[ Sejarah Perjalanan IPPNU ] |
MASA
PERTUMBUHAN 1955 - 1963
Konbes Surakarta Berbekal mandat sebagai Ketua Dewan Harian, Umroh segera menyusun dan menetapkan PD/PRT (waktu itu masih AD/ART) pada tanggal 11 Maret 1955. Umroh juga mengeluarkan keputusan tentang diresmikannya pembentukan cabang-cabang yang tergabung dalam Konperensi Panca Daerah. Selanjutnya Umroh melakukan perjalanan untuk konsolidasi dan pembentukan cabang-cabang baru, khususnya yang ada di Pulau Jawa. Pada saat itu pembentukan cabang di luar Jawa belum terlalu mendapatkan prioritas karena masih menghadapi kendala jarak dan komunikasi. Dalam upaya lebih mempercepat terbentuknya cabang-cabang, Umroh menugaskan beberapa orang sebagai wakil Pimpinan Pusat untuk pembentukan cabang. Di antara anggota IPPNU yang mendapat penugasan ini adalah Zuhara Arifin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan cabang-cabang di Jawa Barat dan DKI Jakarta.(11) Umroh sendiri kemudian lebih banyak berkonsentrasi dalam pembentukan cabang-cabang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Safari pembentukan cabang ini bukan tanpa kendala. Hampir di setiap cabang yang dikunjungi, Umroh selalu menemukan keengganan para pelajar putri untuk turut ambil bagian dalam kepengurusan meskipun keberadaan IPPNU sendiri cukup mendapat dukungan. Keengganan ini lebih disebabkan karena sedikitnya jumlah pelajar putri yang bersekolah secara formal (baik di madrasah maupun di sekolah umum). Di samping itu mereka rata-rata lebih banyak memilih untuk tidak turut serta sebagai pimpinan karena mobilitas yang rendah, sehingga urusan-urusan organisasi yang bersifat ekstern lebih banyak diserahkan kepada pimpinan IPNU setempat. Begitu sulitnya upaya menumbuhkan kepercayaan diri para pelajar putri ini terungkap dalam pernyataan Umroh: "... pelajar putri kalau sudah agak meningkat sudah tidak keluar lagi. Jadi masih banyak yang menjadi satu dengan IPNU. Sampai saya dan kawan-kawan Dewan Harian ini judek sehingga mempunyai pendapat: "Kalau begitu baiknya dijadikan satu saja dengan IPNU lalu putri menjadi departemennya ..." (12) Munculnya kembali pemikiran mengenai peleburan IPPNU ke dalam IPNU pasca Konperensi Panca Daerah ini bukan tanpa alasan. Hampir seluruh penggagas IPPNU memiliki kekhawatiran yang beralasan akan absen dan minimnya partisipasi pelajar putri dalam organisasi yang baru didirikan itu jika keberadaanya terpisah dari IPNU. Di samping karena batasan budaya, kekhawatiran juga disebabkan oleh keterbatasan alat komunikasi dan transportasi yang memang belum terlalu bersahabat bagi kaum wanita. Umroh, sebagai ketua DH IPPNU yang menyadari betul hal ini menyatakan kekecewaannya akan ketergantungan pelajar putri kepada badan-badan otonom lain, sebagai berikut: "... kebanyakan utusan (dalam konbes Surakarta - penulis) dari daerah-daerah
itu diantarkan Muslimat, kadang-kadang Ansor dan kadang-kadang pula IPNU
..." (13)
