[ Sejarah Perjalanan IPPNU ] |
MASA
PENEGUHAN (1991 - ...)
Kongres X IPPNU di Lasem Sesuai dengan rapat pleno gabungan IPNU-IPPNU tanggal 11 April 1991, Kongres X IPNU dan XI IPPNU dilaksanakan pada tanggal 23-27 Desember 1991 bertepatan dengan 17-21 Jumadil Akhir 1402 H di PP Al-Wahdah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Pelaksanaan kongres ini lebih cepat dari jadwal telah direncanakan karena ada kekhawatiran meningkatnya suhu politik tanah air menjelang pemilu 1992 akan mempengaruhi jalannya kongres. Di samping itu pemerintah, dalam hal ini Depdagri, sering mempersulit pengeluaran izin keramaian pada bulan-bulan menjelang pemilu. Kongres dibuka oleh Menpora Akbar Tanjung dengan pemukulan bedug. Menteri mendorong IPNU-IPPNU untuk memiliki anggota yang berkualitas, seperti dikatakan beliau: "Tidak perlu saudara-saudara berpretensi untuk menjadikan organisasi ini sebesar mungkin, atau memiliki anggota sebanyak mungkin, bila saudara tidak bisa mengelola secara modern, secara profesional, sehingga tidak memberikan nilai tambah kepada anggota."(28) Rois Syuriah PBNU, K.H.Sahal Mahfudz, menghimbau agar IPNU-IPPNU "mendesakan kota", yaitu mengubah sikap dan perilaku masyarakat kota yang telah terkena dekulturisasi budaya Indonesia. Meskipun tidak banyak menteri yang hadir, peserta kongres cukup berbesar hati dengan kehadiran Ketua Umum PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid. Dalam amanatnya, Gus Dur (panggilan akrab K.H.Abdurrahman Wahid) justru 'memarahi' IPNU-IPPNU yang ikut-ikutan gelombang besar mengkritik pemerintah. Ini adalah sikap yang mentah dan tidak didasari pengertian yang dalam mengenai transformasi yang telah dijalani NU.(29) Sinyalemen Gus Dur ini menarik karena di sisi lain Gus Dur menjadi pelopor demokratisasi dengan sentilan-sentilannya yang tajam terhadap kebijakan pemerintah melalui Forum Demokrasi. Agaknya 'permainan' yang justru menggunakan institusi di luar NU itu belum bisa dipahami dengan baik oleh kader-kader muda nahdliyyin yang berkongres, sehingga pandangan mereka terhadap perilaku politik Gus Dur masih bersifat monolitik sebagai ketua umum PBNU. Kritikan tajam Gus Dur terhadap IPNU-IPPNU ini bisa dipahami karena konsekuensi khitthah diantaranya adalah tidak melibatkan diri dalam proses politik praktis. Setiap kecenderungan menilai pemerintah masih dianggap beliau -menggunakan kacamata Orde Baru- sebagai pembukaan jalan ke arah politik praktis. Bagi NU sebagai eksponen parpol Orde Lama yang dengan susah payah mengantongi kepercayaan pemerintah Orde Baru stigmatisasi politik ini bisa merugikan. Kongres selanjutnya diisi oleh agenda-agenda teknis pembahasan masalah keorganisasian. Beberapa perubahan dilakukan dalam PD/PRT IPPNU diantaranya penambahan "kepemudaan" pada pasal 4 tentang sifat organisasi. Penambahan ini semakin memperjelas target group IPPNU setelah perubahannya menjadi "putri-putri". Perubahan nama dan penambahan sifat organisasi ini juga diharapkan membuat kedudukan IPPNU sebagai anggota KNPI menjadi sederajat dengan ormas-ormas pemuda lain, setelah selama beberapa tahun IPPNU tidak memiliki status keanggotaan yang jelas. Jika dalam kongres Jombang IPPNU nyata-nyata melakukan peremajaan pengurus maka dalam kongres Lasem kriteria tersebut diperlonggar dengan memperbolehkan Pucuk Pimpinan dijabat oleh anggota yang berusia setinggi-tingginya 30 tahun. Dalam sidang tentang pembahasan PD/PRT yang dipimpin Dra. Aisyah Lilia Agustini dan Qodriah Nur, diputuskan pula untuk lebih mengakomodasi potensi IPPNU di lembaga-lembaga pendidikan dan pesantren dengan mengesahkan berdirinya komisariat. Disebutkan dalam Bab IX tentang Komisariat: Berkedudukan di lembaga pendidikan atau pesantren, merupakan pimpinan tertinggi IPPNU di tingkat lembaga pendidikan atau pondok pesantren.(30) Dalam kongres pertama sejak perubahan nama menjadi putri-putri, IPPNU
menitikberatkan tiga aspek prioritas organisasi yaitu pertama, konsolidasi
organisasi, konsolidasi wawasan, dan konsolidasi anggota, kedua, partisipasi
anggota dan ketiga, kaderisasi. Ketiga aspek ini dipahami sebagai satu
kegiatan yang berbasiskan pemahaman nilai-nilai aswaja, baik menyangkut
masalah pematangan ideologi, pengembangan wawasan maupun program sosial
kemasyarakatan. Kentalnya nilai-nilai Islam ahlussunnah wal jama'ah dalam
kongres ini tampak dari penegasan IPPNU untuk menjadikannya sebagai tujuan
umum Program Kerja IPPNU periode 1992-1995 seperti terlihat dalam butir
pendahuluan berikut:
Berikut ini akan diuraikan selengkapnya garis-garis besar program IPPNU: Bidang Organisasi
Bidang Kaderisasi
Bidang Partisipasi
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Bidang Olahraga
Seperti layaknya kongres-kongres yang lalu, kongres Lasem ini menelurkan
rekomendasi dalam beberapa bidang yaitu politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan, pendidikan dan bidang umum. Stimulus demokratisasi
yang kritis terhadap penyelewengan di tanah air tampak sudah mewarnai kembali
butir-butir pemikiran yang dilontarkan IPPNU. Menyongsong pemilu 1992,
IPPNU menyorot tajam arogansi sebagian golongan dalam masyarakat yang nyata-nyata
berpihak kepada salah satu kontestan pemilu. IPPNU juga melontarkan betapa
penting pemilu dilaksanakan secara bebas dan adil -sebuah terobosan pemikiran
ditengah kekuatan oposisi masyarakat yang mandul terhadap Golkar sebagai
mesin politik pemerintah yang bergeming menghadapi dimasukkannya asas jujur
dan adil ke dalam pemilu.
Kalaupun khawatir bahwa BPPC tak dapat mengembalikan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Inndonesia) yang mencapai hampir 800 milyar rupiah itu, tentu saja sangat tak layak kalau akibatnya kemudian dibebankan kepada rakyat kecil, sebagai pihak yang merasakan langsung akibatnya. Malah akhirnya muncul pertanyaan, mengapa BPPC bisa mengantongi sebesar 50 % dari dana KLBI.(33) IPPNU meminta perhatian pemerintah agar segera meninjau ulang perizinan SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah -sebelumnya Porkas) karena keberadaannya lebih banyak memberikan dampak negatif kepada masyarakat, bahkan umat Islam sudah menghukumi sebagai haram. IPPNU juga menghimbau agar diberikan peluang yang sama kepada kaum wanita sebagai "mitra sejajar" kaum pria dalam proses pembangunan bangsa. Satu-satunya penghambat demokratisasi yang masih 'dipertahankan' oleh IPPNU adalah dukungan terhadap pelaksanaan dwifungsi ABRI, meskipun IPPNU menengarai sudah saatnya kekuatan sipil tampil di pentas nasional, seperti pernyataan berikut: Dwifungsi ABRI yang sudah dilaksanakan pemerintah saat ini merupakan suatu tindakan yang positif dalam menciptakan dan memantapkan stabilitas nasional... Tetapi setelah 25 tahun Orde Baru, dan masyarakat sudah lebih memahami bagaimana pentingnya stabilitas, sudah saatnya orang-orang sipil diberi wewenang dan kepercayaaan yang lebih banyak.(34) Kongres yang dihadiri sekitar 2000 orang peserta, peninjau dan undangan ini diakhiri dengan pemilihan ketua umum dan formatur PP IPPNU periode 1992-1995. Menjelang pemilihan ini suasana kongres menghangat. Beragam penilaian diberikan oleh wilayah terhadap kinerja PP. Utusan wilayah DI Yogyakarta misalnya, menilai kepengurusan periode 1988-1991 belum mantap karena tidak berhasil memperjelas status IPNU-IPPNU dalam KNPI dan tidak ada peningkatan berarti dalam kinerja wilayah-wilayah. Namun utusan dari Jawa Timur justru sebaliknya, menilai kepengurusan Tauhid-Ulfah cukup berhasil dan mengharapkan agar kepemimpinan tersebut dipertahankan, sedangkan kejelasan status dalam KNPI hanyalah masalah waktu.(35) Namun demikian, berita keberhasilan periode 1988-1991 lebih dominan mewarnai kongres sehingga dalam pemungutan suara Ulfah Mashfufah terpilih lagi tanpa persaingan yang berarti untuk kedua kalinya. Untuk penyusunan pengurus Ulfah dibantu oleh masing-masing satu orang dari Pimpinan Wilayah DKI Jakarta, Lampung dan Jawa Barat sebagai formatur. Dijabatnya kembali ketua umum oleh kader yang sama untuk kedua kalinya merupakan hal yang belum pernah terjadi dalam IPPNU setelah Basyiroh terpilih berturut-turut pada kongres pertama di Surakarta dan kedua di Yogyakarta. Untuk mengakomodasi Ulfah bahkan batas usia Pucuk Pimpinan setinggi-tingginya 27 tahun yang ditetapkan pada kongres Jombang diperlonggar kembali menjadi 30 tahun.(36) Dengan tidak adanya pembatasan berapa kali ketua umum boleh dijabat ulang oleh kader yang sama, maka batas usia dalam AD/ART IPPNU menjadi satu-satunya stimulus agar kaderisasi di tubuh organisasi dikelola dengan baik. Tidak pernah terpilihnya 'orang daerah' sebagai ketua umum dan terpilihnya kembali Ulfah dari yang sebelum kongres Jombang tidak pernah aktif di IPPNU mengindikasikan dua hal krusial.(37) Pertama, macetnya kaderisasi di dalam struktur organisasi IPPNU selama hampir satu dekade setelah terombang-ambingkannya NU karena tidak lagi menjadi partai politik. Sempat mengambangnya status NU dan tekanan sistematik yang diterima organisasi induk IPPNU ini ternyata memberikan "multiplier effect" yang hebat pada seluruh badan otonomnya. Kedua, masih gamangnya kader-kader IPPNU di daerah melihat mobilitas perempuan membuat keharusan menetapnya Pucuk Pimpinan di Jakarta menjadi faktor penghambat utama masuknya orang daerah menjadi ketua umum.(38) Rapat formatur berhasil menyusun kepengurusan PP IPPNU periode 1992-1995 selengkapnya sebagai berikut: Dewan Pelindung:
Dewan Pembina:
Ketua Umum: drg. Ulfah Mashfufah
Sekretaris Jenderal: Nur Kholishoh, S.Sos.
