[ Sejarah Perjalanan IPPNU ] |
Adalah mustahil memahami IPPNU secara menyeluruh tanpa mengenal sepak terjang ketua umumnya. Dalam sebuah organisasi di mana ketua memiliki peran yang sangat sentral seperti IPPNU, maka haru biru organisasi akan sangat ditentukan oleh bagaimana dan ke mana ketua umum mengarahkan. Penelusuran terhadap riwayat ketua-ketua IPPNU dari masa ke masa seakan menghadirkan kembali warna kepemimpinan yang selalu merupakan pencapaian optimal pada masanya. Membaca sejarah mereka, adalah membaca kisah suka duka perjalanan kader-kader muda NU membangun organisasi yang merupakan induk IPPNU ini. Berikut akan diuraikan perjalanan hidup 10 orang ketua umum IPPNU sejak berdirinya 45 tahun silam hingga menjelang kongres yang ke-12 di Ujungpandang tahun 2000. Dra. Hj. UMROH MACHFUDZOH T. MANSOER (1955-1956)
Dilahirkan 4 Februari 1936 di kota Gresik, Jawa Timur, Umroh mengawali pendidikan dasar di kota kelahirannya. Sempat berhenti sekolah hingga tahun 1946 karena clash II, Umroh melanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyah NU di Boto Putih, Surabaya. Dilahirkan dari pasangan K.H. Wahib Wahab dan Hj. Siti Channah, Umroh tumbuh dan dewasa di lingkungan NU. Sebagai cucu pendiri NU, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, masa kecil Umroh banyak dilalui di lingkungan pesantren, khususnya pada masa liburan yang banyak dihabiskan di Tambak Beras, Jombang, tempat kelahiran ayahnya. Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, sejak kecil Umroh dididik untuk bisa hidup mandiri. Hasrat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah sekaligus mewujudkan impian merantaunya terpenuhi ketika diterima sebagai siswa SGA Surakarta. Ketika partai-partai politik meluaskan sayapnya pada pertengahan 50-an, Umroh mulai menerjunkan diri sebagai Seksi Keputrian Pelajar Islam Indonesia (PII) -organisasi pelajar afiliasi partai Masyumi- ranting SGA Surakarta. Namun, sejak berdirinya NU sebagai partai politik sendiri tahun 1952, Umroh mulai berkenalan dengan organisasi-organisasi di lingkungan NU. Sembari mengajar di Perguruan Tinggi Islam Cokro, Surakarta, Umroh yang nyantri di tempat Nyai Masyhud mulai menerjunkan diri sebagai wakil ketua Fatayat NU cabang Surakarta. Semangat Umroh yang menyala-nyala membawa pada kesadaran akan perlunya sebuah organisasi pelajar yang khusus menghimpun putra-putri NU. Berdirinya IPNU yang khusus menghimpun pelajar-pelajar putra pada awal tahun 1954 membuat keinginan Umroh untuk membuat organisasi serupa khusus untuk para pelajar putri semakin menggebu-gebu. Gagasannya dituangkan lewat diskusi intensif dengan para pelajar putri NU di Muallimat NU dan SGA Surakarta yang sama-sama nyantri di tempat Nyai Masyhud. Kegigihan Umroh memperjuangkan pendirian IPNU-Putri (kelak berubah menjadi IPPNU) membawanya duduk sebagai Ketua Dewan Harian (DH) IPPNU. DH IPPNU adalah organ yang bertindak sebagai inkubator pendirian sekaligus pelaksana harian organisasi IPPNU. Aktivitas di IPPNU yang tidak begitu lama diisi dengan sosialisasi dan pembentukan cabang-cabang IPPNU, khususnya di Jawa. Umroh juga tampil sebagai juru kampanye partai NU pada pemilu 1955. Tidak genap setahun menjabat Ketua Dewan Harian, Umroh meninggalkan Surakarta untuk menikah dengan M. Tolchah Mansoer, Ketua Umum PP IPNU pertama. Meskipun menetap di Yogyakarta, Umroh tidak pernah melepaskan perhatiannya terhadap organisasi yang ikut dia lahirkan. Kedudukan Dewan Penasehat PP IPPNU yang dipegang hingga saat ini, membuatnya tidak pernah absen dalam setiap perhelatan nasional yang diselenggarakan IPPNU. Riwayat organisasi Umroh berlanjut pada tahun 1962 sebagai seksi Sosial PW Muslimat NU