[ Dr. Nur Cholish Madjid / Bilik-Bilik Pesantren ]

 
Tasawuf di Pesantren-pesantren 

Sudah menjadi fakta sejarah bahwa sufisme pernah mengalami penyimpangan dari sunnah yang sangat jauh. Tetapi tidaklah adil kalau kita hanya menimpakan tanggung jawab penyimpangan ini pada dunia tasawuf. Karena kita juga tidak bisa mengingkari jasa-jasa yang pernah diberikan kaum sufi kepada agama Islam. Pada saat kaum Muslim mengalami kemunduran dalam hal kekuatan politikdan militer, serta mundurnya kegiatan intelektual Islam pada abad-abad ke-12 dan ke-13, gerakan-gerakan sufilah yang memelihara jiwa keagamaan di Kalangan kaum Muslim. Mereka pulalah yang menjadi perantara bagi tersebarnya agama Islam keluar dari daerah Timur Tengah, terutama ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan pedalaman Afrika. Para pedagang, pengembara, dan pengamal tasawuf merupakan juru tabligh utama penyebaran agama Islam ke daerah-daerah tersebut, baru kemudian tugas itu diteruskan dan diselesaikan oleh ulama-ulama ahli fiqh dan ahli kalam.

Bahkan, di beberapa tempat, seperti di India, struktur organisasi ggerakan tasawuf telah membentuk masyarakat setempat begitu rupa sehingga mendekati pola-pola yang ada di dunia Islam (Timur Tengah), dan ini sangat mendukung bagi penyebaran Islam selanjutnya. Di tempat-tempat yang ada pengikut tarekat hampir selalu bisa ditemukan suatu pondokan atau zâwiyah guna menampung para fakir yang hendak melakukan wirid atau suluk. Zâwiyah itu dalam perkembangannya berubah menjadi gilda-gilda dan pusat-pusat kegiatan ekonomi, sebagai pusat-pusat pendidikan, bahkan tidak jarang menjadi cikal bakal kekuatan politik yang besar pengaruhnya di kemudian hari.

Keadaan serupa juga berlaku di Indonesia. Pusat-pusat penyebaran Islam yang mula-mula, khususnya di Jawa seperti di daerah Ampel dan Giri, agaknya merupakan sambungan sistem zâwiyah di India atau Timur Tengan, yang kemudian berkembang menjadi pondok atau pesantren seperti yang kita kenal sekarang. Dianggapnya para tokoh penyebar ajaran Islam iitu sebagai wali yang keramat menunjukkan kuatnya pengaruh segi tasawuf dalam ajaran-ajarannya. Sebab? sebagaimana telah dikemukakan di atas, kepercayaan kepada wali merupakan bagian penting dalam rangkaian faham sufi.

Tentang bagaimana bentuk hubungan yang sebenarnya antara sufisme dengan mistik Jawa yang kemudian dikenal dengan kebatinan pernah menjadi bahan diskusi yang hangat di Indonesia.(1) Satu hal yang barangkali mendekati kepastian; yaitu bahwa pembawaan-pembawaan mistis pada orang Jawa khususnya dan orang Indonesia umumnya—yang merupakan warisan ajaran-ajaran agama Hindu-Buddha—telah membantu mematangkan kesiapan bangsa kita menerima kedatangan agama Islam melalui tasawufnya itu. Sebaliknya dalam perkembangannya, sufisme telah ikut mempengaruhi ajaran-ajaran mistik setempat, sehingga terdapat perbendaharaan keislaman padanya. Memang dalam kenyataannya, ajaran-ajaran tasawuf merupakan bagian dari ajaran-ajaran Islam yang paling rnudah dan cepat menyesuaikan diri dengan unsur-unsur mistik setempat.

Tetapi, kalau kita lihat para pengikut tasawuf di pesantren-pesantren di Jawa, ternyata mereka tidak begitu paham dengan sastra mistik Jawa sendiri. Umumnya mereka tidak mengenal bacaan-bacaan mistik seperti yang dikenal dalam dunia kebatinan atau kejawen. Bahkan mereka memandang bacaan-bacaan itu dengan curiga. Dalam mengamalkan tasawuf ini mereka hanya bersandar pada sumber-sumber berbahasa Arab seperti yang diajarkan oleh kiai atau guru mereka.

Meskipun pesantren atau pondok merupakan perkembangan dari sistern zâwiyah yang dikembangkan kaum sufi, tetapi bukan berarti setiap pesantren merupakan pusat gerakan tasawuf. Pada saat ini pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran. Sedangkan yang melakukan peranan sebagai pusat gerakan tarekat (tasawuf) hanya sedikit. Lebih sedikit lagi adalah pesantren yang rnengkhususkan diri dalam bidang tasawuf sebagai objek pengajarannya. Sufisrne di Indoresia agaknya terbatas pada segi-segi yang praktis, sedangkan segi pemikiran kontemplatifnya sangat kurang. Karena itu perkataan “tarekat" (yaitu jalan atau ajaran bertasawuf yang bersifat praktis) adalah lebih dikenal daripada perkataan tasawuf, khususnya di kalangan para pengikut awam yang justru menjadi bagian terbesar dari pengikut tasawuf ini.