Konbes yang dilaksanakan tepat 10 bulan 16 hari setelah deklarasi pendirian IPPNU ini memiliki arti penting untuk menentukan dan menyempurnakan langkah-langkah IPPNU ke depan dan lebih mengkongkritkan rencana kerja untuk kelancaran dan kemajuan organisasi selanjutnya.(14) Ketua Umum PP Muslimat NU, Ny. Mahmudah Mawardi, yang hadir dalam pembukaan konbes bahkan menyatakan: "... kebangkitan pelajar-pelajar putri NU ini saya artikan sebagai "renaissance" daripada geraknya kaum putri yang didorong oleh gelora jiwa yang ingin dinamis dan disinari oleh api keramat daripada semboyan itu ..." (15) Sementara itu, Ketua Umum PP IPNU, M. Tolchah Mansoer, dalam acara yang sama mengatakan: "Hanyalah satu yang setiap orang harapkan dari IPPNU, semoga tidak silau oleh intelektualisme dan berarti hal ini tidak melupakan dasar-dasar pokok agama, dan pula adalah kewajiban tiap mereka yang beragama Islam untuk memegang teguh ajaran itu, sebagai syuhada' alannaas menjadi saksi, menjadi ukuran, menjadi kriterium. Bagaimana ukuran bisa benar, kalau alat pengukurnya juga ikut hanyut ?" (16) Konbes ini dihadiri oleh sekitar 30 cabang yang semuanya berasal dari
pulau Jawa.(17) Konbes ini menghasilkan beberapa keputusan penting, diantaranya:
Upaya Mempertahankan Eksistensi Pasca Konbes Meskipun tidak semeriah Muktamar I IPNU di Malang setahun sebelumnya, muktamar I IPPNU yang diadakan di Surakarta memberikan semangat baru bagi para pelajar putri, bahwa mereka mampu bekerja sebagai organisasi yang berdiri sendiri. Tahun-tahun sesudah muktamar Surakarta ini masih banyak diwarnai dengan upaya pembentukan cabang-cabang baru dan konsolidasi organisasi ke dalam. Tak ubahnya dengan Dewan Harian, PP IPPNU mengirimkan surat kepada cabang-cabang Muslimat, Ma'arif, dan IPNU di seluruh Indonesia untuk turut serta membantu mengusahakan berdirinya IPPNU di daerah masing-masing tersebut. Surat-surat ini mendapat sambutan yang sangat baik, sehingga dalam waktu singkat saja telah bertambah cabang-cabang dalam jumlah yang cukup banyak. Dalam harlah yang pertama, IPPNU pada waktu itu telah memiliki beberapa cabang di luar Jawa yaitu Sumatera, Kalimantan Selatan, Sulawesi dan Nusatenggara.(19) Hal ini tentu tidak terlepas dari upaya gigih para pengurus Pimpinan Pusat serta kerja sama yang baik dari bapak-bapak di jajaran cabang-cabang Nahdlatul Ulama dan badan otonom lainnya. Pada peringatan harlah pertama IPPNU bulan Maret 1956 yang bersamaan dengan diadakannya peringatan Isra' Mi'raj, PP mengadakan peninjauan ke cabang-cabang yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sedangkan di Jawa Barat tidak diadakan kunjungan karena baru terbentuk satu cabang yaitu Bandung. Kunjungan ini membuahkan hasil yang menggembirakan, bahkan di Kalimantan Selatan sekaligus terbentuk enam cabang. Ketika diadakan muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember 1956, PP IPPNU mendapat kesempatan mengikuti atas tanggungan PP Muslimat NU. PP yang pada saat itu diwakili langsung oleh Basyiroh memanfaatkan kesempatan ini untuk mengadakan pembicaraan dengan utusan dari cabang-cabang Muslimat dan Fatayat tentang IPPNU. Pada prinsipnya, Basyiroh meminta agar mereka tidak keberatan untuk membantu pendirian IPPNU di daerah masing-masing. Pada tanggal 21-27 Juli 1957, PP IPPNU mengadakan Kursus Kader yang pertama di kota Jombang, bersamaan dengan diadakannya muktamar Madaris Muallimin / Muallimat NU se-Indonesia di kota yang sama. Kursus kader itu diikuti oleh 60 orang peserta dari cabang-cabang di seluruh Indonesia. Pada masa itu, jika IPPNU mengadakan acara yang bersifat nasional sering dilakukan upaya menyatukan waktu dengan jadwal