s., al-Baqarah/ 2: 115), dan "Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin. Dia mengetahui segala sesuatu. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian bertahta di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya serta apa yang turun dari langit dan apa yang naik membumbung kepadanya. Dia beserta kamu di mana pun kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (Q.s., al-Hadîd/ 57: 3-4).

Ajaran ilmu kalam tentang 'mukhâlafat-u li 'l-hawâditsi" yang serba transendental dengan sendirinya juga melahirkan penegasan bahwa antara Tuhan dan manusia terdapat perbedaan dan "pembedaan" yang mutlak. Tetapi, dalam al-Qur'ân terdapat ayat yang dapat ditafsirkan sebagai sangkalan atas hal itu: "Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku, maka hendaklah kamu tunduk bersujud kepadanya." (Q.s., Shâd/38: 71-72). Menurut al-Jillî, seorang sufi murid Ibn 'Arabî, dari ayat tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa Tuhan memanifestasikan dirinya melalui setiap orang, tidak terbatas kepada 'Îsâ al-Masîh saja sebagaimana dikatakan dogmatika Kristen.(3)

Tentang petunjuk bahwa Tuhan bersifat immanent dalam alam, selain dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur'ân tersebut dan banyak lagi ayat-ayat yang lain, juga memperoleh penegasan dari sebuah Hadîts Qudsi—firman Allah yang lafalnya dari Nabi Muhammad—yang menyatakan: "Aku adalah hasanah yang tersimpan; dan Aku inginkan agar diketakui, rnaka Aku ciptakan alam semesta."(4) Dan banyak lagi bahan-bahan yang digunakan oleh kaum sufi sebagai sumber dan dasar ajaran-ajaran tasawuf.

Pada masa Nabi Muhammad sendiri, dan selama satu abad sepeninggal beliau, dunia Islam belum mengenal adanya kaum sufi, kaum mutakallimîn atau ahli kalam, maupun ahli hukum fiqh. Sebab, pada saat itu kaum Muslim masih merupakan suatu masyarakat etika yang berlandaskan doktrin-doktrin yang jelas tentang Tuhan, Hari Kemudian, serta kewajiban-kewajiban keagamaan yang praktis. Tetapi dengan semakin meningkatnya kegiatan intelektual dan semakin dikenalnya cara-cara pembahasan filosofis telah melahirkan paling tidak dua hal penting. Pertama, sistem hukum yang terorganisasikan, dan kedua teologi yang sistematis. Maka melalui suatu proses yang sejajar dan oleh sebab kewajaran serta keperluan adanya faktor pengimbang atas rasionalisasi lahiriyah daripada agama itu, persepsi keagamaan yang intuitif menjadi semakin peka dan sadar-diri. Usaha-usaha dari kaum asketik dan zuhud yang telah ada sebelumnya untuk memperoleh kesempurnaan etis tidak ditinggalkan samasekali, bahkan berangsur-angsur dimurnikan dan ditransformasikan. Cita-cita etis yang dinyatakan melalui ajaran "takhallaqû bi aklâq-i 'l-Lâh" (berbudi-pekertilah kamu dengan budi-pekerti Tuhan) tidak lagi terpuaskan dengan hanya melaksanakan aturan-aturan yang dipaksakan dari luar, tetapi menuntut adanya keserasian dengan makna pengalaman ruhani yang mendalam dan nyata.(5)

Hubungan antara tasawuf dengan kedua cabang ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu ilmu kalam dan ilmu fiqh atau syari'ah memang tidak senantiasa harmonis. Tetapi harus dikatakan di sini bahwa pada awalnya perbedaan antara ketiga cabang ilmu itu, terutama antara tasawuf dengan kalam, lebih terletak pada masalah tekanan daripada isi ajaran. Selain persoalan transendentalisme, ilmu kalam juga lebih mengutamakan pemahaman masalah-masalah ketuhanan dalam pendekatan yang rasional dan logis. Ilmu kalam adalah kategori-kategori rasional dari tawhîd, dan bersama syari'ah membentuk orientasi keagamaan yang lebih bersifat eksoteris.