Bendahara Umum: Ir. Luluk Kholisoh
Sekretaris Bidang: Organisasi:
Pengkaderan:
Pendidikan:
Wiraswasta & Koperasi:
Sosial Dakwah dan Lingkungan Hidup:
Olahraga dan Kesenian:
Alumni & Luar Negeri:
Kepengurusan ini berjalan selama hampir satu tahun dengan menjabarkan berbagai program yang diamanatkan kongres Lasem. Dalam perjalanannya, beberapa fungsionaris tidak bisa lagi aktif dalam kegiatan PP karena berbagai kesibukan, sehingga Ulfah berinisiatif untuk mengadakan reshuffle kepengurusan. Pada rapat pleno Pucuk Pimpinan tanggal 1 April 1993 diputuskan untuk mengadakan pergantian sebagai berikut: Jabatan:
Sebelum diganti:
Sesudah diganti:
Setelah perubahan ini, kepengurusan kembali berjalan normal dan segera melakukan konsolidasi organisasi melalui kunjungan ke wilayah dan cabang-cabang. Tercatat sebanyak 10 wilayah dan 40 % cabang telah dikunjungi oleh PP. PP juga mengadakan pendataan Kartu Tanda Anggota (KTA) sebanyak 2000 buah yang tersebar di beberapa cabang. Untuk meningkatkan kualitas anggota PP mengadakan kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait untuk mengadakan pelatihan strategic planning dan manajemen pengelolaan organisasi. Beberapa anggota IPPNU tercatat mengikuti pelatihan yang diadakan dalam bidang-bidang seperti manajemen koperasi, penataran kader bela negara, seminar-seminar keluarga sadar hukum, dan penataran kewaspadaan nasional. Bergabungnya IPPNU di dalam KNPI semakin membuat nama IPPNU dikenal luas di kalangan organisasi kepemudaan di tanah air bahkan mancanegara. Beberapa kali IPPNU mengadakan kerja sama dengan beberapa ormas pemuda antara lain Pemuda Muhamadiyah dan KNPI dengan mengadakan sarasehan tentang "Islam dan Implementasinya dalam Kehidupan Generasi Muda". Nama IPPNU selanjutnya semakin melambung setelah tampil sebagai ormas pelopor kepedulian terhadap merebaknya penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) di Indonesia.(39)Bekerja sama dengan kantor Menpora, partisipasi IPPNU dimulai dari panitia nasional hari AIDS sedunia kemudian berlanjut pada serangkaian pelatihan motivator AIDS yang diikuti oleh pengurus cabang dan pengurus wilayah IPPNU se-Indonesia. Sukses dalam kegiatan dakwah dan sosial di dalam negeri, IPPNU mulai meretas hubungan luar negerinya dengan mengikuti Dialog antar Bangsa Indonesia-Singapura bekerja sama dengan kantor Menpora. Pada pertemuan itu Indonesia hanya diwakili dua ormas yaitu IPPNU dan Pemuda Muhamadiyah. Selanjutnya IPPNU bekerja sama dengan Departemen Agama mengadakan Muktamar Dakwah Islam se-Asia Pasifik pada bulan September 1995. Untuk lebih memperkenalkan nama IPPNU di manca negara, IPPNU diwakili Safira Machrusah ikut serta pada acara "Workshop Strengthening on Women NGO to Develop the Status of Women" di Nepal pada tanggal 5-12 Mei 1996. Acara ini diikuti oleh lembaga-lembaga internasional dari tujuh negara Asia yaitu: Bangladesh, Kamboja, Filipina, Indonesia, Nepal, Pakistan, dan Vietnam. Meningkatnya kegiatan aktif dan partisipatif IPPNU selama kepengurusan
ini menunjukkan bahwa perluasan orientasi organisasi pasca kongres Jombang
tahun 1988 perlahan tapi pasti mulai menemukan bentuknya. Pengakuan eksistensi
IPPNU di kancah kepemudaan nasional terlihat dari betapa banyak kegiatan
yang dihadiri PP IPPNU periode 1992-1996. Tak kurang dari 233 kegiatan
dapat dijalani dengan baik oleh IPPNU dalam berbagai kapasitasnya mulai
sebagai penggagas, panitia, peserta maupun undangan.(40) Mantapnya proses
reorientasi organisasi serta padatnya kegiatan IPPNU membuat PP tidak memandang
perlu diselenggarakan suatu konperensi besar meskipun saudara kandungnya,
IPNU, mengadakan konbes di Jambi pada bulan September 1995. Amanat terakhir
yang harus dijalankan kepengurusan periode ini adalah kongres XI IPPNU
yang merupakan ajang transparansi dan kesinambungan pengkaderan organisasi.
Kongres XI IPPNU di Garut Sebagai organisasi pelajar, IPPNU telah meneguhkan diri untuk memusatkan kegiatannya pada empat bidang utama yaitu pendidikan, kesehatan, peningkatan produktivitas dan kultur kerja, serta partisipasi dalam pengambilan keputusan dan penyempurnaan kebijaksanaan pemerintah. Pendidikan merupakan wahana utama yang melahirkan, membentuk, dan mengubah seseorang untuk meningkatkan inisiatif dan kreativitas dalam menghadapi lingkungannya. Kesehatan merupakan akar kelangsungan kehidupan material dan spiritual seorang wanita agar dapat berperan sebagai kaum profesional yang mandiri. Peningkatan produktivitas adalah hal yang mutlak diperlukan dalam menghadapi persaingan global di masa mendatang. Partisipasi kaum wanita dalam pengambilan keputusan merupakan hal yang mutlak dikembangkan untuk meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan nasional.(41) Untuk itulah IPPNU dalam kongres kesebelasnya merangkumkan keempat hal ini dalam istilah "pemberdayaan kaum wanita muda Indonesia" dan menjadikannya sebagai tema sentral musyawarah nasional ini. Kongres yang dilaksanakan di PP Al-Musadadiyah, Garut, Jawa Barat, ini diikuti sekitar 1000 orang peserta dari cabang-cabang IPPNU di seluruh pelosok tanah air.(42) Semula kongres akan dilaksanakan di PP Sukamiskin, Bandung, bersama IPNU. Namun karena tempat yang dipilih tidak mampu menampung ribuan peserta dan penggembira, kongres kemudian dipindahkan ke Garut, sekitar dua jam perjalanan ke arah timur laut kota Bandung. Meskipun kepindahan ini cukup mendadak, berkat kesigapan panitia lokal, kongres yang baru kedua kalinya diselenggarakan di Jawa Barat ini berlangsung meriah, diramaikan dengan bazar dan pertunjukan-pertunjukan seni di sekitar arena. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, upacara pembukaan kongres IPPNU tanggal 10 Juli 1996 dibuka langsung oleh Wakil Presiden, Try Sutrisno, di Istana Wakil Presiden, Jakarta. Siang harinya peserta segera diberangkatkan kembali menuju arena kongres di Garut untuk menerima ucapan selamat datang dari Gubernur KDH I Jawa Barat yang diwakili oleh Drs. H. Soedarna TM, Pembantu Gubernur Wilayah V Priangan. Semakin diperhitungkannya keberadaan IPNU-IPPNU di tanah air tampak dari liputan media massa pada perhelatan nasional nahdliyyin muda ini. Tak kurang dari harian Republika, Kompas, Pikiran Rakyat dan Bandung Pos secara teratur memuat perkembangan kongres dari hari ke hari. Kongres yang bertemakan "Meningkatkan Kualitas Pemberdayaan Kaum Muda Nahdliyah dalam Perkembangan Paradigma Pembangunan yang Berkeadilan" ini dihadiri oleh beberapa menteri Kabinet Pembangunan VI antara lain Menpora Hayono Isman, Mendikbud Wardiman Djojonegoro dan Menag Tarmizi Taher. Dalam