Buku Imam al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm-u 'I-Dîn adalah yang paling banyak dipelajari ketika rnendalami ajaran-ajaran kesufian. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan di atas, Ghazâhîisme dapat dikatakan merupakan "modus vivendi" antara rasionalisme ilmu kalam ortodoks atau sunni dan ilmu fiqhnya dengan intuisiisme kaum sufi. Karena pengaruh kuat dari kitab Ihyâ' itu maka boleh dikatakan tidak pernah ada eksesekses yang ditimbulkan kaum sufi di pesantren, baik dalam hal pengembangan ajaran-ajarannya maupun dalam amalan-amalannya. Kekuatiran terpisahnya tasawuf dari aqidah dan syari'ah Ahlussunnah wal Jama'ah memang selalu ada. Karena itu dalam salah satu kongresnya, NU—yang merupakan tempat bernaunguya sebagian besar gerakan tasawuf di Indonesia— merasa perlu membuat rincian tentang tarekat mana yang sah (mu’tabarah) dan mana yang tidak sah, sehingga yang tidak sah ini tidak boleh diamalkan. Cerita di sekitar Syeikh Siti Jenar lepas dari penilaian apakah tokoh itu historis ada ataukah sekedar mitologis, merupakan gambaran yang tajam tentang bagaimana sikap kaum sufi Indonesia, khususnya di Jawa, terhadap kecenderungan-kecenderungan yang heterodoks.

Dilihat dari adanya pertentangan potensial antara esoterisme dan eksoterisme, memang tampak adanya ketidakharmonisan antara mereka yang mendalami kesufian dengan mereka yang menekuni syarî'ah. Bahkan, ketidakharmonisan ini kadang-kadang tercermin dalam hubungan antarpesantren atau antarkelompok sosial agama yang memiliki titik berat orientasi yang berbeda. Tetapi untuk menuduh bahwa gerakan tarekat di Indonesia lebih mementingkan tarekat daripada syari'ah adalah tidak tepat. Justru dalam beberapa hal para pengikut tarekat menerapkan ajaran-ajaran syari'ah dengan cara yang cukup berlebihan. Sebagai contoh, dalam lingkungan Islam Indonesia yang sebelumnya tidak mengenal cadar bagi kaum wanitanya, ternyata di daerah Tasikmalaya terdapat sebuah pusat gerakan tarekat yang mewajibkan para pengikut wanitanya mengenakan cadar.

Kaum sufi banyak mempunyai perumpamaan mengenai tidak dapat dipisahkannya ketiga unsur utama yang membentuk kebulatan agama Islam: syarî'ah, tharîqah, dan haqîqah (syariat, tarekat, dan hakekat). Ibarat buah kacang, syarî'ah adalah kulitnya, tharîqah adalah bijinya, sedangkan haqîqah adalah minyaknya yang sekalipun tidak tampak tetapi terdapat di mana-mana. Kacang tanpa ketiga unsurnya itu tidak akan tumbuh jika ditanam di ladang. Begitu pula tasawuf tidak akan memberi kegunaan ruhani jika tidak mencakup ketiga bagiannya yang integral tersebut. Imam Malik, salah seorang pendiri madzhab fiqh yang terkenal, mengatakan bahwa siapa yang mengamalkan fiqh tanpa bertasawuf maka dia adalah fasiq (tidak bermoral). Dan siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqh maka dia adalah zindiq (menyeleweng), dan siapa menggabungkan keduanya maka dia telah berhaqiqah (menemukan kebenaran). Imam Syafi'i, imam madzhab yang banyak dianut umat Islam di Indonesia pernah menyatakan bahwa di dunia ini beliau sangat menyenangi tiga perkara: "...hidup lugu tanpa pura-pura, bergaul dengan sesama manusia dengan penuh budi, dan mencontoh cara hidup ahli tasawuf."(2)

Perkataan para Imam Madzhab itu bagi kaum sufi merupakan penegasan adanya keterkaitan antara segi lahir dengan segi batin, antara syarî’ah dan tharîqah. Hanya orang yang dapat berjalan di tanah datar yang akan dapat mendaki gunung tinggi. Maka hanya orang yang telah cukup syarî'ahnya yang akan dapat memasuki dunia tharîqah. Dengan tharîqah yang sempurna mereka akan memperoleh ma'rîfah, yang selanjutnya akan mengantarkannya kepada haqîqah. Begitulah mereka memberi tafsiran maksud sebuah Hadits Qudsi yang sangat terkenal di kalangan kaum sufi: "Tidak ada sesuatu yang lebih Aku (Tuhan) sukai sebagai cara hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku daripada ibadah yang telah Kuwajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku tidak akan berhenti menjalankan ibadah dengan ikhlas kepada-Ku sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telak mencintainya, maka Aku adalah telinga dengan mana dia mendengar, mata dengan mana dia memandang, tangan dengan mana dia memukul dan kaki dengan mana dia berjalan." Hadits ini bersama dengan dalil-dalil lainnya yang senada, baik dari Hadits maupun al-Qur'ân, tidak pernah dibawa pada penafsiran-penafsiran yang panteistis. Isinya sem-mata menggambarkan betapa kemungkinan kedekatan seseorang kepada Allah yang hendak dicapai melalui penyucian diri.