DIY. Kedudukan ini mengantarkan Umroh sebagai Ketua I Badan Musyawarah Wanita Islam Yogyakarta hingga tahun 1987. Kesibukan keluarga tidak mengendurkan hasratnya untuk melanjutkan ke Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pendidikan strata-1 diselesaikan dalam waktu enam tahun sambil aktif sebagai Wakil Ketua Pengurus Poliklinik PW Muslimat NU DIY. Sementara itu, perhatian di bidang sosial disalurkan dengan menjabat sebagai Ketua Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) yang membidangi kegiatan-kegiatan di bidang peningkatan kesejahteraan sosial di wilayah Yogyakarta. Jabatan Ketua PW Muslimat NU DIY diemban selama dua periode berturut-turut
sejak tahun 1975. Kesibukan ini tidak menghalangi aktivitas sebagai Seksi
Pendidikan PERSAHI (Pendidikan Wanita Persatuan Sarjana Hukum Indonesia)
dan Gabungan Organisasi Wanita wilayah Yogyakarta. Naluri politik yang
tersimpan selama belasan tahun ternyata tidak bisa dipendam Umroh begitu
saja. Aktivitas sebagai bendahara DPW PPP mengantarkannya terpilih sebagai
anggota DPRD DIY periode 1982-1987. Karir politiknya terus meningkat dari
Wakil Ketua menjadi Pjs. Ketua DPW PPP DIY. Jabatan terakhir ini membawa
Umroh ke Jakarta sebagai anggota DPR RI dari FPP selama dua periode. Umroh
pernah menjabat sebagai Ketua Wanita Persatuan Pusat, organisasi wanita
yang bernaung di bawah PPP. Sebagai anggota dewan, Umroh tercatat beberapa
kali mengadakan kegiatan internasional diantaranya muhibah ke India, Hongaria,
Perancis, Belanda, dan Jerman.
Hj. BASYIROH SAIMURI (1956-1958 dan 1958-1960)
Basyiroh Saimuri, adalah sedikit dari kader IPPNU yang tegar membangun
IPPNU pada masa-masa awal pendirian. Mewarisi 30 cabang bentukan Umroh,
Basyiroh yang pada konbes Solo terpilih sebagai Ketua Umum PP IPPNU, berhasil
melipatduakan hingga 60 cabang pada akhir kepengurusannya. Kepengurusan
periode pertama yang diemban hingga tahun 1958, digunakan Basyiroh untuk
memperluas cabang-cabang IPPNU. Dalam setiap forum nasional di mana keluarga
besar NU hadir, Basyiroh selalu menyempatkan diri memperkenalkan dan meminta
bantuan pendirian IPPNU di tempat asal cabang-cabang yang bersangkutan.
Basyiroh bahkan pernah menghadiri Muktamar ke-21 Nahdlatul Ulama di Medan,
Sumatera Utara tahun 1956. Sebagai salah satu anggota yang ikut membidani
kelahiran IPPNU, Basyiroh sejak awal duduk sebagai pengurus dalam DH IPPNU
bersama Umroh. Dedikasi Basyiroh terhadap IPPNU mengantarkannya terpilih
untuk kedua kali sebagai ketua umum pada kongres II IPPNU di Yogyakarta
tahun 1958. Periode kedua lebih banyak diisi Basyiroh dengan konsolidasi
organisasi, penertiban administrasi, dan perumusan pola-pola pengkaderan.
Aktivitas organisasi juru kampanye partai NU tahun 1955 ini sempat terhenti
ketika harus menuju Tuban untuk menikah dengan K.H. Zawawi. Naluri kependidikan
disalurkannya dengan mengajar di M.Ts Al-Hidayah, Tuban. Di Tuban, pendidikan
Basyiroh -yang sempat memelopori pendirian IPPNU wilayah Kalimantan Selatan-
berlanjut ke PGA Negeri Tuban, sekolah tempat ia kemudian mengajar. Pada
tahun 1971, Basyiroh tampil kembali sebagai juru kampanye partai NU kabupaten
Tuban dan terpilih sebagai anggota DPRD tk. II Tuban sampai tahun 1977.
Setelah itu, praktis Basyiroh lebih banyak mengisi aktivitasnya dengan
berceramah di berbagai pengajian. Angin reformasi yang memberi peluang
berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tanggal 23 Juli 1998, disambut
antusias oleh Basyiroh dengan bergabung di partai warga NU itu sebagai
anggota Dewan Syuro DPC PKB kabupaten Tuban. Selain itu, Basyiroh yang
tinggal di Jl. Raya 22 Jenu, Tuban, duduk sebagai Dewan Penasehat Muslimat
NU cabang Tuban.