kesempatan tanya jawab dengan Menpora, peserta kongres menyoal kebijakan pemerintah 'membiarkan' munculnya PBNU tandingan pimpinan Abu Hasan setelah kalah suara terhadap K.H.Abdurrahman Wahid dalam pemilihan ketua umum tanfidziyah PBNU pada muktamar ke-28 NU di Cipasung tahun 1994. Menanggapi hal tersebut menteri mengatakan: "Pemerintah sejak dulu tetap punya komitmen untuk membangun sistem yang sehat. Jadi tidak ada "invisible hand" seperti itu. Kita akui kepemimpinan Pak Abdurrahman Wahid. Ya, kalaupun terjadi persoalan di tubuh NU, itu semata-mata persoalan intern organisasi. Saya yakin orang NU mampu menyelesaikannya sendiri." (43) Beberapa keputusan sekitar pemantapan peran IPPNU berhasil ditelurkan kongres diantaranya mengenai kriteria pengurus, masa jabatan PP dan pokok-pokok pikiran IPPNU. Sebuah kecenderungan yang menggejala dalam kongres-kongres IPNU-IPPNU adalah semakin banyaknya acara terpisah yang diselenggarakan dalam arena kongres. Pada kongres-kongres sebelumnya pembahasan mengenai pokok-pokok pikiran selalu diadakan bersama-sama dalam sidang pleno gabungan IPNU dan IPPNU. Bahkan butir-butir pemikirannya pun banyak didominasi IPNU. Dalam kongres Garut ini, sidang pleno gabungan hanya dilaksanakan pada saat pembukaan, pemberian materi dari luar, dan penutupan saja. Hal ini menunjukkan bahwa pada usianya yang ke-41 IPPNU semakin berani dan mandiri. Keputusan yang cukup fundamental dalam penyempurnaan PRT adalah perubahan masa jabatan -dari yang selama lebih dua dekade sebelumnya empat tahun- menjadi lima tahun. Konsekuensi ini membawa IPPNU pada kemungkinan terpisah dari IPNU dalam penyelenggaraan kongres mendatang.(44) Hal ini sempat menjadi perdebatan dalam pembahasan di tingkat komisi, namun dengan penuh keberanian IPPNU meneguhkan keputusan ini dalam sidang plenonya. Kriteria umur pengurus di tingkat Pucuk Pimpinan tidak mengalami perubahan karena usia 30 tahun dipandang sudah sesuai dengan kriteria "putri-putri". Perubahan dilakukan pada kriteria Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Cabang dari setinggi-tingginya 27 dan 26 tahun menjadi masing-masing 30 tahun. Sedangkan Pimpinan Anak Cabang, Ranting, dan Komisariat ditetapkan 25 tahun, sama seperti hasil kongres Lasem.(45) Program-program IPPNU dititikberatkan pada pelaksanaan Sapta Khidmat yaitu: (1) Peningkatan penghayatan dan pengamalan ajaran Islam ahlussunnah wal jama'aah dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa, (2) Pemantapan pelaksanaan Khidmat Nahdlatul Ulama tahun 1926, (3) Penajaman dan segmentasi wilayah garapan, (4) Restrukturisasi dan penguatan terhadap remaja putri, (5) Pengembangan pemahaman nilai seni dan budaya, (6) Peningkatan kualitas pendidikan, dan (7) Pengembangan kemampuan dan pemberdayaan kader. Sapta Khidmat ini diimplementasikan dalam program-program yang selengkapnya sebagai berikut: Sapta Khidmat pertama:
Sapta Khidmat kedua:
Sapta Khidmat ketiga:
Sapta Khidmat keempat:
Sapta Khidmat kelima:
Sapta Khidmat keenam:
Sapta Khidmat ketujuh:
Hal baru yang terlihat mendapat penekanan dalam program kerja yang terpanjang selama sejarah kongres IPPNU ini adalah perluasan hubungan dengan institusi-institusi ormas, LSM, dan organisasi internasional. Akan kita lihat bahwa dalam perjalanan kepengurusan hasil kongres Garut, program perluasan kerja sama ini mendapatkan artikulasi yang cukup optimal. Terdapat 9 bidang yang menjadi perhatian dalam Pokok-Pokok Pikiran Kongres XI IPPNU yaitu: (1) Pelaksanaan pemilu 1997, (2) Kondisi kehidupan politik, (3) Alih generasi kepemimpinan bangsa, (4) Masalah keagamaan, (5) Globalisasi dan ketahanan budaya, (6) Masalah kepemudaan dan kaum santri, (7) Kewanitaan, (8) Kewirausahaaan, dan (9) Pendidikan. IPPNU menyerukan agar pemilu 1997 dapat dilaksanakan dengan mengutamakan "fair play" agar bisa menjadi ajang pendidikan politik yang sehat bagi rakyat. Jika pemilu bisa diselenggarakan dengan cara demikian, IPPNU menyerukan agar segenap anggotanya agar dapat menggunakan hak pilih secara bebas dan bertanggung jawab. Akan kita lihat bahwa IPPNU nantinya justru bergabung dengan pendapat yang justru 'bisa memahami golput'.(46) Mengerasnya sikap pemerintah dalam menangani krisis di tubuh PDI di satu sisi dan dibiarkannya gerakan kuningisasi yang dilakukan Golkar, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, disebut IPPNU sebagai "praktek kehidupan politik yang tidak sehat dan tidak dewasa". Dalam pokok pikirannya, IPPNU secara halus menyoal suksesi kepemimpinan nasional yang dikatakan "harus dipersiapkan dan direncanakan". Secara khusus IPPNU meminta agar wawasan kemitrasejajaran hendaknya dapat direalisasikan dalam segenap sendi kehidupan masyarakat.(47) IPPNU melihat bahwa peranan wanita dalam pembangunan bangsa menjadi semakin strategis setelah sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa lebih dari separo penduduk Indonesia adalah perempuan.(48) Agenda terakhir kongres XI IPPNU adalah pemilihan ketua umum periode 1996-2001. Pemilihan dilangsungkan dalam sidang pleno dengan kandidat Safira Machrusah dan Umi Husnul Khotimah, yang masing-masing adalah ketua I dan ketua II kepengurusan sebelumnya. Pemilihan sempat berjalan alot karena lobi-lobi yang dilakukan kandidat, sehingga kongres yang seharusnya berakhir hari Minggu (14/7) pukul 23.00, molor hingga pukul 03.00 hari Senin (15/7). Sidang pemilihan ketua yang berlangsung selama enam jam itu akhirnya memilih Safira Machrusah sebagai ketua umum PP IPPNU periode 1996-2001 dengan mengantongi 119 suara, unggul atas rivalnya, Umi Husnul Khotimah yang memperoleh 42 suara. Dengan berakhirnya pemilihan ini, usai sudah satu tonggak pengkaderan organisasi. Seluruh peserta kongres pulang ke daerah mereka masing-masing dengan kebanggaan bahwa IPPNU sekali lagi berhasil melalui perhelatan akbarnya dengan jumlah cabang yang semakin bertambah. Pada saat berakhirnya kongres Garut itu, IPPNU tercatat memiliki sekitar 245 cabang yang tersebar dalam 24 daerah tingkat I.(49) Semua itu membuktikan bahwa keberadaan IPPNU sebagai ormas kepemudaan di kalangan NU semakin dapat diterima oleh masyarakat. Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan organisasi, Safira dibantu oleh empat orang formatur yaitu Ulfah Mashfufah (ketua demisioner), Zainab Malthufah (ketua PW IPPNU Jatim), Dra. Ermawati (ketua PW IPPNU Sumsel), dan Nurhasanah S.Ag. (ketua PW IPPNU Jateng), menyusun kepengurusan PP IPPNU periode 1996-2001 sebagai berikut: Dewan Pelindung:
Dewan Pembina:
Ketua Umum: Dra. Safira Machrusah
Sekretaris Jenderal: Ratu Dian Hatifa, S.Ag.