Kekukuhan berpegang pada doktrin-doktrin ortodoks yang menjauhkan dunia tasawuf pesantren dari panteisme dan sebangsanya itu adalah berkat dijadikannya ajaran-ajaran Imam al-Ghazâlî sebagai pegangan pokok. Seperti telah dikatakan, berkat al-Ghazâlî, Asy'arisme sebagai teologi skolastik yang rasional bersama dengan faham fiqh yang cukup kaku dapat diterangkan keterkaitannya dengan sufisme yang fleksibel dan intuitif. Kesimpulannya, yang untuk kebanyakan kaum Muslim ddianggap final itu, sebenarnya merupakan pengalaman hidup al-Ghazâlî sendiri yang panjang dan penuh romantisme. Dengan penuh kesungguhan al-Ghazâlî mempelajari ajaran-ajaran para ulama di zamannya, tetapi dia merasa kecewa. Sebenarnya dia telah mencapai kedudukan yang terhormat sebagai juru penerang tentang kebenaran, tetapi ketidak mantapannya pada hakikat kebenaran itu telah merongrong pekerjaannya dan menyebabkan timbulnya konflik yang sangat pedih pada hati nuraninya. Tetapi dia harus mengalami dulu gangguan kesehatan yang memburuk sebelum dia cukup kuat untuk meninggalkan pekerjaannya selaku profesor di Baghdad dan mengundurkan diri ke Terusalem kemudian ke Damaskus untuk membaktikan dirinya bagi penyucian diri dan penghayatan cara hidup dan tujuan seorang sufi. Memang pada akhirnya dia kembali pada pekerjaan dunia sehari-hari, tetapi hal itu dilakukannya setelah berhasll menemukan kemantapan dalam ajaran-ajara tasawuf mendekatkan diri pada Allah SWT, yang dalam disiplinnya mengikuti jejak Nabi.(3)

Gerakan tasawuf muncul berupa perkumpulan-perkumpulan ttarekat. Tarekat atau tharîqah adalah aliran tentang jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tarekat tidak membicarakan segi filsafat dari tasawuf, tetapi membicarakan segi amalan atau prakteknya . Ada dua tarekat yang cukup terkenal di Indonesia, yaitu Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Tetapi, kedua tarekat itu umumnya telah menjadi satu.

Orang awam tentunya lebih cepat tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis dari pada hal-hal yang bersifat ajaran. Karena itu, para pengikut tarekat biasanya kurang memahami seluk-beluk tasawuf dalam arti ajaran-ajaran dan faham-fahamnya. Mereka hanya mengetahui amalan-amalan tertentu sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bagi mereka tidak ada yang rumit dalam melakukan amalan-amalan ini, mereka diajari guru atau kiainya bacaan-bacaan suci dalam bahasa Arab, kemudian diharuskan mengamalkannya dalam waktu-waktu tertentu. Seperti umumnya kaum Muslim, bacaan suci atau wirid yang terpenting adalah kalimat Lâ ilâh-a illa 'l-Lâh". Hanya saja bagi pengamal tarekat ini diajarkan tentang kaitannya dengan bacaan-bacaan lain. Bacaan wirid yang juga sangat penting adalah suatu kalimat yang merupakan pengukuhan tentang apa tujuan seorang sufi. Kalimat itu bunyinya: "Ya Allah, Engkaulah tujuanku, ridla-Mu-lah keinginanku, maka karuniailah aku kecintaan-Mu dan ma'rifatMu."

Kiai atau guru yang dapat memimpin suatu gerakan tarekat adalah seorang sufi sendiri yang telah memperoleh ijazah atau limpahan wewenang untuk tugas itu dari guru atasannya dalam susunan mata rantai (silsilah) tarekat. Setiap pengikut tarekat harus mengetahui silsilah itu. Karena ajaran tarekat diyakini berasal dari Allah, maka tempat paling atas dalam silsilah itu adalah Allah sendiri, kemudian Malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan kepada Nabi Muhammad selaku anak tangga ketiga, dan dari Nabi Muhammad diteruskan kepada salah seorang sahabatnya. Dari sahabat Nabi itu ajaran tarekat diwariskan bberturut-turut sedemikian rupa sehingga membentuk mata rantai atau silsilah yang berujung pada kiai atau guru tarekat kemudian kepada para pengikutnya.(4) Pengikut atau murid yang tidak diberi ijazah tidak diperkenankan meneruskan ajaran itu kepada orang lain. Pelanggaran ketentuan ini merupakan pengkhianatan.

