Tasawuf
dan Kiprah Pesantren di dalamnya
Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf
Seorang Muslim hampir dapat dipastikan akan mengatakan bahwa ajaran
agamanya dimulai dengan kalimat Lâ ilah-a illa 'l-Lâh
yang artinya "tidak ada tuhan melainkan Allah". Perkataan "Allah"
sendiri berarti "Tuhan" (dengan huruf besar), yaitu Tuhan yang sebenarnya.
Maka dengan suatu penafsiran, kalimat tersebut akan berarti "tidak ada
tuhan melainkan Tuhan yang sebenarnya itu sendiri". Bersamaan dengan kalimat
Muhammad-un rasûl-u 'I-Lâh yang
berarti "Muhammad adalah utusan Allah". Kalimat pertama itu membentuk dua
kalimat persaksian atau syahâdah yang
wajib diucapkan dengan lisan dan diyakini dalam hati oleh setiap orang
yang hendak menyatakan diri memeluk atau masuk Islam. Biasanya kedua kalimat
itu ditambah dengan perkataan "saya bersaksi", sehingga akan berbunyi,
“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, dan saya bersaksi
bahwa Muharnmad adalah utusan Allah" (Asyhadu an-lâ
ilâh-a illa 'I-Lâh, wa asyhadu anna Mukammad-an rasûl-u
'I-Lâh).
Dengan kata lain seorang Muslim akan mengatakan bahwa pokok pangkal
agamanya adalah ajaran tawhîd atau pengesaan
Tuhan, suatu monoteisme yang keras dan tidak mengenal kompromi. Sepanjang
ajaran al-Qur'ân, tawhîd adalah
inti ajaran dan agama yang dianut para rasul dan nabi sepanjang
zaman. Akan tetapi juga ada petunjuk bahwa yang pertama mengemukakan ajaran
tawhîd itu dengan jelas dan sitematis adalah Nabi Ibrahim
yang kelak mewariskan agama-agama monoteistis utama. Tiga di antaranya
tetap hidup sampai sekarang, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Di kalangan
bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad, agama Nabi Ibrahim ini juga sudah dikenal,
khususnya oleh penduduk kota Makkah suku Quraisy. Para pengamal agama itu
disebut "orang-orang hanîf atau hunafa’”, yang berarti
orang-orang yang memelihara dan memegang teguh kebenaran. Muhammad yang
kelak menjadi nabi itu termasuk seorang hunafa'.
Dalam menjalankan misinya Nabi Muhammad sering menegaskan
bahwa beliau hanyalah menyerukan kepada umat manusia agar kembali memegang
teguh pokok ajaran agama para nabi sebelumnya, khususnya ajaran agama Nabi
Ibrahim. Kontinuitas yang konsisten antara agama Muhammad dengan agama
para nabi itu antara lain ditegaskan dalam (Q.S. al-Syûrâ/42:
13, "Allah telah menciptakan bagi kamu sekalian agama sebagaimana yang
diajarkan-Nya kepada Nuh dan yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) serta
yang Kami ajarkan kepada Ibrâhîm, Mûsâ, dan ‘Îsâ,
yaitu hendaknya kamu sekalian berpegang teguh
kepada agama (yang murni) dan janganlah berpecah belah! Sungguh berat bagi
para penyembah berhala (musyrikin) apa yang engkau serukan ini. Tuhan menarik
kepadaNya siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia menunjukkan jalan kepada
agama-Nya siapa saja yang mendekati-Nya."
Bertitik tolak dari ajaran dan semangat tawhîd
itu, maka tidaklah mengherankan bahwa risalah atau misi Nabi Muhammad
diliputi oleh perjuangan yang sangat gigih memberantas setiap bentuk syirik
atau politeisme, terutama sebagaimana diwujudkan dalam agama penyembahan
berhala penduduk kota Makkah. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, pertentangan
sengit antara tawhîd dan syirik itu memaksa Nabi Muhammad
beserta para pengikutnya meninggalkan Makkah dan pindah ke Yatsrib yang
kemudian diganti nama Madînah (artinya kota atau tempat peradaban).