Bendahara Umum: Hj. Ani Hamid Baidlowi
Departemen-departemen: Organisasi & Pengkaderan:
Alumni & Luar Negeri:
Pendidikan & Kesejahteraan Sosial:
Dakwah & Hubungan Pesantren:
Pers & Hubungan Masarakat:
Olahraga, Seni & Budaya:
Wira Usaha & Koperasi:
Perkembangan Kegiatan Kepengurusan PP IPPNU ini dilantik bersama PP IPNU periode 1996-2000 di auditorium Perpustakaan Nasional RI di Jakarta oleh Rais 'Aam PB Nahdlatul Ulama, K.H. Ilyas Ruchiyat, pada tanggal 19 September 1996. Dalam amanatnya, Kyai Ilyas berharap agar generasi muda, khususnya warga nahdliyyin, dapat mengendalikan diri dan tidak emosional dalam setiap gerak dan langkahnya. Itu semua hanya bisa dilakukan jika nilai-nilai agama selalu menjadi barometer pengambilan keputusan setiap pribadi. Sementara itu, Ketua Umum PBNU, K.H.Abdurrahman Wahid tampil memberikan orasi ilmiah dan kebudayaan usai pelantikan pengurus baru. Gus Dur meminta agar IPNU-IPPNU dapat menyalurkan gelora dan animo perubahannya melalui saluran-saluran yang konstruktif dan menggunakan akal sehat. Menurut Gus Dur, jika anatomi psikologis remaja dipahami secara proporsional, dengan sendirinya tindakan kaum muda tersebut mendapat tempat. Sebab di kalangan mudalah terjadinya demonstrasi, tuntutan, unjuk rasa, dan pemboikotan. Dari kalangan remajalah munculnya statement yang menggebu-gebu, penuh dengan cita-cita mulia dan semangat yang membara. Dalam pelantikan ini Gus Dur juga menegaskan pentingnya menggunakan jalur-jalur resmi agar semua usaha yang dilakukan dapat membuahkan hasil. Yang menarik adalah diakhirinya acara di jalan Salemba Raya ini dengan pembacaan sajak-sajak cinta dan religius oleh penyair Sitok Srengenge. Karakter yang menonjol dari kepengurusan IPPNU periode 1996-2001 adalah suasana keterbukaan, antisipatif, kerja sama yang luas, dan kedisiplinan yang mewarnai setiap gerak dan langkah organisasi. Garis kebijaksanaan itu ditempuh mengingat NU sebagai induk organisasi mendapat tekanan yang cukup hebat dari pemerintah setelah intervensi yang gagal dalam muktamar tahun 1994 di Cipasung. Keterbukaaan sangat diperlukan pengurus karena bagaimanapun IPPNU sebagai badan otonom NU dinilai semakin bermuatan politis. Sehingga setiap gerak organisasi yang dilakukan secara individual maupun kolektif dapat diinterpretasikan sebagi representasi dari sikap sebagian besar generasi muda NU. Sikap responsif dan antisipatif ditunjukkan oleh kesigapan menjawab dan menyatakan sikap dalam setiap peristiwa keumatan di tanah air -seperti akan diuraikan dalam perjalanan kepengurusan terakhir abad XX ini. Meluasnya kerja sama dalam kepengurusan ini adalah cerminan dari semakin diakuinya peranan IPPNU di tengah kancah kepemudaan di tingkat nasional. Dalam Kongres KNPI ke-8, Safira Machrusah mewakili IPPNU, dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Majelis Pemuda Indonesia masa bakti 1996-1999. Dalam majelis yang berfungsi sebagai penasehat KNPI, dipercayanya IPPNU sebagai pengurus harian yang mengkoordinasi 43 OKP di tanah air ini menunjukkan apresiasi yang tinggi dari ormas-ormas kepemudaan nasional pada kiprah IPPNU yang baru tiga tahun bergabung dengan KNPI. Berkaitan dengan kedisiplinan, dalam masa sekitar dua tahun perjalanan pengurus, pimpinan IPPNU terpaksa menonaktifkan salah satu ketuanya yang mantan ketua cabang IPPNU kotamadya Bandung, Farahdiba Agustin. Disiplin organisasi dan identitas ke-IPPNU-an selalu ditekankan sebagai faktor pengendali intern sikap dan gerak anggota oleh pimpinan yang baru. Sesuai dengan mekanisme organisasi, penonaktifan itu dilakukan setelah Farah diberi tiga kali surat peringatan dan tidak mengindahkan teguran tersebut. Karena tindakan indispliner yang dilakukan juga berhubungan dengan pihak luar, pimpinan IPPNU juga melakukan konsultasi dengan PBNU tentang penonaktifan tersebut. Setelah pembahasan yang cukup mendalam dalam sidang pleno pengurus, pimpinan IPPNU akhirnya melakukan penonaktifan Farah dari jabatannya sebagai Ketua VI PP IPPNU. Sebagai langkah awal membangun kekompakan pengurus, PP mengadakan rapat pleno I di Cisarua, Bogor, tanggal 9-10 November 1996. Rapat membahas pengejawantahan Sapta Khidmat ke dalam program-program yang bersifat operasional. Dalam waktu tiga bulan sejak Juli, PP telah melakukan konsolidasi ke Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Riau. Segera sesudah pleno, PP IPPNU mengadakan persiapan untuk peringatan Harlah ke-42 IPPNU yang rencananya akan diselenggarakan secara besar-besaran di Tegal. Dalam perkembangannya, cabang Kendal ternyata juga berkeinginan untuk dijadikan sebagai pusat peringatan harlah. Kondisi dilematis ini membuat panitia kalang kabut. Pada tanggal 10 April 1997, di lapangan Adiwerna Tegal diadakan peringatan Harlah ke-42 IPPNU. Ribuan orang tumpah dalam acara yang dimeriahkan oleh pentas seni itu. Ketua umum PBNU, K.H.Abdurrahman Wahid, berkenan memberikan orasi dalam acara yang dihadiri beberapa pejabat lokal. Pada saat yang bersamaan, di Kendal diselenggarakan pula Dialog Nasional IPPNU dengan menghadirkan putri presiden Soeharto, Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, Menkop Subiakto Cakrawerdaya, dan Gubernur KDH tk. I Jawa Tengah, Soewardi. Acara di Kendal tidak kalah meriahnya, karena menjelang Pemilu 1997 Mbak Tutut (panggilan akrab Ny. Siti Hardiyanti) sedang mendapat sorotan nasional. Bersama Megawati Soekarnoputri, Mbak Tutut adalah figur yang saat itu dijagokan oleh Gus Dur sebagai "pemimpin Indonesia masa depan". Perjalanan keliling Gus Dur ke pesantren-pesantren menggandeng putri
presiden, ditambah kehadiran Mbak Tutut dalam perhelatan besar generasi
muda NU, tak pelak lagi menimbulkan spekulasi politik yang bermacam-macam
dari para pengamat dan segenap kekuatan politik di luar NU. Sebagian menganggap
itu sebagai manuver Gus Dur karena 'masih diragukan' legitimasinya sebagai
ketua umum PBNU hasil muktamar Cipasung. Kerusuhan yang melanda Situbondo
(akan diuraikan nanti) yang terkenal sebagai kota santri dan basis NU di
Jawa Timur setengah tahun sebelumnya dipandang sebagai kejadian yang direkayasa
oleh kekuatan-kekuatan anti Gus Dur. Beberapa kerusuhan di akhir tahun
1996 yang selanjutnya menular ke basis-basis utama NU seperti Tasikmalaya,
Rengasdengklok, Sanggau Ledo, dan Banjarmasin adalah refleksi dari makin
menguatnya kekuatan provokatif yang ditengarai digerakkan oleh seorang
'aktor intelektual' yang bahkan sampai sekarang tidak pernah diketemukan.
Dalam kacamata ini, tindakan Gus Dur mendekati Mbak Tutut dipandang sebagai
upaya NU 'mencari perlindungan' ketika dihadapkan pada ketidakmampuan fisik
mempertahankan rasa aman warganya. Upaya ini terbukti efektif meredam berbagai
gejolak di basis-basis NU. Sebagian pengamat lainnya menilai tindakan ini
sebagai bentuk kenylenehan Gus Dur yang sudah bertahun-tahun biasa dilakukan.
Tidak ada yang istimewa dengan kejadian tersebut.
Menghadiri Munas Alim Ulama NU Pada tanggal 16-20 Rajab 1418 H, bertepatan dengan tanggal 17-21 November 1997, bertempat di PP Qamarul Huda, desa Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nahdlatul Ulama mengadakan Munas Alim Ulama dan Konperensi Besar. Acara yang dilangsungkan secara sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk sambutan pejabat-pejabat pemerintah ini dianggap sebagai penegasan kemandirian NU dalam menghadapi berbagai tekanan eksternal, khususnya pasca intervensi pemerintah pada muktamar Cipasung tahun 1994. Sebagai anggota pleno PBNU, PP IPPNU mendapat kesempatan menjadi peserta munas yang dihadiri sekitar 250 orang dari badan-badan otonom pusat dan utusan-utusan wilayah NU seluruh Indonesia. Munas alim ulama NU yang diselengarakan menjelang Sidang Umum MPR 1998 ini sangat bernilai strategis karena dunia politik di Indonesia saat itu sedang diramaikan oleh perdebatan mengenai suksesi kepemimpinan nasional. Berbagai penolakan yang bertubi-tubi terhadap pencalonan Soeharto membuat NU sebagai ormas terbesar di Indonesia secara sosial mendapatkan desakan tidak langsung dari beberapa kelompok dalam masyarakat untuk segera menyatakan pendiriannya. Apalagi isyarat Soeharto untuk turun itu dibarengi dengan kemunculan dua orang figur pemimpin wanita --mbak Tutut dan mbak Mega-- ke pentas nasional. Menjelang SU MPR 1998 memang ramai dibicarakan masalah kepemimpinan wanita dalam Islam. Bolehkah dalam Islam sebuah negara dipimpin oleh seorang wanita, selalu menjadi bagian dari diskursus mengenai suksesi. Dilatarbelakangi oleh kondisi-kondisi obyektif tersebut, PBNU dalam munas secara khusus mengagendakan dua masalah, kepemimpinan nasional dan kedudukan wanita dalam Islam, di samping beberapa masalah maudlu'iyah yang lain. IPPNU yang diwakili Safira Machrusah dan Najichah Muhtarom terlibat aktif sebagai anggota dalam komisi masail diniyyah maudlu'iyyah bersama K.H. Cholil Bisri (ketua), Dr. K.H. Said Agiel Sieradj, M.A. (sekretaris), K.H.Yusuf Muhammad, Dr. K.H. Nur Iskandar Al-Barsany, M.A., K.H. Hanif Muslich, S.H., K.H. Mahfudz Thoha, Dr. K.H. Nur Iskandar Al Barsany, dan K.H. Irfan Zidny, M.A. Komisi tersebut membahas masalah-masalah: (1) Nasbul Imam dan Demokrasi, (2) Hak asasi manusia dalam Islam, (3) Kedudukan wanita dalam Islam, dan (4) Reksadana. Dalam keputusan munas alim ulama nomor 004/MN-NU/11/1997 tentang Kedudukan
Wanita dalam Islam dinyatakan bahwa Islam memberikan hak yang sama kepada
laki-laki dan perempuan untuk memberikan pengabdian kepada agama, nusa,
bangsa, dan negara. Hal ini ditegaskan dalam salah satu ayat Al-Quran yang
artinya: Dan barang siapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun
perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga,
mereka diberi rizki di dalamnya tanpa hisab (QS. Al-Mu'min:40). Dalam keputusan
tersebut diakui bahwa ada perbedaan fungsi laki-laki dan perempuan yang
bersifat kodrati, sementara itu peran-peran non-kodrati dalam masyarakat
harus dipikul laki-laki dan perempuan dengan tanggung jawab yang sama.
Peran domestik wanita seperti, peran sebagai pendidik yang pertama dan
utama bagi anak-anaknya, hamil, melahirkan, menyusui dan fungsi-fungsi
keluarga lainnya, merupakan kesejatian kodrat seorang wanita. Namun dalam
peran publik sebagai anggota masyarakat, menurut prinsip-prinsip Islam,
wanita diperbolehkan melakukan peran-peran tersebut dengan tetap mengingat
bahwa kualitas, kapabilitas, dan akseptabilitas harus tetap menjadi ukuran.
Keputusan ini membuat perhatian masyarakat sejenak tersita kepada NU. Sebagai
sebuah organisasi yang selama ini dianggap kumpulan kaum tradisionalis,
NU dianggap selangkah lebih maju ketimbang ormas Islam lainnya dalam menyatakan
persamaan kesempatan pria wanita dalam kepemimpinan. Keputusan ini di kemudian
hari menjadi rujukan bagi segenap aktivis perempuan NU dalam menyuarakan
persamaan harkat dan martabat laki-laki dan perempuan di semua lini publik.