Adanya silsilah dan ijazah itu merupakan akibat dari doktrin kerahasiaan. Doktrin itu bertitik-tolak dari ajaran bahwa sesungguhaya Nabi Muhammad datang ke dunia ini membawa dua macam ajaran, yaitu ajaran umum dan ajaran khusus. Yang umum adalah agama Islam sebagaimana dianut oleh kaum Muslim seluruhnya. Sedangkan yang khusus adalah berupa ajaran tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah yang disampaikan Nabi kepada salah seorang sahabat yang berkenan di hati beliau. Tarekat atau cara Qadiriyah umpamanya, adalah ajaran khusus Nabi Muhammad yang disampaikan kepada 'Ali bin Abi Thalib, menantunya yang juga merupakan khalifah keempat. 'Ali mewariskan tarekat itu kepada anak-turunnya sehingga sampai kepada Syeikh 'Abd-u 'l-Qâdir Jailânî dari Baghdâd (1077-1166 M), seorang sufi yang terkenal. Tarekat-tarekat lainnya juga rnempunyai silsilah yang bersambung dengan salah seorang sahabat Nabi.

Permulaan seseorang menjadi anggota suatu perkumpulan tarekat adalah bai'at atau janji setia dengan guru. Dalam kesempatan janji setia itulah guru atau kiai menyampaikan “rahas” suluk amalannya. Setelah menerima rahasia suluk ini dia kini menjadi salah seorang Ihwân atau saudara sesama anggota perkumpulan. Di Indonesia, khususnya Jawa pemimpin tarekat itu disebut guru atau kiai. Di Timur Tengah mereka disebut Mursyid {Pernberi petunjuk), murâd (orang yang dikehendaki atau dicari), syaykh (syeikh, orang tua), pir (bahasa Persia, juga berarti orang tua). Pengikutnya disebut murid (orang Yang menuntut atau mencari kebenaran), faqîr (orang miskin, maksudnya miskin rohani sebagai lawan dari Allah yang bersifat ghonî yang berarti kaya). Sesungguhnya setiap orang adalah faqîr dalam arti memerlukan pertolongan Allah, juga disebut darwisy dalam bahasa Persia yang mempunyai arti sama dengan faqîr. Tetapi di pesantren-pesantren biasanya disebut saja “murid”. Hubungan murâd-murîd atau kiai-pengikut adalah sangat dekat dan bersifat pribadi sebagai hasil rasa kebersamaan mereka dalam kelebihan dan kekhususan amalan atau wirid. Di Jawa Timur memasuki keanggotaan perkumpulan tarekat biasanya disebut mengikuti khususiyah (jadi ada sangkut-pautnya dengar. kerahasiaan tadi). Karena gerakan tarekat pimpinan seorang kiai sering meliputi daerah yang sangat luas, maka perlu diangkat wakil-wakil setempat yang disebut "badal" (pengganti) atau "khalifah" Guga berarti pengganti). Abah Anom dari pesantren Suryalaya umpamanya, beliau mempunyai lebih dari enam ratus khalifah atau badal yang tersebar di berbagai wilayah untuk melayani para muridnya dari kota Solo di timur sampai Singapura di barat.

Kepercayaan kepada wali menempati bagian yang sangat penting dalam sistem nilai kaum tarekat. Seorang guru tarekat seringkali dipandang memiliki kualitas-kualitas kewalian. Apalagi setelah meninggal, biasanya seorang guru tarekat akan secara langsung dianggap wali yang keramat sehingga makamnya banyak dikunjungi atau diziarahi orang-orang yang hendak meminta berkah. Lama kelamaan seorang wali, apalag makamnya, menjadi semacam mysterium tremendum et fascinosum yang memiliki daya tarik begitu kuat bagi kaun; Muslim awam. Hal ini membahayakan kemurnian tawhîd sehingga mengundang tantangan dari pihak kaum reformis, seperti Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad. Dalam keadaan yang cukup ekstrim memang tidak mudah untuk membedakan kepercayaan seorang Muslim yang memuja wali atau makamnya dengan kepercayaan animisme primitif. Sebak dalam keadaan serupa itu magisme dalam baju agama atat. tasawuf sering tumbuh subur. Di kalangan Muslim awam, masih melekat anggapan bahwa seorang guru tarekat bisa diasosiasikan dengan perdukunan. Kiai tidak hanya bertugas memberi bimbingan ruhani (mursyid) saja, tetapi juga diharapkan mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan magis seperti mengusir roh jahat atau setan, dan menyembuLkan orang sakit. Bahkan yang sangat umum seorang kiai dianggap bisa memberikan benda benda kesaktian atau azimat, talisman, rajah, dan seterusoya kiai kepada muridnya.

Kedudukan para wali sangat diperkokoh oleh adanya ajaran tentang "wasilah" atau perantara. Maksudnya adalah perantara antara seorang dengan Allah SWT. Dasar doktrin "wasilah" ini mengacu pada firman Allah dalam Q.s., al-Ma'idah/5: 38, "Dan carilah perantara kepada-Nya." Tetapi teologi ortodoks menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dengan wasilah itu adalah amal perboatan yang baik. Dengan amal perbuatan yang baik kita berpeluang "mendekati" Allah. Sedangkan bagi para penganut tarekat wasilah itu adalah seorang wali atau guru tasawuf, atau siapa saja yang terjamin kealiman dan kesalehannya. Sebab "mendekati" Allah adalah suatu usaha yang sangat sulit. Maka sebaiknya minta pertolongan kepada seseorang yang sudah dekat dengan Allah, yaitu seorang wali.