badan-badan otonom lain di lingkungan NU. Seperti telah disebutkan sebelumnya, hal ini jamak terjadi karena para pelajar putri belum terlalu berani mengadakan perjalanan sendiri ke luar kota sehingga harus didampingi oleh yang lebih tua. Terlebih lagi pandangan bapak-bapak di NU belum terlalu mendukung hal tersebut, seperti terungkap dalam pernyataan Umroh: "... bagaimana nanti pendapat bapak-bapak di NU terhadap kami, mana bisa anak putri mau pergi sendirian saja tidak pakai muhrim ..." (20) Pada tahun 1957 ini nama IPPNU semakin dikenal dengan pengiriman dua anggotanya yaitu Ghaniyah dan Sa'diyah Marwan (keduanya dari cabang Malang) pada acara Pekan Pemuda seluruh Indonesia di Surabaya. Dalam rangka menjaga kesinambungan roda organisasi tercatat 2 kali sesudah konbes Surakarta IPPNU masih mengadakan kongres secara terpisah dari IPNU yaitu kongres kedua bulan Desember 1957 di Yogyakarta dan kongres ketiga tahun 1960 di Malang, Jawa Timur. Pada kongres di Yogyakarta, kembali Basyiroh ditetapkan sebagai Ketua Umum, dibantu oleh Zanifah sebagai Ketua I dan Lathifah Z. Mawardi sebagai Sekjen. Muktamar ini dihadiri oleh 60 cabang atau sekitar dua kali lipat dari muktamar pertama, sebuah bukti bahwa perkembangan IPPNU begitu pesat. Di sisi lain, keberadaan IPPNU yang tengah tumbuh itu masih menyisakan kesangsian akan mampunya organisasi pelajar-pelajar putri ini bertahan. Bahkan pada upacara pembukaan kongres kedua ini Menteri Agama RI, K.H.M. Ilyas sempat menyatakan: "...saya sangsi sebelumnya apakah putra-putri kita akan bisa mengadakan/memimpin rapat/kongres, tetapi kesangsian saya kini lenyap ketika saya melihat resepsi pada malam ini..." (21) Pada periode ini PP mengadakan Sekolah Kilat Guru Taman Kanak-kanak (SGTK) dan Kepanduan Putri di Surakarta di bawah asuhan Departemen Kader dan Departemen Penerangan yang masing-masing dijabat oleh Mahmudah Nachrowi dan Zamroh. Hasil dari sekolah kilat yang diikuti sekitar 20 peserta membuat IPPNU lebih dikenal karena kiprah alumninya yang terjun langsung sebagai guru di masyarakat. PP juga menerbitkan brosur organisasi di bawah pembinaan Departemen Penerangan. Meskipun demikian, dalam Berita Organisasi yang diterbitkan PP IPNU pada bulan Januari 1958 masih juga diberikan rubrik khusus mengenai IPPNU -sebuah kenyataan yang menunjukkan eratnya kerja sama antara dua organisasi termuda Nahdlatul Ulama ini. Pada akhir dekade 50-an, suhu politik tanah air mulai mengeruh. NU,
sebagai induk IPPNU, pada tahun 1955 keluar sebagai 4 besar partai pemenang
pemilu bersama Masyumi, PNI, dan PKI. Atas kemenangannya itu, NU turut
ambil bagian dalam pemerintahan. Padahal ketidakpuasan di daerah akibat
ketidakadilan ekonomi yang dijalankan pemerintah pusat mulai terwujud dalam
pemberontakan yang dilakukan beberapa kelompok bersenjata di bawah PRRI
(Sumatera Tengah) dan Permesta (Makasar). Sementara itu rongrongan DI/TII
Kartosuwiryo di wilayah Jawa Barat belum juga usai. Ketidakpuasan kepada
pemerintah pusat ini menimpa NU pula, sehingga sempat berkembang pemikiran
di kalangan pelajar-pelajar NU untuk meninggalkan atribut NU di belakang
nama organisasi pelajarnya.(22) Tetapi keinginan-keinginan itu dapat terkikis
sehingga IPNU dan IPPNU tetap mengenakan atribut Aswaja sebagaimana saat
berdirinya.
Kembali ke Kota Kelahiran Pada awal dekade 60-an, peran partai-partai politik jatuh ke titik nadir sebagai akibat diterapkannya Demokrasi Terpimpin sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante dan kemudian parlemen hasil pemilu 1955. NU sebagai salah satu partai penopang kabinet diterpa badai politik dahsyat akibat sentralisasi kepemimpinan di tangan Bung Karno. Masyumi, sebagai partai terbesar, bersama PSI tidak luput dari tangan besi Bung Karno yang menyudahi riwayat kedua partai tersebut karena tuduhan keterlibatan beberapa pemimpinnya dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Agresivitas PKI yang semakin tampak karena merasa diberi angin oleh Presiden Soekarno dianggap sebagai upaya merongrong kekuatan politik lainnya termasuk NU. Oleh karena itu pada muktamar ke-22 bulan Desember 1959 di Jakarta, NU memutuskan untuk bersikap defensif menghadapi ketidakpastian politik saat itu. Sementara itu NU tetap melakukan konsolidasi organisasi ke dalam. Kesempatan ini dipahami cukup baik oleh para generasi muda NU. Seiring dengan kegigihan organisasi mahasiswa komunis CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berhasil mendominasi organisasi PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia), beberapa mahasiswa NU yang selama ini aktif dalam Departemen Perguruan Tinggi IPNU membidani lahirnya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).(23) Mereka memandang masanya telah tiba bagi mahasiswa-mahasiswa berhaluan Aswaja untuk berhimpun sendiri di bawa suatu organisasi. Tepat pada tanggal 17 April 1960, dalam sebuah musyawarah mahasiswa NU di Kota Pahlawan Surabaya, PMII lahir sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa di lingkungan NU.(24) Keberadaan PMII ini mau tak mau telah membagi konsentrasi pemuda-pemudi NU kepada IPNU-IPPNU di satu sisi dan PMII di sisi lain. Namun dengan adanya PMII, nama pelajar yang melekat pada IPNU-IPPNU tampak menjadi semakin kental mewarnai kegiatan kedua organisasi ini ke depan. Setelah dua kali mengadakan kongres, kali ini IPPNU kembali pada kota kelahirannya di Jawa Timur untuk menyelenggarakan kongres yang ketiga. Bertempat di kota Malang, kongres IPPNU -yang diikuti oleh cabang-cabang yang semakin bertambah dan hal ini berarti semakin mengukuhkan keberadaan IPPNU sebagai satu-satunya organisasi pelajar putri NU- menjawab keragu-raguan sementara pihak pada saat berdirinya enam tahun silam. Dalam kongres ketiga ini berhasil dipilih Mahmudah Nachrowi dan Lathifah Mawardi masing-masing sebagai Ketua dan Sekjen PP IPPNU. Pada tanggal 25-31 Juli 1962, IPPNU, bersama IPNU dan PMII, mengadakan Pekan Pelajar & Mahasiswa Nahdlatul Ulama di Kota Batik Ponorogo. Acara ini dihadiri sedikitnya oleh 500 pelajar dan mahasiswa NU dari seluruh pelosok tanah air. Dalam pekan ini diadakan Work Camp di desa-desa yang merupakan kuliah kerja bagi para mahasiswa dalam bidang sosial, ekonomi, koperasi, agama, pendidikan, dan kebudayaan. Selain itu diadakan pula indoktrinasi Manipol-Usdek oleh Dr. Ruslan Abdulgani yang menjabat Bapak Pembina jiwa Revolusi.(25) Khusus untuk IPNU diadakan pula Pekan Olahraga (POR) II dan Konperensi Besar II untuk membahas kemajuan program kerja organisasi. Pada kesempatan ini kepada utusan-utusan IPPNU diberikan kursus-kursus praktis kerumahtanggaan seperti Home Nursing/Economics, merangkai bunga, PPPK, pengawetan makanan, dan mencuci dengan alat-alat modern.(26) Disparitas jenis kegiatan antara ketiga organisasi yang bernaung di
bawah Persemakmuran Keluarga Besar NU masing-masing menunjukkan lahan garapan
yang sangat jelas. Sejak semula IPPNU sendiri dalam kegiatannya -di luar
pembinaan pelajar- memang cenderung meneruskan gagasan emansipasi dengan
paradigma, yang pada waktu itu, bertitik berat pada keseimbangan tanggung
jawab domestik dan publik kaum wanita. Meskipun satu dua tokoh wanita NU
cukup menonjol di bidng politik, secara keseluruhan nahdliyyat khususnya
dan wanita Indonesia pada umumnya masih belum terlibat secara aktif dalam
kancah politik nasional. Namun demikian, agitasi tentang belum tuntasnya
revolusi yang diteriakkan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya mau tidak
mau selalu mendorong masyarakat Indonesia hidup dalam partisipasi politik
yang tinggi terhadap proses bernegara. Keadaan ini tidak terkecuali berlaku
untuk para pelajar yang dengan mudah menjadi sasaran propaganda partai
politik yang leluasa mengembangkan sayap hingga masuk ke sekolah-sekolah.
Hanya saja, pada era parlementer ini gerakan pemuda -yang umumnya dimotori
para mahasiswa- memang lebih banyak diisi dengan kegiatan sosial seperti
piknik, olahraga, jurnalistik, dan klub belajar.(27) Sehingga dalam hal
ini tidak berarti anggota-anggota IPPNU apolitik, lebih tepatnya barangkali
memilih untuk tidak ambil bagian dalam politik praktis karena sudah terwakili
dengan baik oleh PBNU.
===========
|
|