Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama, NU Mesir

 

LAPORAN BUDAYA, DARI OBROLAN SENI DAN SASTRA BERSAMA CAK NUN DI WISMA NUSANTARA, NASR CITY, CAIRO, PADA SELASA 29 APRIL 2003, DENGANTEMA: "DULU, KINI DAN ESOK: KEMANA ARAH SASTRA INDONESIA?"

 

Reporter: Muhammad Shalahuddin Tema: Menggagas (Lahirnya) Sastra Indonesia Baru
Tanggal laporan: 30 April 2003

 

Selamanya, industrialisasi akan selalu menjadi penghalang bagi sastra. Sebab dilihat dari sifat dan tampilannya, sastra mempunyai dua unsur pokok sastra itu sendiri sebagai jiwa serta "isi" sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh si empunya, dan yang kedua media sebagai wadah atau jasad dari jiwa tadi. Dalam cara lain, jika memakai rumus terminologi susastra, maka akan didapati 'su' sebagai jiwa yang tampil dalam jasad 'sastra'. Su adalah keindahan, yang dalam masalah ini dapat diartikan juga sebagai pokok pikiran, nasehat-nasehat yang baik, yang lahir dari hasil renungan jernih seorang sastrawan. Su adalah isi itu sendiri. Sedangkan sastra dapat diartikan tulisan, abjad-abjad, kertas, atau pun tinta yang melafalkan su tersebut. Ia hanyalah media artikulasi untuk menghantarkan sebuah 'isi' kepada khalayak. Demikian kira-kira salah satu poin yang mampu tertuang dalam Obrolan Seni & Sastra bersama Emha Ainun Nadjib di Wisma Nusantara Kairo kemarin (29/4) sore.

 

Obrolan yang dimaksudkan untuk membuka pintu bagi bangkitnya keusasteraan Indonesia, khususnya bagi kalangan Masyarakat Indonesia di Mesir ini, diselenggarakan atas kerjasama LSBNU Kairo dan Buletin Budaya Kinanah. Acara ini terbilang mendadak karena sosialisasinya berjalan dari mulut ke mulut satu hari sebelum hari H. Namun cukup sukses jika melihat jumlah  peserta. Terbukti ruang aula Wisma Nusantara yang mampu menampung lebih 300 orang hampir penuh disesaki peminat sastra yang kebanyakan mahasiswa Indonesia pecinta sastra di Kairo.

 

Menyinggung kaitan antara industrialisasi dan sastra, Cak Nun—demikian Emha akrab dipanggil—mencoba mejelaskan hal ini menuju substansi yang lebih dalam. Seperti agama yang bersifat ruhi, maka sastra juga akan selalu dihantam oleh segala yang bersifat material (madi). Dalam menumbuhkan rasa optimisme terhadap kelanggengan sastra, Cak Nun memaparkan keselarasan antara ruh, agama, sastra dan benda-benda 'halus' lainnya. Antara 'yang halus' dan 'yang kasar'. Api adalah contoh yang bisa merasionalisasikan persinggungan antara 'yang halus' dan 'yang kasar' itu. Kita tidak bisa melihat inti api. Kita hanya tahu wujud api setelah ia menyentuh sebuah benda. Jadi yang panas itu belum tentu api, namun sifat api adalah panas. Warna merah yang kerap muncul sebagai perwujudan api, bukanlah api itu sendiri. Api tak mempunyai takaran untuk menentukan satuan berat dan panjangnya. Jika api yang kecil membakar sebuah benda, maka seluruh benda itu akan terus dilalapnya sebesar apa pun benda itu.

 

Satu hal menarik yang dipetik Cak Nun setelah melakukan dialog, dimana beberapa peserta merasa khawatir akan terkuburnya sastra karena marginalitas yang begitu kuat, bahwa selamanya: "sastra akan tetap marginal," ungkapnya. Dan kita tak perlu takut akan hal ini. Karena sastra tak akan mati oleh sebab ke-marginal-an itu. Sastra akan terus hidup jika ada yang mempunyai kepedulian untuk itu. Hanya mungkin yang akan mati medianya. Karena media erat lagi kaitannya dengan industrialisasi. Jika sebuah media sastra dianggap tidak layak jual, maka media itu akan gulung tikar. Tapi sastra itu sendiri tak akan pernah gulung tikar. Ia terus hidup dalam jiwa pengarang dan orang-orang yang memiliki rasa kesusasteraan.

 

Dalam obrolan ini, Cak Nun beberapa kali memaparkan pemikirannya dengan jalan yang agak menukik pada hal-hal substansi total. Menurutnya, kebenaran akan selalu marginal. Penyebabnya jelas: ada sesuatu yang menekan kebenaran itu agar selalu menjadi inferior. Ada pertarungan antara yang benar dan yang salah. Antara hakikat dan setan. Seperti agama, ia akan selalu didesak agar menjadi terkucil dalam arus industrialisasi.

 

PELOPOR TEMATIK-TEMATIK SASTRA BARU

 

Menurut Aguk Irawan, seorang mahasiswa penulis sastra yang dalam obrolan kemarin menjadi pendamping Cak Nun, mahasiswa Indonesia di Kairo kurang mendapatkan kesempatan dalam mengapresiasikan minatnya ini di tingkat nasional. Di Indonesia sendiri, yang selalu muncul mengisi koran-koran dan majalah selalu saja pemain lama. Padahal menurutnya, kemampuan dan perhatian mereka terhadap sastra layak ditampilkan juga. Dalam perkembangannya, saat ini banyak sekali karya-karya sastra yang dicetak secara pribadi (indie) beredar di Kairo. Baik berupa buletin, kumpulan cerpen atau pun puisi. Beberapa penulis -seperti Aguk sendiri-, bahkan sempat malang melintang membuka link ke Indonesia dengan cara mengirimkan dan menerbitkan karyanya di sana. Beberapa dimuat di koran-koran nasional dan beberapa menjadi  buku. Aguk sendiri pernah menerbitkan buletin Kinanah di bawah LKiS Jogja. Namun lemahnya apresiasi masyarakat karena selalu memandang terlebih dahulu nama penulis, menjadikan karya-karya mereka terkubur. Kinanah gulung tikar, buku-buku mereka tak bisa meledak.

 

Menurut Cak Nun, saat ini memang ada kecenderungan pergeseran minat masyarakat terhadap karya sastra. Yang cukup aneh, ada karya-karya penulis muda yang tidak mempunyai background sastra, mampu meledak dan dianggap salah satu karya sastra dengan mutu tinggi. Kasus Supernova-ny Dewi Lestari juga disinggung dalam hal ini.

 

Cak Nun mengakui semasa orde baru dunia kesusasteraan Indonesia merosot tajam. Ada pengkebirian besar-besaran. Tidak ada karya besar yang tampil ke permukaan. Sebab itu pulalah yang membuatnya uzlah dari kegiatan sastra. Agar sastranya tak pernah mati, Cak Nun membawakannya dengan caranya sendiri yang independen, tak mempunyai keterkaitan dengan institusi apapun. Salah satunya barangkali yang bisa kita lihat melalui proyek Kiyai Kanjeng. "Siapa bilang sastra saya hilang. Saya selalu membawa sastra saya ke mana-mana," tangkisnya ketika dituduh peserta telah kalah dalam memperjuangkan sastra. Seharusnya, pada masa orde baru lahir karya-karya yang mampu mencerminkan zamannya sendiri sehingga mampu  membedakannya dari angkatan-angkatan sebelumnya. Tema-tema yang bisa diangkat tak pernah habis, bahkan selalu saja muncul. Dia mencontohkan kasus Marsinah yang tak pernah mampu dilegendakan dalam sebuah karya sastra yang menggoncangkan.

 

Dalam kaitannya dengan kesempatan terhadap Mahasiswa Indonesia di Kairo, Cak Nun memberikan apresiasi yang cukup positif. Saat ini memang sedang dinantikan kebangkitan institusi sastra Indonesia. Untuk proyek ini, dukungan dari para pelaku sastra sangat diperlukan. Di Indonesia sampai kini baru ada satu institusi sastra yang terbilang kuat, yaitu Horison. Namun untuk pembangunan ke depan, beberapa tokoh sastra nasional saat ini tengah mempersiapkan langkah pendirian institusi yang kuat. Salah seorang dari mereka Taufik Ismail. Dari sini Cak Nun sangat berharap akan lahir tematik-tematik kesusasteraan yang sama sekali baru, yang mampu meneriakkan suara zamannya. "Mahasiswa di sini (Kairo) harus mampu jadi pelopor lahirnya tema-tema baru itu. Anda mempunyai kemampuan untuk menulis tentang Irak, misalnya, yang akan kesulitan ditulis oleh penulis-penulis kita di Indoensia," tambahnya