[ Sejarah Perjalanan IPPNU ] |
MASA
PERJUANGAN 1963 - 1981
Kongres Bersama IPNU Sudah bertahun-tahun sejak berdirinya, IPNU dan IPPNU, dua organisasi di lingkungan NU yang memiliki anggota dengan segmen usia yang sama, melaksanakan kongres secara terpisah, baik waktu maupun tempat. Hal semacam ini dipandang sebagai kontra produktif terhadap perjalanan masing-masing, mengingat penggabungan event-event yang bersifat nasional dari organisasi ini dipandang akan lebih memberikan daya tarik yang lebih besar kepada masyarakat, khususnya kepada media massa di tanah air yang saat itu sarat dengan polemik tajam antara kubu-kubu politik yang bertikai. Perang dingin berlangsung di DPR-GR dan DPAS antara ABRI, NU dan PNI di satu sisi dengan PKI di sisi lain yang pada saat itu gencar meneriakkan Sosialisme Indonesia, Land Reform dan pembentukan Angkatan Kelima terdiri dari para petani dan buruh. Di tengah menguatnya figur Presiden Soekarno dan semakin besarnya pengaruh PKI atas kebijakan-kebijakan negara, NU melihat apapun bisa terjadi termasuk dibubarkannya organisasi berhaluan Aswaja ini. Sejak Dekrit Presiden yang disikapi secara defensif, tokoh-tokoh NU dihinggapi keprihatinan yang sangat mendalam: apakah NU masih boleh hidup atau tidak. Mereka takut tergilas oleh Penpres no. 7 tahun 1959 dan Penpres no. 13 tahun 1960, tentang penyederhanaan partai dan syarat-syarat partai yang berhak hidup. Bahkan ada pula beberapa tokoh NU yang berpendapat agar kembali ke jam'iyah saja, mengurusi madrasah, panti asuhan, rumah sakit, pendidikan dan bidang-bidang sosial lainnya. Beberapa pengurus partai NU di daerah sampai-sampai menanyakan nasib partai NU dengan nada yang tampak frustrasi. Suasana kalut ini sangat beralasan, diantaranya mengingat NU pada awal tahun 60-an adalah kekuatan politik yang pertama kali menyatakan siap mengorbankan jiwa dan raga untuk membela kelangsungan hidup HMI yang terancam dibubarkan oleh presiden akibat hasutan CGMI.(28) Organisasi payung mahasiswa komunis ini menebar teror pengganyangan terhadap kekuatan mahasiswa yang dianggap kontra-revolusioner dan reaksioner. Setelah sejumlah pimpinan NU menguras tenaga untuk memenuhi persyaratan sebagai partai yang berhak hidup, ditambah manuver-manuver politik yang cantik dari duet Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU, K.H. Abdulwahab Hasbullah dan K.H. Idham Chalid, NU berhasil ditetapkan sebagai salah satu dari 8 partai politik yang berhak hidup. Melalui penetapan presiden tanggal 15 April 1961, NU kembali melangkah dengan optimisme akan eksistensi organisasinya. Namun pada bulan-bulan penetapan itu pula terjadi pemusatan politik "poros Jakarta-Peking" yang membuat politik condong ke kiri. NU bersama kekuatan non-komunis lainnya senantiasa mengawasi langkah-langkah PKI yang betul-betul mendapat angin di bawah demokrasi terpimpin Presiden Soekarno. Melihat tindakan-tindakan politik PKI bersama seluruh underbouwnya sudah semakin keras dan berani, NU bersama seluruh badan otonom segera mengadakan konsolidasi organisasi untuk melakukan penghadangan di segala medan juang, seperti dikemukakan K.H. Saifuddin Zuhri: "Perlawanan NU terhadap PKI dilakukan di semua medan juang. PKI menggerakkan massanya, NU mengorganisasi pemuda Ansor menjadi 'Banser' yang lebih militan. PKI menggerakkan Lekranya, NU mengaktifkan Lesbuminya. PKI menyanyikan lagu 'Genjer-Genjer' yang penuh hasutan dan sindiran, NU mengobarkan bacaan 'Shalawat Badar'..."(29) Di tengah-tengah suasana politik yang semakin panas, IPNU-IPPNU bertekad untuk berdiri di belakang PBNU melakukan konsolidasi internal dengan mengadakan kongres secara bersama-sama di Purwokerto. Kongres V IPNU dan kongres IV IPPNU yang berlangsung pada bulan Juli 1963 berhasil memilih masing-masing Asnawi Latif dan Farida Mawardi sebagai ketua umum. Sedangkan sekjen terpilih IPPNU adalah Machsanah. Kongres Purwokerto ini menandai awal kerja paralel IPNU-IPPNU dalam setiap kongres dan konbes di masa-masa berikutnya. Pada kongres Purwokerto ini, khususnya di kalangan delegasi IPNU, usulan tentang pengubahan nama organisasi IPNU, termasuk penanggalan "NU" dalam nama organisasi masih disuarakan oleh beberapa peserta. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kongres akhirnya memunculkan "Ikrar Bersama" anggota IPNU untuk tidak akan pernah mengubah nama "Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama" disingkat IPNU untuk selama-lamanya.(30) Pada masa bakti 1963-1966 ini terjadi pemindahan sekretariat PP IPPNU dari Surakarta ke Yogyakarta. Sekretariat IPPNU yang semula di Jl. Imam Bonjol no. 35 (dulu Keprabon Wetan), Surakarta secara berangsur-angsur dipindahkan ke Jl. Gandekan Lor 45, Yogyakarta. Pada periode ini perluasan dan pembinaan cabang-cabang di luar Jawa masih diteruskan, diantaranya tourne ke Jambi dan Lampung. Untuk kelancaran komunikasi organisasi, diterbitkan pula majalah "Kartikawati" oleh Departemen Dakwah dan Penerangan yang berisi agenda kegiatan IPPNU. Dari sekian banyak, program kerja paling menonjol adalah pengusahaan beasiswa untuk segenap kader IPPNU, mengingat situasi ekonomi akibat kebijakan politik sedemikian parah. Kebijakan politik mercusuar yang dicanangkan Presiden Soekarno dengan Nefo-Oldefo yang menemui puncaknya di Indonesia dengan diadakan Ganefo (Game of The New Emerging Forces), memaksa dicetaknya uang secara tidak terkendali. Harga seluruh kebutuhan pokok mengalami kenaikan tajam dan inflasi meroket hingga di atas 600 %. Antrian panjang kebutuhan pokok menjadi pemandangan sehari-hari di jalan-jalan, sementara rakyat dicekoki dengan agitasi menentang neo-kolonialisme dan imperialisme yang secara terus-menerus dikumandangkan melalui media cetak dan elektronik. Keadaan ini dimanfaatkan oleh PKI untuk semakin memperluas jaringan dan kekuatan massanya ke seluruh pelosok tanah air. Pada tahun 1964, PKI dan seluruh kekuatan komunis dalam melakukan aksi-aksinya semakin kasar, keras, dan radikal. Gerakan yang terkenal dengan "Aksi Sepihak" ini dilakukan oleh kader-kader Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan secara sepihak memaksa pembagian tanah dan hasil pertanian kepada petani-petani di berbagai desa khususnya di Jawa. Kenyataan ini membuat perlawanan dari kekuatan politik lain, khususnya NU semakin keras. Kekuatan NU terdiri dari Pertanu, Lesbumi, Sarbumusi, Fatayat, Muslimat, IPNU, IPPNU, PMII dan Pemuda Ansor bersama Bansernya telah disiapkan oleh PBNU melalui instruksi-instruksi harian untuk menghadapi kemungkinan terburuk, yaitu pemberontakan PKI. Kewaspadaan ini bukan tidak beralasan, mengingat sejak berdiri, PKI sudah pernah mengadakan pemberontakan bersenjata kepada Republik Indonesia melalui "Madiun Affair" pada tahun 1948. Konsolidasi IPNU-IPPNU sendiri dilakukan dengan mengadakan konperensi
besar di Pekalongan, Jawa Tengah. Konbes III IPNU dan konbes I IPPNU -yang
dilaksanakan bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda itu- menelurkan
"Doktrin Pekalongan" yang memberikan landasan idiil, khususnya butir 4,
bagi IPNU-IPPNU untuk segera melakukan aktualisasi perjuangannya, ketimbang
hanya sekedar mengeluarkan seruan, resolusi, deklarasi, dan konsepsi ideal
lain. Melalui doktrin itu, IPNU-IPPNU menegaskan bahwa Pancasila bukan
hanya sekedar alat pemersatu tetapi juga merupakan pandangan hidup bangsa
Indonesia yang memiliki kedudukan jauh lebih tinggi daripada Manifesto
Komunis maupun Declaration of Independence.