Hj. MACHMUDAH NACHROWI (1960-1963)
Machmudah adalah salah satu figur dari generasi pendiri IPPNU yang sempat menjabat sebagai ketua ke-3 dalam organisasi yang semula bernama IPNU-Putri ini. Perkenalan Machmudah dengan IPPNU dimulai sejak pembentukannya 45 tahun silam. Di kediaman Machmudahlah Konperensi Panca Daerah diadakan. Rumah di daerah Jagalan, Malang, ini sebenarnya berfungsi sebagai pesantren K.H. Nachrowi Thohir. Tidak heran jika kehidupan pesantren, sebagaimana ketua-ketua sebelumnya, sangat melekat dalam diri Machmudah. Masa kecil Machmudah dilalui di kota apel, Malang, Jawa Timur, hingga tamat SLTA. Pada awal tahun 50-an, masih sulit didapati wanita yang diperbolehkan orang tuanya merantau, bahkan untuk meneruskan pendidikan. Namun agaknya pasangan Kyai Nachrowi-Hj. Rukayah termasuk sedikit dari warga NU yang saat itu beranggapan bahwa pendidikan untuk kaum perempuan tidak boleh berhenti hanya karena hambatan geografis. Berbekal harapan dan kepercayaan inilah Machmudah melanjutkan pendidikan ke kota Surakarta, tempat ia kemudian berkenalan dengan Umroh, Basyiroh, dan pelajar putri lainnya untuk mendirikan IPPNU. Ketika IPPNU didirikan di Malang, Machmudah yang pada tahun 1955 sudah kembali ke kota kelahirannya menjadi pelopor pendirian IPPNU cabang Malang. Bersama rekan-rekan dari keempat cabang lainnya, Machmudah ikut mendeklarasikan kelahiran IPPNU. Hubungan baik Kyai Nachrowi, yang menjadi tuan rumah acara tersebut, dengan ketua LP Ma'arif, Kyai Syukri, membuat dukungan Kyai Syukri pada keberadaan IPPNU semakin mudah. Banyaknya aktivis IPPNU yang merangkap sebagai pengurus Fatayat dialami juga oleh Machmudah. Sejak kepulangannya ke Malang, Machmudah aktif sebagai ketua Fatayat NU cabang Malang. Meskipun demikian, ketika IPPNU didirikan Machmudah tetap ikut mengawal, sampai akhirnya terpilih menjadi ketua umum dalam kongres III IPPNU tahun 1960 di Malang. Pada masa kepengurusan Machmudah, IPPNU masih berkutat pada perluasan cabang-cabang. Mempertahankan IPPNU dengan 60-an cabang ternyata tidak semudah yang sebelumnya Machmudah bayangkan. Belum lagi kiprah IPPNU yang tidak juga segera tampak, menggelitik sejumlah aktivisnya di tingkat lokal untuk mengusulkan likuidasi IPPNU dan bergabung dengan IPNU. Dalam setiap kesempatan, Machmudah berusaha meyakinkan cabang-cabang yang dikunjunginya bahwa perjuangan membutuhkan waktu. Usaha Machmudah membuahkan hasil. Dengan berbekal keyakinan akan pertolongan Allah, IPPNU tetap tegak meskipun masa itu ramai dibicarakan sebaiknya IPPNU meleburkan diri ke dalam IPNU. Penegasan kemandirian IPPNU baru diformalisasikan pada kepengurusan berikut, tepatnya dalam forum konbes di Pekalongan tahun 1964. Selepas dari IPPNU, Machmudah yang bersuamikan H.A. Sarwo Wibisono,
melanjutkan karir organisasinya sebagai Sekretaris Muslimat NU cabang Malang.
Berbeda dengan mantan-mantan ketua IPPNU yang tetap berkecimpung dalam
organisasi, Machmudah lebih tertarik menekuni dunia pendidikan sebagai
guru. Profesi ini digelutinya hingga pensiun dan menetap di Jl. Borobudur
16, Malang, enam tahun silam.