Sedangkan tasawuf sangat banyak menekankan pentingnya penghayatan ketuhanan melalui pengalaman-pengalaman nyata dalam olah rohani (spiritual exercise) yang mengutamakan intuisi. Jadi merupakan orientasi keagamaan yang lebih esoteris. Berbeda dengan ilmu kalam yang melahirkan rumusan rasionalistik yang bersifat universal dan—karenanya—stabil tasawuf lebih merupakan kumpulan perilaku daripada rumusan doktrin-doktrin. Tasawuf ini seringkali bersifat sangat pribadi sehingga tidak stabil.

Dikatakan bahwa perbedaan itu lebih terletak pada masalah tekanan daripada isinya, sebab baik ilmu kalam maupun ilmu tasawuf keduanya berpangkal tolak pada kalimat syahadah Lâ ilâh-a illa 'I-Lâh. Tasawuf memulai dengan pertanyaan apa sesungguhnya makna terakhir dari rumusan ajaran dasar agama Islam itu. Menurut kaum sufi, dari kalimat syahadat itu dapat disimpulkan bahwa kenyataan yang benar atau al-Haqq hanyalah Tuhan semata, sedangkan selain Dia hanyalah nisbi belaka. Kaum sufi bertujuan untuk sampai pada al-Haqq itu, yang dapat dilakukan dengan hanya mencontoh perihidup Nabi Muhammad yang merupakan prototipe kehidupan ruhani dalam Islam. Tidak ada kelompok dalam masyarakat Islam yang begitu bergairah dan bersungguh-sungguh meniru kehidupan Nabi seperti kaum sufi ini. Tidak saja mereka menjalankan kehidupan sehari-hari menurut sunnah Rasul, tetapi mereka juga menempuh jalan dalam mencari pengalaman ruhani yang ukuran sempurnanya adalah mi’raj Nabi. Bahkan sufisme dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari ajaran tentang ihsân, salah satu dari tiga serangkai ajaran Islam, yaitu Islam sendiri, iman, dan ihsan. Esoterisme sufi adalah. perwujudan dari sabda Nabi sendiri bahwa ihsân adalah keadaan dimana ketika kita menyembah Allah seolah-olah kita melihatNya, dan kalau pun kita tidak melihatnya maka Dia yang melihat kita. Apa yang diajarkan oleh tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah dengan suatu kesadaran penun bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita “melihat”-Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya.(6)

Tetapi sekalipun sufisme mendasarkan ajaran-ajarannya pada al-Qur'an dan al-Sunnah, khususnya dalam soal-soal doktrin, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya esoterisme Islam ini menerima, atau barangkali lebih tepat memasukkan, unsur-unsur asing dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum Muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syria dan Persia yang dalarn beberapa hal, khususnya di bidang filsafat, lebih dulu maju daripada kaum Muslim sendiri. Unsur asing yang banyak disebut sangat mempengaruhi dunia sufisme adalah neo-platonisme, gnotisisme, moonisme, faham inkarnasi, dan bahkan animisme, panteisme, dan politeisme. Keberadaan unsur-unsur asing dalam tasawuf ini membuat para orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan ketidak-aslian sufisme sebagai berasal dari Islam. Kesan serupa itu banyak dirasakan oleh para ahli di kalangan Islam sendiri, termasuk di antaranya Prof. Dr. Hamka? Beliau menganggap kesan itu merupakan bias dari Kristen Barat. Seperti yang tercermin dalam ucapan R.A. Nicholson: "Memang benar anggapan bahwa kaum sufi adalah pembahas-pembahas al- Qur’an bersifat esoteris, tetapi menurut pendapat saya tidaklah benar jika dikatakan bahwa sufisme adalah hasil yang murni dari pembahasan Qur'ani".(8)

Tidak semua kalangan orientalis beranggapan demikian. Dalam hal ini H.A.R. Gibb mengemukakan pendapat yang agak berbeda: "Tetapi sebagaimana jelas tidak benar,jika dikatakan bahwa teologi Islam adalah semata-mata filsafat Yunani berbaju Islam, demikian pula adalah tidak benar anggapan bahwa sufisme adalah semata-rnata mistisisme Kristen dan gnostik dalam pakaian Islam. Teologi Islarn menggunakan filsafat Yunani untuk menjabarkan susunannya yang rasioral atas dasar postulat-postulat al-Qur'ân; dengan cara yang sama sufisme yang karena dengan kuat mendasarkan dirinya pada ilham-ilham intuitif dari al-Qur'ân, memasukkan cukup banyak pengalaman Kristen dan penggambaran gnostik ke dalam bentuk-bentuk ekspresinya sepanjang hal itu dapat disesuaikan dengan sikap-sikap keagarnaan yang asasi."(9)