... bahwa perpisahan organisasi antara IPNU dan IPPNU bukanlah suatu faktor yang dapat dijadikan sebab kemacetan dan terhambatnya perkembangan kedua organisasi dalam segala aspeknya, bahkan menunjukkan progresivitas dan emansipasi yang dibenarkan, yang oleh karenanya mengadakan peleburan dalam artian fusi dari kedua organisasi tersebut dipandang sangat tidak perlu dan tidak dibenarkan, di samping itu mengadakan integrasi dalam artian kerja sama perlu diintensifkan.(31) Doktrin tertanggal 28 Oktober 1964 itu dideklarasikan bersama oleh IPNU dan IPPNU, masing-masing diwakili oleh Asnawi Latief dan Farida Mawardi yang menjabat sebagai ketua umum. Hasil yang nyata dari doktrin tersebut adalah dibentuknya "Corps Brigade Pembangunan" (CBP) yang bertugas menghimpun putra-putri NU untuk membantu pelaksanaan pembangunan masyarakat desa, transmigrasi, dan program-program pembangunan mental dan material lainnya. CBP dibentuk sebagai organ di bawah PP IPNU dan PP IPPNU yang merupakan barisan serba guna dalam soal keamanan dan pembangunan. Pada akhir bulan Juli hingga Agustus 1965 dilangsungkan pemusatan latihan
(Training Center, TC) untuk komandan-komandan cabang dan daerah CBP di
Cebongan, Yogyakarta. TC ini diikuti oleh sukarelawan/wati dari IPNU-IPPNU.
Selama sepuluh hari kader-kader CBP ditempa jasmani dan rohaninya agar
menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Materi indoktrinasi diberikan
secara langsung oleh beberapa menteri yaitu Jenderal Chaerul Saleh, Dr.
K.H. Idham Khalid, Ipik Gandamana, H.A. Syaichu. Sedangkan materi tertulis
diberikan pula oleh panglima ketiga angkatan, AD, AL dan AU serta beberapa
menteri departemen Kabinet Kerja. Pemusatan ini seakan-akan menanggapi
latihan-latihan intensif yang dilakukan PKI terhadap kader-kader mudanya
yang tergabung dalam Pemuda Rakyat (PR) dan Gerwani di sekitar Lubang Buaya,
Jakarta sekitar bulan Juli-Agustus 1965. Tidak heran jika perhatian yang
diberikan oleh para pejabat tinggi negara, khususnya dari kalangan militer,
tampak sangat antusias. NU dalam catatan pemerintah saat itu adalah partai
politik yang memiliki jumlah anggota yang terbesar di 20 Dati I yaitu sebanyak
522.413 orang.(32) Dalam TC ini disusun program kerja CBP sebagai tuntunan
praktis yang melandasi perjuangan kader-kader IPNU-IPPNU secara ofensif
revolusioner dalam mengamankan doktrin-doktrin revolusi.(33)
Pemberontakan G-30S/PKI Apa yang dikhawatirkan NU akhirnya terbukti. Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 meletuslah Gerakan 30 September (Gestapu) yang didalangi PKI. Pemberontakan itu dilakukan dengan melakukan penculikan terhadap sejumlah jenderal TNI-AD yang mereka sebut sebagai Dewan Jenderal. Penculikan dipimpin oleh Letkol Untung, Komandan Batalyon Kawal Kehormatan Cakra Birawa dan diikuti dengan pendudukan sarana-sarana vital seperti kantor pusat telekomunikasi dan Radio Republik Indonesia. Pada Jumat pagi tanggal 1 Oktober itu pula Letkol Untung menyiarkan upaya yang disebutnya sebagai penggagalan perebutan kekuasaan yang akan dilakukan oleh Dewan Jenderal. Selanjutnya siaran itu diulangi lagi pada jam 12.30 dengan menyatakan pembubaran Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Soekarno dan mengumumkan bahwa pusat kekuasaan sejak hari itu berada di tangan Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Kolonel Untung.(34) Pemberontakan itu akhirnya dapat digagalkan berkat kesigapan TNI-AD di bawah Pangkostrad, Mayor Jenderal Soeharto. Namun gerakan itu masih menyisakan ketidakpastian politik di tanah air karena sampai detik itu belum ada satu pihakpun di luar TNI-AD yang secara resmi mengklarifikasi apa yang terjadi di kancah perpolitikan nasional. Setelah Pangkostrad menguasai kembali RRI dan mengadakan siaran tentang upaya kudeta yang dilakukan Gestapu yang didalangi PKI, belum ada satupun partai politik yang menyatakan sikapnya. Hari keempat setelah Gestapu, tepatnya tanggal 5 Oktober 1965, PBNU memberanikan diri untuk menanggung segala resiko mengeluarkan resolusi mengutuk Gestapu. Pernyataan itu ditandatangani oleh seluruh badan otonom partai NU yaitu Muslimat NU, Sarbumusi, Fatayat NU, Lesbumi, GP Ansor, PMII, Pertanu, dan Serikat Nelayan Muslimin Indonesia. Meskipun banyak tokoh-tokoh yang terlibat dalam partai, dalam pernyataan tersebut nama IPNU-IPPNU tidak tertera sebagai penandatangan karena secara organisatoris IPNU-IPPNU masih bernaung di bawah LP Ma'arif. LP Ma'arif sendiri adalah organ PBNU yang mengurusi masalah kependidikan, sehingga tidak pada tempatnya bagi IPNU-IPPNU untuk ikut menandatangani pernyataan politik itu. Namun demikian, sebagai anak kandung NU, IPNU-IPPNU mentaati keputusan partai tentang sikap terhadap Gestapu tersebut. PP IPPNU juga mengadakan konsolidasi internal terhadap anggota-anggotanya agar bersikap waspada terhadap segala kemungkinan konfrontasi dengan massa komunis. Pada tanggal itu pula Subchan ZE, Ketua IV PBNU, menggalang berdirinya Komando Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP Gestapu) yang menghimpun seluruh kekuatan pemuda dan pelajar seluruh Indonesia. KAP inilah yang kemudian menjadi cikal bakal "Angkatan 66" dalam memelopori berdirinya Orde Baru. Sikap NU untuk menuntut pembubaran PKI yang disusul oleh kekuatan-kekuatan politik lainnya tidak mendapat