Dra. Hj. FARIDA PURNOMO (1963-1966)
Ketua IPPNU yang mendeklarasikan Doktrin Pekalongan ini tercatat lebih banyak berkarir di dunia pendidikan. Menamatkan pendidikan menengahnya di Surakarta, kota kelahirannya, Farida yang lahir 20 Agustus 60 tahun silam mengawali aktivitas di IPPNU sebagai ketua departemen ketika PP IPPNU masih berkedudukan di Solo. Karirnya berlanjut ketika pada kongres ke-4 di Purwokerto tahun 1963 terpilih sebagai Ketua Umum IPPNU. Langkah monumental Farida sebagai orang nomor satu di IPPNU dicapainya ketika berhasil mempertahankan desakan peleburan IPNU-IPPNU melalui pencetusan "Doktrin Pekalongan" pada tahun 1964 bersama Ketua Umum IPNU, Asnawi Latief. Ibunya, Machmudah Mawardi, adalah seorang Nyai yang sempat memegang jabatan tertinggi di Muslimat selama 27 tahun, karena itu tradisi pesantren sangat melekat dalam kehidupan Farida. Pendidikan tinggi diselesaikan Farida di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjahmada. Karena domisilinya ini juga aktivitas PP IPPNU lebih banyak dikendalikan dari Yogyakarta. Tamat dari universitas, Farida bekerja sebagai pegawai Kanwil Departemen Perindustrian dan Departemen Agama DIY, namun naluri pendidik membuatnya banting setir sebagai dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pernikahan dengan Muhamad Purnomo, membawa karirnya sebagai dosen hijrah ke IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di ibukota, Farida melanjutkan hobi berorganisasinya dalam PP Muslimat NU sebagai Ketua Bidang Pendidikan. Kesibukan keluarga mendidik 2 orang anak tidak mengendurkan semangatnya untuk mengajar juga di Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP Jakarta). Semangat belajarnya yang tinggi mendapatkan penyaluran setelah berhasil melanjutkan ke jenjang magister di Macquari University, Australia. Kefasihannya dalam bahasa Inggris memberikan Farida kesempatan untuk mengikuti beberapa pelatihan dan seminar di Korea Selatan, London, dan Bangkok. Farida yang tinggal di Kebon Sirih Barat Dalam no. 7, Jakarta Pusat,
saat ini masih tercatat sebagai Dewan Penasehat Kowani (Korps Wanita Indonesia)
dan anggota Pokja Bidang Kewanitaan DPP Golongan Karya.
Dra. Hj. MACHSANAH ASNAWI (1966-1970)
Sosok Machsanah selama ini lebih banyak dikenal sebagai diplomat karena hampir 15 tahun terakhir lebih banyak tinggal di luar negeri. Machsanah mengawali karirnya di Departemen Luar Negeri RI sejak tahun 1973 sebagai Kasie pada Direktorat Eropa. Karirnya sebagai diplomat terus menanjak menjadi Kasubdit Protkons, KBRI di Yangoon, Myanmar, Kabid Protkons KBRI di Singapura, dan terakhir Kabid Politik KBRI di Bern, Swiss. Jabatan fungsional di Balitbang Deparlu tidak melupakan Machsanah yang berpangkat Minister Counsellor untuk membina IPPNU. Keterlibatan Machsanah di IPPNU diawalinya sejak tamat SMA Teladan Bagian A di Yogyakarta. Machsanah yang lahir di Rembang, Jawa Tengah, 59 tahun silam mula-mula aktif di lingkungan NU sebagai anggota pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) komisariat UGM merangkap cabang Yogyakarta. Karena usia organisasi yang masih muda, IPPNU banyak mengkonsultasikan kegiatannya kepada PP IPNU di Yogyakarta. Kedudukan PP IPNU di kota pelajar ini membawa Machsanah berkenalan dengan IPPNU yang pada periode Farida masih berpusat di Surakarta. Pada tahun 1961 Machsanah terlibat sebagai Dewan Pengurus PP IPPNU. Progresivitas yang dibawa dari perkuliahan di jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sospol, Universitas Gadjahmada, membuat karir Machsanah dalam IPPNU semakin bersinar. Pada kepengurusan Farida, Machsanah menjabat sebagai Sekjen PP IPPNU, dan pada kongres kelima IPPNU, Machsanah yang dipersunting Asnawi Latief, Ketua Umum IPNU terlama sepanjang sejarah, terpilih sebagai Ketua Umum PP IPPNU periode 1966-1970. Kongres Surabaya yang memilih pasangan Asnawi-Machsanah sebagai duet pimpinan PP IPNU-IPPNU, mengamanatkan pemindahan cabang ke Jakarta. Dengan berbekal semangat yang membaja, pasangan pemimpin muda NU ini dengan segala resiko memindahkan seluruh berkas administrasi IPNU-IPPNU ke kantor barunya bersama PBNU. Di bawah