Tetapi agaknya ekses-ekses yang timbul baik karena pengaruh langsung maupun tidak langsung dari unsur-unsur luar itu tidak seluruhnya dapat dicegah. Tekanan ajaran tasawuf pada aspek imanensi Tuhan telah memungkinkan terbukanya pintu bagi masuknya faham-faham panteisrne. Begitulah, maka Bayâzid Bustâmî dari Persia, disebabkan fahamnya tentang fanâ' (terleburnya diri pribadi dalam Tuhan) dan baqâ' (mengekalnya diri pribadi dalam kesatuan dengan Tuhan) berseru dengan kalimat Subhânî (Maha Suci Aku) yang dimaksudkan sama dengan seruan Subhân-a ‘1-Lâh (Maha Suci Allah), sebab telah terjadi identifikasi dirinya dengan Allah. Dan faham hulûl (inkarnasi) pada al-Hallaj yang termashur menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai Kebenaran dengan ucapannya yang terkenal Ana 'I-Haqq (Akulah Kebenaran atau Tuhan). Untuk keyakinannya ini dia harus membayar tebusan dengan hukuman mati di tangan seorang penguasa penganut teologi Islam ortodoks (Ahl-u 'I-Sunnah). Dan seorang sufi dari Mesir bernama Dzun Nûn memperkenalkan ajaran tentang ma'rifah, pengetahuan yang diperoleh melalui ekstase yang berbeda samasekali dengan 'ilmu yang berarti pengetahuan intelektual dan tradisional biasa. Ketika ditanya bagaimana dapat mengetahui Tuhan, dia menjawab: "Aku mengetahui-Nya melalui Dia sendiri.”(10) Dia sangat terkesan dengan sebuah ungkapan: "Siapa yang telah mengenal dirinya maka dia telah mengenal Tuhannya."

Sebetulnya ekses-ekses tersebut ada dalam rangkaian suatu susunan ajaran dan faham yang sangat kompleks dan sulit dipahami. Agaknya tekanan yang berlebihan pada kemampuan intuisi pribadi dalam mengenali Tuhan telah memberi peluang bagi tumbuhnya dorongan-dorongan subyektif untuk menemukan dan mengemukakan cara-caranya sendiri dalam menjalankan amalan ruhani. Maka tidak mengherankan kalau kemudian tasawuf dalam perkembangannya memiliki banyak kelompok dan aliran, sehingga tak terkendalikan lagi. Sikapsikap yang berlebihan dan tingkah-laku aneh sering merupakan cciri menonjol pada para pengamal tasawuf, sehingga mereka juga disebut kaum ghuraba' (orang-orang yang berkelakuan aneh). Tidak jarang ditemukan adanya amalan-amalan kesufian yang sesungguhnya tidak lebih daripada penyalahgunaan kelemahan manusia saja.

Bentuk yang sangat populer dari ekses sufisme adalah praktek-praktek pemujaan kepada para wali. Memang dalam al-Qur'ân banyak terdapat keterangan tentang wali Allah atau teman dan kekasih Allah. Tetapi menurut faham Mu'tazilah yang sangat rasionalistik itu, semua orang Islam yang taat kepada Tuhan adalah wali yang dikasihi-Nya. Sedangkan dalam dunia kaum sufi, wali adalah seorang dengan karunia Tuhan yang khusus sehingga ia mempunyai kelebihan atas orang lain berupa karamah atau "keramat". Sebagai kemampuan melakukan tindakan-tindakan supranatural, karamah adalah bukti kebenaran seorang wali yang dianggap sebanding dengan mu'jizat bagi seorang Nabi. Karamah itu merupakan penunjang bagi klaim seorang wali selaku penerus tugas Nabi memelihara dan mungkin mengembangkan ajaran-ajaran keagamaan. Dari situ juga timbul ajaran tentang adanya kemampuan para wali untuk memberi berkah kepada orang lain, baik semasa hidup maupun sesudah meninggal dunia. Ajaran ini mendorong tumbuhnya kebiasaan mengagungkan makam orang-orang suci yang kemudian dijadikan tempat perantara dalam berdo'a. Bahkan tidak jarang dijadikan tempat tumpuan harapan bagi orang-orang yang memiliki ambisi tertentu. Bagi orang-orang yang mempercayainya, otoritas seorang wali tidak boleh dipertanyakan atau diragukan. Maka sering seseorang yang dianggap memiliki kekuatan-kekuatan gaib akan dengan mudah diangkat sebagai wali yang tidak mungkin melakukan kesalahan. Keadaan itu sering menimbulkan kesulitan dalam membedakan antara seorang eksentrik yang berkelakuan aneh-aneh dengan seorang yang benar-benar mengalami ekstase karena ma'rifah.