FKPI dan Politik Bunyi-Bunyian (50) Menjelang pemilu 1997, dua orang wanita, masing-masing ketua DPP PDI hasil kongres Surabaya, Megawati Soekarnoputri, dan ketua DPP Golkar, Siti Hardiyanti Rukmana adalah dua orang figur pemimpin wanita yang dalam atmosfer politik nasional paling berperan untuk tampil sebagai pemimpin nasional wanita pertama dalam sejarah Indonesia. Meskipun kedua wanita itu tidak dicalonkan sebagai presiden, media massa nasional mulai diramaikan dengan polemik seputar boleh tidaknya wanita mengepalai suatu negara dalam Islam. Menjawab hal tersebut IPPNU menggelar dua kali seminar. Pertama, pada bulan Maret 1997 dengan tema "Posisi Wanita dalam Masyarakat dan pada Era Globalisasi", dan kedua pada tanggal 20 Desember 1997 dengan tema "Perempuan dan Kepemimpinan Nasional: Tinjauan Politis dan Sosial Budaya". Pada seminar kedua yang mendapat perhatian cukup luas dari kalangan pers ini hadir diantaranya Dr. AS Hikam, Drs. Masdar F. Mas'udi, dan K.H.Abdurrahman Wahid sebagai nara sumber. Dalam seminar itu Hikam mengemukakan bahwa wanita akan semakin memegang peranan penting dalam politik nasional, ditandai dengan naiknya Mbak Tutut dan Mbak Mega ke pentas politik nasional. Menurut Hikam kemunculan wanita dalam panggung politik tidak perlu diributkan karena dalam sejarah perpolitikan internasional hal itu bukan merupakan hal yang baru. Dalam kasus Indonesia, hadirnya dua figur wanita di atas menjadi menarik karena dua hal, pertama, asal-usul kedua figur yang memang menarik karena sama-sama putri presiden. Kedua, karena kemunculannya bersamaan dengan kecenderungan global, khususnya di Asia dengan adanya Cory Aquino, Benazir Butto, dan Aung San Suu Kyi.(51) Meskipun menolak dicalonkan sebagai wapres, munculnya daftar panjang wakil presiden dari Golkar menjelang pemilu 1997 membuat keberadaan Mbak Tutut menjadi layak untuk diperhitungkan.(52) Namun demikian ada dua faktor penghambat naiknya Mbak Tutut, pertama, krisis moneter sejak pertengahan 1997 yang mendepresiasi nilai rupiah hingga Rp 6.000,- per $US 1 pada bulan Desember tahun itu. Krisis ekonomi terburuk sepanjang sejarah Orde Baru ini membuat legitimasi pemerintahan presiden Soeharto yang mendasarkan pada pertumbuhan ekonomi goyah, bagaimanapun hal ini dilihat sebagai jatuhnya prestasi Pak Harto. Kedua, kedudukan Mbak Tutut sebagai putri sulung presiden yang merupakan faktor disinsentif bahkan dalam keadaan ekonomi stabil. Sementara itu Masdar menyoroti rendahnya pertimbangan kapabilitas dalam pengunggulan Mbak Tutut dan Mbak Mega sebagai pemimpin nasional. Rakyat lebih banyak menimbang keduanya berdasarkan pengaruh yang bukan ditimbulkan dari kualitas internal diri kedua figur tersebut. Terlepas dari siapa figur yang dibicarakan, melalui seminar yang mendapat perhatian luas dari dunia pers ini, IPPNU sebenarnya berniat untuk menggugah kesadaran kaum wanita untuk terus mengaktualisasikan potensinya dalam menunjang pembangunan nasional. Ternyata seminar ini mendadak jadi sangat bernilai politis karena ucapan Gus Dur dalam seminar yang menyebutkan bahwa NU sudah siap jika terjadi perubahan-perubahan fundamental kenegaraan di mana kepemimpinan nasional diduduki wanita. Sebagai ketua umum dari ormas Islam terbesar di tanah air, ucapan ini diinterpretasikan sebagai bentuk dukungan Gus Dur kepada salah satu dari dua orang figur pemimpin wanita yang sedang melambung di Indonesia, Mbak Mega dan Mbak Tutut, menjelang SU MPR 1998. Seminar ini juga semakin menambah gelombang polemik seputar boleh tidaknya presiden wanita, antara sikap konservatif beberapa ulama yang tegas-tegas menolak, berhadapan dengan pandangan beberapa pengamat yang menengarainya sebagai keniscayaan di tengah kecenderungan global isu gender yang semakin mengedepankan peran wanita. Naiknya Megawati ke tampuk pimpinan PDI pada kongres PDI di Surabaya semakin membuktikan bahwa wanita -terlepas bahwa Megawati adalah putri proklamator RI, Soekarno- semakin mendapat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia. Setelah gagal membungkam Gus Dur dalam muktamar Cipasung tahun 1994, pemerintah dihadapkan lagi dengan menguatnya pamor PDI di bawah Mega, sesuatu yang saat itu gencar disebut sebagai arus bawah. Besarnya kharisma Megawati dipandang bisa membahayakan kedudukan Golkar dalam pemilu yang sedianya digelar bulan Maret 1997. Beberapa pengamat mengatakan bahwa kekhawatiran ini terlalu berlebihan. Barangkali yang lebih tepat adalah membahayakan skenario alternatif naiknya putri sulung presiden ke dalam pentas politik nasional. Kepengurusan Mega yang secara administratif memiliki kelemahan digunakan oleh pemerintah untuk memainkan lagi politik legitimasinya dengan mendukung pernyataan sebagaian kader PDI yang menyatakan bahwa kepengurusan PDI di bawah Mega sudah habis masa jabatannya sehingga harus segera diadakan kongres. Pemerintah kemudian mendukung penyelenggaraan kongres PDI di Medan yang dimotori oleh Suryadi, Fatimah Ahmad, dan Buttu R. Hutapea. Sementara itu, massa PDI Mega bereaksi terhadap kongres yang menghasilkan kepengurusan PDI versi pemerintah ini dengan menduduki kantor DPP PDI di jalan Diponegoro, Jakarta. Dalam pendudukan itu, hampir setiap hari digelar orasi politik oleh berbagai komponen masyarakat yang sudah merasa lelah dengan berbagai bentuk pasungan yang dilakukan Orde Baru terhadap kehidupan politik. Suhu politik tanah air meningkat, dan mengalami puncaknya pada tanggal 27 Juli 1996. Kantor PDI diserbu oleh sekelompok massa yang memakai kaos satgas PDI. Bentrok fisik tak terhindarkan. Massa PDI Mega yang tidak siap kocar-kacir menyelamatkan diri. Beberapa diantaranya tewas dan puluhan luka-luka. Jakarta pada hari itu dinyatakan dalam keadaan Siaga I, di seluruh pelosok ibukota terdapat konsentrasi tentara dalam jumlah besar. Sehari sesudah itu Jakarta dinyatakan kembali normal dan disebutkan bahwa hanya terjadi bentrok antar kelompok masyarakat yang berlangsung di jalan Diponegoro. Seluruh komponen pro demokrasi di tanah air sangat menyesalkan kejadian itu dan meminta agar segera dilakukan penyelidikan atas penanggung jawab penyerangan. IPPNU yang belum genap setengah bulan menyelesaikan kongresnya belum sempat melakukan konsolidasi apapun untuk menyikapi penggusuran Mega, meskipun kantor PP IPPNU hanya beberapa ratus meter dari tempat kejadian. Kejadian yang kemudian populer dengan nama Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli) ini menyontak kesadaran segenap elemen pro demokrasi bahwa pemerintah Orde Baru masih terlalu kuat untuk ditentang secara frontal. Akibat kerusuhan itu masyarakat menjadi was-was, semakin takut kepada aparat pemerintahan yang dianggap berdiri di balik penyerangan kantor PDI. Munculnya kekuatan alternatif untuk mencairkan kebekuan suasana politik akibat ketakutan masyarakat menjadi sangat dibutuhkan. Kesempatan ini kemudian digunakan oleh beberapa ormas kepemudaan untuk perlahan menggalang kesadaran kritis masyarakat. Belum genap tiga bulan setelah Kudatuli, dunia politik kembali dikejutkan dengan terjadinya kerusuhan bernuansa SARA di Situbondo, kota bersejarah di Jawa Timur tempat diubahnya asas NU menjadi Pancasila. Kota kecil yang menjadi basis tradisional NU itu diguncang kerusuhan dahsyat pada tanggal 10 Oktober 1996, setelah persidangan terdakwa pelecehan agama, Mohammad Sholeh, oleh jaksa 'hanya' dituntut lima tahun penjara dipotong masa tahanan. Ini adalah tuntutan maksimal yang dapat dijatuhkan atas perbuatan itu. Mendengar tuntutan tersebut, massa yang berkerumun diluar gedung pengadilan mulai tak terkendali. Massa menjadi beringas dan mulai melempari batu ke arah pihak keamanan. Terjadi perang batu yang terjadi antara massa yang jumlahnya mencapai 2.000 orang melawan aparat keamanan yang hanya berjumlah 100 orang. Akibatnya, massa semakin marah dan berusaha masuk ke gedung pengadilan. Sementara itu, diluar gedung kerumunan massa semakin tidak terkendali. Tiba-tiba seseorang berteriak bahwa Sholeh disembunyikan di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bukit Zion yang jaraknya sekitar 300 meter dari pengadilan negeri. Entah siapa yang memulai, massa kemudian membakari gereja. Pembakaran ini selanjutnya meluas ke gereja-gereja dan bangunan-bangunan lain. Hanya dalam waktu 5,5 jam perusakan, penjarahan, dan pembakaran milik orang Kristen dan Cina terjadi di seluruh Situbondo. Lima orang ditemukan terbakar dan total 34 gedung dan 12 kendaraan bermotor mengalami kerusakan. Kerugian ditaksir Rp 48 miliar.(53) Jakarta tersentak. Selang beberapa jam, Mensesneg Moerdiono atas nama pemerintah menyesalkan terjadinya peristiwa tersebut dan meminta agar para pemimpin agama lebih meningkatkan lagi pembinaan umatnya agar tidak terjadi lagi peristiwa serupa.(54) Simpati dari segenap lapisan masyarakat merebak kepada korban-korban kerusuhan yang terjadi di kota santri itu. Selama satu minggu pasca kerusuhan kehidupan ekonomi kota Situbondo sempat macet. Selama itu ancaman terhadap umat Kristiani masih banyak beredar. Untuk mengekspresikan keprihatinan mendalam kaum muda Indonesia terhadap kasus Situbondo, IPNU-IPPNU bersama enam Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) membentuk Panitia Bersama Solidaritas Kemanusiaan untuk Kasus Situbondo (PBSKKS). Keenam OKP itu adalah PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), PP Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), DPP Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), PP Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan DPP Pemuda Demokrat.