Dengan hijrah itu Nabi Muhammad memulai karier baru. Pertentangan dengan
kaum Musyrik Makkah berkembang menjadi peperangan-peperangan yang berlangsung
selama hampir sepuluh tahun, yang akhirnya secara mutlak dlmenangkan kaum
Muslim.
Hal yang sudah menjadi pengetahuan umum itu dikemukakan
di sini dengan maksud memberi gambaran betapa sentralnya ajaran tawhîd
dalam keseluruhan sistem agama Islam. Bagaimana wujud tawhîd
itu di zaman Nabi Muhammad sendiri adalah sesuatu yang hanya dapat
diketahui dengan studi cermat tentang ajaran-ajaran dalam kitab suci dan
sunnah atau tradisi serta sejarah Nabi. Akan tetapi pada masa sekarang
kaum Muslim lebih mengenal ajaran tawhîd itu melalui karya-karya
para sarjana ilmu kalam atau teologi Islam, terutama skolastisisme Asy'âri
(Abu 'l-Hasan ‘Alî al-Asy'ârî). Ahli kalam ini merumuskan
kepercayaan, khususnya tentang ajaran tawhîd dalam Islam,
secara sistematis dengan menggunakan cara berpikir filsafat Yunani, terutama
filsafat Aristotelianisme. Maka sekarang ini kaum Muslim di selurah dunia,
terutama golongan ortodoks atau sunni (ahlus sunnah) berpedoman pada Asy'ârisme
dalam hal pokok-pokok kepercayaan yang dinamakan ilmu tawhîd.
Ilmu tawhîd ini sering disebut ilmu kalam, ilmu
'aqa'â’id, dan ilmu ushuluddîn.
Dalam teologi Asy'ârî sangat ditekankan ajaran
bahwa Tuhan adalah transendental, yaitu mengatasi dan terpisah dari apa
pun yang merupakan ciptaan-Nya. Perincian tentang sifat-sifat Tuhan yang
dua puluh mencakup sifat mukhâlafat-u li '1 hkawâdits-i,
bahwa Tuhan berbeda dari seluruh makhluk atau alam ciptaan-Nya. Ayat-ayat
al-Qur'ân yang menjadi pusat perhatiannya adalah ayat-ayat yang menegaskan
transendentalisme itu. Seperti Q.s., al-Syura/42: 11, "Tiada sesuatu
pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat."
Kemudian Q.s., al-Ikhlâsh/112: 4, "Dan tidak ada seorang pun
yang sebanding dengan Dia." Juga Q.s., al-An’âm/6: 102-103, "Itulah
Allah, Tuhanmu sekalian. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia, Pencipta segala sesuatu; maka sembahlah Dia. Dia adalah Pemelihara
segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedanghan
Dia dapat melihat segala penglihatan itu. Dia adalah Zat Yang Maha Lembut
lagi Maha Mengetahui".
Karena itu, syeikh Muhammad bin 'Abd-u 'l-Wahhâb,
pemimpin gerakan di Jazirah Arabia pada abad lalu yang menganjurkan umat
Islam kembali pada faham salaf atau asli, mengatakan bahwa tawhîd
tidaklah cukup hanya rnenyatakan atau meyakini bahwa hanya ada satu
Tuhan yaitu Allah, Pencipta Alam Semesta. Pengakuan dan Keyakinan ini memang
bisa dinamakan tawhîd, tetapi hanya tawhîd
rubûbiyah, dan sudah dikenal serta dianut oleh orang-orang
Makkah masa Jahiliyah. Ini digambarkan dalam Q.s., al-'Ankabût/29:
61, "Dan jika engkau tanyakan kepada mereka (orang-orang kafir Makkah):
'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi serta mengatur perjalanan matahari
dan bulan?'Mereka akan menjawab: “Allah!” Namun mengapa mereka berpaling
juga dari kebenaran?”.
Justru orang-orang Makkah yang menganut tawhîd rubûbiyah
itulah yang akhirnya berhadapan dengan Nabi Muhammad dalam peperangan-peperangan.