Dalam keadaan inilah terjadi jurang pemisah yang semakin dalam dan jauh antara ilmu kalam (teologi) dengan ilmu fiqh (hukum) yang mendasarkan diri pada akal dan menggunakan dialektika di satu pihak dengan ilmu tasawuf yang mengutamakan intuisi dan pengalaman ruhani di pihak lain. Dengan begitu kaum sufi banyak membangkitkan oposisi dari pihak kaum ortodoks. Yang mula-mula menjembatani antara keduanya adalah seorang pemimpin sufi sendiri, al-Qusyayri. Bukunya yang terkenal, Risâlah, merupakan tesis yang menjadi landasan usaha-usahanya melakukan rekonsiliasi antara kesalehan resmi dengan kesalehan mistik, dan antara kehidupan rasional dengan kehidupan intuitif.

Tidak lama sesudah al-Qusyairî tampillah Imam al-Ghazâlî meneruskan usaha pendabulunya itu. Melalui ajaran-ajarannya, 1lmu kalam akhirnya membuat keputusan yang menentukan untuk menjamin adanya tempat bagi segi emosional dalam agama pada keseluruhan sistem teologi ortodoks atau Ahlussunnah. Bukunya Ihyâ' 'Ulûm-u 'I-Dîn merupakan seruan bagi dihidupkannya kembali tasawuf. Dia tidak memusuhi prinsip-prinsip hukum Islam, tetapi menafsirkan kembali hukum itu sebagai sarana dan petunjuk bagi ruhani untuk memperoleh keselamatan dengan memperoleh bagian dalam rahasia Ilahi. Ini hanya didapat dengan melalui kerinduan dan kecintaan sepenuhnya kepada Allah.(11)

Demikan besarnya peran Imam al-Ghazâlî dalam memberikan penyelesaian pada sebagian besar pertikaian faham di kalangan kaum Muslimin, sehingga dia memperoleh gelar Hujjat-u '!-lslâm yang bisa diartikan "argumentasi Islam" atau "pembela lslam." Selain berhasil menyelesaikan sebagian besar pertentangan antara ilmu kalam dan ilmu tasawuf, Imam al-Ghazâlî juga sangat berjasa dalam menyatukan kaum Muslim di seluruh dunia di bidang teologi. Berkat pembelaan-pembelaannya maka faham skolastik Asy'ârî mendapat tempat yang pemanen dalam sistem ajaran lslam sampai hari ini.

Meskipun demikian, pemikiran-pemikiran Imam al-Ghazâlî ini bukannya tidak mendapat tantangan. Sekalipun dia sendiri menggunakan metode-metode filsafat dalam pembahasan-pembahasannya tetapi dia menulis buku yang sangat mengecam para ahli filsafat, yaitu buku Tahâfut-u ‘l-Falâsifah (Pengrusakan Para filsuf). Hal ini mendapat kecaman dari Ibn Rusyd, dan dijawabnya dengan buku Tahâfut-u 'I-Tahâfut (Pengrusakannya Buku Pengrusakan), suatu polemik yang sampai saat ini masih berlangsung.