(55) PBSKKS yang melakukan investigasi selama 15 hari penuh di Situbondo dan Jakarta menolak kasus Situbondo dikategorikan sebagai kasus SARA karena nuansa politik lebih kental dalam melatarbelakangi kejadian tersebut. Oleh karena itu secara khusus ketua umum PP IPPNU, Safira Machrusah, menuntut pemerintah untuk segera menegakkan hukum secara benar dan adil. PBSKSS menyerukan agar para politikus tidak menjadikan agama sebagai alat memperjuangkan kepentingan politiknya.(56) Sebagai tindak lanjut dari temuan itu IPNU-IPPNU bersama keenam OKP menyerahkan bantuan sebesar Rp 52 juta kepada korban-korban kerusuhan. Penyerahan dilakukan secara simbolis kepada K.H. Fawaid As'ad. Dalam penyerahan yang disertai dialog itu terungkap bahwa kerusuhan Situbondo merupakan hasil rekayasa tangan tersembunyi yang menginginkan hubungan NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, dengan warga Kristen dan Katolik menjadi tidak harmonis.(57) Untuk menjawab isu ketidakharmonisan, dua hari setelah kerusuhan, tanggal 12 Oktober 1996 IPNU-IPPNU cabang Situbondo mengadakan Latihan Kader Muda (Lakmud) dengan mengundang sejumlah narasumber dari kalangan Katolik. Sejumlah aktivis yang hadir dari Arena Refleksi Eksekutif Muda, Keuskupan Agung Jakarta, merasa puas dengan terselenggaranya acara yang dipadati oleh sekitar 100 orang santri ini.(58) Acara berlangsung dengan penuh keakraban, jauh dari kerusuhan yang distigmatisasi bernuansa SARA oleh pemerintah dua hari sebelumnya. Dengan acara ini IPNU-IPPNU ingin membuktikan kepada pihak luar bahwa interaksi kaum muda NU tidak ada masalah dengan umat Kristiani. Ke dalam, IPNU-IPPNU berharap agar para penerus estafet organisasi dapat mempersiapkan mental dan pengetahuannya agar senantiasa dapat mewarisi dan mengembangkan budaya toleransi yang di penghujung 1996 itu mulai terganggu oleh beberapa kerusuhan bernuansa SARA.(59) Pengalaman bekerja sama dalam kasus Situbondo dan berikutnya Tasikmalaya mendorong kedelapan OKP berkeinginan untuk lebih mempererat jalinan yang sudah terbukti turut meredam eskalasi beberapa kerusuhan. Pada tanggal 5 Februari 1997 kedelapan OKP itu mendeklarasikan Maklumat Kebangsaan Indonesia di Jakarta. Pembacaan deklarasi di hotel Megamatra ini juga menandai berdirinya Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI). Forum ini didirikan dengan pandangan bahwa gerakan kebangsaan Indonesia adalah gerakan penegasan atas Indonesia sebagai suatu realitas yang majemuk. Forum menyatakan keprihatinan atas sejumlah keadaan di tanah air menyangkut peran negara yang berubah menjadi determinator, ketimbang fasilitator perkembangan masyarakat. Forum menghendaki agar sistem dan struktur sosial politik yang dikembangkan di Indonesia dikembalikan kepada Pancasila. Disebutkan dalam maklumat tersebut: Bahwa menempatkan Pancasila sekedar hanya "norma politik" dengan kecenderungan wujud praksisnya yang dogmatik-doktriner sebagai ideologi sungguh hanya akan menyempitkan maknanya. Oleh karena itu, adalah keharusan mutlak bagi setiap warga bangsa Indonesia untuk secara sadar dan yakin menempatkan Pancasila sebagai "ideologi kritis" demi menjaga kesahihan dirinya. Ikhtiar ini sungguh diperlukan guna menghindari pemanfaatan Pancasila sebagai ideologi yang hanya akan melahirkan "totalitarianisme" membelenggu dan meredusir kemanusiaan.(60) Deklarasi ini ditandatangani oleh Ketua Umum PP IPPNU Safira Machrusah, Ketua Presidium GMNI Ayi Vivananda, Ketua Presidium PMKRI Riza Primahendra, Ketua Umum DPP GAMKI Dicky M. Mailowa, Ketua Umum PP IPNU, Hilmi Muhammadiyah, Ketua Umum PP GMKI Edward Tanari, Ketua Umum PB PMII A. Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum DPP Pemuda Demokrat Yana Dewata. Terbentuknya FKPI tak pelak mengundang berbagai komentar. Hampir seluruh media massa nasional menuliskannya dengan tanggapan yang beragam. Absennya peran HMI sebagai salah satu komponen kelompok Cipayung, menjadi sorotan utama lahirnya FKPI.(61) Dapat dianggap bahwa FKPI, yang pendiriannya justru pada saat hari yang sama HMI memperingati ulang tahunnya, sebagai barisan di luar struktur. Polemik yang cukup hangat terjadi di media massa nasional selama kurang lebih satu minggu. Polemik sedikit mencair setelah beberapa eksponen aktivis mahasiswa diantaranya Ridwan Saidi dan Hariman Siregar melontarkan nada yang lebih menyejukkan dengan usulannya mengedepankan dialog.(62) Sehari setelah deklarasi pembentukan FKPI, IPPNU bersama enam organ lain yang bernaung di bawah Keluarga Besar NU (KBNU) mengeluarkan Pernyataan Politik Akhir Ramadhan. Keenam organ itu adalah PB PMII, PP IPNU, PP GP Ansor, PP Fatayat NU, Lajnah Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU, dan Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) NU. Dalam pernyataan akhir Ramadhan 1417 H tanggal 6 Februari 1997 itu KBNU merasa prihatin dengan serangkaian kerusuhan yang terjadi di tanah air. Dikhawatirkan bahwa anarki-anarki sosial itu menjadi sebuah pertanda bahwa rakyat mulai kehilangan kepercayaan terhadap para pemimpin bangsa. Pernyataan ini menjadi sebuah isyarat penolakan yang cukup hati-hati terhadap kemungkinan pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden pada SU MPR 1998. Tidak berhenti di situ, dua hari menjelang masa kampanye pemilu 1997 KBNU kembali mengeluarkan pesan moral yang isinya dapat memahami sebagian masyarakat yang memilih untuk menjadi golput. Bahkan disebutkan bahwa menggunakan suara dalam pemilu bukan kewajiban tapi hak warga negara. Pernyataan 'keras' itu kontan memancing reaksi dari Ketua Umum PBNU, KH Abdurrahman Wahid, yang merasa dilangkahi.(63) Karuan saja isi pesan moral tersebut bertentangan dengan langkah Gus Dur yang menjelang pemilu justru keliling pesantren dengan menggandeng mbak Tutut. Apakah peristiwa ini merupakan bentuk perbedaan sikap yang cukup tajam antara PBNU dan banom-banomnya, atau hanya sekedar mis komunikasi dan mis persepsi, hal itu tidak pernah terungkap sampai sekarang. Terlepas dari berbagai goncangan mengenai kuningisasi, isu golput, dan sejumlah kerusuhan, pemilu 1997 yang dilangsungkan pada bulan Mei 1997 memberikan kemenangan yang mutlak kepada Golkar. PDI yang diterpa perpecahan internal mengalami kemerosotan suara yang luar biasa, bahkan ketua DPP PDI, Suryadi, gagal menduduki kursi parlemen. Sementara itu, meskipun jumlah golput yang disinyalir berasal dari massa PDI Mega meningkat tajam, PPP mengalami peningkatan suara yang cukup lumayan. Menyambut kemenangan ini, pada peringatan HUT Golkar di Jakarta tanggal 19 Oktober 1998, Harmoko, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum DPP Golkar, menyampaikan pencalonan Pak Harto sebagai presiden RI periode 1998-2003. Dalam menanggapi pencalonan itu, Soeharto memberikan isyarat yang sangat politis bahwa dirinya sama sekali tidak berambisi mempertahankan kekuasaan. Dalam kalimat Jawa yang filosofis, Soeharto mengatakan bahwa dirinya sudah siap untuk "lengser keprabon, madeg pandhito". Artinya, ia bersedia untuk turun dari jabatan sebagai presiden (prabu) dan menempatkan diri sebagai orang tua yang bijak (pandhito). Pak Harto mengharapkan agar dalam 5 bulan, terhitung sejak peringatan HUT Golkar tersebut sampai SU MPR bulan Maret 1998, dilakukan penelitian yang sungguh-sungguh apakah pencalonan kembali dirinya adalah kehendak sebagian besar rakyat. Masyarakat Indonesia menanggapi tantangan tersebut secara beragam. Kalangan mahasiswa menanggapinya dengan mengadakan jajak pendapat. Dari berbagai polling yang yang dilakukan di kalangan mahasiswa dari kampus-kampus terkemuka di Indonesia seperti UGM, UI, dan ITB, rata-rata lebih dari tiga perempat responden tidak setuju jika Soeharto dipilih kembali.(64) Penolakan juga disampaikan oleh kalangan peneliti dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada bulan Januari 1998, sebanyak 19 orang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membubuhkan pernyataan keprihatinan terhadap pencalonan tersebut. Selanjutnya, gabungan LSM-LSM yang terdiri dari LKPSM NU, Interfidei, IDEA, dan ARE, pada tanggal 11 Februari 1998 mengeluarkan pernyataan bersama menolak kepemimpinan Soeharto.(65) IPPNU, melalui FKPI mengeluarkan Seruan Suksesi Damai dan Terbuka yang berisi permintaan agar MPR tidak lagi mencalonkan Soeharto sebagai presiden RI periode 1998-2003 dan agar MPR mengawal proses suksesi secara terbuka, kompetitif, dan demokratis.(66) Berbagai penolakan itu seakan menyiramkan minyak kepada api semangat
para mahasiswa yang mulai turun ke jalan sejak awal tahun 1998 meneriakkan
reformasi. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997
yang semakin memburuk juga menyebabkan mahasiswa semakin bersemangat untuk
menolak pencalonan kembali Soeharto karena dianggap sudah tidak mampu lagi
mengendalikan perekonomian Indonesia. Krisis yang bermula dari nilai tukar
itu begitu dahsyatnya sehingga pada tanggal 17 Mei 1998 nilai rupiah sudah
bergerak antara Rp 12.000,- dan Rp 12.800,-. Sementara itu, insiden di
jembatan Semanggi seminggu sebelumnya pada tanggal 12 Mei yang mengakibatkan
tewasnya empat orang mahasiswa Universitas Trisakti semakin menimbulkan
amarah mahasiswa terhadap tindakan kekerasan aparat militer. Sebagai buntut
dari kekerasan Trisakti ini, pada tanggal 13-14 Mei terjadi kerusuhan terbesar
dalam sejarah ibukota yang memakan 1.217 orang tewas, 91 orang terluka,
dan 31 orang dinyatakan hilang.(67) Tragedi ini membuat mahasiswa semakin
banyak yang turun ke jalan. Mereka melakukan pengepungan untuk menuju gedung
MPR/DPR RI. Pendudukan gedung yang berlangsung selama beberapa hari itu,
pada tanggal 18 Mei 1998 berhasil 'memaksa' pimpinan MPR/DPR untuk menghimbau
agar Presiden Soeharto secara arif dan bijaksana mengundurkan diri. Ketika
situasi sudah tidak memungkinkan lagi, pada tanggal 21 Mei 1998 akhirnya
Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden dalam sebuah upacara singkat
di Istana Negara.