Kepercayaan tentang wilayah atau kewalian ini erat hubungannya dengan kepercayaan tentang karamah atau keramat, harakah atau berkat, dan syafa'ah (limpahan pertolongan). Semula barakah dan syafa'ah hanya dimiliki oleh Nabi. Tetapi kelebihan itu dapat diwariskan kepada beberapa pengikutnya yang khusus, demikian terus-menerus sampai pada para pengikut tarekat saat ini. Sedangkan mu'jizah (mukjizat) diturunkan dari para Nabi kepada para wali sebagai karamah. Dan berkah serta syafa'ah tersebut tidak hanya terdapat pada orang suci itu semasa hidupnya, tetapi juga sesudah matinya. Maka timbulah kebiasaan berziarah ke makam-makam untuk meminta berkah dan syafa'ah ini.

Secara historis tumbuhnya praktek pemujaan kepada para wali itu ada kaitannya dengan doktrin kerahasiaan yang telah diungkapkan di atas. Menyadari bahwa intuisi tasawuf dapat berjalan sejajar dengan subyektivisme orang sebagaimana umumnya akibat tekanan penghayatan ketuhanan yang serba immanent, maka perlu diadakan pengaturan-pengaturan. Salah satu bentuk pengaturan itu adalah ditetapkannya seseorang yang benar-benar menguasai persoalan sebagai satu-satunya sumber otoritas keruhanian untuk suatu kelompok tertentu. Para murid diharapkan menunjukkan ketaatan dan kesetiaan yang sempurna dengan berpedoman pada ajaran guru bersangiut.ln agar terpelihara dari bahaya tergelincir pada subyektivisme diri

sendiri. Memang perkataan "wali" selain berarti kekasih Allah (walîy-u '1-Lâh), juga berarti "orang yang berwewenang". Untuk menunjang adanya wewenang itulah karamah diperlukan, baik karamah itu benar-benar ada padanya maupun hanya bikinan para pembantunya saja melalui desas-desus, rumors, dan dongeng. Menciptakan karamah untuk seorang guru atau kiai dengan sendirinya lebih mudah jika dia sudah meninggal daripada semasa hidupnya.

Adanya seorang wali untuk suatu kelompok, baik wali itu berupa tokoh yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sangat besar pengarohnya dalam memelihara kesadaran para pengikutnya akan hidup sesudah mati dan alam gaib pada umumnya. Perasaan adanya hubungan pribadi yang intim dengan wali itu memberikan kehangatan dan intensitas dalam ritus-ritus yang dilakukan oleh kelompok tersebut; suatu hal yang jarang bisa dirasakan oleh kaum Muslim yang tidak terikat pada suatu gerakan kesutian.(5)

Disebabkan sentralnya kepercayaan kepada wali ini maka dalam kenyataan ibadah suluk atau tarekat yang paling utama adalah membaca "manâqib" atau riwayat hidup seorang wali, khususnya wali yang berhubungan langsung dengan tarekat bersangkutan. Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah umpamanya mengenal lembaga "khataman", yaitu ritual bersama yarg dilakukan oleh para khalifah guru di bawah pimpinan guru sendiri yang dimaksudkan menyudahi atau mungkasi" suatu rangkaian amalan tarekat dalam satu bulan. Dalam hal ini yang dianggap paling penting adalah membaca Manaqib Syeikh 'Abd-u 'l-Qâdir Jailânî. Waktu untuk "khataman" ini sedapat mungkin disesuaikan dengan hari wafatnya wali ini, yaitu tanggal sebelas bulan Arab.

Setiap pengikut tarekat diharapkan senantiasa :mengamalkan wirid atau suluk yang telah diajarkan oleh gurunya. Biasanya mereka akan melakukannya setiap sehabis sembahyang lima waktu dengan zikir (ingat kepada Allah). Tetapi selain zikir dengan suara (jahr) ini, mereka juga mengenal zikir dengan hati (khafi). Zikir dengan hati tidak mengenal tempat dan waktu. Setiap kesempatan seseorang hendaknya senantiasa memelihara hubungan dengan Allah SWT. Situasi ruhani yang komunikatif dengan kenyataan terakhir akan selalu merupakan pangkal tolak bagi lahirnya akhlak atau budi pekerti luhur. Karena ajaran ihsân yang menyadarkan setiap orang bahwa ia berdiri langsung di hadapan Allah yang senantiasa mengawasi telah menjadikan kaum tarekat umumnya memiliki sikap rendah hati, ikhlas, santun kepada sesama manusia, penolong, dan sikap-sikap terpuji lainnya. Mereka meyakini bahwa yang paling banyak menyebabkan orang masuk surga adalah zikir atau ingat kepada Allah SWT dan budi pekerti lubur. Tujuan setiap ibadat yang ada dalam agama ini adalah ingat kepada Allah secara intensif, yang kemudian diharapkan akan melahirkan sikap-sikap hidup terpuji.