perhatian yang serius dari presiden, sampai kemudian lahir kekuatan massa yang menghimpun kelompok profesi dan golongan dalam masyarakat yang anti komunis. Sebutlah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Kesatuan Aksi Pemuda-Pelajar Indonesia (KAPPI), dan beberapa kesatuan aksi lainnya. Sampai awal tahun 1966 presiden Soekarno tidak juga mengeluarkan pernyataan mengutuk Gestapu. Hal ini mendorong munculnya demonstrasi menuntut pembubaran PKI oleh mahasiswa, pelajar dan golongan masyarakat lainnya yang tergabung dalam berbagai kesatuan aksi di atas. Demonstrasi yang hampir setiap hari digelar membuat situasi politik ibukota semakin panas. Situasi yang demikian ternyata tidak menghalangi -bahkan mendorong- IPNU-IPPNU untuk merapatkan barisannya melalui konsolidasi nasional dalam bentuk kongres. Kongres VI IPNU dan V IPPNU semula akan diadakan di Bali, sekaligus sebagai upaya memperluas syi'ar Islam di pulau dewata.(35) Namun jajaran PBNU banyak yang merasa kurang berkenan dengan tempat penyelenggaran itu sehingga menjelang satu setengah bulan dari penyelenggaraan, tempat kongres dua organisasi termuda NU ini dipindahkan ke Surabaya, Jawa Timur. Untuk persiapan kongres diadakan briefing IPNU-IPPNU se-Jatim pada tanggal 14-15 Juli 1966 di Surabaya. Pada acara tersebut turut hadir dan memberi saran beberapa Pengurus Besar NU yaitu ketua DPR-GR H.A. Syaichu, dan K.H. Ahmad Siddiq dari PWNU Jatim, sedangkan dari Pimpinan Pusat IPNU-IPPNU diwakili oleh Asnawi Latif dan Machsanah yang masing-masing menjabat sebagai Ketua Umum PP IPNU dan Sekjen PP IPPNU. Selanjutnya, kongres yang dibarengi dengan porseni tingkat nasional diadakan pada tanggal 20-24 Agustus 1966. Acara tersebut berlangsung dengan sukses dan mendapat perhatian yang cukup besar baik dari pejabat-pejabat pemda Jatim maupun masyarakat umum. Dari PBNU sendiri hadir Ketua Umum PBNU Dr. K.H. Idham Khalid dan Rais 'Aam K.H. Abdulwahab Hasbullah.(36) Kongres Surabaya ini memunculkan beberapa keputusan, diantaranya yang
terpenting adalah pernyataan bahwa IPNU-IPPNU 'berdiri sendiri sebagai
badan otonom partai'.(37) Sehingga kalau semula secara administratif bernaung
di bawah LP Ma'arif, sejak kongres Surabaya IPNU-IPPNU langsung berada
di bawah pembinaan PBNU. Dengan menjadi badan otonom, ketua umum PP IPPNU
berhak duduk sebagai anggota pleno PBNU bersama badan-badan otonom lainnya.
Sebagai konsekuensi dari perubahan status tersebut adalah IPPNU harus bisa
lebih mandiri dalam setiap kegiatannya, namun di saat yang sama dapat berpartisipasi
langsung dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan melalui sidang
pleno PBNU.(38) Kongres juga memutuskan untuk memindahkan Pimpinan Pusat
dari Yogyakarta ke ibukota negara yaitu Jakarta. Dalam kongres itu Asnawi
Latif terpilih kembali sebagai Ketua Umum PP IPNU sedangkan Machsanah dan
Umi Hasanah masing-masing terpilih sebagai Ketua Umum dan Sekjen PP IPPNU.
IPNU-IPPNU adalah sponsor berdirinya KAPPI yang saat itu menjadi badan
federasi organisasi pemuda dan pelajar di seluruh tanah air paling terkemuka
yang berideologi non-komunis. Ketokohan IPNU-IPPNU di dalam mengendalikan
perjuangan KAPPI sangat diakui, bahkan beberapa aktivis IPPNU duduk sebagai
pengurus DPHP KAPPI. Machsanah dan Umi Hasanah sebagai duet pimpinan IPPNU,
diakui banyak sekali menyumbangkan pemikiran terhadap setiap gerak langkah
KAPPI, bahkan H.A. Murtadlo mengakui Umi sebagai "sangat lincah" dalam
memegang kendali KAPPI.(39) Tidak bisa dilupakan juga Lili Wahid Hasyim
sebagai Ketua Keputrian/Ketua Brigade Nasional KAPPI yang berperan besar
dalam penggalangan aksi-aksi pelajar menentang PKI.
"Tritura adalah hati nurani rakyat. Seandainya mahasiswa merasa yakin dengan rumusan tersebut, maka saya anjurkan jalan terus."(40) Anjuran Sarwo Edhi ini menunjukkan dukungan pihak militer, khususnya angkatan darat, terhadap para mahasiswa yang tidak puas dengan kepemimpinan Soekarno. Kolaborasi antara mahasiswa dan pihak militer ini sebenarnya sudah tampak sejak dibentuknya KAMI atas prakarsa Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan) Mayjen Syarief Thayeb pada tanggal 25 Oktober 1965. Adanya KAMI kemudian menghapus peran KAP Gestapu yang dimotori Subchan ZE. Bung Karno saat itu bergeming menghadapi tuntutan tersebut. Jangankan
membubarkan PKI, mengutuk peristiwa Gestapu saja tidak dilakukan oleh beliau.
Hari-hari selanjutnya situasi politik tanah air pasca Tritura hingga Maret
1966 semakin memburuk, membuat kerja kabinet macet sehingga ekonomi Indonesia
semakin terpuruk. Demonstrasi mahasiswa dan kelompok masyarakat anti komunis
berlangsung hampir setiap hari. Di sisi lain, dari pihak pendukung Presiden
Soekarno tampil masyarakat yang bergerak atas nama Front Marhaen dan Barisan
Soekarno. Bipolarisasi elemen-elemen masyarakat menyulut ketegangan yang
setiap saat bisa meletus menjadi bentrokan fisik. Keadaan kacau ini membuat
wibawa presiden jatuh. Untuk menanggulanginya dikeluarkanlah Surat Perintah
11 Maret (Supersemar) yang kemudian oleh pengembannya, Mayjen Soeharto,
digunakan untuk mengembalikan lagi kepercayaan rakyat dengan membubarkan
PKI beserta seluruh underbouwnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang
di seluruh Indonesia. Sambutan meriah diberikan atas dibubarkannya PKI.
Namun atmosfer politik nasional masih tetap membara oleh tarik menarik
pengaruh antara Bung Karno, yang secara resmi masih menjabat sebagai presiden,
dan Mayjen Soeharto yang memiliki kekuasaan yang sangat otoritatif sebagai
pengemban Supersemar. Dualisme kepemimpinan nasional antara Bung Karno
dan Mayjen Soeharto yang sempat berkembang akhirnya disudahi melalui ketetapan
MPRS XXXIII/1967 dengan memberhentikan Ir. Soekarno sebagai presiden RI
dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Sejak saat itulah
Pj. Presiden Soeharto mencanangkan berdirinya Orde Baru yaitu sebuah era
baru ketatanegaraan Indonesia yang mendasarkan dirinya pada pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Berdirinya Orde Baru Setelah menjabat selama setahun, Pj. Presiden Soeharto dikukuhkan secara resmi sebagai presiden RI melalui SU MPRS bulan Maret 1968. Segera sesudah itu upaya yang dilakukan oleh presiden adalah "penjinakan radikalisme politik".(41) Upaya ini, di samping faktor internal, terbukti memperlemah peranan NU sebagai kekuatan politik paling terkemuka. Dengan keterlibatan sebagian pemimpin PNI dalam Gestapu, NU sebagai kekuatan yang mampu bertahan dalam pasang surut kabinet semasa Orde Lama dipandang Presiden Soeharto mengandung potensi radikalisme. Lebih-lebih NU-lah kekuatan politik utama di balik pengganyangan PKI dan seluruh organisasi komunis hingga akhir dekade 60-an. Perseteruan yang terjadi di antara pimpinan partai juga ikut menyurutkan peranan politik NU. Tidak bisa ditutupi bahwa pemecatan terhadap tokoh muda berbakat partai, Subchan ZE, membuat generasi muda NU kehilangan salah satu figur pemimpin massa yang dipandang dapat membawa NU kepada politik yang bermartabat. Kejadian ini dibarengi dengan upaya penertiban besar-besaran terhadap sistem politik nasional. Semua lembaga pemerintah maupun non-pemerintah yang mengandung unsur komunis dibersihkan. Potensi radikalisme dalam kesatuan-kesatuan aksi dijinakkan dengan mendudukkan tokoh-tokohnya di parlemen dan pemerintahan. Stabilisasi politik dikedepankan dengan pembersihan partai-partai yang dianggap langsung maupun tidak langsung terlibat dengan PKI. Redressing parlemen dilakukan untuk memperkecil kekuatan pro-demokrasi, khususnya partai NU.42 Golongan Karya (Golkar), sebagai himpunan golongan fungsional yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah, diperkuat kedudukannya dengan aturan monoloyalitas pegawai negeri yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri, Jenderal Amir Mahmud. Di tengah upaya pemerintah Orde Baru untuk menancapkan kuku-kukunya itu, pada tanggal 10-14 Juli 1968 PP IPNU-IPPNU kembali mengumpulkan pengurus wilayah seluruh Indonesia di Semarang, Jawa Tengah. Acara yang bertajuk Konbes V IPNU dan Konbes II IPPNU ini menghasilkan beberapa resolusi dan memorandum penting kepada pemerintah RI di bidang ideologi/agama, politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan hankam. Sedangkan dalam rangka konsolidasi intern organisasi, konbes menghasilkan beberapa keputusan penting diantaranya tentang perlu diaturnya mekanisme kerja sama CBP IPNU dan CBP IPPNU. Konbes juga memutuskan perlunya perencanaan kongkrit untuk mengatasi pendanaan organisasi yang sudah kritis. Untuk itu konbes merekomendasikan diaktifkannya "Yayasan Lima Empat" dengan merombak kepengurusan yayasan atas dasar keseimbangan komposisi IPNU-IPPNU. Pelaksanaan kongres bersama IPNU-IPPNU juga diputuskan agar tidak melampaui bulan Januari 1970 dengan prioritas tempat di luar Jawa. Sesuai dengan tema "Konsolidasi Organisasi dan Program Kerja", konbes II IPPNU memutuskan untuk melakukan perubahan struktur kepengurusan organisasi PP IPPNU dengan adanya masing-masing 3 orang ketua dan sekretaris untuk membantu ketua umum dan sekretaris umum. Sedangkan departemen yang ada dilengkapi menjadi departemen-departemen Pendidikan dan Kader, Penerangan dan Dakwah, Olahraga dan Kesenian, Pembangunan, Urusan Luar Negeri, dan Departemen Urusan Luar. Untuk penyederhanaan struktur, kedudukan CBP IPPNU ditempatkan di bawah Departemen Pembangunan.(43) Konbes juga memutuskan untuk lebih meningkatkan kinerja CBP dengan mengadakan student work camp sebagai realisasi dakwah kepada masyarakat yang dilakukan IPNU-IPPNU. Melalui korps, dalam jangka pendek IPPNU harus bisa menghasilkan usaha-usaha di bidang home economic, home decoration, dan home nursing sebagai upaya pembiayaan organisasi. Dalam keputusannya, konbes menegaskan kembali target bidang garapan CBP dalam jangka panjang meliputi pembangunan masyarakat desa, pembangunan spiritual serta pembangunan fisik pertahanan dan keamanan. Keputusan-keputusan yang sarat dengan pengabdian untuk peningkatan kinerja pemerintahan dan perekonomian desa ini menunjukkan bahwa aktivitas IPNU-IPPNU sangat terkonsentrasi pada basis massa terbesar yang dimiliki partai NU yaitu daerah pedesaan. Hal ini tentu tidak terlepas dari ketatnya persaingan NU menuju Senayan, khususnya ketika berhadapan dengan Golkar sebagai kekuatan fungsional yang mendapat dukungan luas dari kalangan birokrat.(44) Dalam membahas implementasi program kerja periode berjalan, konbes memutuskan
dilakukannya beberapa penyempurnaan terhadap realisasi keputusan kongres
IV IPPNU yaitu:
Dalam aksentuasi program jangka pendek, PP dimanatkan untuk:
Setahun menjelang pemilu, tepatnya tanggal 20-25 Agustus 1970, kota
Semarang terpilih kembali sebagai tuan rumah kongres VII IPNU dan VI IPPNU.
Tampaknya prioritas tempat pelaksanaan kongres di luar Jawa terbentur pada
kecilnya kemungkinan tercapainya kuorum kongres yang ujung-ujungnya pada
masalah dana. Namun demikian, diadakannya kembali perhelatan nasional IPNU-IPPNU
di ibukota Jawa Tengah ini malah semakin memperluas dukungan masyarakat
terhadap partai NU, khususnya sebagai partai yang memiliki basis pendukung
utama di pulau Jawa.
Program kerja PP IPPNU terbagi menjadi program jangka pendek dan jangka
panjang. Program jangka pendek meliputi bidang pendidikan dan pembangunan,
penerangan/dakwah, kesenian/kebudayaan, kesejahteraan sosial, kader, dan
olahraga.
Pada pemilu 1971, NU kembali membuktikan dirinya sebagai satu-satunya
partai yang dapat bertahan menghadapi gempuran Golkar yang didukung pemerintahan
Orde Baru melalui birokrasi sipil dan garis komando militer sejak dari
pusat sampai ke daerah. Menanggapi gempuran dan intimidasi politik terhadap
NU, Subchan ZE menyatakan bahwa permainan politik sudah menjadi tidak adil.
Beliau bahkan secara berani menuding Menteri Dalam Negeri, Jenderal Amir
Mahmud, agar tetap bertindak sebagai wasit yang adil dan jangan main buldozer.
Berhadapan dengan Golkar dan 8 partai politik lainnya, NU mampu membuktikan
soliditasnya pada pemilu itu dengan meraih 69,96 % dari 14.597.795 suara
yang diperoleh partai-partai Islam.(53) Keberhasilan NU dalam pemilu 1971
ini tampaknya meresahkan penguasa Orde Baru sehingga pada awal tahun 70-an
mulai dilaksanakanlah restrukturisasi politik dengan melakukan penyederhanaan
jumlah partai. Sinyalemen IPNU-IPPNU dalam kongres Semarang terhadap deparpolisasi
yang dilakukan pemerintah tampaknya semakin menemukan arti. Namun jangankan
dua organisasi muda itu, PBNU sendiri mengalami kesulitan melakukan manuver
dan tak kuasa menolak ketika Presiden Soeharto mengajukan usulnya tentang
penggabungan partai-partai politik. Setelah melalui pembicaraan intensif,
partai politik yang tadinya berjumlah sembilan akhirnya menjadi hanya dua
buah yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menghimpun kelompok
Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang menyatukan kelompok nasionalis
dan Kristen. PPP merupakan fusi dari partai-partai NU, Parmusi, PSII, dan
Perti sedangkan PDI merupakan fusi dari partai-partai PNI, Murba, IPKI,
Partai Katholik dan Parkindo. Melalui UU nomor 3 tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golkar dimulailah era baru kepartaian di Indonesia sekaligus
menandai diawalinya strategi depolitisasi massa Orde Baru dengan kebijakan
floating mass-nya.
Di Bawah Bayang-Bayang Malari Pada pertengahan '70, PBNU mulai lagi melakukan konsolidasi dan pencarian arah baru dalam posisinya sebagai unsur terbesar dalam PPP. Sementara konsolidasi dilakukan, IPNU-IPPNU tampaknya ikut kehilangan arah dalam kiprahnya di lingkungan baru NU. Perubahan suasana partai menjadi hanya sekedar unsur dalam PPP memukul telak semangat para pemuda dan pelajar yang selama ini turut bahu-membahu membangun kebesaran partai NU dalam dua kali pemilu. Lobbying politik dan pembicaraan intensif yang digelar dalam mematangkan fusi menjadikan seluruh badan otonom NU stagnan. Kongres IPNU-IPPNU yang semula dijadwalkan tahun 1973 sampai-sampai diundurkan tiga tahun. Sementara itu, kondisi kemahasiswaan di tanah air yang kembali bergolak ikut memberikan andil dalam ketidakpastian politik nasional. Lesunya kondisi keorganisasian itu tergambar dalam keputusan kongres IPNU-IPPNU tahun 1976 tentang program kerja IPNU-IPPNU: ...usaha yang dilakukan pemerintah untuk menyederhanakan partai politik ... jelas semakin kurang menguntungkan bagi organisasi yang berinduk kepada partai politik. Meskipun dalam hubungan organisatoris dengan NU, IPNU-IPPNU berstatus badan otonom, akan tetapi ia tidak dapat menghindarkan diri dari suasana lesu kehidupan organisasi-organisasi pelajar, pemuda khususnya, akibat usaha penyederhanaan parpol dan ormas yang tak tertahankan.(54) Sebenarnya IPNU dan IPPNU didirikan oleh, dari, dan untuk pelajar. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa Pucuk Pimpinan kedua organisasi ini selalu dijabat oleh mahasiswa. Sedangkan mahasiswa NU sendiri sudah dihimpun dalam wadah PMII. Kenyataan ini kadang membuat biasnya perilaku politik IPNU-IPPNU dalam menyikapi keadaan di tanah air. Pucuk Pimpinan menjadi sering terlibat dalam mobilisasi massa pelajar bersama dengan para mahasiswa. Akibatnya, setiap pergolakan di tanah air yang disponsori mahasiswa akan berpengaruh terhadap IPNU-IPPNU dalam menggalang partisipasi anggota-anggotanya. Keadaan ini berlaku pula pada saat ketidakpuasan terhadap jalannya Orde Baru disuarakan secara terbuka oleh para mahasiswa pada tahun 1974. Orde Baru dinilai sudah menyimpang dari cita-citanya karena memelihara aparat yang korup. Orde Baru juga dinilai terlalu menitikberatkan pembangunan ekonominya pada pertumbuhan dan mengabaikan aspek pemerataan kesejahteraan. Bibit-bibit perlawanan mahasiswa sebenarnya sudah dimulai menjelang pemilu 1971 ketika penyimpangan dan pemborosan dana-dana pembangunan semakin mencuat ke permukaan. Kenaikan BBM, pembangunan TMII, dan tingkah laku Aspri (Asisten Pribadi) presiden yang manipulatif, menjadi faktor pemicu gelombang protes mahasiswa yang kemudian mencapai puncaknya pada tanggal 15 Januari 1974 dengan disuarakannya Tritura baru yaitu ganyang korupsi, bubarkan Aspri, dan turunkan harga.(55) Sayangnya, tuntutan yang dikumandangkan dalam rapat akbar mahasiswa di kampus UI Salemba ini dikotori oleh kerumunan massa liar yang justru melakukan perusakan berbagai sarana umum di ibukota. Dalam peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Malari (Malapetaka 15 Januari) itu tercatat 11 orang meninggal, 17 luka berat, 120 luka ringan, 175 orang ditahan, 807 mobil dan 187 motor dibakar, 144 bangunan dibakar, dan 164 kg emas dijarah.(56) Menyusul peristiwa Malari, pemerintah segera melakukan pembatasan gerak mahasiswa di lingkungan kampus. Umar Juoro menggambarkannya secara baik: ... sebagai reaksi terhadap gerakan mahasiswa 1974, pemerintah pun segera memberlakukan SK No. 028/U/1974 yang pada intinya berisi tentang petunjuk-petunjuk pemerintah dalam rangka pembinaan kehidupan kampus perguruan tinggi. Melalui SK ini ditegaskan antara lain mengenai apa yang disebut sebagai kegiatan bersifat politis di mana hal itu -menurut penguasa- harus dilaksanakan dengan bimbingan dan atas tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi dan berdasarkan penganalisaan secara ilmiah. Selain itu, ditegaskan bahwa otonomi perguruan tinggi dan kebebasan ilmiah dilaksanakan dengan mengingat segi hak dan tanggung jawab yang melekat pada setiap kebebasan; sedangkan kebebasan dalam penerapannya adalah kongkrit, situasional dan terikat pada ruang dan waktu.(57) Dengan SK tersebut otonomi lembaga kemahasiswaan intra kampus dicabut dan tanggung jawab aktivitas kampus sepenuhnya berada di tangan rektor. Setelah diberlakukan SK ini, kehidupan mahasiswa kembali berjalan normal meski tidak sebebas sebelumnya. Konsolidasi nasional dalam rangka penyederhanaan partai politik berangsur menemukan bentuk. Terlebih setelah diundangkannya UU No. 3 tentang Parpol dan Golkar, suasana politik tanah air kembali menjadi tenang, hanya saja dengan bayaran yang mahal akibat peristiwa Malari. Dalam suasana politik yang tenang ini IPNU-IPPNU kembali mengadakan kongres, setelah tertunda selama tiga tahun. Kongres VIII IPNU dan VII IPPNU kali ini diadakan di Jakarta. Mengambil tempat di Wisma Ciliwung, isu utama yang berkembang dalam kongres adalah reposisi kedudukan IPNU-IPPNU terkait dengan perubahan struktur politik nasional, khususnya menanggapi perubahan kedudukan NU sebagai partai politik. Perubahan situasi politik serta kondisi kemahasiswaan dan keormasan di tingkat nasional yang begitu cepat, disoroti kongres sebagai "mempersulit pelaksanaan tugas-tugas harian" Pucuk Pimpinan, sehingga meningkatkan gejala "krisis kepemimpinan" hingga ke cabang-cabang. Sedemikian minim kegiatan organisasi pada periode 1970-1976 itu sampai-sampai terdapat anggota yang justru mempertanyakan eksistensi IPNU-IPPNU. Kongres yang dilangsungkan pada tanggal 26-30 Desember 1976 ini juga mempertanyakan keberhasilan PP dalam upaya mengintegrasikan pembinaan pelajar-pelajar dari sekolah umum dan dari kalangan pesantren. Tujuan utama yang seharusnya diupayakan secara maksimal dengan keberadaan IPNU-IPPNU tersebut justru belum terjawab sehingga membuat hilang rasa percaya diri anggota terhadap keberadaan organisasi. Mencermati keadaan tersebut, kongres memutuskan untuk menyusun suatu program kerja yang diorientasikan pada pengembalian kepercayaan diri organisasi. Setelah mendengarkan amanat PBNU, prasaran dari Dr. M. Tolchah Mansoer, S.H., dan sambutan Menteri Agama RI serta pidato pengarahan dari Kaskopkamtib, kongres memutuskan program kerja IPNU-IPPNU periode 1976-1980 sebagai berikut: Secara umum program kerja yang diamanatkan adalah: (1) Konsolidasi,
stabilisasi, dan peningkatan tertib administrasi; (2) Kader forming; (3)
Meningkatkan kualitas anggota dalam rangka pengabdian masyarakat. Program
umum itu dijabarkan dalam setiap tahun menjadi:
Tahun kedua:
Tahun ketiga:
Untuk menyesuaikan diri dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), diadakan pula perubahan singkatan Pimpinan Anak Cabang dari semula PAT (Tjabang) menjadi PAC (cabang). Penyesuaian ejaan dalam anggaran dasar selanjutnya dilakukan dalam hal-hal lain yang diperlukan. Pasal 8 yang membahas kepengurusan juga diubah dari semula terdiri atas: ketua, sekretaris, bendahara, dan beberapa orang pembantu; menjadi pembina, ketua, sekretaris, dan sekretaris-sekretaris bidang. Hal yang menarik dalam perubahan PD adalah hilangnya pasal 10 (3) mengenai keuangan yang menyebut adanya uang tahunan. Klausul ini tidak muncul lagi dalam PD hasil kongres VII. Tampaknya, hilangnya butir "uang tahunan" ini lebih terkait pada amanat kongres tentang digalinya sumber-sumber pendanaan alternatif. Penarikan uang tahunan, seperti iuran-iuran lain, selama ini barangkali tidak terlalu efektif sehingga memaksa PP untuk lebih kreatif dalam pendanaan organisasi. Perubahan dan penyempurnaan dilakukan pula dalam PRT IPPNU. Dalam PRT yang baru tertulis satu pasal khusus tentang alumni. Disebutkan tentang adanya kewajiban bagi alumni IPPNU untuk memberikan bimbingan kepada pimpinan IPPNU "baik diminta maupun tidak". Perubahan juga dilakukan dalam perubahan usia maksimum anggota IPPNU dari 25 tahun menjadi 26 tahun. Tidak diketahui dasar perubahan kriteria usia yang hanya selisih 1 tahun ini. Pelaksanaan kongres juga diubah dari semula 3 tahun sekali menjadi 4 tahun. Perubahan lain dalam PRT menyangkut struktur kepengurusan. Perubahan dilakukan dengan mengubah istilah "lembaga" menjadi "sekretaris bidang". Dalam PRT baru hasil kongres VII sudah tidak muncul lagi lembaga CBP yang pada struktur organisasi PP periode sebelumnya masih dimasukkan dalam Lembaga Pembangunan. PP tampaknya juga bertekad untuk menghimpun dana alternatif di luar iuran anggota dengan mengubah dari komposisi 75 % uang pangkal untuk PP menjadi seluruhnya untuk cabang pada PRT yang baru. Dalam Landasan Perjuangan hasil kongres Jakarta ini, kelihatan sekali
upaya IPNU-IPPNU melakukan reposisi berkaitan dengan kedudukan NU yang
sudah tidak lagi menjadi partai politik. Disebutkan bahwa tujuan IPNU-IPPNU
adalah "melaksanakan amanat ta'dzim kepada ilmu pengetahuan", sementara
dalam Landasan Perjuangan hasil kongres Semarang disebutkan bahwa tujuan
IPNU-IPPNU adalah "melaksanakan strategi partai".
Dewan Penasehat:
Dewan Pembina:
Ketua Umum: Misnar Ma'ruf
Sekretaris Jenderal: Cholillah M.D. Sekretaris Bidang: Keuangan: Ulfa Nawawi
Kepengurusan ini kemudian dilantik secara resmi pada tanggal 3 Juli
1977 di gedung YTKI Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Demikianlah kongres
Jakarta ini berakhir dengan memberikan semangat baru kepada para anggota
IPPNU untuk berkiprah lebih nyata dalam mengisi periode empat tahun itu
dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat dalam rangka peneguhan kembali eksistensi
organisasi.
Reshuffle Pengurus Dalam waktu yang relatif pendek, pada tahun 1978 para mahasiswa di universitas terkemuka seperti USU, UI, ITB, ITS, IPB dan UGM kembali menemukan gerakan moralnya. Sepanjang tahun 1977-1978 aksi mahasiswa dilakukan untuk melakukan koreksi tajam terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Orde Baru. Pada tanggal 16 Januari 1978, sekitar 3000 mahasiswa ITB menyatakan sikapnya untuk "tidak menginginkan Presiden Soeharto terpilih kembali sebagai presiden RI".(59) DM-ITB kemudian menerbitkan sebuah kertas pemikiran yang disebut "Buku Putih Perjuangan Mahasiswa". Sementara itu Dewan Mahasiswa (DM) UI menerbitkan juga sebuah dokumen berjudul "Landasan Perjuangan Mahasiswa dan Tekad Kita". Bentrokan fisik akibat perjuangan mahasiswa dalam mengungkap praktek-praktek kotor Orba itu dihadapi secara represif oleh ABRI. Bentrokan fisik terjadi diantaranya di kampus UGM, Yogyakarta. Aksi protes yang kemudian terus berlanjut ini dianggap rezim Orba sebagai usaha "pembangkangan politik". Mahasiswa sebenarnya sudah cukup cerdik dengan memilih untuk berkonsentrasi di wilayah kampus, mengingat terjadinya Malari karena ada penyusupan terhadap barisan aksi mahasiswa di luar kampus. Konsentrasi ini ternyata malah disambut aparat dengan menduduki kampus-kampus terkemuka dan kemudian menangkap para pimpinan Dewan Mahasiswa. Tokoh-tokoh mahasiswa itu kemudian "diamankan" ke luar kampus dan sebagian dipenjara. Dengan ini berakhir sudah gelombang gerakan mahasiswa tahun 1978 dan dimulailah era baru Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang diimplemantasikan melalui Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Pimpinan IPNU-IPPNU sepanjang gerakan mahasiswa tahun 1977-1978 itu tidak memberikan respon yang berarti. Bagi PP IPPNU, disamping karena kemacetan internal organisasi, hal ini juga disebabkan oleh ketatnya represi yang dilakukan pemerintah Orba terhadap NU atas kemenangan PPP di propinsi DKI pada pemilu 1977. NU sebagai faksi terbesar dalam tubuh PPP mau tidak mau dianggap sebagai "aktor intelektual" di balik mobilisasi massa besar-besaran dalam kampanye pemilu tahun tersebut. Terlebih lagi NU-lah yang memotori dilakukannya walk out oleh PPP dalam SU MPR tahun 1978 sebagai pernyataan tidak ikut bertanggung jawab atas disahkannya aliran kepercayaan dan P-4 sebagai Ketetapan MPR. Peristiwa "berani" ini, disamping pertahanan NU terhadap tekanan berbagai pihak mengenai lambang Ka'bah yang digunakan PPP, menunjukkan kuatnya pengaruh K.H. Bishri Syansuri, yang saat itu menjabat sebagai Rais 'Aam PBNU, terhadap partai yang berasaskan Islam tersebut.(60) Tekanan yang dilakukan pemerintah terhadap NU terbukti efektif untuk membungkam gerak politik badan-badan otonom yang bernaung di bawah PBNU. IPNU-IPPNU, tidak terkecuali, ikut mengalami tekanan di bawah Daud Yusuf - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) dalam Kabinet Pembangunan III. Meskipun demikian, melihat ketidakadilan yang begitu rupa terhadap PPP dan NU khususnya, IPPNU merasa perlu untuk ikut memberikan dasar pemikiran tentang pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil. Pada tanggal 12 April 1977 IPPNU -sebagai satu-satunya organisasi pemudi- ikut menandatangani "Pernyataan Generasi Muda Indonesia" yang disampaikan pada acara dialog generasi muda di Jakarta. Depolitisasi secara massif dilakukan pemerintah Orba terhadap kehidupan pelajar dan mahasiswa. Namun pada tahun-tahun awal kabinet Presiden Soeharto yang terpilih untuk ketiga kalinya dalam SU MPR tahun 1978 itu, usaha lebih dahulu diarahkan pada penataan kehidupan mahasiswa dan lingkungan perguruan tinggi. Sesaat setelah pelantikan Kabinet Pembangunan III pada tanggal 19 April 1979, Daud Yusuf mengeluarkan SK No. 0156/U/1978 yang mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan secara nyata dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul SK ini adalah pembekuan lembaga Dewan Mahasiswa melalui SK Kopkamtib No. 02/Kopkam/1978 dan menggantikannya dengan lembaga Senat Mahasiswa yang hanya sampai tingkat fakultas. Dengan adanya instruksi ini praktis kehidupan politik kampus nyaris mati dan ternyata memang demikian adanya sampai waktu yang cukup lama hingga menemukan kembali momentumnya dalam pendongkelan Presiden Soeharto pada tahun 1998 kelak. Ketidakjelasan status NU setelah penanggalan baju politiknya menjelang pemilu 1977 dan berbagai penangkapan aktivis mahasiswa tahun 1978, membuat IPNU-IPPNU merasa perlu merespon secara kreatif untuk memecah kebekuan politik yang dirasakan hampir seluruh ormas di tanah air, termasuk banom-banom NU. Ketidakjelasan status NU ini diungkapkan oleh ketua IV PBNU, H. Mahbub Junaidi: "Paling sedikit tidak tahu persis, gerangan apakah kelamin NU sekarang.
Kalau bukan parpol lantas apa? Akibatnya timbul kikuk dan rikuh. Terlebih
dengan adanya Majelis Ulama (MUI -penulis) yang seakan-akan pemegang hak
tunggal bagi kegiatan keagamaan ..."(61)
Niatan untuk lebih serius lagi menggarap kaum remaja ini disebabkan oleh jumlah remaja yang saat itu mencapai 61 % dari 135 juta penduduk Indonesia. Kriteria remaja dipilih pada rentang usia 13 sampai dengan 21 tahun. Jumlah sebanyak itu umumnya tidak diimbangi dengan kualitas pemikiran yang matang padahal proses perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat menyisakan ekses negatif yang dapat menjerumuskan remaja pada dekadensi moral. Menilik fenomenanya, masalah-masalah yang berhubungan dengan remaja sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai kasus lokal. Dalam lokakarya ini IPNU-IPPNU sampai pada satu keputusan bahwa dakwah, dalam pengertian yang luas, bertujuan untuk membentuk pribadi-pribadi yang utuh. Adalah naif jika mengatakan bahwa dakwah adalah masalah agama semata, oleh karena itu dakwah harus diarahkan juga pada upaya melahirkan kegiatan-kegiatan sosial yang bermanfaat seperti olahraga, darma wisata, koperasi, dan forum-forum yang menarik bagi kaum remaja. Semua kegiatan itu dapat dilakukan melalui seluruh media komunikasi yang ada baik elektronik maupun cetak.(63) Dalam pelaksanaannya, lokakarya merekomendasikan PP untuk mengadakan survey pendahuluan mengenai obyek sasaran, lokasi, hobi dan tingkat pergaulan obyek dakwah, yaitu para remaja. Lokakarya yang diikuti sekitar 60 orang perwakilan IPNU dan IPPNU dari berbagai wilayah ini berakhir pada tanggal 25 Juli 1978 dengan menghasilkan Pedoman Latihan Kader dan Latihan Kepemimpinan IPNU-IPPNU. Selama kepengurusan periode 1976-1980 ini, IPPNU kembali pada kegiatan
rutinnya seputar pembinaan kaum remaja, kaderisasi anggota baru, dan kegiatan
memperingati harlah. Pada Muktamar NU ke-26 yang diadakan di gedung PHI
Semarang, PP mengisi salah satu stan bazar dengan kerajinan tangan hasil
olahan para anggota IPPNU. Hasil penjualannya digunakan untuk menambah
kas organisasi.
Pada pertengahan 1978, kepengurusan PP IPPNU yang belum genap berjalan dua tahun mengalami kemacetan organisasi dengan mundurnya Machsusoh dan Cholillah masing-masing dari ketua I dan sekjen. Berkaitan dengan hal tersebut, pada awal tahun 1979 ketua umum mengadakan reshuffle Pucuk Pimpinan yang menghasilkan perubahan kepengurusan menjadi: Ketua Umum: Misnar Ma'ruf
Sekretaris Jenderal: Lilis Qomariyah Sekretaris Bidang: Keuangan: Anna Ida Zuraida
Dengan kepengurusan yang telah terbentuk ini perlahan roda organisasi berjalan kembali secara teratur. Tetapi menjelang berakhir tahun 1980 kegiatan organisasi kembali vakum karena terjadi disfungsionalisasi sekretariat jenderal. Sekbid Keuangan dan Logistik mengalami kemacetan karena waktu yang dialokasikan untuk mengurusi hal tersebut menjadi kurang. Sekjen, karena alasan pribadi, secara resmi mengundurkan diri dari kepengurusan, bahkan sebenarnya sudah dua tahun fungsi kesekretariatan berhenti. Menjelang dilaksanakan kongres IPNU-IPPNU, yakni pada rapat pleno PP ke-8 tanggal 10 Juni 1981 diputuskan bahwa kedudukan sekjen digantikan oleh Ellyati Rosyida. Kepengurusan ini bertahan hingga dilaksanakan kongres VIII IPPNU di Cirebon pada akhir tahun 1981. Sementara itu, setelah sukses melakukan penjinakan terhadap dunia perguruan tinggi, pemerintah mulai menjajaki kemungkinan melakukan hal yang serupa untuk pelajar sekolah menengah. Tekanan agar ormas pelajar segera keluar dari lingkungan sekolah semakin gencar disuarakan oleh Menteri P&K. Apalagi dalam kabinet sendiri ditunjuk seorang Menteri Muda Urusan Pembinaan Generasi Muda yang dijabat oleh Dr. Abdul Ghafur. Ketatnya "pembinaan" ini praktis membuat medan gerak IPNU-IPPNU semakin terbatas, bahkan sebagai akibat, animo putra-putri warga NU untuk memasuki IPNU dan IPPNU-pun berkurang. Oleh karena itu, PP merasa perlu untuk memberikan himbauan moral (moral suation) melalui pernyataan pers agar putri-putri warga NU diharuskan menjadi anggota IPPNU.(64) Betapa represif pemerintah Orba terbukti antara lain dengan adanya pelarangan untuk menggunakan kostum yang bertuliskan IPNU pada sebuah pertandingan sepak bola.(65) Pada tanggal 27 Januari-3 Februari 1979 IPNU-IPPNU melaksanakan konbes di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Konbes III IPPNU ini dilaksanakan untuk mengevaluasi perjalanan organisasi selama paruh pertama kepengurusan periode 1976-1980. Agenda konbes terbagi menjadi dua bagian besar yaitu bidang organisasi dan bidang rekomendasi. Agenda organisasi yang dibahas dalam konbes ini adalah: kriteria pengurus IPPNU, keberadaan Pimpinan Cabang di pondok pesantren, demisionerisasi kepengurusan Pimpinan Ranting sampai Pucuk Pimpinan, Pedoman Organisasi dan Administrasi, masalah alumni, Pedoman Latihan Kader dan Kepemimpinan, serta Crash Program dan Program Kerja. Kriteria kepengurusan mendapatkan porsi yang cukup besar dalam pembahasan di arena konbes mengingat terjadi krisis kepemimpinan yang massif dalam tubuh organisasi membuat kader-kader muda yang duduk sebagai pengurus menjadi langka. Ditetapkan, setinggi-tinggi usia adalah 30 tahun dan pendidikan serendah-rendahnya SLA (Sekolah Lanjutan Atas) atau sederajat untuk bisa menjabat sebagai Pucuk Pimpinan. Sedangkan untuk pimpinan wilayah, cabang, anak cabang dan ranting masing-masing 28, 25, 20 dan 18 tahun. Dengan demikian anggota yang berusia di atas 30 tahun dan masih setia kepada asas organisasi dengan sendirinya digolongkan sebagai alumni.(66) Konbes yang dilaksanakan bersama dengan penataran pers tingkat nasional
ini menghasilkan sebuah terobosan keputusan dengan dimungkinkan pendirian
cabang IPPNU di pondok-pondok pesantren. Pesantren yang di dalamnya hendak
didirikan cabang IPPNU harus memenuhi syarat-syarat:
Melalui arena konbes, para peserta melihat bahwa momentum nasional ini
juga harus digunakan untuk mengevaluasi jalannya organisasi dalam kondisi-kondisi
tertentu yang membuat kepengurusan berjalan melebihi masa bakti efektif.
Beberapa preseden keterlambatan kongres, baik akibat kekacauan politik
nasional maupun kelemahan internal pengurus, harus diantisipasi di masa
depan. Untuk itu konbes memutuskan, jika satu tahun setelah melampaui Masa
Jabatan Efektif belum diadakan permusyawaratan pada masing-masing tingkatan,
pengurus yang bersangkutan secara otomatis dinyatakan demisioner. Selanjutnya,
jabatan sementara berada pada pimpinan yang satu tingkat lebih tinggi sampai
diadakan permusyawaratan. Untuk Pucuk Pimpinan, selama masa demisioner,
jabatan akan dipangku oleh PB Nahdlatul Ulama. Masa tenggang satu tahun
itu merupakan masa peringatan yang dapat dilakukan setiap empat bulan sekali
untuk segera melaksanakan permusyawaratan.(68)
Di sela-sela penataran pers itu dilakukan juga kunjungan ke kantor harian
Banjarmasin Pos dan lokasi transmigrasi di Kalimantan Selatan.
Konbes Banjarmasin ini mengeluarkan sejumlah rekomendasi tentang pembinaan generasi muda, pendidikan, penciptaan lapangan kerja, transmigrasi dan regenerasi. Dalam rekomendasinya, IPNU-IPPNU kembali mendesak pemerintah untuk segera menaikkan anggaran pendidikan hingga mencapai 25% dari APBN. IPNU-IPPNU berpendapat hendaknya bulan puasa dijadikan sebagai hari libur resmi bagi sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Konbes mendesak kepada pemerintah agar mewajibkan badan-badan usaha di tanah air menyisihkan sebagian keuntungan untuk pelatihan ketrampilan sesuai dengan kualifikasi yang disyaratkan sektor industri. Untuk menanggulangi angka pengangguran yang tinggi, konbes merekomendasikan agar diadakan prioritas pada pembangunan industri-industri padat karya. Dalam pelaksanaannya, IPNU-IPPNU akan terus berusaha memantau agar UMR (Upah Minimum Regional) dapat tercapai untuk menjamin terciptanya kondisi tenaga kerja yang berperikemanusiaan. Menyangkut transmigrasi, IPNU-IPPNU menyiapkan diri sebagai pelopor terlaksananya Transmigrasi Muda sebagai bentuk partisipasi terhadap pembangunan nasional. Berlawanan dengan hasil keputusan Konbes ke-2 IPPNU tahun 1968 di Semarang,
yang menyorot tajam soal dwifungsi ABRI, dalam rekomendasi yang terkait
dengan pertahanan dan keamanan, IPNU-IPPNU justru menekankan bahwa pendidikan
bernegara yang mampu membangun kesadaran pertahanan dan keamanan di bawah
konsep kemanunggalan ABRI dan rakyat dapat terlaksana. Tidak disinggungnya
peran politik ABRI yang saat itu sudah menggurita, tampaknya terkait dengan
pola represi pemerintah yang diterapkan dalam menghadapi aksi mahasiswa
setahun sebelumnya. Secara keseluruhan, nuansa kritis terhadap situasi
politik nasional, khususnya kepada pemerintah yang sempat mencuat tajam
satu dekade sebelumnya, berangsur lenyap menjadi 'hanya' pembinaan internal
pemuda dan pelajar di lingkungan NU. Kenyataan ini menunjukkan betapa efektif
proses depolitisasi kampus dan sekolah melalui kebijakan NKK/BKK di perguruan
tinggi dan pemberlakuan kebijakan hanya membolehkan satu organisasi siswa
intra sekolah (OSIS) di kalangan pelajar.
========
|
|