Karena itu, Nabi Muhammad membawa ajaran yang lebih daripada sekedar tawhîd
rubûbiyah, yaitu tawhîd ulûhiyah.
Dalam tawhîd ulûhiyah ini
semangat tawhîd tidak hanya berupa pengakuan
bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta langit dan bumi, tetapi juga meliputi
keyakinan bahwa hanya Allahlah yang patut disembah, sebab hanya Dia yang
memiliki sifat-sifat keilahian di alam ini, sebagian atau seluruhnya.(1)
Jadi merupakan suatu penegasan sifat-sifat Tuhan yang serba transendental.
Dan ternyata pada orang-orang Makkah tersebut tawhîd rubûbiyah
saja masih memungkinkan adanya praktek-praktek pemujaan pada
selain Tuhan. Mereka menyembah berhala karena beranggapan bahwa berhala
itu bisa menjadi perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sehingga
mereka terjatuh pada dosa syirik, dosa paling besar yang tidak akan diampuni
oleh Tuhan.(2)
Bahwa inti ajaran al-Qur'ân adalah tawhîd
merupakan sesuatu yang tldak boleh diragukan.
Tetapi bagi kaum sufi, al-Qur’ân tidak hanya memuat ajaran-ajaran
yang mengisaratkan bahwa Tuhan adalah serba transcendental. Justru
banyak ayat yang memberikan Keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa
Tuhan adalah serba immanent, senantiasa hadir bersama hamba-Nya
dan selalu maujûd di mana-mana. Ayat-ayat berikut ini merupakan
tumpuan pandangan hidup kaum sufi: "Dan jika hambaku bertanya kepadamu
(Mukammad) tentang Diriku, maka (katakanlah) bahwa sesungguhnya Aku ini
dekat” (Q.s., al-Baqarah/2: 186), “...dan kami (Tuhan) lebih dekat
kepadanya (manusia) daripada urat lehernya sendiri" (Q.s., Qâf/
50: 16), "Dan kepunyaan Allahlah baik timur maupun barat, maka kemana
pun kamu menoleh, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmatnya) dan Maha Mengetahui" (Q.s., al-Baqarah/ 2: 115), dan "Dialah
Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin. Dia mengetahui
segala sesuatu. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
kemudian bertahta di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar darinya serta apa yang turun dari langit dan apa
yang naik membumbung kepadanya. Dia beserta kamu di mana pun kamu berada.
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (Q.s., al-Hadîd/
57: 3-4).
Ajaran ilmu kalam tentang 'mukhâlafat-u li 'l-hawâditsi"
yang serba transendental dengan sendirinya juga melahirkan penegasan
bahwa antara Tuhan dan manusia terdapat perbedaan dan "pembedaan" yang
mutlak. Tetapi, dalam al-Qur'ân terdapat ayat yang dapat ditafsirkan
sebagai sangkalan atas hal itu: "Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah.
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh
(ciptaan)Ku, maka hendaklah kamu tunduk bersujud kepadanya." (Q.s.,
Shâd/38: 71-72). Menurut al-Jillî, seorang sufi murid
Ibn 'Arabî, dari ayat tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa Tuhan
memanifestasikan dirinya melalui setiap orang, tidak terbatas kepada 'Îsâ
al-Masîh saja sebagaimana dikatakan dogmatika Kristen.(3)
Tentang petunjuk bahwa Tuhan bersifat immanent dalam alam, selain
dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur'ân tersebut dan banyak lagi
ayat-ayat yang lain, juga memperoleh penegasan dari sebuah Hadîts
Qudsi—firman Allah yang lafalnya dari Nabi Muhammad—yang menyatakan: "Aku
adalah hasanah yang tersimpan; dan Aku inginkan agar diketakui, rnaka Aku
ciptakan alam semesta."(4) Dan banyak lagi bahan-bahan yang digunakan
oleh kaum sufi sebagai sumber dan dasar ajaran-ajaran tasawuf.