Menurut Ikhwanus Shafa, "Seorang yang ideal dan sempurna budi pekertinya bukan dia yang herasal dari Persia Timur. mempunyai kepercayaan seperti orang Arab. berpendidikan di lrak, memiliki kepandaian berdagang seperti orang Yahudi, berkelakukan seperti pengikut Nabi 'Îsâ al-Masîh, saleh seperti pendeta Syria, berilmu pengetahuan seperti orang Yunani, pandai menafsirkan kegaiban seperti orang India, tetapi yang terpenting dan terutama adalah dia harus seorang sufi dalam keseluruhan hidup ruhaninya.”(6)

Sebagaimana telah disinggung di atas. tujuan tasawuf adalah ma’rifah kepada Allah, yaitu pengenalan akan Allah dalam suatu kondisi ruhani yang merasakan keintiman dan kedekatan kepada-Nya. Karena itu tasawuf juga disebut 'irfân, dan para yengamalnya dinamakan ahl-r' 1-ir,fân. Berkenaan dengan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa para pencari Kebenaran atau Allah terbagi ke dalam tiga jenis: zâhid atau asketik, âbid atau pengamal ibadah, dan 'ârif yang merupakan tingkat tertinggi.(7)

Salah satu ajaran tasawuf yang sangat banyak ditentang oleh golongan reformasi, selain kebiasaan mengadakan pemujaan kepada para wali dan makamnya serta ajaran tentang wasilah, adalah anggapan bahwa kita yang hidup ini dapat "mengirim" pahala kepada yang telah meninggal. Anggapan itu dipraktekkan dalam kebiasaan mengirimban pahala bacaan tertentu, umumnya al-Fâtihah, kepada orang-orang yang dianggap dapat dilimpahkan kembali pahala itu kepada pengirimnya secara berlipat ganda, yaitu selain kepada Nabi sendiri adalah kepada para Wali. Perkataan mengirim do'a, (Jawa: ngirim donga) adalah petunjuk adanya amalan-amalan tersebut. Justru untuk memperbesar pahala yang dikirimkan kepada seseorang yang telah meninggal, do’a itu didahului dengan bacaan-bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada arwah para wali, baru kepada arwah orang yang meninggal yang bersangkutan. Ini merupakan kelanjutan logis dari ajaran tentang barakah dan syafâ'ah di atas.

Tidak dapat disangkal bahwa keanggotaan dalam suatu tarekat dapat memberikan ketentraman batin yang luar biasa. Secara doktrin, zikir atau ingat kepada Allah itulah yang memberikan ketentraman. Tetapi kenyataan sosialnya, "attachment" kepada organisasi tarekat yang dipimpin kiai itulah yang lebih berfungsi. Karena itu, sering terjadi bahwa seseorang yang telah luas pengetahuan agamanya, yang secara teoritis telah memahami sendiri bagaimana menjalankan zikir dan ibadah, masih merasa perlu mengikatkan diri kepada seorang kiai tarekat dan ahli wirid yang sebenarnya pengetahuannya lebih rendah. Agaknya dengan begitu dia mendapatkan jalan untuk membebaskan diri dari beban kesendirian atau kijenan (Jawa) dalam memikul tanggung-jawab ruhani, dan menyerahkan hampir seluruh tanggung-jawab itu, sebab dia kemudian juga bersandar kepada gurunya dan selanjutnya dalam suatu kontinuum yang berujung kepada Allah sebagaimana disinggung dalam masalah silsilah. Sebagai contoh adalah Prof. Dr. Abu Bakar Aceh yang menjadi anggota perkumpulan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah pimpinan Kiai Haji Shahibul Wafa Tadjul Arifin dari pesantren Suryalaya di Tasikmalaya. Dan banyak lagi golongan orang-orang terpandang yang menempuh jalan serupa.(8) Sekalipun magisme selalu dianggap sebagai unsur dalam kalangan tarekat, tetapi gejala itu tidak pernah menjadi ciri vang menonjol. Faham-faham yang lebih murni atau ortodoks dari ilmu-ilmu kalam dan fiqh senantiasa "mengawasi" amalan tarekat dan intuisinya agar tidak jatuh dalam amalan-amalan yang menyimpang. Karena itu gerakan tarekat tidak pernah terkena pengertian yang dikandung dalam perkataan klenik. Klenik lebih banyak diasosiasikan dengan gerakan kebatinan di luar tarekat-tarekat. Organisasi seperti NU pun berjasa dalam mencegah adanya kecenderungan-kecenderungan esoteris yang berlebihan. Sebagaimana telah disinggung di muka, NU rnenetapkan ketentuan tentang tarekat mana yang sah atau mu'tabarah dan yang tidak sah (ghairu mu'tabarah). Dapat dipastikan bahwa tidak ada pesantren yang tidak mengajarkan ilmu-ilmu kalam, fiqh, dan syari'ah, meskipun pesantren tersebut mempunyai peranan penting dalam dunia tasawuf. Salah satu ekses yang berhasil dibendung dalam tarekat-tarekat di pesantren adalah messianisme. Memang secara samar-samar kaum Muslim umumnya dan kalangan tarekat khususnya mempercayai akan datangnya seorang pemimpin besar bernama Imam Mahdi. Apalagi tarekat Naqsyabandiyah-Qadiriyah yang mengklaim pertautan amalannya dengan Nabi Muhammad adalah melalui Ali. Dalam tarekat ini, faham tentang bakal datangnya Imam Mahdi semakin kuat disebabkan adanya unsur-unsur faham Syi'ah yang masuk. Tetapi sebegitu jauh messianisme tidak menjadi pusat orientasi ruhaninya yang pokok. Mungkin dalam hal ini messianisme di kalangan kebatinan dalam hubungannya dengan kedatangan Ratu Adil adalah lebih penting. Tarekat di pesantren-pesantren umumnya membatasi diri pada ajaran tentang wirid-wirid dan amalan-amalan untuk mendekati Allah SWT.

Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo unsur messianisme adalah penting dalam gerakan-gerakan keagamaan yang mempunyai sikap memberontak kepada pemerintah (kolonial).(9) Agaknya memang begitu dahulu di zaman penjajahan. Pesantren Suryalaya umpamanya tidak terlepas dari hal tersebut. Mula-mula Kiai Haji Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang mengajarkan suluk dan mendirikan perkumpulan tarekat di dekat Subang. Sikap-sikapnya yang antipetelah memaksa pemerintah kolonial bertindak dan memaksa kiai tersebut menyingkir ke tengah hutan Godebag untuk mencari persembunyian. Dan di situlah beliau mendirikan kembali tarekatnya vang kemudian berkembang dan dilanjutkan oleh putranya. Nama desa Godebag, yang di atasnya didirikan pesantren kemudian, diganti namanya dengan Suryalaya, atau lengkapnya Patapan Suryalaya Kejembaran Rahmaniyah. Setelah henkangnya pemerintah kolonial dari Nusantara, “politik" Suryalaya cenderung taat kepada pemerintah republik (yang sah). Ini tercermin dari selebaran tanbîh (peringatan) yang dikeluarkan oleh Kiai Abdullah Mubarok sebagai fatwa kepada para pengikutnya dan dipertahankan sampai sekarang. Mungkir saja ajaran Imam al-Ghazâlî yang agak masa bodoh terhadap pemerintahan dan politik ikut membentuk jalan pikiran kaum tarekat. Dalam banyak kasus memang relativisme politik lebih banyak ditemukan pada kaum sufi daripada mereka yang berpegang teguh pada ilmu kalam, fiqh. maupun syarî'ah. Tasawuf dalarn konteks ini adalah yang tidak terpengaruh oleh messianisme yang parah.

Masa Depan Tasawuf

Dari ketiga disiplin ilmu keislaman, tasawuf adalah yang paling banyak menimbulkan kontroversi. Tetapi kalau melihat kenyataan hahwa ia masih tetap eksis sampai saat ini menunjukkan tingginya vitalitas yang dimilikinya.

Sebagaimana telah dikemukakan. bahwa yang menolak tarekat ada dua golongan yang titik-tolaknya ternyata berlawanan, yaitu modernis-sekularis kaum Kemalis di Turki dan puritanisme ortodoks (Salafî) pada kaum Wahhâbî di Saudi Arabia. Sejauh ini hanya dua negara itu yang melarang praktek-praktek dan organisasi sufi serta sejenisnya. Menyinggung hal ini H.A.R. Gibb mengatakan:

    Reaksi (atas tasawuf) pada abad yang lalu adalah sampai batas tertentu yang sangat berpengaruh. Tetapi hal itu diperbesar oleh bertemunya dua arus. Satu di antaranya terutama diwakili oleh kaum reformis puritan, yang menyadari akan adanya jurang pemisah antara pokok-pokok ajaran ortodoks dengan praktek-praktek sebagian besar orang-orang yang mengaku beragama Islam. Lainnya timbul di kalangan militer dan kelas menengah baru di kota yang karena pendidikan dan latihannya berangsur-angsurr lepas dari tradisi Muslim, dan yang melalui mereka proses pengeringan ruhani yang sudah begitu jauh terasa di dunia Barat mulai menyebar ke seluruh dunia Islam. 
    Kaum reformis menghendaki agar dengan usaha mereka itu dapat dipelihara dengan baik nilai-nilai keagamaan. Sedangkan kelompok kedua menghendaki terkikisnya takhayul yang agaknya merupakan tanda-tanda kemunduran kultural. Pada golongan kedua ini, ketidak-mampuan membedakan antara yang takhayul dengan yang benar-benar agamis kiranya dapat dimengerti. Pada kelompok pertama itu, dogmatisme harfiah dan pandangan yang sempit, dengan mengabaikan warisan-warisan berharga dari sufisme ortodoks dan pelajaran-pelajaran yang diberikan sejarah, tampaknya cenderung untuk menghilangkan ekspresi pengalaman keagamaan yang otentik. Keduanya itu, dalam mencampur-aduk antara yang baik dengan yang buruk bersama-sama, telah bekerjasama untuk meratakan tanah bagi tumbuhnya benih-benih kebudayaan sekuler, yang sayangnya hanya menghasilkan bnah berupa takhayul, bid'ah, dan khurafat yang lebih berbahaya lagi. Di sinilah letak bahayanya jika pencabutan akar ritual dan praktek kaum sufi, kaum reformis di satu pihak menghancurkan pandangan tasawuf tentang cinta kepada Allah, dan golongan kedua mengeringkan sumber-sumber keagamaan itu sendiri, maka apakah keuntungan yang akan diperoleh agama Islam dan kehidupan agama umat manusia pada umumnya?"(10)
Kutipan dari seorang orientalis terkemuka itu menunjukkan kemungkinan suatu penilaian dari sudut pandangan yang netral. Sebab kaum Muslim sendiri rata-rata telah memiliki "commitment" dalam sikapnya terhadap segi esoterik Islam itu yang akan mempengaruhi penilaiannya dalam pro-kontra kepadanya. Kecuali kalau dapat dibuktikan bahwa dalam hal tersebut Gibb mempunyai bias yang subyektif, maka pandangan serupa itu patut direnungkan oleh kita semua.

