MASALAH MUSYTARAKAH (HAJARIAH)
Oleh: A. Sayuti Anshari Nst
.

Subject: Tanya faraid?
Date: Sat, 01 Feb 1997 15:50:30 -0700
From: "faisol@bppt.go.id" <faisol@bppt.go.id>
Organization: BPPT

Assalamualaikum Wr. Wb.

Saya ingin bertanya tentang masalah faraid pembagian warisan, dapatkah anda menyalurkan email ini pada teman-teman di Mesir yang sedikit banyak menguasai bidang ini.

Saat ini saya sedang mencoba untuk mengembangkan software Faraid On Line, yang bertujuan untuk membantu melakukan simulasi perhitungan faraid secara on line melalui internet, dan software tsb dapat anda coba di http://members.bppt.go.id/~faisol/faraid.

Dalam pengembangan software tsb ada beberapa masalah yang sampai saat ini saya kurang yakin bahwa saya telah dapat memahami masalah tsb secara benar. Diantaranya adalah masalah yang didalam ilmu faraid dikenal sebagai masalah musytarakah, dimana yang sering dipakai sbg contoh dalm buku2 faraid adalah seorang meninggal dengan meninggalkan suami, ibu, dua atau lebih saudara laki-laki seibu, dan dua atau lebih saudara kandung laki-laki.

Saya ingin memperoleh penjelasan apakah masalah musytarakah ini hanya berlaku pada keadaan diatas saja, atau apakah setiap berkumpulnya saudara kandung dan saudara seibu maka pembagian faraid nya harus menggunakan cara musytarakah ini, batasan2 pada penerapan pembagian secara musytarakah, serta contoh-contoh lain masalah musytarakah bila ada?

Ini akan sangat membantu dalam penyempuranaan program faraid on line. Tidak tertutup kemungkinan bahwa program ini memiliki kesalahan-keslahan, oleh karena itu saya sangat berterimakasih sekali bila teman-teman dapat memberikan masukan dan saran. Untuk saat ini saya sedang mencoba untuk dapat memberikan beberapa alternatif jawaban thd masalah2 yang padanya terdapat ikhtilaf para ulama.

Sekian, saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan anda, dan selamat menjalankan ibadah puasa.

Wassalam

Faisol Ba'Abdullah


JAWABAN:

Sudah merupakan basic dalam Ilmu Faraidl, bahwa :

  1. Masing-masing ahli waris mempunyai quota tersendiri dari harta warisan. Oleh sebab itu seorang ahli waris tidak diperkenankan mengambil quota ahli waris lain.
  2. Ahli waris yang mempunyai quota ashabah (yang tinggal) baru akan mengambil bagiannya bila ahli waris yang mempunyai quota Furudl (bagian tertentu) telah mengambil bagiannya. Oleh sebab itu bila harta warisan dihabisi oleh ahli waris berquota furudl, maka ahli waris berquota ashabah tidak mendapat bagian apa-apa.

Berangkat dari dua basic diatas, maka masalah musytarakah adalah merupakan kasus pengecualian dalam Ilmu Faraidl, dimana saudara kandung (se-ibu se-bapak) laki-laki dan perempuan, berkongsi dengan beberapa orang saudara se-ibu mengambil bagian sepertiga. Saudara kandung dalam kasus ini mempunyai quota ashabah, tapi oleh karena warisan yang ashabah itu tidak ada lagi (nol) karena dihabisi oleh ahli waris berquota furudl, maka mereka difungsikan sebagai (berkongsi dengan) saudara se-ibu mengambil bagian sepertiga. Quota sepertiga ini adalah quota untuk beberapa orang saudara se-ibu.

Alasan yang dipakai dalam melegitimasi kasus pengecualian musytarakah ini adalah pertimbangan :

  1. Bahwa saudara kandung sebenarnya lebih dekat dengan almarhum, karena dipertalikan dari dua jalur masing-masing ayah dan ibu dari pada saudara se-ibu yang hanya dipertalikan dari jalur ibu saja.
  2. Bahwa saudara kandung itu adalah saudara se-ibu juga. Atas dua pertimbangan ini, maka sangat tidak logis apabila saudara seibu mendapat bagian sepertiga sedangkan saudara kandung tidak mendapat bagian sama sekali. Kasus ini terjadi untuk pertama kalinya di-zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra, dimana seorang wanita meninggal dunia dengan ahli waris sebagai berikut:
      1. Beberapa orang saudara kandung laki-laki dan perempuan ashabah= 0
      2. Beberapa orang saudara se-ibu, laki-laki atau perempuan sepertiga=2/6
      3. Suami setengah=3/6
      4. Ibu seperenam=1/6

Semula Khalifah menerapkan basic faraidl seperti di-atas, sehingga beberapa saudara kandung tidak mendapat bagian sama sekali. Tapi dalam kasus kedua, sewaktu khalifah mau menerapkan basic diatas, para saudara kandung menemui beliau lalu mengeluh "seandainya ayah kami itu adalah batu yang tercampak ke-lautan, bukankah ibu kami satu..?". Setelah mempertimbangkan keluhan tadi, maka khalifah mengambil kesimpulan untuk memfungsikan saudara kandung sebagai saudara se-ibu dan berkongsi mengambil bagian sepertiga. Ijtihad khalifah ini mendapat persetujuan dari mayoritas shahabat di kala itu.

Masalah musytarakah seperti ini hanya terjadi disaat ahli waris terdiri dari :

  1. Beberapa orang saudara se-ibu.
    Bila hanya satu orang saja, maka dia akan mengambil quota seperenam, maka ahli waris berquota ashabah masih mempunyai bagian.
  2. Minimal seorang saudara kandung laki-laki atau beserta beberapa orang saudara perempuan, sehingga mereka menjadi berquota ashabah.
  3. Ada suami.
    Seandainya ahli warisnya adalah istri, dia akan mengambil quota seperempat, maka bagi saudara kandung masih tersisa.
  4. Ada ibu atau nenek.
    Seandainya tidak ada, maka quota ashabah masih mempunyai bagian. Kemungkinan besar kasus musytarakah tidak bisa terjadi pada kasus-kasus yang lain di-luar kasus ini.

Mengingat sifatnya sebagai kasus pengecualian, maka :

  1. Kasus ini, tidak dapat digeneralisasikan pada semua kasus yang diantara ahli warisnya terdapat saudara se-ibu dan saudara kandung, tapi kasus ini hanya dapat diaplikasikan disaat saudara kandung tidak mendapat bagian sedangkan saudara-saudara se-ibu mendapat bagian mereka.
  2. Kasus ini tidak dapat diaplikasikan secara opsional bagi saudara kandung untuk memperoleh bagian yang lebih banyak dari harta warisan dengan memimilih quota ashabah atau musytarakah. Dalam berbagai kasus, saudara kandung yang berquota ashabah bisa mendapat bagian lebih banyak dari saudara se-ibu yang berquota furudl, dan bisa pula mendapat bagian yang lebih sedikit seperti contoh berikut:

    Pertama:
    1. Beberapa orang saudara se-ibu, laki-laki atau perempuan sepertiga=4/12
    2. Istri seperempat=3/12
    3. Seorang saudara kandung laki-laki ashabah= 5/12

    Kedua:

    1. Beberapa orang saudara se-ibu, laki-laki atau perempuan sepertiga=4/12
    2. Istri seperempat=3/12
    3. Nenek seperenam=2/12
    4. Beberapa orang saudara kandung laki-laki dan perempuan ashabah= 3/12
  1. Pendapat dan ijtihad khalifah Umar ra ini diadopsi oleh Syafi’y dan Maliky. Walaupun pendapat ini, nampaknya lebih logis dan manusiawi, namun tidak merupakan aklamasi fuqoha. Hanafy, Hanbali dan Syi,ah tidak mengadopsinya, tapi menerapkan basic faraidl diatas dan menganggap kasus ini sebagai resiko yang harus ditanggung.

Demikian, semoga ada manfaatnya bagi kita semua.

***