kepemimpinan Machsanah, IPPNU mulai menemukan bentuknya sebagai organisasi pelajar kepejuangan. Situasi tanah air yang bergolak pasca pemberontakan G-30 S/PKI mendorong IPPNU turut membidani lahirnya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Kedudukan sebagai Dewan Pleno KAPPI Pusat semakin menajamkan kiprah Machsanah dalam aksi-aksi pengganyangan Orde Lama. Dalam dewan tertinggi KAPPI ini, wawasan politik Machsanah yang luas tentang kemasyarakatan dan ketatanegaraan sangat mendominasi keputusan-keputusan yang diambil KAPPI. Gejala penyelewengan Orde Baru yang tampak dari dipertahankannya beberapa pejabat korup Orde Lama, ditambah gencarnya militerisasi birokrat membuat Machsanah lantang menyuarakan penentangan terhadap kepemimpinan nasional yang dituduh menyalahi cita-cita Orde Baru. Pasca kebekuan organisasi KAMI sebagai motor penggulingan Orde Lama, bersama Umi Hasanah dan Lily Wahid, Machsanah merupakan salah satu dari sedikit pengurus KAPPI yang menolak pembubaran KAPPI pada HUT kedua KAPPI tahun 1968. Bahkan Machsanah dan Umi Hasanah berperan aktif dalam menghasilkan produk monumental KAPPI, Badan Penumpasan Korupsi, yang cukup disegani pemerintah Orde Baru pada akhir 60-an. Langkah-langkah ini semakin membawa IPPNU pada puncak ketenarannya sehingga Machsanah sempat menjabat sebagai anggota Presidium Nasional World Assembly of Youth (WAY) Indonesia. Sebagai diplomat, wanita yang menguasai empat bahasa asing ini banyak
mengikuti kegiatan internasional. Di antaranya ASEAN Ministerial Meeting
di Singapura tahun 1986, Pan Pacific Private Education Conference di Bali
tahun 1986, Conference on Women di Jakarta tahun 1979, dan beberapa konperensi
internasional di Jenewa. Diplomasinya yang menonjol, membuat tamatan Sesparlu
ini sempat terpilih sebagai wakil PP Muslimat NU di Sie Hubungan Luar Negeri
KOWANI tahun 1977-1979. Machsanah yang sedang mengurus pensiun dengan pangkat
IV C dari Deplu RI, saat ini tinggal di Jl. Tebet Dalam I G no. 3, Jakarta,
bersama suami dan 10 orang anak yang kadang mengunjunginya.
Dra. Hj. RATU IDA MAWADDAH NOOR (1970-1976)
Estafet kepemimpinan yang beralih dari Machsanah kepada Ida, ibarat
peralihan kepemimpinan yang berbeda generasi dalam IPPNU, sebagai organisasi
yang memiliki karakter anggota yang mengalir. Darah biru kesultanan Banten
yang mengalir dalam tubuh Ida, tidak membuatnya canggung bergaul dengan
pelajar dari berbagai lapisan yang merupakan konstituen utama IPPNU. Di
bawah kepemimpinan putri K.H. Tubagus Manshur Ma'mun-Rd. Hj. Neneng Sofiyah,
IPPNU perlahan mengubah dominasi wajah politiknya sepanjang dekade '60
menjadi lebih bernuansa pendidikan. Wanita kelahiran Serang, 19 Mei 1948
ini, menamatkan pendidikan dasar dan menengah pertama di Jakarta. Sempat
bersekolah di Muallimat NU dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri di
Surabaya, Ida yang pernah menjadi guru TK TPPNU Surabaya selama satu tahun,
kembali ke Jakarta pada tahun 1966 untuk melanjutkan pendidikan di jurusan
Ilmu Dakwah, Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah.
Dra. Hj. MISNAR MA'RUF BACHTIAR (1976-1981)
Salah satu karya berharga yang dihasilkan kepengurusan periode Misnar
adalah Pedoman Latihan Kader dan Kepemimpinan yang merupakan pembakuan
rumusan pengkaderan IPPNU. Perumusan dilakukan melalui lokakarya pengkaderan
tahun 1978 di Jakarta. Kepengurusan Misnar adalah saat di mana reposisi
IPPNU berjalan tertatih karena pada periode yang sama pemerintah mulai
memperkenalkan OSIS sebagai satu-satunya wadah resmi pembinaan pelajar
di tanah air. Periode Misnar juga ditandai dengan syi'ar keorganisasian
IPPNU ke luar Jawa. Pada tahun 1979, IPPNU bersama IPNU mengadakan konbes
di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Meskipun setingkat lebih rendah ketimbang
kongres, untuk pertama kalinya sebuah perhelatan nasional dua organisasi
anak-anak muda NU diadakan di luar Jawa, setelah kongres Surabaya tahun
1966 mengamanatkan hal tersebut. Ternyata sambutan yang diberikan masyarakat
setempat begitu meriah. Konbes yang dibarengi penataran pers ini menjadi
suatu kenangan tersendiri bagi Misnar.
Sempat vakum karena kesibukan keluarga, pada awal tahun 1980 Misnar perlahan aktif kembali di organisasi Dharma Wanita sub unit BRI, tempat suaminya bekerja. Tahun-tahun setelah itu banyak diisi dengan memberikan pengajian di berbagai tempat di Jakarta, sampai kemudian terpilih sebagai anggota BP-4 Pusat tahun 1992, kemudian anggota Biro Konsultasi BP-4 Pusat tahun 1994. Aktivitas politik digeluti setelah kepengurusan di DPD MKGR dan Biro Kerohanian DPD I Golkar DKI Jaya membawa Misnar terpilih sebagai wakil ketua DPD II Golkar Jakarta Timur. Pada pemilu 1997, Misnar terpilih sebagai anggota DPRD DKI dari Fraksi Karya Pembangunan. Sebagai aktivis, Misnar banyak mengikuti dan mengisi bermacam-macam
seminar dan kursus. Bagi Misnar, kegiatan belajar seseorang tidak boleh
berhenti hanya karena pendidikan formal sudah dilalui. Misnar tercatat
mengikuti berbagai forum olah pikir di seputar dakwah, kepemimpinan, jurnalistik,
dan kesejahteraan keluarga. Darah NU yang mengalir di tubuhnya mendorong
Misnar untuk terjun ke dalam organisasi Muslimat NU. Anggota binaan di
majelis ta'lim, diorganisir untuk membentuk Ikatan Haji Muslimat NU pada
tahun 1990. Misnar sendiri duduk sebagai sekretaris umum yayasan tersebut.
Sebagai wakil Muslimat NU di Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia
(BMOIWI), Misnar mendapat kesempatan menghadiri pertemuan federasi organisasi
wanita sedunia di Baghdad, Irak. Saat ini, Misnar tinggal di daerah Cipinang
Muara dan pada kepengurusan PP Muslimat NU periode 1995-2000 duduk sebagai
anggota Bidang Penerangan dan Da'wah.
Dra. Hj. TITIN ASIAH WAHIDUDDIN (1981-1988)
Barangkali Titin adalah satu-satunya mantan Ketua Umum IPPNU dengan bidang kegiatan yang kemudian 'terputus' dengan NU. Dunia pendidikan seakan menjadi bidang yang paling menarik bagi alumni IAIN Ciputat ini. Pendidikan guru yang digelutinya selama 6 tahun sebelum kuliah terbukti sangat mewarnai kehidupan Titin, yang sekarang menjabat sebagai kepala SMK Budi Asih, Jakarta. Titin juga tercatat sebagai guru di SMP Islam Al-Azhar dan SMK 17 Agustus 1945. Dengan sejumlah kegiatan itu, Titin memang tidak lagi memiliki banyak waktu untuk berorganisasi di lingkungan NU. Namun tidak berarti Titin kemudian melupakan ilmu yang diperolehnya semasa masih berkecimpung di berbagai organisasi pelajar dan mahasiswa. Ibu dari 3 orang anak ini masa mudanya dihabiskan dalam berbagai organisasi di lingkungan pendidikan. Titin pernah duduk sebagai ketua OSIS PGA Putri Pondok Pinang. Pada usia yang masih sangat muda Titin juga mulai berkenalan dengan IPPNU sebagai Ketua Ancab Pondok Pinang. Kepemimpinanya semakin tampak ketika pada periode Misnar, Titin menjabat Wakil Sekretaris PP IPPNU, dan pada kongres di Cirebon tahun 1981 terpilih sebagai Ketua Umum PP IPPNU. Di IAIN Syarif Hidayatullah, Titin pernah memegang jabatan Ketua Umum Korps PMII Putri (KOPRI) cabang Ciputat dan berlanjut sebagai anggota pleno Pengurus Besar PMII. Pengalaman di berbagai organisasi pelajar dan mahasiswa sangat mewarnai pola pikir pengorganisasian Nyonya Wahiduddin Adam ini. Bagi Titin, segmentasi antara OSIS, organisasi mahasiswa seperti PMII, dan organisasi pelajar ekstra sekolah seperti IPPNU, harus memberikan efek sinergi terhadap perkembangan pelajar dan mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu keberadaan ketiganya tidak menjadi masalah selama sistem pengkaderan masing-masing organisasi itu berjalan sesuai dengan target group yang dituju. OSIS yang pada awal 80-an semakin gencar 'diperkenalkan' pemerintah ke sekolah-sekolah memberi tekanan tersendiri bagi IPPNU. Dengan desakan pemerintah ini, IPPNU harus keluar baik dari sekolah-sekolah umum maupun sekolah agama yang selama ini menjadi konstituen utamanya. Tekanan ini masih ditambah lagi dengan penyeragaman asas untuk seluruh organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985 tentang Keormasan. Melalui menteri penerangan dan menteri dalam negeri, pemerintah menekan seluruh ormas di tanah air agar mengubah asas organisasinya menjadi Pancasila. IPPNU sebagai badan otonom di bawah Pengurus Besar NU, tidak luput dari tekanan ini. Titin paham betul bahwa pertengahan 80-an itu adalah saat IPPNU harus 'bertiarap'. Setelah NU mengakomodir kehendak pemerintah melalui munas Situbondo, giliran seluruh badan otonom NU mengikuti langkah organisasi induknya. Meski agak terlambat, melalui kongres Jombang tahun 1988, Titin dapat memberikan pengertian kepada para peserta dari cabang-cabang se-Indonesia bahwa perubahan asas organisasi adalah hal yang tidak terelakkan. Berkaitan dengan OSIS, Titin bersama rekan-rekan IPNU, merumuskan deklarasi yang kemudian disebut sebagai Ikrar Jombang. Ikrar anggota-anggota IPNU-IPPNU ini mengubah nama pelajar menjadi putra-putri, dan selanjutnya dilakukan reorientasi target group dan pola pengkaderan yang selama ini berjalan dalam mind-set kepelajaran. Saat ini, Titin yang tinggal di daerah Ciledug lebih banyak disibukkan
sebagai dosen agama Islam di ASMI. Di sela-sela jadwal padatnya mengajar
di berbagai tempat, Titin tidak bisa melepaskan kewajiban dakwah. Putri
dari pasangan Matsani dan Halimah yang rajin mengisi pengajian ini, menyempatkan
diri untuk mengemban jabatan Kepala Bagian Bina Mental, Departemen Hukum
dan Perundang-Undangan RI.
drg. Hj. ULFAH MASHFUFAH (1988-1991 dan 1991-1996)
Satu-satunya ketua umum IPPNU yang bergelar dokter ini dipercaya pada kongres Jombang untuk menjadi pengendali tertinggi dalam organisasi yang bahkan ia tidak pernah aktif sebelumnya. Minimnya pengalaman tidak menghalangi putri pasangan H.M. Aly Ubaid-Hj. Machfudhoh Wahab yang alumni SMA Al-Azhar, Jakarta, untuk segera menyesuaikan diri dengan ritme IPPNU. Ulfah mengemban amanat yang berat dari kongres Jombang untuk segera mengimplementasikan langkah-langkah perubahan IPPNU menjadi putri-putri. Beberapa langkah taktis untuk peninjauan kembali sistem pengkaderan segera dilakukan dengan mengajak partisipasi seluruh alumni. Perlahan tapi pasti IPPNU bergerak sesuai dengan nama organisasi yang baru. Dengan perubahan menjadi putri-putri ini, Ulfah sadar bahwa kelompok usia dan bidang garapan IPPNU akan meluas. Mind-set kepelajaran yang selama ini dimiliki IPPNU harus diperluas ke arah kepemudaan. Perhitungan itu membuat setiap langkah IPPNU harus mempertimbangkan keberadaannya di tengah konstelasi organisasi kepemudaan di tanah air. Oleh karena itu, Ulfah melihat bahwa IPPNU dapat semakin berkembang jika bergabung dengan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Betapa pun, pandangan Ulfah sejalan dengan amanat kongres yang memilihnya. Ulfah adalah salah satu dari dua orang --satu lagi Basyiroh-- yang terpilih sebagai ketua umum IPPNU selama dua periode. Periode pertama Ulfah banyak diisi dengan kegiatan konsolidasi organisasi dan memperjuangkan status keanggotaan IPPNU dalam KNPI. Kegigihan alumni Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia, ini membuahkan hasil. Pada tahun 1993 IPPNU diterima secara penuh sebagai anggota KNPI. Ulfah Mashfufah, mantan wakil bendahara PMII DKI Jakarta periode 1985-1987, sempat mendapat sorotan kritis pada kongres Lasem atas kinerjanya selama 1988-1991, namun dengan tangkas semua tudingan itu dijawabnya dengan baik sesuai langkah-langkah organisasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Kepiawaian melobi peserta kongres sekali lagi teruji ketika untuk kedua kalinya Ulfah terpilih sebagai Ketua Umum IPPNU. Istri dari AB. Mujib Imaby sekaligus cucu dari pendiri NU, K.H. Abdul
Wahab Chasbullah ini, melanjutkan kiprahnya membawa IPPNU sebagai anggota
baru KNPI agar lebih banyak dikenal sebagai organisasi kepemudaan. Sebelum
bergabung dengan KNPI, IPPNU lebih sering diasosiasikan sebagai kumpulan
pelajar saja, karena NU sudah memiliki wadah sendiri untuk mahasiswa, yaitu
PMII. Di bawah periode kedua kepemimpinan Ulfah, IPPNU mulai banyak melakukan
kerja sama dengan kantor-kantor kementerian seputar ketahanan nasional,
penanganan kenakalan remaja, dan kepemudaan. Mengakhiri jabatan sebagai
ketua umum pada kongres Garut tahun 1996, Ulfah yang lahir 16 Oktober 1964,
saat ini menjabat sebagai bendahara I PP Fatayat NU periode 1995-2000.
Dra. Hj. SAFIRA MACHRUSAH (1996-2000)
Ketua Umum IPPNU di penghujung abad ini termasuk kader IPPNU yang meniti karirnya dari bawah. Safira berkenalan dengan IPPNU sejak masa 'aliyah di Yogyakarta. Pada tahun 1988, Safira terpilih sebagai Ketua IPPNU cabang kodya Yogyakarta. Belum genap setahun kepengurusannya, pada tahun 1989 Safira dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Wilayah IPPNU DIY. Bakat kepemimpinan yang menonjol mengantarkan Safira mendampingi Ulfah, yang terpilih untuk kedua kalinya, sebagai Ketua I Pucuk Pimpinan IPPNU. Kiprahnya selama periode Ulfah, membuat Safira dipercaya sebagai Ketua Umum PP IPPNU periode 1996-2001 dalam kongres XI IPPNU di Garut, Jawa Barat, tahun 1996. Sebagai putri dari pasangan pendiri IPNU-IPPNU, Prof. Dr. H.M. Tolchah Mansoer, S.H. dan Dra. Hj. Umroh Machfudzoh, naluri berorganisasi Safira, selain di IPPNU, disalurkannya melalui PMII. Semasa kuliah Safira sempat menjabat wakil sekretaris KOPRI komisariat IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Karirnya di KNPI juga sudah dimulai di kota kelahirannya sejak IPPNU belum secara resmi bergabung dalam federasi organisasi pemuda tersebut. Peran yang menonjol sebagai pengurus DPD KNPI DIY mengantarkan Safira duduk sebagai Dewan Pengurus DPP KNPI periode 1993-1996 mewakili IPPNU. Pada kepengurusan periode 1996-1999, Safira duduk sebagai sekretaris Majelis Pemuda Indonesia, sebuah organ penasehat tertinggi dalam struktur KNPI. Meskipun KNPI banyak disebut-sebut sebagai organisasi yang sudah terkooptasi kekuasaan, daya kritis Safira tidak begitu saja hanyut. Bersama tujuh OKP terkemuka, IPPNU di bawah Safira memelopori terbentuknya Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) pada tahun 1997. Beberapa statement IPPNU yang dikeluarkan bersama-sama melalui forum yang disebut-sebut menggembosi peran KNPI, menandakan kematangan Pucuk Pimpinan dalam menyikapi berbagai kejadian di tanah air. Kritik-kritik tajam terhadap kepemimpinan nasional dan penyelewengan kenegaraan pada senja kala kekuasaan Orde Baru dilontarkan secara kontinyu oleh Safira bersama rekan-rekannya di kelompok Cipayung plus ini. Sebagai alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, perhatian Safira yang dibesarkan di kota pelajar terhadap pengkaderan anak usia sekolah sudah tumbuh sejak masa pendidikan menengah yang dilaluinya di kota yang sama. Tidak heran jika agenda IPPNU banyak diwarnai kegiatan-kegiatan khas pelajar seperti porseni, lomba karya tulis, dan lomba mengarang. Darah dinamis pendiri NU, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, yang diwarisi dari ibunya, kental mewarnai karakter Safira dalam mengendalikan kepengurusan yang sedianya diemban hingga tahun 2001 namun berdasarkan konbes 1998 diperpendek hanya sampai tahun 2000. Hampir seluruh wilayah IPPNU dikunjunginya untuk memastikan pembinaan yang digariskan Pimpinan Pusat dapat dipahami dan dijalankan dengan baik oleh kader-kader di daerah. Kiprah dalam kegiatan internasional yang pernah menonjol pada kepengurusan Machsanah dua dekade sebelumnya, diintensifkan kembali oleh mantan juara lomba pidato berbahasa Inggris se-DIY ini. IPPNU beberapa kali mengirimkan wakilnya dalam muhibah dan konperensi internasional di Jepang, Taiwan, dan Nepal. Sebagai ibu rumah tangga, istri dari H.M. Taufiq Prabowo, Lc., DEA, sejak tahun 1997 Safira terpaksa harus bolak-balik Jakarta-Malang untuk membagi waktunya yang kini juga tersita untuk keluarga. Dalam kesibukannya itu, dedikasi kepada NU tidak pernah luntur. Berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa yang disponsori Pengurus Besar NU pada pertengahan 1998 membawa Safira ke kancah politik praktis, yang oleh banyak orang dikatakan menuntut banyak pengorbanan waktu dan pikiran. Dalam kepengurusan DPP PKB periode 1998-2000, Safira duduk sebagai pengurus Departemen Luar Negeri. Sebagai juru kampanye PKB pada pemilu 1999, Safira pernah tercatat sebagai calon anggota DPR RI dari kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. |
|