Kecaman paling berpengaruh terhadap pemikiran al Ghazâlî ini adalah yang datang dari Ibnu Taymiyah, seorang ulama yang banyak mengilhami pergerakan pembaruannya Muhammad 'Abduh di Mesir. Kecamannya terutama ditujukan pada pandangan hidup al-Ghazâlî yang sangat mementingkan kehidupan asketik atau zuhud sehingga menjadikan sesorang mengasingkan diri dari kehidupan duniawi ('uzlah). Dalam hal ini Hamka mengatakan: "Sangatlah berbeda pandangan hidup Ibnu Taymiyah dengan pandangan hidup Imam al-Ghazâlî, meskipun keduanya sama-sama bertasawuf. Tasawuf al-Ghazâlî seakan-akan menolak hidup, takut menempuh hidup, lalu menyisihkan diri, sehingga kadang-kadang tidak mempedulikan apa yang ada di kiri-kanannya. Sebagaimana ditulis oleh Dr. Zakî Mubârak: "Pada masa hidupnya al-Ghazâlî, Dunia Islam sedang ditimpa malapetaka, yaitu mendapat serangan hebat dari kaum Salib. Beberapa negeri telah dibakar musnah dan beribu-ribu penduduk telah terbunuh, namun al-Ghaâlî tenggelam dalam khalwatnya."(12)

Sekarang ini sikap Dunia Islam terhadap tasawuf seolah-olah terbagi dua, ada yang lebih berorientasi kepada Imam al-Ghazâhî dan mereka yang lebih berorientasi kepada Ibnu Taymiyah. Mungkin tidak bisa dibuat garis pemisah yang tegas antara keduanya, tetapi perbedaan tekanan orientasi itu sangat jelas terasa. Prof. Dr. Hamka misalnya, adalah seorang "pengikut" Ibnu Taymiyah. Tetapi beliau masih sangat menghargai karya-karya Imam al-Ghazâhî dan ajaran-ajaran esoterik Islam pada umumaya. Sedangkan para kiai di pesantren, meskipun sebagaian besar bisa dipastikan mengenal ajaran-ajaran Imam al-Ghazâlî, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa setiap kiai bersikap setuju, apalagi mengamalkan ajaran-ajaran tarekatnya.

Yang menarik adalah, sampai saat itu negara yang secara resmi melarang amalan tarekat hanyalah Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Turki. Namun, alasan pelarangan kedua negara ini berlawanan; Saudi Arabia melarang tasawuf karena dinilai bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam murni (puritanisme ortodoks), sedangkan Turki melarangnya karena bertentangan dengan faham hidup modern (sekularisme). Suatu pertemuan yang cukup ironis mungkin antara kedua ekstremitas gaya hidup yang menguasai kaum Muslimin di dunia. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa ajaran-ajaran Muhammad bin 'Abd-u 'l-Wahhâb (di Saudi Arabia) sangat anti-sufisme dan tarekat karena adanya praktek-praktek pada tasawuf yang mengagungkan orang-orang saleh dan makam-makam mereka, meskipun bukan merupakan ajaran-ajaran asetik dan esoteris pada tasawuf. Sedangkan kaum Kemalis (Turki) lebih cenderung menilainya sebagai bentuk kekolotan saja, sebagaimana juga gejala-gejala keagamaan yang lain, sampai-sampai soal pemakaian huruf dan bahasa Arab.

***

Catatan Kaki

  1. Lihat surat Muhammad bin 'Abd-u 'l-Wahhâb kepada Muhammad bin 'Abbâs, dikutip oleh Amin Said dalam bukunya Sîrat-u 'l-lmâm al-Syaykh Muhammad bin 'Abd-u 'l-Wahhâb, Beirut, 1385 H., hal. 92-96.
  2. Q.s., al-Nisâ' / 4:48.
  3. R.A. Nicholson, Sufism, dalam Sir Thomas Arnold dan Alfred Guillaume, Teh Legacy of Islam, Oxford, 1965, hal. 232.
  4. K.H.A. Shohibul Wafa' Tadjul Arifin, Mitâh-u 'sh-Shudur, terjemah Prof. Dr. K.H. Abu Bakar Aceh, Bandung, 1970, hal. 16.
  5. H.A.R Gibb, Studies on the Civilization of Islam, Boston, 1962, hal. 208.
  6. Sayyid Husein Nasr, Ideals and Realities of Islam, London, 1966, hal. 134.
  7. Hamka,Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta, 1973, hal. 8.
  8. Sir Thomas Arnold dan A. Guillaume, The Legacy, hal. 212.
  9. H.A.R. Gibb, Op. Cit., hal 208.
  10. Sir Thomas Arnold dan A. Guillaume, Op. Cit., hal. 215.
  11. Von Grunebaum, Medievel Islam, Chicago, 1966, hal. 137.
  12. Hamka, Op Cit., hal. 38.

www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt