[ Sejarah Perjalanan IPPNU ] |
MASA PERGULATAN (1981 - 1991) Kongres VIII IPPNU Pada tanggal 20-24 Juni 1981 IPNU dan IPPNU melangsungkan kongres di
Cirebon, Jawa Barat. Upacara pembukaan yang dilaksanakan pada hari Sabtu
tanggal 20 Juni sejak pukul 20.30 sampai 22.15 WIB diisi oleh sambutan-sambutan
dari Ketua Umum PP IPNU dan IPPNU, H. Mahbub Junaidi yang dalam hal ini
mewakili ketua umum PBNU, Dr. M. Tolchah Mansoer sebagai salah satu pendiri
IPNU, dan walikota Cirebon. Sidang pleno pertama baru dilaksanakan keesokan
harinya dengan pembagian peserta kongres menjadi tiga komisi yang terdiri
atas: Komisi A yang membidangi organisasi dan PD/PRT, Komisi B membidangi
Program Kerja, serta Komisi C membidangi Usul-usul Umum. Pada Komisi B
dan C peserta dari IPNU dan IPPNU digabung menjadi satu.
Organisasi berdasarkan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah serta menerima dan mempertahankan Undang-Undang Dasar RI '45 yang dijiwai Piagam Jakarta.(2) Dalam kongres Cirebon pasal tersebut berubah menjadi: Organisasi ini berdasarkan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dan menerima serta mempertahankan Undang-Undang Dasar '45 yang dijiwai Pancasila.(3) Perubahan ini berkaitan dengan tekanan dari pemerintah dalam usaha mengurangi
radikalisme politik yang dirasa masih tampak dalam penerimaan secara resmi
Pancasila versi Piagam Jakarta ketimbang versi mukadimah UUD 1945 dalam
asas organisasi. Tekanan ini tampak dari sikap pemerintah yang mempersulit
panitia dalam mendapatkan izin penyelenggaraan kongres, walaupun pada akhirnya
izin tersebut diberikan menjelang pelaksanan dan walikota Cirebon turut
menghadiri acara pembukaan kongres. Tekanan ini juga berkaitan dengan didirikannya
OSIS sebagai wadah resmi pembinaan pelajar walaupun pelaksanaannya belum
efektif.
Kongres Cirebon ini berhasil memutuskan beberapa pokok pikiran yang
meliputi bidang-bidang pendidikan, generasi muda, sosial ekonomi, kesadaran
berpolitik, dan rekomendasi untuk PBNU. Beberapa hal yang menonjol dalam
bidang pendidikan adalah rekomendasi bahwa pelajar yang memiliki nilai
empat dalam mata pelajaran pendidikan agama hendaknya tidak dinaikkan ke
kelas berikutnya karena akidah dan pengetahuan adalah dua hal yang berkesinambungan
dan tidak dapat dipisahkan. Kongres meminta agar bulan puasa dijadikan
sebagai hari libur resmi selama satu bulan penuh. Kongres menyoroti beredarnya
buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan sejarah Indonesia yang isinya
jelas-jelas bertentangan dengan akidah dan mengaburkan peranan umat Islam
di Indonesia. Kongres meminta agar buku semacam itu ditarik dari peredaran.
Pelajaran wiraswasta direkomendasikan oleh kongres untuk dimasukkan sebagai
salah satu mata pelajaran di kalangan pelajar SLP dan SLA agar mereka memiliki
bekal yang dapat digunakan untuk mengembangkan dirinya sendiri dalam masyarakat.
Dalam pokok pikiran mengenai generasi muda, disebutkan agar semua pihak mengurangi kecurigaannya terhadap gerak langkah generasi muda Islam karena hal ini jika dikembangkan justru menghambat proses pembangunan nasional. Justru organisasi yang bersifat sukuismelah yang seharusnya dihapuskan dari tanah air karena keberadaan mereka menghalangi terciptanya ukhwah Islamiah. Dalam rangka membangun persatuan dan kesatuan generasi muda Islam, IPNU-IPPNU mengajak seluruh pihak yang berkepentingan untuk mengadakan kongres nasional pemuda Islam. Dalam bidang sosial ekonomi, IPNU-IPPNU menyorot banjirnya PMA (Penanaman Modal Asing) agar tidak malah justru merepatriasi keuntungan yang didapat ke negara asal, namun juga tetap memberikan keuntungan untuk pengembangan golongan ekonomi lemah. IPNU-IPPNU berharap agar program keluarga berencana dapat dilaksanakan secara merata baik kepada pribumi maupun non pribumi. Menjelang Pemilu 1982, kongres berharap agar seluruh asas dalam pemilu hendaknya benar-benar dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintah. ABRI sebagai kekuatan inti pertahanan dan keamanan diharapkan mampu berperan sebagai stabilisator dan dinamisator perkembangan politik tanah air. IPNU-IPPNU juga mendesak kepada pemerintah untuk tidak menghalang-halangi para pelajar wanita yang hendak melaksanakan syariat Islam dalam berpakaian sebagai seorang muslimat, meskipun tidak sesuai dengan seragam sekolah yang bersangkutan. Kongres menegaskan agar pemerintah melalui Badan Sensor Film (BSF) betul-betul berperan sebagai penyaring budaya dan ideologi yang meracuni generasi muda. Kepada PBNU kongres meminta agar Aswaja dapat dijadikan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah di lingkungan NU. Sebagai sumbangan NU terhadap upaya mengatasi masalah ketenagakerjaan kongres meminta agar lembaga Sarbumusi dapat dihidupkan kembali. Kongres VII IPPNU berakhir dengan penetapan Titin Asiyah Thohir yang
sebelumnya menjabat Sekbid Organisasi sebagai Ketua Umum PP IPPNU periode
1981-1985. Untuk membantu penyusunan pengurus kongres menetapkan dua orang
formatur. Berdasarkan hasil rapat formatur ini kemudian dibentuk kepengurusan
PP sebagai berikut:
Dewan Pembina:
Ketua Umum: Titin Asiyah Thohir
Sekretaris Umum: Ellyati Rosida
Sekretaris Bidang: Organisasi Kader & Alumni:
Pendidikan Olahraga & Seni:
Keuangan:
Logistik:
Penerangan Pers & Dakwah:
Di bawah pimpinan Titin, kegiatan IPPNU banyak diwarnai oleh usaha-usaha konsolidasi intern dan pembinaan pelajar seperti diadakannya lomba-lomba karya tulis dan mengintensifkan pembinaan siswa-siswa 'aliyah khususnya yang berada di pondok-pondok pesantren, SMU dan PGA. Sesuai dengan amanat kongres, PP turut serta dalam Konperensi Pemuda Asia Afrika di Hotel Indonesia, Jakarta. PP mengirimkan wakilnya dalam lokakarya KB yang diadakan BKKBN dan Penataran Pemuda P-4. Keterbatasan dana masih menjadi penghambat PP memenuhi undangan-undangan ke daerah sehingga tercatat turba hanya dilaksanakan ke Bandung dan Cirebon.(6) Pada tanggal 6-7 Mei 1986 diadakan seminar yang menghasilkan Pedoman
Penyelenggaraan Administrasi Kearsipan IPNU dan IPPNU seluruh Indonesia.
Dalam seminar ini dilakukan penyempurnaan rumusan administrasi lama hasil
kongres Cirebon berdasarkan pemaduan pedoman surat-menyurat IPNU-IPPNU
dan pembuatan surat dinas dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), Arsip
Nasional, Sekretariat Jenderal DPR RI, dan Sekretariat Jenderal PBNU.
Menjadi Ikatan Putri-Putri NU Sejak paruh kedua dekade 70-an pemerintah melalui Departemen P&K sudah memberlakukan kebijakan satu organisasi untuk para pelajar. Tampaknya ideologi pembangunanisme yang sangat menekankan stabilitas politik membuat pemerintah tidak mau beresiko membiarkan dunia akademik 'terkontaminasi' oleh unsur politik manapun sehingga tuntutan IPNU-IPPNU dalam kongres Cirebon untuk meninjau kembali kebijakan ini sama sekali tidak digubris. Pemerintah bahkan lebih jauh melangkah untuk melakukan penyeragaman politik dengan memperkenalkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh partai politik dan ormas di tanah air. Ide ini pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soeharto pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1982.(7) Walaupun akhirnya NU menerima kebijakan tersebut, prosesnya memakan waktu yang cukup lama. Berikut ini akan diuraikan secara singkat bagaimana NU menerima keputusan tersebut. Sejak akhir tahun 70-an tekanan politik dari pemerintah yang dialami sejumlah lembaga NU di daerah, khususnya yang beroperasi langsung di tengah masyarakat, membuat mereka terpaksa melepaskan label NU. Menyusul perubahannya menjadi jam'iyah, NU menganggap perlu merespon berbagai tekanan diatas dengan menegaskan posisinya sebagai organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan melalui gerakan kembali ke khitthah 1926. Dalam musyawarah nasional alim ulama NU di Situbondo, Jawa Timur, tanggal 18-21 Desember 1983 ditetapkan pemulihan khitthah yang intinya berisikan dua hal yaitu: Pertama, diteguhkannya kembali peran ulama dalam kepemimpinan formal NU. Kedua, diputuskan bahwa NU sebagai jam'iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan lainnya.(8) Dalam menanggapi 'ajakan' pemerintah tentang asas tunggal, makalah K.H.Ahmad Siddiq yang menanggapi ajakan tersebut sebagai 'patut dipertimbangkan dengan wajar dengan kejernihan pikiran dan kesungguhan' mendapat tentangan yang keras dari anggota komisi khitthah munas. Setelah proses perdebatan yang menegangkan, melalui sebuah dokumen yang disebut "Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam", akhirnya Pancasila diterima sebagai asas tunggal oleh NU. Dalam hal ini NU adalah ormas Islam yang pertama kali menerima hal tersebut meskipun RUU Keormasan saat itu sedang dalam pembahasan di DPR. Dengan keputusan ini seluruh badan otonom di bawah NU terikat kewajiban untuk mengikutinya, tidak terkecuali IPNU-IPPNU. Setelah UU nomor 8 tahun 1985 tentang Keormasan diundangkan, seluruh ormas di tanah air mau tidak mau harus mentaati berlakunya asas tunggal. Beberapa ormas Islam sempat menjadi korban dari berlakunya undang-undang ini. Diantara yang menonjol adalah Pelajar Islam Indonensia (PII) yang dibubarkan pemerintah karena menolak digantinya Islam menjadi Pancasila dalam asas organisasinya. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang semula menolak akhirnya dapat menerima keputusan tersebut, meskipun membuat himpunan mahasiswa ini mengalami perpecahan yang sangat parah menjadi kubu yang menerima versus kubu yang menolak. Belakangan kubu yang menolak menyebut dirinya sebagai HMI-MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) sedangkan kubu yang menerima lebih dikenal sebagai HMI-Dipo.(9) IPNU dan IPPNU yang sejak semula memang sudah berpedoman pada hasil keputusan muktamar ke-27 NU di Situbondo dengan mudah mengikuti ketentuan tersebut.(10) Sebenarnya batas waktu penyesuaian diri terhadap UU Keormasan berakhir pada tanggal 17 Juni 1987, namun mengingat perubahan PD/PRT hanya bisa dilaksanakan dalam forum kongres, IPNU-IPPNU baru bisa menanggapinya melalui rapat pleno gabungan terbatas PP IPNU-IPPNU dan alumni di hotel Sahid Jaya, Jakarta pada tanggal 29-30 Desember 1986. Pertemuan itu melihat bahwa di dalam tubuh IPNU-IPPNU selama ini terjadi stagnasi pengkaderan. Pucuk Pimpinan organisasi banyak didominasi oleh para aktivis yang usianya sudah melebihi batas-batas yang wajar untuk sebuah organisasi pelajar. Oleh karena itu pertemuan menyepakati dijadikannya momentum kongres sebagai titik legitimasi untuk mengembalikan IPNU-IPPNU ke dalam tradisi kepelajaran sekaligus mempersiapkan perubahan asas organisasi. Ini artinya ingin menjadikan IPNU-IPPNU betul-betul organisasi anak-anak NU sebagaimana dimaksud oleh struktur kelembagaan organisasi di kalangan NU.(11) Hasil pleno gabungan itu mendorong dibentuknya panitia nasional kongres X IPNU dan IX IPPNU yang diberi hak mendayagunakan seluruh potensi organisasi untuk kesuksesan acara tersebut.(12) Pada kongresnya yang berlangsung tanggal 29 Januari-1 Februari 1988
di PP Mamb'aul Ma'arif, Denanyar, Jombang, IPNU-IPPNU secara resmi mengubah
asas organisasinya menjadi Pancasila. Sekitar 2000 peserta kongres menjadi
saksi perhelatan nasional yang memang sudah ditunggu-tunggu sejak berakhirnya
kepengurusan kongres Cirebon hampir tiga tahun silam. Nada perubahan asas
itu memang sudah tampak dalam tema kongres yang bertajuk "IPNU dan IPPNU
Menuju Tinggal Landas Pembangunan Bangsa Berdasarkan Pancasila". Hegemoni
Orde Baru saat itu begitu kuatnya mencengkeram seluruh ormas sehingga dengan
susah payah -sebagaimana kongres Cirebon- panitia kongres Jombang mengantongi
izin, meskipun jelas-jelas panitia mencantumkan "Mensukseskan SU MPR RI
1988 bersama Orde Baru" sebagai sub tema. Perizinan yang dipersulit ini
berkaitan dengan belum diubahnya asas organisasi secara resmi dalam PD
IPNU-IPPNU menjadi Pancasila. Seperti dijelaskan sebelumnya, PD hanya dapat
diubah dalam forum kongres, sedangkan batas waktu penyesuaian adalah pertengahan
1987. Oleh karena itu PP berinisiatif untuk mengajukan draf rencana perubahan
PD -yang sedianya akan disahkan dalam kongres Jombang- kepada Depdagri
sebagai bukti 'loyalitas' IPNU-IPPNU kepada pemerintah Orde Baru. Apa yang
kemudian terjadi menunjukkan betapa intervensionisnya pemerintah terhadap
kehidupan keormasan. Ini terlihat dari surat jawaban Direktorat Jenderal
Sosial Politik Depdagri tanggal 31 Juli 1987 kepada PP IPNU yang secara
rinci menyebutkan hal-hal berikut:
Tekanan pemerintah untuk segera mengubah asas begitu kuatnya sehingga tak kurang dari Harmoko, Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan IV, menyempatkan diri menghadiri musyawarah generasi muda NU di Jawa Timur untuk 'mensosialisasikan' gagasan tersebut. Dalam kongres ini, pasal 2 PD tentang dasar organisasi akhirnya diubah
menjadi suatu bab tersendiri yaitu bab III tentang asas dan akidah yang
terdiri dari dua pasal. Perubahan ini tampaknya mengikuti hal serupa dalam
anggaran dasar NU, selengkapnya adalah:
Berkaitan dengan perubahan asas, di dalam pokok-pokok pikiran tentang pembaharuan dan penyegaran tekad IPNU-IPPNU dikemukakan: Penataan organisasi sosial politik dan organisasi sosial kemasyarakatan mempunyai arti yang penting dalam meletakkan kerangka landasan pembangunan nasional. Oleh karena itu, penataan organisasi kemasyarakatan yang bersifat keagamaan maupun fungsional kepemudaan profesional yang diatur oleh UU No. 8 tahun 1985 mempunyai konsekuensi terhadap penataan dan pengembangan organisasi IPNU dan IPPNU meliputi Nama dan Asas, untuk mencapai pendayagunaan potensi anggotanya sebagai insan pembangunan. UU No. 8 tahun 1985 ... sebagai dasar hukum dalam upaya penataan, pembinaan, dan pengembangan yang mengandung nilai aktualisasi, pembaharuan dan penyegaran tekad organisasi IPNU dan IPPNU sebagai organisasi remaja ditingkatkan peranan dan fungsinya sebagai wadah berproses kaum muda untuk berprestasi.(14) IPNU-IPPNU juga 'dipaksa' untuk secara resmi meneguhkan jati dirinya menjadi organisasi remaja ekstra sekolah setelah digagasnya OSIS sebagai wadah resmi pembinaan pelajar. Achsin Zaidi, Ketua Umum PP IPNU 1981-1988 dalam laporan pertanggungjawabannya menyatakan: "Sebagaimana diketahui, sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang OSIS sebagai wadah resmi pembinaan pelajar, maka sejak saat itulah benih-benih likuidasi organisasi mulai terasa. Organisasi pelajar ekstra mulai kehilangan legitimasi pemerintah." (15) Sedangkan dalam pokok-pokok pikiran tentang penyegaran tekad IPNU-IPPNU dikemukakan: Dengan demikian perubahan nama dengan menggantikan kata pelajar menjadi putra dan putri merupakan langkah maju dan sama sekali tidak menghilangkan identitas dan eksistensi IPNU-IPPNU seperti semula, bahkan mempunyai jangkauan lebih luas karena IPNU-IPPNU akan melibatkan kaum remaja Indonesia, baik pelajar maupun bukan pelajar.(16) Ketua Umum PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid, dalam sambutannya mengusulkan untuk mengubah nama IPNU dan IPPNU menjadi Ikatan Putra-Putri NU disingkat IPPNU meskipun akhirnya kongres tidak sepakat dengan usulan tersebut. Memasuki hari kedua, Mashudi Muchtar atas nama tim perumus membacakan "Deklarasi Jombang" yang berisi tentang perubahan nama yang sekaligus pengintegrasian IPNU dan IPPNU. Nama yang ditawarkan semula adalah Ikatan Remaja Nahdlatul Ulama (IRNU) dan Ikatan Putra-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Dalam sidang pleno gabungan usulan ini mendapat tentangan keras dari peserta kongres, khususnya utusan dari Jawa Tengah. Melalui juru bicaranya, Zahid Arafah, wilayah Jawa Tengah menolak tegas perubahan nama atau penggabungan. Hal itu dipandang tidak sejalan dengan semangat Doktrin Pekalongan yang sudah menegaskan bahwa kemajuan IPNU-IPPNU justru tercapai dalam bentuk organisasi yang terpisah.(17) Utusan dari Yogyakarta juga menyuarakan hal yang senada dengan Jawa Tengah. Ketegangan ini berlanjut hingga pada saat pemilihan ketua umum. Utusan dari Jawa Tengah baik IPNU maupun IPPNU meninggalkan ruang sidang dan mengirim nota kepada Pengurus Besar NU -tembusannya dikirim kepada pimpinan sidang pemilihan- yang isinya menyatakan tidak ikut memilih.(18) Peserta kongres terbelah. Di satu pihak ada yang dapat menerima penggabungan itu, di pihak lain banyak yang mendukung agar IPNU dan IPPNU tetap dipisahkan. Setelah argumentasi yang melelahkan, dalam kongres ini akhirnya diputuskan bahwa IPNU dan IPPNU secara organisatoris tetap terpisah dengan nama masing-masing berubah menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU).(19) Gagasan untuk kembali kepada tradisi kepelajaran memang sudah cukup mendesak, mengingat jajaran Pucuk Pimpinan banyak diduduki oleh kader-kader berusia jauh di atas usia sekolah yang secara organisatoris lebih sesuai untuk anggota Fatayat atau Ansor. Menyusul hal tersebut gagasan peremajaan pengurus menjadi isu yang mengemuka dalam kongres Jombang -sebuah kenyataan yang sulit ditengah minimnya kader muda yang berpengalaman memegang tampuk kepengurusan, apalagi PD/PRT hasil kongres sebelumnya tidak memberikan batas usia sebagai syarat kepengurusan. Dari kenyataan ini, tampak bahwa program kaderisasi sebagai syarat utama kelanjutan suatu organisasi tidak berjalan dengan baik di IPPNU. Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintah sejak paruh kedua dekade 70-an yang semakin memarginalisasikan peran organisasi-organisasi pelajar ekstra sekolah. Bibit-bibit baru yang bergabung ke dalam IPPNU sejak masa itu turun drastis sehingga membuat kepemimpinan stagnan. Dalam kongres bersejarah -yang mengubah nama organisasi- itu IPPNU secara drastis mengubah batas usia kepengurusan menjadi setinggi-tingginya 25 tahun untuk seluruh tingkatan dari Pimpinan Wilayah hingga Pimpinan Ranting, sedangkan untuk Pucuk Pimpinan ditetapkan setinggi-tingginya 27 tahun. Kongres juga memasukkan 'keagamaan' sebagai klausul baru dalam sifat organisasi, menambah sifat sebelumnya 'kekeluargaan dan kemasyarakatan'.(20) Keputusan penting lainnya adalah kongres -sebagai permusyawaratan tertinggi organisasi- masih tetap dilaksanakan setiap empat tahun sekali. Tidak seperti kongres-kongres sebelumnya, kongres Jombang ini tidak banyak menghasilkan rekomendasi kepada pihak luar. Hal paling menonjol dari rekomendasi itu adalah sorotan terhadap penjualan kupon "Porkas" atau "SOB" (Sumbangan Olahraga Berhadiah) yang lokasinya berdekatan dengan lokasi pendidikan dan peribadatan serta perlunya dirumuskan konsep dasar pendidikan nasional jangka panjang yang sistematik. Kepada PBNU, kongres berharap agar NU memiliki penafsiran tentang gerakan Syi'ah yang dianggap membahayakan akidah kader-kader NU. IPNU-IPPNU juga berharap agar PBNU merumuskan petunjuk pelaksanaan berkaitan dengan keputusan muktamar NU di Situbondo tentang gerakan kembali ke khitthah 1926. Agenda terakhir kongres IX IPPNU adalah pemilihan ketua umum periode 1988-1992. Bertindak sebagai presidium sekaligus pimpinan sidang pemilihan adalah Ade Marina (PW IPPNU Jawa Barat) dengan dibantu oleh Neng Madinah, Faizah Idris (PP IPPNU), dan Ny. Shahib Bisri (alumni). Pemilihan ketua berlangsung hampir tanpa persaingan. Lamanya masa jabatan periode sebelumnya dan adanya gagasan peremajaan pengurus melalui pembatasan umur dalam PD/PRT yang baru membuat banyak pengurus PP periode 1981-1988 yang jenuh dan tidak lagi memenuhi syarat sehingga terpilih figur alternatif Ulfah Mashfufah dari panitia nasional kongres sebagai ketua umum merangkap ketua formatur. Untuk membantu ketua terpilih, kongres yang berlangsung tanggal 10-13 Jumadil Akhir 1408 H ini menetapkan Ade Marina, Siti Zainab (mewakili PC), dan Dra. Umroh Machfudzoh (alumni) sebagai formatur. Pelibatan alumni dalam pemilihan ketua dan penyusunan pengurus ini menunjukkan bahwa hubungan anggota dan alumni yang terbangun di dalam IPPNU begitu dekat. Di satu sisi fenomena ini merupakan hal menggembirakan yang menunjukkan bahwa silaturahmi yang terbangun di dalam IPPNU tidak akan terputus dengan selesainya keanggotaan. Kejadian insidental dalam kongres ini juga menunjukkan betapa besar perhatian alumni di saat-saat IPPNU mengalami krisis. Di sisi lain hal ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap otoritas alumni dalam ikut menentukan formasi kepengurusan dus meneguhkan superioritas terhadap proses pengkaderan formal organisasi. Pada kongres-kongres selanjutnya -seiring dengan kemandirian IPPNU- akan kita lihat bahwa hal tersebut tidak lagi terjadi. Pada tanggal 1 Maret 1988, formatur yang terdiri atas empat orang terpilih
hasil kongres Jombang ditambah dengan Dra. Titin Asiyah Thohir mengadakan
rapat dan melalui surat keputusan formatur nomor 01/SKF/7455/III/1988 menetapkan
susunan pengurus PP IPPNU periode 1988-1992 sebagai berikut:
Dewan Pembina:
Ketua Umum: Ulfah Mashfufah
Sekretaris Jenderal: Siti Marhamah
Bendahara Umum: Siti Dauliana
Departemen-departemen: Organisasi:
Pendidikan dan Pembinaan Kader:
Dakwah dan Pengabdian Masyarakat:
Kependudukan dan Lingkungan Hidup:
Wiraswasta dan Koperasi:
Olahraga dan Seni:
Alumni dan Hubungan Luar Negeri:
Kepengurusan ini dilantik pada tanggal 17 April 1988 di auditorium DPP KNPI Kuningan, Jakarta. Acara pelantikan pengurus IPNU-IPPNU ini dihadiri antara lain Drs. Asnawi Latief, dan Drs. Tosari Wijaya, keduanya mantan ketua umum IPNU, H.A. Chalid Mawardi, Dubes Syria yang mantan ketua umum GP Ansor, dan Ny. Hj. Wahid Hasyim. Dalam amanatnya, Menteri Pemuda dan Olahraga, Ir. Akbar Tanjung mengatakan agar IPPNU tidak hanya menyiapkan kader-kader untuk kepentingan terbatas di lingkungan NU, akan tetapi harus mampu melahirkan kader-kader bangsa untuk kepentingan nasional.(21) Menpora menyarankan agar IPNU-IPPNU hendaknya mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang berkenaan dengan kepemudaan dan remaja, untuk kemudian menentukan peranannya dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Kepengurusan ini dilantik secara resmi oleh Pengurus Besar NU yang dalam hal ini diwakili oleh Drs. Asnawi Latief atas nama Ketua Umum PBNU. Dalam pesannya, Asnawi berharap agar IPNU-IPPNU istiqomah dalam melakukan perjuangan, melaksanakan hasil kongres "harfan wa ma'nan" dan siap menerima kritik." (22) Pelantikan ini sekaligus mengawali kiprah IPPNU sebagai calon anggota
baru KNPI sehubungan dengan surat permohonan kepada Menpora Akbar Tanjung
agar bisa dilibatkan secara aktif dalam federasi ormas kepemudaan seluruh
Indonesia itu.(23) Sebelum kongres Jombang, IPPNU masih memiliki kendala
untuk bisa diterima sebagai anggota KNPI karena secara administratif nama
organisasi masih menunjukkan jati dirinya sebagai organisasi pelajar. Dalam
kacamata korporatisme negara yang begitu kuat melalui upaya pemerintah
dalam mengendalikan semua kelompok kepentingan dalam masyarakat menjadi
satu wadah, penolakan ini merupakan salah satu manifestasi eufimistik belum
diakuinya loyalitas dan ketaatan IPPNU terhadap penerapan asas tunggal
dan keputusan satu organisasi untuk pelajar. Penolakan ini secara politis
menyudutkan IPPNU di tengah konstelasi ormas kepemudaan lain. Dalam struktur
masyarakat patron-client Orde Baru yang sangat kental, budaya "mohon restu"
dan legitimasi pemerintah adalah senjata yang ampuh dalam melakukan eliminasi
bertahap terhadap kekuatan politik manapun yang mengambil posisi berseberangan
dengan pemerintah. Bahkan NU -untuk membuktikan loyalitas kewarganegaraannya-
lewat muktamar ke-28 tahun 1989 sekali lagi harus menegaskan komitmennya
sebagai suatu organisasi yang hanya menaruh perhatian terhadap pelayanan
di bidang-bidang sosial-ekonomi, kultural dan pendidikan saja, tidak lagi
berkutat dengan politik praktis. Hal inilah yang antara lain mendorong
IPPNU untuk tegas memperjuangkan keanggotaannya dalam KNPI. Setelah perubahan
mendasar dalam kongres Jombang, upaya IPPNU tersebut membuahkan hasil.
Dalam kongres ke-6 KNPI tahun 1990 di Jakarta dan Musyawarah Pimpinan Paripurna
KNPI di Lembang, Jawa Barat, bulan Juli 1993, IPPNU diundang sebagai peninjau.
Berikutnya pada Kongres Pemuda/KNPI akhir tahun 1993 IPPNU secara resmi
menjadi anggota sekaligus pengurus DPP KNPI.
Revitalisasi Kiprah IPPNU Dua perubahan besar yaitu gerakan kembali ke khitthah yang berujung pada penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi serta perubahan "pelajar" menjadi "putri-putri" menjadi dasar amanat yang harus diemban kepengurusan pasca kongres Jombang. Berkaitan dengan hal tersebut, tugas berat yang harus dilakukan pengurus adalah, pertama mensosialisasikan perubahan nama sekaligus substansi organisasi kepada pihak luar dan kedua, menjabarkan dan melaksanakan operasionalisasi perubahan tersebut kepada seluruh anggota IPPNU. Kesemuanya ini membutuhkan konsolidasi intern yang mantap dan kerja sama yang kooperatif dari pihak-pihak luar, khususnya sesama organisasi pemuda. Muktamar NU ke-27 di Situbondo sebenarnya sudah memberikan pedoman yang baku bagaimana gerakan kembali ke khitthah dilaksanakan. Namun kongres Jombang belum memberikan arahan yang jelas bagaimana orientasi IPNU-IPPNU setelah perubahan namanya. Oleh karena itu, PP berinisiatif untuk mengadakan temu wicara alumni dan seminar citra diri tingkat nasional. Acara ini diselenggarakan di Graha Wisata Remaja, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta pada tanggal 12-16 Oktober 1989. Temu wicara dan seminar ini dihadiri oleh 60 peserta terdiri dari Pucuk Pimpinan, 12 Pimpinan Wilayah dan sejumlah alumni IPNU-IPPNU. Dalam seminar ini dihadirkan beberapa narasumber dari Dedpadgri, Menpora, KNPI, GP Ansor dan Fatayat NU. Acara ini dimaksudkan untuk mempertegas dan memperjelas posisi IPNU-IPPNU pasca kongres Jombang dan pasca khitthah NU, baik dalam lingkungan intern badan otonom NU, maupun secara ekstern di antara ormas-ormas pemuda di tanah air.(24) Hasil-hasil seminar ini kemudian disahkan di Lampung sebagai salah satu keputusan konbes IPNU-IPPNU. Pada tanggal 13-16 Oktober 1990, IPPNU -bersama IPNU- mengadakan konperensi besarnya yang ke-4 setelah konbes-konbes sebelumnya di Pekalongan, Semarang dan Banjarmasin. Konbes yang dilaksanakan di PP Darul Ma'arif, Tegineneng, Lampung Selatan ini membahas juklak organisasi, administrasi, dan kaderisasi serta memberikan rekomendasi untuk pelaksanaan kongres XI IPNU dan X IPPNU. Peserta konbes mendapat pengarahan dari beberapa menteri Kabinet Pembangunan V diantaranya Menneg Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Menneg UPW, Menteri Agama, Menteri Penerangan dan Menneg Pemuda dan Olahraga. Di samping itu konbes juga dihadiri oleh Ketua Umum PBNU K.H.Abdurrahman Wahid yang memaparkan "Arah Strategi PBNU dalam Mempersiapkan Kader-kader Jam'iyah". Revitalisasi sistem pengkaderan memang sudah menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat adanya dua kelemahan mendasar dalam sistem kaderisasi IPPNU selama satu dekade terakhir yaitu: Pertama, kurang intensifnya pelaksanaan pengkaderan yang dilakukan organisasi hampir di semua tingkatan kepengurusan; dan kedua, kelemahan dari sistem pengkaderan itu sendiri.(25) Sistem kaderisasi yang dipakai sampai saat itu adalah sistem kaderisasi yang dihasilkan konbes IPNU-IPPNU tahun 1979 di Banjarmasin. Wajar jika sistem itu dinilai tidak lagi memenuhi tuntutan kehidupan organisasi yang sudah mengalami perubahan cukup mendasar selama satu dekade. Untuk menjawab dinamika organisasi yang berubah semakin cepat konbes gabungan IPNU-IPPNU ini menghasilkan Juklak Pengkaderan. Di samping itu konbes menyusun Pedoman Pelaksanaan Organisasi dan Administrasi serta Citra Diri IPNU-IPPNU sebagai petunjuk operasional perubahan kata "pelajar" menjadi "putra-putri". Kongres mendatang direkomendasikan oleh konbes untuk diadakan di Jawa Tengah. Sejalan dengan kiprah PBNU, dalam hal ini K.H.Abdurrahman Wahid, yang memelopori berdirinya Forum Demokrasi pada tahun itu, IPNU-IPPNU dalam konbesnya kembali menggeliat menyuarakan keprihatinan mereka terhadap bidang-bidang yang dianggap timpang. Dalam pokok-pokok pikiran mengenai Pembangunan Politik, konbes secara tidak langsung menyoroti marjinalisasi peran politik yang terus berlangsung serta rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan bernegara sebagai berikut: Perkembangan politik dalam konteks demokratisasi harus menghindarkan
kecenderungan marjinalisasi setiap kekuatan dan potensi politik yang ada
pada kelompok-kelompok informal di luar supra dan infra struktur politik
yang ada. Kekuatan sosial politik yang ada pada kelompok-kelompok kecil
harus tetap mendapatkan tempat untuk tetap eksis dan berkembang ...
Nuansa kritis yang kembali muncul dalam tubuh IPNU-IPPNU ini menandakan bahwa pergulatan internal organisasi, yang selama hampir satu dekade sebelumnya 'dipaksa' untuk menata kembali bentuk, tujuan, sasaran, dan bidang garapannya -setelah berbagai upaya depolitisasi pelajar dilakukan oleh pemerintah Orde Baru- telah berakhir. Saat bagi IPNU-IPPNU untuk mereaktualisasi kiprahnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat sudah tiba, namun di saat yang sama hegemoni pemerintah masih kuat mencengkeram seluruh kekuatan politik di tanah air. Oleh karena itu masih tampak adanya butir-butir pemikiran konbes yang bernada membela status quo, terutama peran politik ABRI seperti dalam ungkapan berikut: ABRI sebagai salah satu unsur kekuatan pembangunan selama ini telah mengambil peranan positif dengan dwifungsinya. IPNU-IPPNU berpendirian, pelaksanaan dwifungsi ABRI perlu ditingkatkan secara kualitatif untuk mendorong terciptanya mekanisme kehidupan politik nasional yang mantap dan munculnya prakarsa-prakarsa dinamis dari seluruh anggota masyarakat sebagai manifestasi kehidupan demokrasi.(27) Pernyataan tersebut sebenarnya menunjukkan ambiguitas IPNU-IPPNU dalam memandang demokratisasi. Melestarikan dwifungsi di satu sisi dan menegakkan demokrasi di sisi lain adalah dua hal yang bertentangan. Dalam kacamata sejarah politik dunia, supremasi sipil memang tidak harus menjadi syarat tegak demokrasi. Namun hal yang salah dalam sistem politik di tanah air adalah dengan adanya dwifungsi ABRI yang memberi peran sebagai stabilisator dan dinamisator, maka peluang militerisasi birokrasi menjadi begitu terbuka. Begitu kuat peran politik ABRI, dapat dilihat dari adanya Direktorat Sosial Politik yang bernaung di bawah Departemen Dalam Negeri yang berwenang penuh mengatur setiap izin keramaian. Ketua Umum PBNU, K.H.Abdurrahman Wahid, dengan Forum Demokrasinya berkali-kali menjadi korban pencekalan sebagai narasumber di berbagai forum akibat politik perizinan ini. Selanjutnya, hampir seluruh jabatan kepala daerah dati I maupun dati II diduduki oleh anggota ABRI aktif. Sedangkan para purnawirawan militer diberi 'jatah' untuk menduduki jabatan komisaris BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Pendek kata, hampir tidak mungkin bagi kekuatan politik formal manapun untuk menyuarakan 'perbedaan' di tanah air, karena berbeda berarti melawan pemerintah. Sebagai badan otonom NU, IPNU-IPPNU mau tidak mau harus tetap melakukan
hubungan konsultatif berkaitan dengan kebijakan politik NU. Namun, demikian
pula sebaliknya, setiap kegiatan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum
PBNU akan berimbas kepada seluruh lembaga formal NU. Tekanan kepada NU
dan lembaga-lembaganya yang sempat surut, kembali menguat menjelang Pemilu
1992. Di tengah-tengah maraknya ormas yang mencalonkan kembali Soeharto
sebagai presiden RI periode 1993-1998, NU bertahan untuk tidak ikut dalam
pernyataan dukung-mendukung ini. Sebagai akibat, tekanan kepada NU semakin
meningkat.
===========
|
|