Pada masa Nabi Muhammad sendiri, dan selama satu abad sepeninggal beliau,
dunia Islam belum mengenal adanya kaum sufi, kaum mutakallimîn atau
ahli kalam, maupun ahli hukum fiqh. Sebab, pada saat itu kaum Muslim masih
merupakan suatu masyarakat etika yang berlandaskan doktrin-doktrin yang
jelas tentang Tuhan, Hari Kemudian, serta kewajiban-kewajiban keagamaan
yang praktis. Tetapi dengan semakin meningkatnya kegiatan intelektual dan
semakin dikenalnya cara-cara pembahasan filosofis telah melahirkan paling
tidak dua hal penting. Pertama, sistem hukum yang terorganisasikan, dan
kedua teologi yang sistematis. Maka melalui suatu proses yang sejajar dan
oleh sebab kewajaran serta keperluan adanya faktor pengimbang atas rasionalisasi
lahiriyah daripada agama itu, persepsi keagamaan yang intuitif menjadi
semakin peka dan sadar-diri. Usaha-usaha dari kaum asketik dan zuhud yang
telah ada sebelumnya untuk memperoleh kesempurnaan etis tidak ditinggalkan
samasekali, bahkan berangsur-angsur dimurnikan dan ditransformasikan. Cita-cita
etis yang dinyatakan melalui ajaran "takhallaqû bi aklâq-i
'l-Lâh" (berbudi-pekertilah kamu dengan budi-pekerti Tuhan) tidak
lagi terpuaskan dengan hanya melaksanakan aturan-aturan yang dipaksakan
dari luar, tetapi menuntut adanya keserasian dengan makna pengalaman ruhani
yang mendalam dan nyata.(5)
Hubungan antara tasawuf dengan kedua cabang ilmu-ilmu keislaman lainnya,
yaitu ilmu kalam dan ilmu fiqh atau syari'ah memang tidak senantiasa harmonis.
Tetapi harus dikatakan di sini bahwa pada awalnya perbedaan antara ketiga
cabang ilmu itu, terutama antara tasawuf dengan kalam, lebih terletak pada
masalah tekanan daripada isi ajaran. Selain persoalan transendentalisme,
ilmu kalam juga lebih mengutamakan pemahaman masalah-masalah ketuhanan
dalam pendekatan yang rasional dan logis. Ilmu kalam adalah kategori-kategori
rasional dari tawhîd, dan bersama syari'ah membentuk orientasi
keagamaan yang lebih bersifat eksoteris.
Sedangkan tasawuf sangat banyak menekankan pentingnya penghayatan ketuhanan
melalui pengalaman-pengalaman nyata dalam olah rohani (spiritual exercise)
yang mengutamakan intuisi. Jadi merupakan orientasi keagamaan yang lebih
esoteris. Berbeda dengan ilmu kalam yang melahirkan rumusan rasionalistik
yang bersifat universal dan—karenanya—stabil tasawuf lebih merupakan kumpulan
perilaku daripada rumusan doktrin-doktrin. Tasawuf ini seringkali bersifat
sangat pribadi sehingga tidak stabil.
Dikatakan bahwa perbedaan itu lebih terletak pada masalah tekanan daripada
isinya, sebab baik ilmu kalam maupun ilmu tasawuf keduanya berpangkal tolak
pada kalimat syahadah Lâ ilâh-a illa 'I-Lâh. Tasawuf
memulai dengan pertanyaan apa sesungguhnya makna terakhir dari rumusan
ajaran dasar agama Islam itu. Menurut kaum sufi, dari kalimat syahadat
itu dapat disimpulkan bahwa kenyataan yang benar atau al-Haqq
hanyalah Tuhan semata, sedangkan selain Dia hanyalah nisbi belaka.
Kaum sufi bertujuan untuk sampai pada al-Haqq itu, yang dapat dilakukan
dengan hanya mencontoh perihidup Nabi Muhammad yang merupakan prototipe
kehidupan ruhani dalam Islam. Tidak ada kelompok dalam masyarakat Islam
yang begitu bergairah dan bersungguh-sungguh meniru kehidupan Nabi seperti
kaum sufi ini. Tidak saja mereka menjalankan kehidupan sehari-hari menurut
sunnah Rasul, tetapi mereka juga menempuh jalan dalam mencari pengalaman
ruhani yang ukuran sempurnanya adalah mi’raj Nabi. Bahkan sufisme dapat
dikatakan sebagai pengejawantahan dari ajaran tentang ihsân, salah
satu dari tiga serangkai ajaran Islam, yaitu Islam sendiri, iman, dan ihsan.