Barangkali memang benar tuduhan Amir Sakib Arsalan bahwa tasawuf telah menyebabkan kaum Muslirn mundur karena ajaran-ajarannya yang mengakibatkan jiwa "melempem". Demikian juga Dr. Mahmud Kasim yang dengan tegas menuduh tasawuf sebagai biang keladi kemunduran dunia Islam sekarang ini.(11) Tetapi barangkali juga patut diperhatikan seruan Gibb untuk menelaah kembali kemungkinan keringnya rasa keagamaan yang mendalam, yang bakal diderita kaum Muslim sendiri dan umat manusia karena kekakuan puritanisme kaum reformis dan kesemberonoan modernisme kaum sekularis.

Jika hal itu dibenarkan, maka yang dapat dilakukan pada saat ini adalah meninjau kembali segi-segi kebaikan dan kekuatan gerakan-gerakan tasawuf tradisional di pondok-pondok pesantren serta meneliti segi-segi kelemahannya. Sebab, memang sudah mulai terasa bahwa kelompok kaum Muslim yang memiliki "kesenian agama'' adalah terutama mereka yang dekat hubungannya dengan dunia tasawuf atau tarekat, yaitu santri-santri, baik kesenian itu berupa seni baca al-Qur'an qasidah (antara lain Diba'i dan Barzanji), rebana, gambus sampai pada sem suluk dan bacaan shalawat—salah satunya adalah "shalawat badar" yang terkenal sangat mudah menggugah solidaritas dan semangat berjuang. Memang timbulnya praktek superstitious yang menyimpang dari ajaran-ajaran ortodoks itu harus dicegah, tetapi jelas harus dipelihara unsur kedalaman rasa keagamaan yang ada. Dalam hal ini dunia tarekat sendiri telah terlebih dulu memagari diri—terlepas dari penilaian berhasil atau tidaknya—dengan menekankan kesatuan mutlak antara syari'ah, thariqah, ma'rifah, dan haqiqah. Barangkali satu pagar lagi yang sangat diperlukan, yaitu peningkatan taraf kecerdasan umat Islam pada umumnya. Suatu tantangan baru yang harus diselesaikan oleh pesantren-pesantren kita.

***

Catatan Kaki
  1. Polemik menarik terjadi antara Drs. Warsito di satu pihak dan Prof. Dr. H. A. Rasyidi serta Drs, H. Hasbullah Bakri, SH. di lain pihak pada harian KAMI bulan Maret s/d Juni 1972. Kini dibukukan menjadi Di Sekitar Kebathinan, Jakarta, 1973.
  2. Sayyed Hussein Nashr, Op. Cit., hal. 125-126.
  3. Von Grunebaum, Medievel Islam, hal. 274.
  4. K.H.A. Shohibul Wafa Tadjul Arifin, 'Uqudul Juman, Bandung, 1973, hal. 32-33.
  5. H.A.R. Gibb, Op. Cit., hal. 216.
  6. Von Grunebaum, Op. Cit., hal 226.
  7. E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medievel Islam, Cambrigde, 1962, hal. 144. 
  8. Keterangan langsung dari K.H.A. Shohibul Wafa Tadjul Arifin di Suryalaya. Prof. Abu Bakar Aceh juga menerjemahkan sebuah buku Kiai Shohibul Wafa', Miftah-u 'sh-Shudur.
  9. Pembahasan yang meluas tentang gerakan-gerakan keagamaan, juga dalam kaitannya dengan pemberontakan-pemberontakan rakyat kepada pemerintah penjajah dapat diikuti dalam buku Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo Religious Movement of Java in the 19th and 20th Centuries yang semula merupakan kertas kerja beliau untuk seminar di Kuala Lumpur pada tahun 1968.
  10. H.A.R. Gibb, Op. Cit., hal. 217.
  11. Hamka, Op. Cit., hal. 23.

www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt