Tasawuf
di Pesantren-pesantren
Sudah menjadi fakta sejarah bahwa sufisme pernah mengalami
penyimpangan dari sunnah yang sangat jauh. Tetapi tidaklah adil kalau kita
hanya menimpakan tanggung jawab penyimpangan ini pada dunia tasawuf. Karena
kita juga tidak bisa mengingkari jasa-jasa yang pernah diberikan kaum sufi
kepada agama Islam. Pada saat kaum Muslim mengalami kemunduran dalam hal
kekuatan politikdan militer, serta mundurnya kegiatan intelektual Islam
pada abad-abad ke-12 dan ke-13, gerakan-gerakan sufilah yang memelihara
jiwa keagamaan di Kalangan kaum Muslim. Mereka pulalah yang menjadi perantara
bagi tersebarnya agama Islam keluar dari daerah Timur Tengah, terutama
ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan pedalaman Afrika. Para pedagang,
pengembara, dan pengamal tasawuf merupakan juru tabligh utama penyebaran
agama Islam ke daerah-daerah tersebut, baru kemudian tugas itu diteruskan
dan diselesaikan oleh ulama-ulama ahli fiqh dan ahli kalam.
Bahkan, di beberapa tempat, seperti di India, struktur
organisasi ggerakan tasawuf telah membentuk masyarakat setempat begitu
rupa sehingga mendekati pola-pola yang ada di dunia Islam (Timur Tengah),
dan ini sangat mendukung bagi penyebaran Islam selanjutnya. Di tempat-tempat
yang ada pengikut tarekat hampir selalu bisa ditemukan suatu pondokan atau
zâwiyah guna menampung para fakir yang
hendak melakukan wirid atau suluk. Zâwiyah itu
dalam perkembangannya berubah menjadi gilda-gilda dan pusat-pusat kegiatan
ekonomi, sebagai pusat-pusat pendidikan, bahkan tidak jarang menjadi cikal
bakal kekuatan politik yang besar pengaruhnya di kemudian hari.
Keadaan serupa juga berlaku di Indonesia. Pusat-pusat
penyebaran Islam yang mula-mula, khususnya di Jawa seperti di daerah Ampel
dan Giri, agaknya merupakan sambungan sistem zâwiyah di
India atau Timur Tengan, yang kemudian berkembang menjadi pondok atau pesantren
seperti yang kita kenal sekarang. Dianggapnya para tokoh penyebar ajaran
Islam iitu sebagai wali yang keramat menunjukkan kuatnya pengaruh segi
tasawuf dalam ajaran-ajarannya. Sebab? sebagaimana telah dikemukakan di
atas, kepercayaan kepada wali merupakan bagian penting dalam rangkaian
faham sufi.
Tentang bagaimana bentuk hubungan yang sebenarnya antara
sufisme dengan mistik Jawa yang kemudian dikenal dengan kebatinan pernah
menjadi bahan diskusi yang hangat di Indonesia.(1) Satu hal yang barangkali
mendekati kepastian; yaitu bahwa pembawaan-pembawaan mistis pada orang
Jawa khususnya dan orang Indonesia umumnya—yang merupakan warisan ajaran-ajaran
agama Hindu-Buddha—telah membantu mematangkan kesiapan bangsa kita menerima
kedatangan agama Islam melalui tasawufnya itu. Sebaliknya
dalam perkembangannya, sufisme telah ikut mempengaruhi ajaran-ajaran mistik
setempat, sehingga terdapat perbendaharaan keislaman padanya. Memang dalam
kenyataannya, ajaran-ajaran tasawuf merupakan bagian dari ajaran-ajaran
Islam yang paling rnudah dan cepat menyesuaikan diri dengan unsur-unsur
mistik setempat.
Tetapi, kalau kita lihat para pengikut tasawuf di pesantren-pesantren
di Jawa, ternyata mereka tidak begitu paham dengan sastra mistik Jawa sendiri.
Umumnya mereka tidak mengenal bacaan-bacaan mistik seperti yang dikenal
dalam dunia kebatinan atau kejawen. Bahkan mereka memandang bacaan-bacaan
itu dengan curiga. Dalam mengamalkan tasawuf ini mereka hanya bersandar
pada sumber-sumber berbahasa Arab seperti yang diajarkan oleh kiai atau
guru mereka.
Meskipun pesantren atau pondok merupakan perkembangan
dari sistern zâwiyah yang dikembangkan kaum sufi, tetapi bukan
berarti setiap pesantren merupakan pusat gerakan tasawuf. Pada saat ini
pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran. Sedangkan
yang melakukan peranan sebagai pusat gerakan tarekat (tasawuf) hanya sedikit.
Lebih sedikit lagi adalah pesantren yang rnengkhususkan diri dalam bidang
tasawuf sebagai objek pengajarannya. Sufisrne di Indoresia agaknya terbatas
pada segi-segi yang praktis, sedangkan segi pemikiran kontemplatifnya sangat
kurang. Karena itu perkataan “tarekat" (yaitu jalan atau ajaran bertasawuf
yang bersifat praktis) adalah lebih dikenal daripada perkataan tasawuf,
khususnya di kalangan para pengikut awam yang justru menjadi bagian terbesar
dari pengikut tasawuf ini.
Buku Imam al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm-u
'I-Dîn adalah yang paling banyak dipelajari ketika rnendalami
ajaran-ajaran kesufian. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan di atas,
Ghazâhîisme dapat dikatakan merupakan "modus vivendi" antara
rasionalisme ilmu kalam ortodoks atau sunni dan ilmu fiqhnya dengan intuisiisme
kaum sufi. Karena pengaruh kuat dari kitab Ihyâ' itu maka
boleh dikatakan tidak pernah ada eksesekses yang ditimbulkan kaum sufi
di pesantren, baik dalam hal pengembangan ajaran-ajarannya maupun dalam
amalan-amalannya. Kekuatiran terpisahnya tasawuf dari aqidah dan syari'ah
Ahlussunnah wal Jama'ah memang selalu ada. Karena itu dalam salah satu
kongresnya, NU—yang merupakan tempat bernaunguya sebagian besar gerakan
tasawuf di Indonesia— merasa perlu membuat rincian tentang tarekat mana
yang sah (mu’tabarah) dan mana yang tidak sah, sehingga yang tidak
sah ini tidak boleh diamalkan. Cerita di sekitar Syeikh Siti Jenar lepas
dari penilaian apakah tokoh itu historis ada ataukah sekedar mitologis,
merupakan gambaran yang tajam tentang bagaimana sikap kaum sufi Indonesia,
khususnya di Jawa, terhadap kecenderungan-kecenderungan yang heterodoks.
Dilihat dari adanya pertentangan potensial antara esoterisme
dan eksoterisme, memang tampak adanya ketidakharmonisan antara mereka yang
mendalami kesufian dengan mereka yang menekuni syarî'ah. Bahkan,
ketidakharmonisan ini kadang-kadang tercermin dalam hubungan antarpesantren
atau antarkelompok sosial agama yang memiliki titik berat orientasi yang
berbeda. Tetapi untuk menuduh bahwa gerakan tarekat di Indonesia lebih
mementingkan tarekat daripada syari'ah adalah tidak tepat. Justru dalam
beberapa hal para pengikut tarekat menerapkan ajaran-ajaran syari'ah dengan
cara yang cukup berlebihan. Sebagai contoh, dalam lingkungan Islam Indonesia
yang sebelumnya tidak mengenal cadar bagi kaum wanitanya, ternyata di daerah
Tasikmalaya terdapat sebuah pusat gerakan tarekat yang mewajibkan para
pengikut wanitanya mengenakan cadar.
Kaum sufi banyak mempunyai perumpamaan mengenai tidak
dapat dipisahkannya ketiga unsur utama yang membentuk kebulatan agama Islam:
syarî'ah, tharîqah, dan haqîqah (syariat, tarekat,
dan hakekat). Ibarat buah kacang, syarî'ah adalah kulitnya,
tharîqah adalah bijinya, sedangkan haqîqah adalah
minyaknya yang sekalipun tidak tampak tetapi terdapat di mana-mana. Kacang
tanpa ketiga unsurnya itu tidak
akan tumbuh jika ditanam di ladang. Begitu pula tasawuf tidak akan memberi
kegunaan ruhani jika tidak mencakup ketiga bagiannya yang integral tersebut.
Imam Malik, salah seorang pendiri madzhab fiqh yang terkenal, mengatakan
bahwa siapa yang mengamalkan fiqh tanpa bertasawuf maka dia adalah fasiq
(tidak bermoral). Dan siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqh
maka dia adalah zindiq (menyeleweng), dan siapa menggabungkan keduanya
maka dia telah berhaqiqah (menemukan kebenaran). Imam Syafi'i, imam madzhab
yang banyak dianut umat Islam di Indonesia pernah menyatakan bahwa di dunia
ini beliau sangat menyenangi tiga perkara: "...hidup lugu tanpa pura-pura,
bergaul dengan sesama manusia dengan penuh budi, dan mencontoh cara hidup
ahli tasawuf."(2)
Perkataan para Imam Madzhab itu bagi kaum sufi merupakan
penegasan adanya keterkaitan antara segi lahir dengan segi batin, antara
syarî’ah dan tharîqah. Hanya orang yang dapat
berjalan di tanah datar yang akan dapat mendaki gunung tinggi. Maka hanya
orang yang telah cukup syarî'ahnya yang akan dapat memasuki
dunia tharîqah. Dengan tharîqah yang sempurna
mereka akan memperoleh ma'rîfah, yang selanjutnya akan mengantarkannya
kepada haqîqah. Begitulah mereka memberi tafsiran maksud sebuah
Hadits Qudsi yang sangat terkenal di kalangan kaum sufi: "Tidak ada
sesuatu yang lebih Aku (Tuhan) sukai sebagai cara hamba-Ku mendekatkan
diri kepada-Ku daripada ibadah yang telah Kuwajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku
tidak akan berhenti menjalankan ibadah dengan ikhlas kepada-Ku sehingga
Aku mencintainya. Dan jika Aku telak mencintainya, maka Aku adalah telinga
dengan mana dia mendengar, mata dengan mana dia memandang, tangan dengan
mana dia memukul dan kaki dengan mana dia berjalan." Hadits ini bersama
dengan dalil-dalil lainnya yang senada, baik dari Hadits maupun al-Qur'ân,
tidak pernah dibawa pada penafsiran-penafsiran yang panteistis. Isinya
sem-mata menggambarkan betapa kemungkinan kedekatan seseorang kepada Allah
yang hendak dicapai melalui penyucian diri.
Kekukuhan berpegang pada doktrin-doktrin ortodoks yang
menjauhkan dunia tasawuf pesantren dari panteisme dan sebangsanya itu adalah
berkat dijadikannya ajaran-ajaran Imam al-Ghazâlî sebagai pegangan
pokok. Seperti telah dikatakan, berkat al-Ghazâlî, Asy'arisme
sebagai teologi skolastik yang rasional bersama dengan faham fiqh yang
cukup kaku dapat diterangkan keterkaitannya dengan sufisme yang fleksibel
dan intuitif. Kesimpulannya, yang untuk kebanyakan kaum Muslim ddianggap
final itu, sebenarnya merupakan pengalaman hidup al-Ghazâlî
sendiri yang panjang dan penuh romantisme. Dengan penuh kesungguhan al-Ghazâlî
mempelajari ajaran-ajaran para ulama di zamannya, tetapi dia merasa
kecewa. Sebenarnya dia telah mencapai kedudukan yang terhormat sebagai
juru penerang tentang kebenaran, tetapi ketidak mantapannya pada hakikat
kebenaran itu telah merongrong pekerjaannya dan menyebabkan timbulnya konflik
yang sangat pedih pada hati nuraninya. Tetapi dia harus mengalami dulu
gangguan kesehatan yang memburuk sebelum dia cukup kuat untuk meninggalkan
pekerjaannya selaku profesor di Baghdad dan mengundurkan diri ke Terusalem
kemudian ke Damaskus untuk membaktikan dirinya bagi penyucian diri dan
penghayatan cara hidup dan tujuan seorang sufi. Memang pada akhirnya dia
kembali pada pekerjaan dunia sehari-hari, tetapi hal itu dilakukannya setelah
berhasll menemukan kemantapan dalam ajaran-ajara tasawuf mendekatkan diri
pada Allah SWT, yang dalam disiplinnya mengikuti jejak Nabi.(3)
Gerakan tasawuf muncul berupa perkumpulan-perkumpulan
ttarekat. Tarekat atau tharîqah
adalah aliran tentang jalan atau cara mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Tarekat tidak membicarakan segi filsafat dari tasawuf,
tetapi membicarakan segi amalan atau prakteknya . Ada dua tarekat yang
cukup terkenal di Indonesia, yaitu Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Tetapi,
kedua tarekat itu umumnya telah menjadi satu.
Orang awam tentunya lebih cepat tertarik pada hal-hal
yang bersifat praktis dari pada hal-hal yang bersifat ajaran. Karena itu,
para pengikut tarekat biasanya kurang memahami seluk-beluk tasawuf dalam
arti ajaran-ajaran dan faham-fahamnya. Mereka hanya mengetahui amalan-amalan
tertentu sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bagi
mereka tidak ada yang rumit dalam melakukan amalan-amalan ini, mereka diajari
guru atau kiainya bacaan-bacaan suci dalam bahasa Arab, kemudian diharuskan
mengamalkannya dalam waktu-waktu tertentu. Seperti umumnya kaum Muslim,
bacaan suci atau wirid yang terpenting adalah kalimat Lâ
ilâh-a illa 'l-Lâh". Hanya saja bagi pengamal
tarekat ini diajarkan tentang kaitannya dengan bacaan-bacaan lain. Bacaan
wirid yang juga sangat penting adalah suatu kalimat yang merupakan pengukuhan
tentang apa tujuan seorang sufi. Kalimat itu bunyinya: "Ya Allah, Engkaulah
tujuanku, ridla-Mu-lah keinginanku, maka karuniailah aku kecintaan-Mu dan
ma'rifatMu."
Kiai atau guru yang dapat memimpin suatu gerakan tarekat
adalah seorang sufi sendiri yang telah memperoleh ijazah atau limpahan
wewenang untuk tugas itu dari guru atasannya dalam susunan mata rantai
(silsilah) tarekat. Setiap pengikut tarekat harus mengetahui silsilah itu.
Karena ajaran tarekat diyakini berasal dari Allah, maka tempat paling atas
dalam silsilah itu adalah Allah sendiri, kemudian Malaikat Jibril yang
bertugas menyampaikan kepada Nabi Muhammad selaku anak tangga ketiga, dan
dari Nabi Muhammad diteruskan kepada salah seorang sahabatnya. Dari sahabat
Nabi itu ajaran tarekat diwariskan bberturut-turut sedemikian rupa sehingga
membentuk mata rantai atau silsilah yang berujung pada kiai atau guru tarekat
kemudian kepada para pengikutnya.(4) Pengikut
atau murid yang tidak diberi ijazah tidak diperkenankan meneruskan ajaran
itu kepada orang lain. Pelanggaran ketentuan ini merupakan pengkhianatan.