Pernyataan-pernyataan kritis IPPNU melalui FKPI sepanjang pemerintahan Habibie, terutama menanggapi gelombang protes menjelang dan semasa penyelenggaraan SI MPR bulan November 1998 menunjukan kematangan IPPNU dalam menyikapi proses-proses penyelenggaraan negara dan kehidupan bermasyarakat. Walaupun kebanyakan perjuangannya disampaikan melalui himbauan moral atau pernyataan sikap, langkah ini bagi IPPNU sebagai ormas yang memiliki puluhan ribu anggota yang tersebar di seluruh Indonesia sudah mengandung tekanan yang bernilai strategis. Menggerakkan anggota ke dalam perjuangan fisik yang bersifat frontal dipandang PP IPPNU hanya akan lebih banyak mendatangkan mudlarat. Konbes V IPPNU, Pemilu, dan Sidang Umum MPR 1999
Euforia kebebasan ini juga melanda warga NU. Sehari setelah jatuhnya Soeharto, kantor PBNU kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pelosok tanah air. Usulan yang disampaikan melalui telepon, faksimili telegram, surat, e-mail, bahkan datang sendiri ke kantor PBNU itu intinya meminta agar PBNU membantu mewujudkan adanya satu wadah untuk menyalurkan aspirasi politik warga NU. Keinginan ini diakomodir secara hati-hati karena hasil muktamar ke-27 NU di Situbondo telah menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak terlibat politik praktis. Serangkaian pembicaraan intensif dilakukan, yang terakhir adalah Silaturrahim Nasional Ulama dan Tokoh NU di Bandung, tanggal 4-5 Juli 1998, yang dihadiri 22 Pengurus Wilayah dan beberapa tokoh-tokoh teras NU. Dari hasil pertemuan ini akhirnya diputuskan agar PBNU memfasilitasi pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Deklarasi pendirian dilakukan di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid, Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebagai partai yang secara resmi didirikan oleh PBNU, PKB banyak menyedot kader-kader muda NU sebagai fungsionarisnya. IPPNU sebagai badan otonom NU tidak ketinggalan, di antaranya, Safira Machrusah, Ketua Umum IPPNU, duduk sebagai anggota Departemen Hubungan Luar Negeri dan Ratu Dian, sekjen IPPNU, duduk sebagai sekretaris DPP Perempuan PKB. Sementara itu, kondisi politik tanah air semakin hangat menjelang SI MPR bulan November 1998 dengan banyaknya partai politik yang terus bermunculan. Menyikapi berbagai kejadian yang berkembang di tanah air sepanjang tahun 1998 dan untuk melakukan evaluasi terhadap jalannya kepengurusan, PP IPPNU memandang perlu diadakan konbes. Pada tanggal 19-21 September 1998, konbes V IPPNU diselenggarakan di Wisma PHI, Jakarta. Konbes menghasilkan dua keputusan besar, pertama, Pedoman Pengkaderan IPPNU, dan kedua, Rekomendasi IPPNU. Pedoman pengkaderan ini disusun berdasarkan penyempurnaan yang dilakukan dalam Lokakarya Nasional Pengkaderan IPNU tahun 1997 di Surabaya, terhadap hasil-hasil Lokakarya Pengkaderan di Banjarmasin tahun 1979, Lokakarya Kaderisasi dan Manajemen di Jakarta tahun 1988, pencetusan Citra Diri IPNU-IPPNU tahun 1989 di Jakarta, dan Pedoman Buku Hijau Kaderisasi IPNU-IPPNU tahun 1990 di Lampung. Rekomendasi yang dihasilkan konbes memberi penekanan pada beberapa hal, di antaranya dorongan IPPNU terhadap anggota-anggotanya secara individual untuk berpartisipasi dalam PKB sebagai partai yang secara resmi didirikan oleh PBNU. Konbes menolak pendirian Angkatan Muda Nahdlatul Ulama (AMNU) yang dideklarasikan tanggal 29 Juni 1998 sebagai wadah kaderisasi politik generasi muda NU karena hal itu menyalahi khitthah NU. Konbes juga merekomendasikan agar IPPNU meninjau kembali keanggotaannya dalam KNPI karena keberadaannya selama ini sudah tidak sesuai lagi dengan semangat pendiriannya. Kongres bahkan meminta kepada seluruh fungsionaris KNPI di semua tingkatan yang berasal dari IPPNU agar mengundurkan diri. Terakhir, konbes merekomendasikan penyelenggaraan kongres IPNU-IPPNU di empat pilihan propinsi: Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah. Waktu pelaksanaaan kongres diajukan dari jadwal semula tahun 2001 menjadi tahun 2000. Konbes yang upacara pembukaannya dilakukan di Hotel Cempaka itu menjadi kegiatan terbesar yang dilangsungkan PP sebelum kongres. Setelah konbes, PP disibukkan dengan kegiatan rutin seputar organisasi. Di samping itu, secara ekstern PP ikut bersiap-siap menghadapi pemilu 1999 dan SU MPR. Sebagai negara terbesar keempat di dunia, agenda demokratisasi yang disuarakan masyarakat mendapat perhatian yang luas dari masyarakat internasional. Dunia luar sangat mengharapkan agar bangsa Indonesia kali ini mampu melangsungkan pemilu multi partainya -sebagai instrumen demokrasi- yang pertama setelah Orde Baru secara bebas dan damai. Untuk memulihkan kembali demokrasi diperlukan upaya membangun kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka sebagai warga negara, dan agar menggunakan hak pilih mereka secara sadar dan bertanggung jawab dalam pemilu. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, dalam pemilu 1999 ini kelompok-kelompok sipil dalam masyarakat diperbolehkan menyelenggarakan program-program pendidikan pemilih (Voters Education, VE). Atas dasar pemikiran tersebut, IPPNU bekerja sama dengan Muslimat NU dan Fatayat NU mengadakan pendidikan pemilih bagi perempuan yang berada di 11 propinsi yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Program yang didanai United Nations Development Program ini dikomandani oleh 15 orang tim inti yang terdiri dari gabungan tiga organisasi. Dari 15 orang ini kemudian dilatih 500 orang di tingkat propinsi, berikutnya terbentuk 50.000 orang relawan untuk menyebarkan leaflet, penempelan poster, dan program tatap muka. Partisipasi IPPNU dalam program ini merupakan bentuk kepedulian IPPNU terhadap upaya mendorong demokratisasi di Indonesia. Pemilu yang diikuti 48 partai yang lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilangsungkan pada tanggal 7 Juni 1999. Hasil dari pemilu itu cukup mengejutkan. Golkar yang selama 32 tahun menjadi mayoritas, kalah tipis oleh PDI Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati yang keluar sebagai partai dengan jumlah anggota DPR terbanyak, 153 kursi. PKB, partai yang didirikan PBNU, keluar sebagai urutan keempat dengan 53 kursi. Dengan hasil ini, pertarungan menuju kursi presiden semakin nyata. Golkar keluar dengan B.J. Habibie, sedangkan PDI-P dengan Megawati. Suasana politik nasional menjadi tidak sehat dengan adanya polarisasi pendukung masing-masing kandidat menjelang SU MPR bulan Oktober 1999. Di tengah-tengah polarisasi Habibie-Mega ini, beberapa partai Islam ditambah Partai Amanat Nasional (PAN) melontarkan terbentuknya Poros Tengah yang mencoba mengajukan calon presiden alternatif. Ketua PAN, Amien Rais, menominasikan Gus Dur sebagai calon alternatif di luar Habibie dan Megawati. Usulan ini menggelinding namun belum mendapatkan kesepakatan bulat di antara partai-partai pendukung Poros Tengah. Di tengah-tengah keraguan faksi-faksi di poros tengah, pada tanggal 3 Oktober 1999, Fraksi Reformasi MPR yang terdiri atas PAN dan Partai Keadilan, secara resmi mengajukan deklarator Partai Kebangkitan Bangsa sekaligus Ketua Umum PBNU, K.H.Abdurrahman Wahid, sebagai kandidat presiden dari Fraksi Reformasi untuk kepresidenan mendatang. Pencalonan ini serta merta mendapat dukungan dari Fraksi Kebangkitan Bangsa di MPR melalui keterangan pers sehari berikutnya yang diadakan oleh Alwi Shihab, Khofifah Indarparawansa, Muhaimin Iskandar dan Ali Masykur Musa, meskipun beberapa saat sesudahnya Matori Abdul Jalil masih secara tegas menyatakan kembali dukungannya terhadap Mega. Sementara itu, beberapa kyai sepuh NU semisal K.H. Abdullah Faqih (PP Langitan, Tuban) dan K.H. Abdullah Abbas (PP Buntet, Cirebon) masih belum memberikan izin dan dukungan secara nyata terhadap pencalonan Gus Dur. Atas kenyataan itu, PBNU dalam keterangan persnya pada tanggal 8 Oktober 1998 baru akan memberikan restu atas pencalonan Gus Dur sebagai presiden pada tanggal 19 Oktober, yaitu H-1 pemilihan presiden. Keadaan semacam ini tak pelak lagi bagi generasi muda NU menyiratkan manuver elit PKB khususnya dan poros tengah umumnya yang ambigu terhadap pencalonan Gus Dur. Keadaan semacam ini jika berlarut-larut sampai menjelang pemilihan presiden, dipandang tidak menguntungkan posisi Gus Dur sebagai kandidat presiden terkuat dari poros tengah. Untuk lebih meminta ketegasan dari poros tengah dan elit PKB khususnya,