Esoterisme sufi adalah. perwujudan dari sabda Nabi sendiri bahwa ihsân
adalah keadaan dimana ketika kita menyembah Allah seolah-olah kita
melihatNya, dan kalau pun kita tidak melihatnya maka Dia yang melihat kita.
Apa yang diajarkan oleh tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah
dengan suatu kesadaran penun bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita
“melihat”-Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa
berdiri di hadapan-Nya.(6)
Tetapi sekalipun sufisme mendasarkan ajaran-ajarannya
pada al-Qur'an dan al-Sunnah, khususnya dalam soal-soal doktrin, namun
tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya esoterisme Islam ini
menerima, atau barangkali lebih tepat memasukkan, unsur-unsur asing dari
luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum Muslim dengan bangsa-bangsa
taklukannya di Syria dan Persia yang dalarn beberapa hal, khususnya di
bidang filsafat, lebih dulu maju daripada kaum Muslim sendiri. Unsur asing
yang banyak disebut sangat mempengaruhi dunia sufisme adalah neo-platonisme,
gnotisisme, moonisme, faham inkarnasi, dan bahkan animisme, panteisme,
dan politeisme. Keberadaan unsur-unsur asing dalam tasawuf ini membuat
para orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan ketidak-aslian
sufisme sebagai berasal dari Islam. Kesan serupa itu banyak dirasakan oleh
para ahli di kalangan Islam sendiri, termasuk di antaranya Prof. Dr. Hamka?
Beliau menganggap kesan itu merupakan bias dari Kristen Barat. Seperti
yang tercermin dalam ucapan R.A. Nicholson: "Memang benar anggapan bahwa
kaum sufi adalah pembahas-pembahas al- Qur’an bersifat esoteris, tetapi
menurut pendapat saya tidaklah benar jika dikatakan bahwa sufisme adalah
hasil yang murni dari pembahasan Qur'ani".(8)
Tidak semua kalangan orientalis beranggapan demikian.
Dalam hal ini H.A.R. Gibb mengemukakan pendapat yang agak berbeda: "Tetapi
sebagaimana jelas tidak benar,jika dikatakan bahwa teologi Islam adalah
semata-mata filsafat Yunani berbaju Islam, demikian pula adalah tidak benar
anggapan bahwa sufisme adalah semata-rnata mistisisme Kristen dan gnostik
dalam pakaian Islam. Teologi Islarn menggunakan filsafat Yunani untuk menjabarkan
susunannya yang rasioral atas dasar postulat-postulat al-Qur'ân;
dengan cara yang sama sufisme yang karena dengan kuat mendasarkan dirinya
pada ilham-ilham intuitif dari al-Qur'ân, memasukkan cukup banyak
pengalaman Kristen dan penggambaran gnostik ke dalam bentuk-bentuk ekspresinya
sepanjang hal itu dapat disesuaikan dengan sikap-sikap keagarnaan yang
asasi."(9)
Tetapi agaknya ekses-ekses yang timbul baik karena pengaruh
langsung maupun tidak langsung dari unsur-unsur luar itu tidak seluruhnya
dapat dicegah. Tekanan ajaran tasawuf pada aspek imanensi Tuhan telah memungkinkan
terbukanya pintu bagi masuknya faham-faham panteisrne. Begitulah, maka
Bayâzid Bustâmî dari Persia, disebabkan fahamnya tentang
fanâ' (terleburnya diri pribadi dalam Tuhan) dan baqâ'
(mengekalnya diri pribadi dalam kesatuan dengan Tuhan) berseru dengan
kalimat Subhânî (Maha Suci Aku) yang dimaksudkan sama
dengan seruan Subhân-a ‘1-Lâh (Maha Suci Allah), sebab
telah terjadi identifikasi dirinya dengan Allah. Dan faham hulûl
(inkarnasi) pada al-Hallaj yang termashur menyebabkan ia memaklumkan
dirinya sebagai Kebenaran dengan ucapannya yang terkenal Ana 'I-Haqq
(Akulah Kebenaran atau Tuhan). Untuk keyakinannya ini dia harus membayar
tebusan dengan hukuman mati di tangan seorang penguasa penganut teologi
Islam ortodoks (Ahl-u 'I-Sunnah). Dan seorang sufi dari Mesir bernama
Dzun Nûn memperkenalkan ajaran tentang ma'rifah, pengetahuan
yang diperoleh melalui ekstase yang berbeda samasekali dengan 'ilmu
yang berarti pengetahuan intelektual dan tradisional biasa. Ketika
ditanya bagaimana dapat mengetahui Tuhan, dia menjawab: "Aku mengetahui-Nya
melalui Dia sendiri.”(10) Dia sangat terkesan dengan sebuah ungkapan: "Siapa
yang telah mengenal dirinya maka dia telah mengenal Tuhannya."
Sebetulnya ekses-ekses tersebut ada dalam rangkaian suatu
susunan ajaran dan faham yang sangat kompleks dan sulit dipahami. Agaknya
tekanan yang berlebihan pada kemampuan intuisi pribadi dalam mengenali
Tuhan telah memberi peluang bagi tumbuhnya dorongan-dorongan subyektif
untuk menemukan dan mengemukakan cara-caranya sendiri dalam menjalankan
amalan ruhani. Maka tidak mengherankan kalau kemudian tasawuf dalam perkembangannya
memiliki banyak kelompok dan aliran, sehingga tak terkendalikan lagi. Sikapsikap
yang berlebihan dan tingkah-laku aneh sering merupakan cciri menonjol pada
para pengamal tasawuf, sehingga mereka juga disebut kaum ghuraba' (orang-orang
yang berkelakuan aneh). Tidak jarang ditemukan adanya amalan-amalan kesufian
yang sesungguhnya tidak lebih daripada penyalahgunaan kelemahan manusia
saja.
Bentuk yang sangat populer dari ekses sufisme adalah praktek-praktek
pemujaan kepada para wali. Memang dalam al-Qur'ân banyak terdapat
keterangan tentang wali Allah atau teman dan kekasih Allah. Tetapi menurut
faham Mu'tazilah yang sangat rasionalistik itu, semua orang Islam yang
taat kepada Tuhan adalah wali yang dikasihi-Nya. Sedangkan dalam dunia
kaum sufi, wali adalah seorang dengan karunia Tuhan yang khusus sehingga
ia mempunyai kelebihan atas orang lain berupa karamah atau "keramat".
Sebagai kemampuan melakukan tindakan-tindakan supranatural, karamah adalah
bukti kebenaran seorang wali yang dianggap sebanding dengan mu'jizat bagi
seorang Nabi. Karamah itu merupakan penunjang bagi klaim seorang wali selaku
penerus tugas Nabi memelihara dan mungkin mengembangkan ajaran-ajaran keagamaan.
Dari situ juga timbul ajaran tentang adanya kemampuan para wali untuk memberi
berkah kepada orang lain, baik semasa hidup maupun sesudah meninggal dunia.
Ajaran ini mendorong tumbuhnya kebiasaan mengagungkan makam orang-orang
suci yang kemudian dijadikan tempat perantara dalam berdo'a. Bahkan tidak
jarang dijadikan tempat tumpuan harapan bagi orang-orang yang memiliki
ambisi tertentu. Bagi orang-orang yang mempercayainya, otoritas seorang
wali tidak boleh dipertanyakan atau diragukan. Maka sering seseorang yang
dianggap memiliki kekuatan-kekuatan gaib akan dengan mudah diangkat sebagai
wali yang tidak mungkin melakukan kesalahan. Keadaan itu sering menimbulkan
kesulitan dalam membedakan antara seorang eksentrik yang berkelakuan aneh-aneh
dengan seorang yang benar-benar mengalami ekstase karena ma'rifah.
Dalam keadaan inilah terjadi jurang pemisah yang semakin
dalam dan jauh antara ilmu kalam (teologi) dengan ilmu fiqh (hukum) yang
mendasarkan diri pada akal dan menggunakan dialektika di satu pihak dengan
ilmu tasawuf yang mengutamakan intuisi dan pengalaman ruhani di pihak lain.
Dengan begitu kaum sufi banyak membangkitkan oposisi dari
pihak kaum ortodoks. Yang mula-mula menjembatani
antara keduanya adalah seorang pemimpin sufi sendiri, al-Qusyayri. Bukunya
yang terkenal, Risâlah, merupakan tesis yang menjadi landasan
usaha-usahanya melakukan rekonsiliasi antara kesalehan resmi dengan kesalehan
mistik, dan antara kehidupan rasional dengan kehidupan intuitif.
Tidak lama sesudah al-Qusyairî tampillah Imam al-Ghazâlî
meneruskan usaha pendabulunya itu. Melalui ajaran-ajarannya, 1lmu kalam
akhirnya membuat keputusan yang menentukan untuk menjamin adanya tempat
bagi segi emosional dalam agama pada keseluruhan sistem teologi ortodoks
atau Ahlussunnah. Bukunya Ihyâ' 'Ulûm-u 'I-Dîn merupakan
seruan bagi dihidupkannya kembali tasawuf. Dia tidak memusuhi prinsip-prinsip
hukum Islam, tetapi menafsirkan kembali hukum itu sebagai sarana dan petunjuk
bagi ruhani untuk memperoleh keselamatan dengan memperoleh bagian dalam
rahasia Ilahi. Ini hanya didapat dengan melalui kerinduan dan kecintaan
sepenuhnya kepada Allah.(11)
Demikan besarnya peran Imam al-Ghazâlî dalam
memberikan penyelesaian pada sebagian besar pertikaian faham di kalangan
kaum Muslimin, sehingga dia memperoleh gelar Hujjat-u
'!-lslâm yang bisa
diartikan "argumentasi Islam" atau "pembela lslam." Selain berhasil menyelesaikan
sebagian besar pertentangan antara ilmu kalam dan ilmu tasawuf, Imam al-Ghazâlî
juga sangat berjasa dalam menyatukan kaum Muslim di seluruh dunia di bidang
teologi. Berkat pembelaan-pembelaannya maka faham skolastik Asy'ârî
mendapat tempat yang pemanen dalam sistem ajaran lslam sampai hari ini.
Meskipun demikian, pemikiran-pemikiran Imam al-Ghazâlî
ini bukannya tidak mendapat tantangan. Sekalipun dia sendiri menggunakan
metode-metode filsafat dalam pembahasan-pembahasannya tetapi dia menulis
buku yang sangat mengecam para ahli filsafat, yaitu buku Tahâfut-u
‘l-Falâsifah (Pengrusakan Para filsuf). Hal ini mendapat kecaman
dari Ibn Rusyd, dan dijawabnya dengan buku Tahâfut-u 'I-Tahâfut
(Pengrusakannya Buku Pengrusakan), suatu polemik yang sampai saat ini
masih berlangsung.
Kecaman paling berpengaruh terhadap pemikiran al Ghazâlî
ini adalah yang datang dari Ibnu Taymiyah, seorang ulama yang banyak mengilhami
pergerakan pembaruannya Muhammad 'Abduh di Mesir. Kecamannya terutama ditujukan
pada pandangan hidup al-Ghazâlî yang sangat mementingkan kehidupan
asketik atau zuhud sehingga menjadikan sesorang mengasingkan diri dari
kehidupan duniawi ('uzlah). Dalam hal ini Hamka mengatakan: "Sangatlah
berbeda pandangan hidup Ibnu Taymiyah dengan pandangan hidup Imam al-Ghazâlî,
meskipun keduanya sama-sama bertasawuf. Tasawuf al-Ghazâlî
seakan-akan menolak hidup, takut menempuh hidup, lalu menyisihkan diri,
sehingga kadang-kadang tidak mempedulikan apa yang ada di kiri-kanannya.