Adanya silsilah dan ijazah itu merupakan akibat dari doktrin
kerahasiaan. Doktrin itu bertitik-tolak dari ajaran bahwa sesungguhaya
Nabi Muhammad datang ke dunia ini membawa dua macam ajaran, yaitu ajaran
umum dan ajaran khusus. Yang umum adalah agama Islam sebagaimana dianut
oleh kaum Muslim seluruhnya. Sedangkan yang khusus adalah berupa ajaran
tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah yang disampaikan Nabi kepada
salah seorang sahabat yang berkenan di hati beliau. Tarekat atau cara Qadiriyah
umpamanya, adalah ajaran khusus Nabi Muhammad yang disampaikan kepada 'Ali
bin Abi Thalib, menantunya yang juga merupakan khalifah keempat. 'Ali mewariskan
tarekat itu kepada anak-turunnya sehingga sampai kepada Syeikh 'Abd-u 'l-Qâdir
Jailânî dari Baghdâd (1077-1166 M), seorang sufi yang
terkenal. Tarekat-tarekat lainnya juga rnempunyai silsilah yang bersambung
dengan salah seorang sahabat Nabi.
Permulaan seseorang menjadi anggota suatu perkumpulan
tarekat adalah bai'at atau janji setia dengan guru. Dalam kesempatan janji
setia itulah guru atau kiai menyampaikan “rahas” suluk amalannya. Setelah
menerima rahasia suluk ini dia kini menjadi salah seorang Ihwân
atau saudara sesama anggota perkumpulan. Di Indonesia,
khususnya Jawa pemimpin tarekat itu disebut guru atau kiai. Di Timur Tengah
mereka disebut Mursyid {Pernberi petunjuk), murâd (orang
yang dikehendaki atau dicari), syaykh (syeikh, orang tua), pir
(bahasa Persia, juga berarti orang tua). Pengikutnya
disebut murid (orang Yang menuntut atau mencari
kebenaran), faqîr (orang miskin, maksudnya
miskin rohani sebagai lawan dari Allah yang bersifat ghonî yang
berarti kaya). Sesungguhnya setiap orang adalah faqîr
dalam arti memerlukan pertolongan Allah, juga disebut
darwisy dalam bahasa Persia yang mempunyai arti sama dengan faqîr.
Tetapi di pesantren-pesantren biasanya disebut saja
“murid”. Hubungan murâd-murîd atau kiai-pengikut
adalah sangat dekat dan bersifat pribadi sebagai hasil rasa kebersamaan
mereka dalam kelebihan dan kekhususan amalan atau wirid. Di Jawa Timur
memasuki keanggotaan perkumpulan tarekat biasanya disebut mengikuti khususiyah
(jadi ada sangkut-pautnya dengar. kerahasiaan tadi). Karena gerakan tarekat
pimpinan seorang kiai sering meliputi daerah yang sangat luas, maka perlu
diangkat wakil-wakil setempat yang disebut "badal" (pengganti) atau "khalifah"
Guga berarti pengganti). Abah Anom dari pesantren Suryalaya umpamanya,
beliau mempunyai lebih dari enam ratus khalifah atau badal yang tersebar
di berbagai wilayah untuk melayani para muridnya dari kota Solo di timur
sampai Singapura di barat.
Kepercayaan kepada wali menempati bagian yang sangat penting
dalam sistem nilai kaum tarekat. Seorang guru tarekat seringkali dipandang
memiliki kualitas-kualitas kewalian. Apalagi setelah meninggal, biasanya
seorang guru tarekat akan secara langsung dianggap wali yang keramat sehingga
makamnya banyak dikunjungi atau diziarahi orang-orang yang hendak meminta
berkah. Lama kelamaan seorang wali, apalag makamnya, menjadi semacam mysterium
tremendum et fascinosum yang memiliki daya tarik begitu kuat bagi kaun;
Muslim awam. Hal ini membahayakan kemurnian tawhîd sehingga
mengundang tantangan dari pihak kaum reformis, seperti Muhammadiyah, Persis,
dan al-Irsyad. Dalam keadaan yang cukup ekstrim memang tidak mudah untuk
membedakan kepercayaan seorang Muslim yang memuja wali atau makamnya dengan
kepercayaan animisme primitif. Sebak dalam keadaan serupa itu magisme dalam
baju agama atat. tasawuf sering tumbuh subur. Di kalangan Muslim awam,
masih melekat anggapan bahwa seorang guru tarekat bisa diasosiasikan dengan
perdukunan. Kiai tidak hanya bertugas memberi bimbingan ruhani (mursyid)
saja, tetapi juga diharapkan mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan magis
seperti mengusir roh jahat atau setan, dan menyembuLkan orang sakit. Bahkan
yang sangat umum seorang kiai dianggap bisa memberikan benda benda kesaktian
atau azimat, talisman, rajah, dan seterusoya kiai kepada muridnya.
Kedudukan para wali sangat diperkokoh oleh adanya ajaran
tentang "wasilah" atau perantara. Maksudnya adalah perantara antara seorang
dengan Allah SWT. Dasar doktrin "wasilah" ini mengacu pada firman Allah
dalam Q.s., al-Ma'idah/5: 38, "Dan carilah perantara kepada-Nya." Tetapi
teologi ortodoks menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dengan wasilah itu
adalah amal perboatan yang baik. Dengan amal perbuatan yang baik kita berpeluang
"mendekati" Allah. Sedangkan bagi para penganut tarekat wasilah itu adalah
seorang wali atau guru tasawuf, atau siapa saja yang terjamin kealiman
dan kesalehannya. Sebab "mendekati" Allah adalah suatu usaha yang sangat
sulit. Maka sebaiknya minta pertolongan kepada seseorang yang sudah dekat
dengan Allah, yaitu seorang wali.
Kepercayaan tentang wilayah atau kewalian ini erat hubungannya
dengan kepercayaan tentang karamah atau keramat, harakah atau
berkat, dan syafa'ah (limpahan pertolongan). Semula barakah dan
syafa'ah hanya dimiliki oleh Nabi. Tetapi kelebihan itu dapat diwariskan
kepada beberapa pengikutnya yang khusus, demikian terus-menerus sampai
pada para pengikut tarekat saat ini. Sedangkan mu'jizah (mukjizat)
diturunkan dari para Nabi kepada para wali sebagai karamah. Dan
berkah serta syafa'ah tersebut tidak hanya terdapat pada orang suci
itu semasa hidupnya, tetapi juga sesudah matinya. Maka timbulah kebiasaan
berziarah ke makam-makam untuk meminta berkah dan syafa'ah ini.
Secara historis tumbuhnya praktek pemujaan kepada para
wali itu ada kaitannya dengan doktrin kerahasiaan yang telah diungkapkan
di atas. Menyadari bahwa intuisi tasawuf dapat berjalan sejajar dengan
subyektivisme orang sebagaimana umumnya akibat tekanan penghayatan ketuhanan
yang serba immanent, maka perlu diadakan pengaturan-pengaturan.
Salah satu bentuk pengaturan itu adalah ditetapkannya seseorang yang benar-benar
menguasai persoalan sebagai satu-satunya sumber otoritas keruhanian untuk
suatu kelompok tertentu. Para murid diharapkan menunjukkan ketaatan dan
kesetiaan yang sempurna dengan berpedoman pada ajaran guru bersangiut.ln
agar terpelihara dari bahaya tergelincir pada subyektivisme diri
sendiri. Memang perkataan "wali" selain berarti kekasih
Allah (walîy-u '1-Lâh), juga berarti "orang yang berwewenang".
Untuk menunjang adanya wewenang itulah karamah diperlukan, baik karamah
itu benar-benar ada padanya maupun hanya bikinan para pembantunya saja
melalui desas-desus, rumors, dan dongeng. Menciptakan karamah untuk seorang
guru atau kiai dengan sendirinya lebih mudah jika dia sudah meninggal daripada
semasa hidupnya.
Adanya seorang wali untuk suatu kelompok, baik wali itu
berupa tokoh yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sangat besar
pengarohnya dalam memelihara kesadaran para pengikutnya akan hidup sesudah
mati dan alam gaib pada umumnya. Perasaan adanya hubungan pribadi yang
intim dengan wali itu memberikan kehangatan dan intensitas dalam ritus-ritus
yang dilakukan oleh kelompok tersebut; suatu hal yang jarang bisa dirasakan
oleh kaum Muslim yang tidak terikat pada suatu gerakan kesutian.(5)
Disebabkan sentralnya kepercayaan kepada wali ini maka
dalam kenyataan ibadah suluk atau tarekat yang paling utama adalah membaca
"manâqib" atau riwayat hidup seorang wali, khususnya wali
yang berhubungan langsung dengan tarekat bersangkutan. Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah
umpamanya mengenal lembaga "khataman", yaitu ritual bersama yarg dilakukan
oleh para khalifah guru di bawah pimpinan guru sendiri yang dimaksudkan
menyudahi atau mungkasi" suatu rangkaian
amalan tarekat dalam satu bulan. Dalam hal ini yang dianggap paling penting
adalah membaca Manaqib Syeikh 'Abd-u 'l-Qâdir Jailânî.
Waktu untuk "khataman" ini sedapat mungkin disesuaikan dengan hari wafatnya
wali ini, yaitu tanggal sebelas bulan Arab.
Setiap pengikut tarekat diharapkan senantiasa :mengamalkan
wirid atau suluk yang telah diajarkan oleh gurunya. Biasanya mereka akan
melakukannya setiap sehabis sembahyang lima waktu dengan zikir (ingat kepada
Allah). Tetapi selain zikir dengan suara (jahr) ini, mereka juga
mengenal zikir dengan hati (khafi). Zikir dengan hati tidak mengenal
tempat dan waktu. Setiap kesempatan seseorang hendaknya senantiasa memelihara
hubungan dengan Allah SWT. Situasi ruhani yang komunikatif dengan kenyataan
terakhir akan selalu merupakan pangkal tolak bagi lahirnya akhlak atau
budi pekerti luhur. Karena ajaran ihsân yang menyadarkan setiap
orang bahwa ia berdiri langsung di hadapan Allah yang senantiasa mengawasi
telah menjadikan kaum tarekat umumnya memiliki sikap rendah hati, ikhlas,
santun kepada sesama manusia, penolong, dan sikap-sikap terpuji lainnya.
Mereka meyakini bahwa yang paling banyak menyebabkan orang masuk surga
adalah zikir atau ingat kepada Allah SWT dan budi pekerti lubur. Tujuan
setiap ibadat yang ada dalam agama ini adalah ingat kepada Allah secara
intensif, yang kemudian diharapkan akan melahirkan sikap-sikap hidup terpuji.
Menurut Ikhwanus Shafa, "Seorang yang ideal dan sempurna
budi pekertinya bukan dia yang herasal dari Persia Timur. mempunyai kepercayaan
seperti orang Arab. berpendidikan di lrak, memiliki kepandaian berdagang
seperti orang Yahudi, berkelakukan seperti pengikut Nabi 'Îsâ
al-Masîh, saleh seperti pendeta Syria, berilmu pengetahuan seperti
orang Yunani, pandai menafsirkan kegaiban seperti orang India, tetapi yang
terpenting dan terutama adalah dia harus seorang sufi dalam keseluruhan
hidup ruhaninya.”(6)
Sebagaimana telah disinggung di atas. tujuan tasawuf adalah
ma’rifah kepada Allah, yaitu pengenalan akan Allah dalam suatu kondisi
ruhani yang merasakan keintiman dan kedekatan kepada-Nya. Karena itu tasawuf
juga disebut 'irfân, dan para yengamalnya dinamakan ahl-r'
1-ir,fân. Berkenaan dengan ini Ibnu Sina mengatakan
bahwa para pencari Kebenaran atau Allah terbagi ke dalam tiga jenis:
zâhid atau asketik, âbid
atau pengamal ibadah, dan 'ârif
yang merupakan tingkat tertinggi.(7)
Salah satu ajaran tasawuf yang sangat banyak ditentang
oleh golongan reformasi, selain kebiasaan mengadakan pemujaan kepada para
wali dan makamnya serta ajaran tentang wasilah, adalah anggapan bahwa kita
yang hidup ini dapat "mengirim" pahala kepada yang telah meninggal. Anggapan
itu dipraktekkan dalam kebiasaan mengirimban pahala bacaan tertentu, umumnya
al-Fâtihah, kepada orang-orang yang dianggap dapat dilimpahkan kembali
pahala itu kepada pengirimnya secara berlipat ganda, yaitu selain kepada
Nabi sendiri adalah kepada para Wali. Perkataan mengirim do'a, (Jawa:
ngirim donga) adalah petunjuk adanya
amalan-amalan tersebut. Justru untuk memperbesar pahala yang dikirimkan
kepada seseorang yang telah meninggal, do’a itu didahului dengan bacaan-bacaan
yang pahalanya dikirimkan kepada arwah para wali, baru kepada arwah orang
yang meninggal yang bersangkutan. Ini merupakan kelanjutan logis dari ajaran
tentang barakah dan syafâ'ah di atas.
Tidak dapat disangkal bahwa keanggotaan dalam suatu tarekat dapat memberikan
ketentraman batin yang luar biasa. Secara doktrin, zikir atau ingat kepada
Allah itulah yang memberikan ketentraman. Tetapi kenyataan sosialnya, "attachment"
kepada organisasi tarekat yang dipimpin kiai itulah yang lebih berfungsi.
Karena itu, sering terjadi bahwa seseorang yang telah luas pengetahuan
agamanya, yang secara teoritis telah memahami sendiri bagaimana menjalankan
zikir dan ibadah, masih merasa perlu mengikatkan diri kepada seorang kiai
tarekat dan ahli wirid yang sebenarnya pengetahuannya lebih rendah. Agaknya
dengan begitu dia mendapatkan jalan untuk membebaskan diri dari beban kesendirian
atau kijenan (Jawa) dalam memikul tanggung-jawab ruhani, dan menyerahkan
hampir seluruh tanggung-jawab itu, sebab dia kemudian juga bersandar kepada
gurunya dan selanjutnya dalam suatu kontinuum yang berujung kepada Allah
sebagaimana disinggung dalam masalah silsilah. Sebagai contoh adalah Prof.
Dr. Abu Bakar Aceh yang menjadi anggota perkumpulan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah
pimpinan Kiai Haji Shahibul Wafa Tadjul Arifin dari pesantren Suryalaya
di Tasikmalaya. Dan banyak lagi golongan orang-orang terpandang yang menempuh
jalan serupa.(8) Sekalipun magisme selalu dianggap sebagai unsur dalam
kalangan tarekat, tetapi gejala itu tidak pernah menjadi ciri vang menonjol.
Faham-faham yang lebih murni atau ortodoks dari ilmu-ilmu kalam dan fiqh
senantiasa "mengawasi" amalan tarekat dan intuisinya agar tidak jatuh dalam
amalan-amalan yang menyimpang. Karena itu gerakan tarekat tidak pernah
terkena pengertian yang dikandung dalam perkataan klenik. Klenik lebih
banyak diasosiasikan dengan gerakan kebatinan di luar tarekat-tarekat.
Organisasi seperti NU pun berjasa dalam mencegah adanya kecenderungan-kecenderungan
esoteris yang berlebihan. Sebagaimana telah disinggung di muka, NU rnenetapkan
ketentuan tentang tarekat mana yang sah atau mu'tabarah dan
yang tidak sah (ghairu mu'tabarah). Dapat
dipastikan bahwa tidak ada pesantren yang tidak mengajarkan ilmu-ilmu kalam,
fiqh, dan syari'ah, meskipun pesantren tersebut mempunyai peranan penting
dalam dunia tasawuf. Salah satu ekses yang berhasil dibendung dalam tarekat-tarekat
di pesantren adalah messianisme. Memang secara samar-samar kaum Muslim
umumnya dan kalangan tarekat khususnya mempercayai akan datangnya seorang
pemimpin besar bernama Imam Mahdi. Apalagi tarekat Naqsyabandiyah-Qadiriyah
yang mengklaim pertautan amalannya dengan Nabi Muhammad adalah melalui
Ali. Dalam tarekat ini, faham tentang bakal datangnya Imam Mahdi semakin
kuat disebabkan adanya unsur-unsur faham Syi'ah yang masuk. Tetapi sebegitu
jauh messianisme tidak menjadi pusat orientasi ruhaninya yang pokok. Mungkin
dalam hal ini messianisme di kalangan kebatinan dalam hubungannya dengan
kedatangan Ratu Adil adalah lebih penting. Tarekat di pesantren-pesantren
umumnya membatasi diri pada ajaran tentang wirid-wirid dan amalan-amalan
untuk mendekati Allah SWT.
Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo unsur messianisme
adalah penting dalam gerakan-gerakan keagamaan yang mempunyai sikap memberontak
kepada pemerintah (kolonial).(9) Agaknya memang begitu dahulu di zaman
penjajahan. Pesantren Suryalaya umpamanya tidak terlepas dari hal tersebut.
Mula-mula Kiai Haji Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang mengajarkan
suluk dan mendirikan perkumpulan tarekat di dekat Subang. Sikap-sikapnya
yang antipetelah memaksa pemerintah kolonial bertindak dan memaksa kiai
tersebut menyingkir ke tengah hutan Godebag untuk mencari persembunyian.
Dan di situlah beliau mendirikan kembali tarekatnya vang kemudian berkembang
dan dilanjutkan oleh putranya. Nama desa Godebag, yang di atasnya didirikan
pesantren kemudian, diganti namanya dengan Suryalaya, atau lengkapnya Patapan
Suryalaya Kejembaran Rahmaniyah. Setelah henkangnya pemerintah kolonial
dari Nusantara, “politik" Suryalaya cenderung taat kepada pemerintah republik
(yang sah). Ini tercermin dari selebaran tanbîh (peringatan)
yang dikeluarkan oleh Kiai Abdullah Mubarok sebagai fatwa kepada para pengikutnya
dan dipertahankan sampai sekarang. Mungkir saja ajaran Imam al-Ghazâlî
yang agak masa bodoh terhadap pemerintahan dan politik ikut membentuk jalan
pikiran kaum tarekat. Dalam banyak kasus memang relativisme politik lebih
banyak ditemukan pada kaum sufi daripada mereka yang berpegang teguh
pada ilmu kalam, fiqh. maupun syarî'ah. Tasawuf dalarn konteks ini
adalah yang tidak terpengaruh oleh messianisme yang parah.
Masa Depan Tasawuf
Dari ketiga disiplin ilmu keislaman, tasawuf adalah yang
paling banyak menimbulkan kontroversi. Tetapi kalau melihat kenyataan hahwa
ia masih tetap eksis sampai saat ini menunjukkan tingginya vitalitas yang
dimilikinya.
Sebagaimana telah dikemukakan. bahwa yang menolak tarekat
ada dua golongan yang titik-tolaknya ternyata berlawanan, yaitu modernis-sekularis
kaum Kemalis di Turki dan puritanisme ortodoks (Salafî) pada kaum
Wahhâbî di Saudi Arabia. Sejauh ini hanya dua negara itu yang
melarang praktek-praktek dan organisasi sufi serta sejenisnya. Menyinggung
hal ini H.A.R. Gibb mengatakan:
Reaksi (atas tasawuf) pada abad yang lalu adalah sampai
batas tertentu yang sangat berpengaruh. Tetapi hal itu diperbesar oleh
bertemunya dua arus. Satu di antaranya terutama diwakili oleh kaum reformis
puritan, yang menyadari akan adanya jurang pemisah antara pokok-pokok ajaran
ortodoks dengan praktek-praktek sebagian besar orang-orang yang mengaku
beragama Islam. Lainnya timbul di kalangan militer dan kelas menengah baru
di kota yang karena pendidikan dan latihannya berangsur-angsurr lepas dari
tradisi Muslim, dan yang melalui mereka proses pengeringan ruhani yang
sudah begitu jauh terasa di dunia Barat mulai menyebar ke seluruh dunia
Islam.
Kaum reformis menghendaki agar dengan usaha mereka itu
dapat dipelihara dengan baik nilai-nilai keagamaan. Sedangkan kelompok
kedua menghendaki terkikisnya takhayul yang agaknya merupakan tanda-tanda
kemunduran kultural. Pada golongan kedua ini, ketidak-mampuan membedakan
antara yang takhayul dengan yang benar-benar agamis kiranya dapat dimengerti.
Pada kelompok pertama itu, dogmatisme harfiah dan pandangan yang sempit,
dengan mengabaikan warisan-warisan berharga dari sufisme ortodoks dan pelajaran-pelajaran
yang diberikan sejarah, tampaknya cenderung untuk menghilangkan ekspresi
pengalaman keagamaan yang otentik. Keduanya itu, dalam mencampur-aduk antara
yang baik dengan yang buruk bersama-sama, telah bekerjasama untuk meratakan
tanah bagi tumbuhnya benih-benih kebudayaan sekuler, yang sayangnya hanya
menghasilkan bnah berupa takhayul, bid'ah, dan khurafat yang lebih berbahaya
lagi. Di sinilah letak bahayanya jika pencabutan akar ritual dan praktek
kaum sufi, kaum reformis di satu pihak menghancurkan pandangan tasawuf
tentang cinta kepada Allah, dan golongan kedua mengeringkan sumber-sumber
keagamaan itu sendiri, maka apakah keuntungan yang akan diperoleh agama
Islam dan kehidupan agama umat manusia pada umumnya?"(10)
Kutipan dari seorang orientalis terkemuka itu menunjukkan
kemungkinan suatu penilaian dari sudut pandangan yang netral. Sebab kaum
Muslim sendiri rata-rata telah memiliki "commitment" dalam
sikapnya terhadap segi esoterik Islam itu yang akan mempengaruhi penilaiannya
dalam pro-kontra kepadanya. Kecuali kalau dapat dibuktikan bahwa dalam
hal tersebut Gibb mempunyai bias yang subyektif, maka pandangan serupa
itu patut direnungkan oleh kita semua.
Barangkali memang benar tuduhan Amir Sakib Arsalan bahwa
tasawuf telah menyebabkan kaum Muslirn mundur karena ajaran-ajarannya yang
mengakibatkan jiwa "melempem". Demikian juga Dr. Mahmud Kasim yang
dengan tegas menuduh tasawuf sebagai biang keladi kemunduran dunia Islam
sekarang ini.(11) Tetapi barangkali juga patut diperhatikan seruan Gibb
untuk menelaah kembali kemungkinan keringnya rasa keagamaan yang mendalam,
yang bakal diderita kaum Muslim sendiri dan umat manusia karena kekakuan
puritanisme kaum reformis dan kesemberonoan modernisme kaum sekularis.
Jika hal itu dibenarkan, maka yang dapat dilakukan pada
saat ini adalah meninjau kembali segi-segi kebaikan dan kekuatan gerakan-gerakan
tasawuf tradisional di pondok-pondok pesantren serta meneliti segi-segi
kelemahannya. Sebab, memang sudah mulai terasa bahwa kelompok kaum Muslim
yang memiliki "kesenian agama'' adalah terutama mereka yang dekat hubungannya
dengan dunia tasawuf atau tarekat, yaitu santri-santri, baik kesenian itu
berupa seni baca al-Qur'an qasidah (antara lain Diba'i dan Barzanji), rebana,
gambus sampai pada sem suluk dan bacaan shalawat—salah satunya adalah "shalawat
badar" yang terkenal sangat mudah menggugah solidaritas dan semangat berjuang.
Memang timbulnya praktek superstitious yang menyimpang dari ajaran-ajaran
ortodoks itu harus dicegah, tetapi jelas harus dipelihara unsur kedalaman
rasa keagamaan yang ada. Dalam hal ini dunia tarekat sendiri telah terlebih
dulu memagari diri—terlepas dari penilaian berhasil atau tidaknya—dengan
menekankan kesatuan mutlak antara syari'ah, thariqah, ma'rifah, dan
haqiqah. Barangkali satu pagar lagi yang sangat diperlukan,
yaitu peningkatan taraf kecerdasan umat Islam pada umumnya. Suatu tantangan
baru yang harus diselesaikan oleh pesantren-pesantren kita.
*** |