Generasi Muda NU bersama Barisan Muda Muhammadiyah mengadakan pernyataan
bersama mengenai dukungannya terhadap pencalonan Gus Dur. Dukungan itu
dideklarasikan di Jakarta dalam pernyataan bersama yang ditandatangani
pimpinan GP Ansor, PP Fatayat NU, PB PMII, PP IPNU, PP IPPNU, DKN Garda
Bangsa, PP Pencak Silat Pagar Nusa, PP Pemuda Muhammadiyyah, PP Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyyah, PP Ikatan Remaja Muhammadiyyah, dan PP Nasiatul
Aisyiyah. Dukungan terhadap Gus Dur itu didasarkan penilaian bahwa cucu
pendiri NU itu dipandang mampu diterima dan bekerja sama dengan semua pihak
sehingga dapat menggalang seluruh potensi terbaik bangsa. Sebagai bapak
bangsa, Gus Dur merupakan teladan bagi generasi muda Indonesia dalam mengatasi
setiap perbedaan pandangan dan konflik kepentingan dengan cara-cara dewasa,
santun dan mengedepankan kepentingan bangsa di atas segalanya. Dukungan
ini, ditambah beberapa dukungan dari beberapa kelompok masyarakat semakin
menguatkan posisi Gus Dur. Setelah melalui pergulatan yang panjang, K.H.
Abdurrahman Wahid akhirnya terpilih sebagai presiden keempat RI dengan
mengantongi 373 suara, mengalahkan rivalnya, Megawati, yang mengantongi
313 suara dalam pemilihan presiden yang dilangsungkan secara demokratis
itu.
Kembali ke Pelajar? Nuansa reformasi yang mewarnai maraknya kemunculan partai-partai politik di tanah air ternyata mendorong beberapa ormas melakukan konsolidasi intern dengan cara mereka masing-masing. Pancasila yang tidak lagi diwajibkan sebagai asas partai mendorong munculnya partai-partai baru berbasis agama dan kedaerahan. Tidak sedikit yang pada akhirnya gugur karena tidak mendapat dukungan luas dari masyarakat. Hal ini terbukti dari hasil pemilu 1999 yang hanya menyisakan lima partai besar yang mendapat kursi parlemen dalam jumlah signifikan yaitu: PDI Perjuangan, Golkar, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PPP, dan PAN (Partai Amanat Nasional); ditambah partai-partai kecil seperti PBB (Partai Bulan Bintang), PKP (Partai Keadilan dan Persatuan), Partai Keadilan, PNU (Partai Nahdlatul Umat), dan beberapa partai kecil lain yang hanya mendapat satu kursi. Betapapun kecil dukungan terhadap beberapa partai yang bersifat primordial, dapat dilihat bahwa munculnya kembali partai berbasis agama, khususnya Islam, masih diharapkan oleh umat Islam di tanah air. Kebebasan yang terjadi dalam dunia politik praktis ini mau tidak mau
mengimbas pada ormas-ormas di tanah air. Banyak ormas yang semula 'terpaksa'
mengubah asasnya menjadi Pancasila -lebih satu dekade silam- mendadak berkeinginan
untuk menjadikan Islam sebagai asas. NU, sebagai ormas Islam terbesar di
tanah air tidak terkecuali mendapat desakan yang serupa dari beberapa anggota
untuk mengubah kembali asasnya menjadi Islam - sebuah ujian untuk ormas
Islam yang pertama kali menerima Pancasila sebagai asas ketika diperkenalkannya
asas tunggal. Ujian ini dijawab dengan baik oleh NU dalam muktamar ke-30
di Kediri, Jawa Timur, di penghujung tahun 1999. Melalui forum tertinggi
organisasi ini, NU memutuskan untuk tetap menjadikan Pancasila sebagai
asasnya. Dinyatakan bahwa hal yang telah diputuskan 15 tahun silam tersebut
didasarkan atas kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang hubungan
Islam dan Pancasila. NU tetap berkeyakinan bahwa Pancasila bukanlah agama,
tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama.(69)
Dari kejadian ini dapat dilihat bahwa upaya IPNU-IPPNU mempertahankan jati dirinya tidaklah mudah. Bagi IPNU-IPPNU perubahan nama organisasi tidaklah semata-mata masalah administratif, namun memiliki nilai historis dan substansi yang sangat dalam. Nama tidak saja menyangkut bagaimana hubungan organisasi ke luar, tapi juga membawa implikasi ke mana organisasi akan diarahkan. Dua kali IPNU-IPPNU mengalami goncangan monumental berkaitan dengan perjalanan organisasinya. Pertama, awal tahun 60-an ketika desakan penggabungan IPNU-IPPNU selalu bergema di setiap arena kongres dan konbes. Asnawi Latief dan Farida Mawardi berhasil menjawabnya melalui "Doktrin Pekalongan" yang menegaskan bahwa pemisahan organisasi adalah jalan yang terbaik bagi IPNU-IPPNU. Kedua, pertengahan 80-an ketika IPNU-IPPNU mendapat tekanan pemerintah Orde Baru untuk mengubah asasnya dan mereorientasi dirinya menjadi organisasi ekstra pelajar. Ujian ini juga dilewati dengan mulus oleh IPNU-IPPNU dengan mengubah diri menjadi organisasi putra-putri NU yang berasaskan Pancasila. Angin perubahan yang dihembuskan pemerintahan baru, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengartikulasikan kemauan dalam partisipasinya membangun bangsa. Sejalan dengan itu, sedikitnya wadah pembinaan alternatif yang dimiliki para pelajar di tanah air ditengarai sebagai sebab stagnasi peran pelajar dalam ikut menggerakkan perubahan-perubahan besar di Indonesia. Menjelang kongres ke-12 di Ujung Pandang, tarikan ke arah perubahan kembali IPPNU menjadi organisasi pelajar memang mulai muncul secara sporadis di beberapa daerah. Namun, sampai saat ini belum terbangun ruang dialog yang memadai untuk membicarakan keinginan tersebut. Memperbincangkan IPPNU hingga pergantian abad saat ini, adalah menyoal sejarah dua wadah yang berbeda. IPPNU mengawali dirinya sebagai organisasi pelajar selama 33 tahun, dan memperluas segmen keanggotaan menjadi organisasi kepemudaan dalam 12 tahun terakhir. Dengan proses sejarah yang demikian, hendaknya dipahami bahwa setiap usaha untuk mengembalikan IPPNU ke dalam bentuk yang semula, yaitu bertumpu pada pelajar, harus didasarkan atas pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Pengkajian yang teliti berkaitan dengan kemauan dan potensi anggota, spesialisasi yang membuat segmen organisasi nantinya menyempit, goncangan yang timbul pada saat proses perubahan itu berjalan, sinergisitas pola pengkaderan anggota IPPNU dalam kedudukannya di antara badan-badan otonom NU yang lain, dan akibat jangka panjang dari perubahan kembali ke pelajar, harus dilakukan secara serius dan hati-hati untuk mendapatkan hasil yang optimal dari perubahan tersebut. IPPNU harus terlebih dahulu merumuskan kembali esensi keberadaannya di antara ormas-ormas kepemudaan dan kepelajaran di tanah air. IPPNU juga harus merenungkan apakah perannya sebagai wadah pengkaderan serta artikulator kepentingan pelajar dan pemuda selama ini sudah berfungsi optimal, dalam artian dapat menyuarakan dan menjadi bagian dari penyelesaian masalah yang dihadapi kelompok-kelompok spesifik tersebut. Akhirnya, perubahan sepenting itu, sesuai dengan PD/PRT IPPNU, hanya dapat diputuskan dalam kongres sebagai forum permusyawaratan tertinggi organisasi. Semuanya kembali kepada seluruh anggota IPPNU untuk memutuskan. ===========
|
|