Sebagaimana ditulis oleh Dr. Zakî Mubârak: "Pada masa hidupnya
al-Ghazâlî, Dunia Islam sedang ditimpa malapetaka, yaitu mendapat
serangan hebat dari kaum Salib. Beberapa negeri telah dibakar musnah dan
beribu-ribu penduduk telah terbunuh, namun al-Ghaâlî tenggelam
dalam khalwatnya."(12)
Sekarang ini sikap Dunia Islam terhadap tasawuf seolah-olah
terbagi dua, ada yang lebih berorientasi kepada Imam al-Ghazâhî
dan mereka yang lebih berorientasi kepada Ibnu Taymiyah. Mungkin tidak
bisa dibuat garis pemisah yang tegas antara keduanya, tetapi perbedaan
tekanan orientasi itu sangat jelas terasa. Prof. Dr. Hamka misalnya, adalah
seorang "pengikut" Ibnu Taymiyah. Tetapi beliau masih sangat menghargai
karya-karya Imam al-Ghazâhî dan ajaran-ajaran esoterik Islam
pada umumaya. Sedangkan para kiai di pesantren, meskipun sebagaian besar
bisa dipastikan mengenal ajaran-ajaran Imam al-Ghazâlî, tetapi
tidak dapat dikatakan bahwa setiap kiai bersikap setuju, apalagi mengamalkan
ajaran-ajaran tarekatnya.
Yang menarik adalah, sampai saat itu negara yang secara
resmi melarang amalan tarekat hanyalah Kerajaan Saudi Arabia dan Republik
Turki. Namun, alasan pelarangan kedua negara ini berlawanan; Saudi Arabia
melarang tasawuf karena dinilai bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam
murni (puritanisme ortodoks), sedangkan Turki melarangnya karena bertentangan
dengan faham hidup modern (sekularisme). Suatu pertemuan yang cukup ironis
mungkin antara kedua ekstremitas gaya hidup yang menguasai kaum Muslimin
di dunia. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa ajaran-ajaran Muhammad bin
'Abd-u 'l-Wahhâb (di Saudi Arabia) sangat anti-sufisme dan tarekat
karena adanya praktek-praktek pada tasawuf yang mengagungkan orang-orang
saleh dan makam-makam mereka, meskipun bukan merupakan ajaran-ajaran asetik
dan esoteris pada tasawuf. Sedangkan kaum Kemalis (Turki) lebih cenderung
menilainya sebagai bentuk kekolotan saja, sebagaimana juga gejala-gejala
keagamaan yang lain, sampai-sampai soal pemakaian huruf dan bahasa Arab.
***
Catatan Kaki
-
Lihat surat Muhammad bin 'Abd-u 'l-Wahhâb kepada Muhammad
bin 'Abbâs, dikutip oleh Amin Said dalam bukunya Sîrat-u
'l-lmâm al-Syaykh Muhammad
bin 'Abd-u 'l-Wahhâb, Beirut,
1385 H., hal. 92-96.
-
Q.s., al-Nisâ'
/ 4:48.
-
R.A. Nicholson, Sufism, dalam Sir Thomas Arnold dan
Alfred Guillaume, Teh Legacy of Islam, Oxford, 1965, hal. 232.
-
K.H.A. Shohibul Wafa' Tadjul Arifin, Mitâh-u
'sh-Shudur, terjemah Prof.
Dr. K.H. Abu Bakar Aceh, Bandung, 1970, hal. 16.
-
H.A.R Gibb, Studies on the Civilization of Islam, Boston,
1962, hal. 208.
-
Sayyid Husein Nasr, Ideals and Realities of Islam,
London, 1966, hal. 134.
-
Hamka,Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta,
1973, hal. 8.
-
Sir Thomas Arnold dan A. Guillaume, The Legacy, hal.
212.
-
H.A.R. Gibb, Op. Cit., hal 208.
-
Sir Thomas Arnold dan A. Guillaume, Op. Cit., hal.
215.
-
Von Grunebaum, Medievel Islam, Chicago, 1966, hal.
137.
-
Hamka, Op Cit., hal. 38.
|