PENGANTAR
ABDURRAHMAN WAHID
MENCARI SINTESA AGAMA & NEGARA
Sebenarnya, sangat sulit bagi saya untuk membuat kata
pengantar bagi buku ini. Kesulitan terbesar dalam hal ini
adalah adanya pengulangan terhadap apa yang saya
nyatakan di dalamnya, karena hal itu dinyatakan juga oleh
tokoh sentral buku ini, H. Matori Abdul Djalil. Tapi memang
tidak bisa lain, karena saya harus menyatakan apa yang
benar-benar menjadi pemikiran saya selama ini. Sebab,
jika dengan cara lain, berarti saya berbuat tidak jujur, balk
kepada diri saya maupun kepada pembaca buku ini.
Masalah sentral yang selalu menjadi pemikiran saya
dalam waktu beberapa tahun belakangan ini adalah
mengenai hubungan antara agama dan negara. Dalam hal
ini, ada dua pola hubungan yang harus dipilih: di satu
pihak ada suatu keinginan untuk menjadikan agama, baik
secara langsung maupun tidak, sebagai referensi utama
(atau diutamakan) dalam membentuk sebuah negara;
sedangkan di pihak lain, tidak ada keinginan seperti itu.
Menurut keinginan kedua ini, agama adalah salah satu di
antara beberapa referensi dalam membentuk negara,
karena itu agama tidak menjadi dasar negara. Ia sama
fungsinya dengan faktor-faktor lain dalam kehidupan
bernegara. Karena itu, tidak ada agama yang diutamakan
satu atas yang lain dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Perbedaan ini sangat penting artinya, karena akan
menentukan corak dari negara yang akan dibangun:
haruskah bersumber pada ajaran formal agama, ataukah
pada sumber-sumber lain secara rata dan agama menjadi
salah satu di antaranya! Dengan demikian, tidak ada
pengistimewaan atas sebuah agama di atas agama-agama
yang lain. Karena itu, tidak ada agama yang dianak-
emaskan dan tidak ada yang dianak-tirikan, semua sama
kedudukannya.
Ini berarti, nantinya sama sekali tidak ada lagi agama
yang diistimewakan, yang berarti negara harus
memberlakukan sama terhadap semua agama. Karena itu,
agama tidak mungkin menjadi asas organisasi dalam
kehidupan bernegara. Dengan demikian, satu-satunya hal
yang dapat dijadikan asas adalah kebangsaan, atau prinsip-
prinsip yang diambil dari semua agama yang ada. Dan,
prinsip-prinsip itu sudah tertuang dalam asas Pancasila.
Dengan demikian, masalahnya menjadi sangat sederhana:
haruskah Pancasila menjadi asas kehidupan berorganisasi
dalam kehidupan atau tidak, keduanya adalah benar.
Bahwa, dalam arti tidak ada keharusan berasas Pancasila
atau apa pun. Banyak negara yang tidak memiliki asas,
tapi bisa berjalan dengan balk, tanpa menggunakan asas
bagi organisasi kemasyarakatannya. Karena, prinsip-prinsip
yang dianutnya tidak disatukan dalam satu hal yang bersifat
formal, seperti Pancasila.
Akan tetapi sebaliknya, kalau memang dibuat sebuah
asas dalam kehidupan berorganisasi di negara-negara
tersebut, sama sekali tidak boleh menggunakan referensi
berupa agama tertentu. Kalau ini dilakukan, maka
organisasi yang bersangkutan akan dipersempit
lingkungannya hingga mencapai orang-orang dari agama
tersebut.
Dalam hal organisasi politik atau kemasyarakatan masih
harus menggunakan asas, maka keputusan untuk tidak
menggunakan agama tertentu akan membuahkan
pertanyaan: apakah yang menjadi asas baginya! Jawabnya
sederhana saja, yakni bahwa asas itu harus bersifat umum
dan menyeluruh, jika diinginkan organisasi yang
bersangkutan memiliki daya tarik yang luas yang meliputi
seluruh jajaran bangsa. Hal itu hanya dapat dilakukan,
jika yang menjadi asas adalah prinsip-prinsip yang
dikehendaki, bukan sesuatu yang formal atau tertuju pada
salah satu agama saja.
Karena itu, dapat dimengerti mengapa Nahdlatul Ulama
(NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983
memutuskan mengambil prinsip-prinsip kebangsaan
sebagai asasnya, dan bukannya Islam. Keputusan forum
itu, kemudian diperkuat pada tahun berikutnya oleh
Muktamar NU ke-29 di tempat yang sama, yaitu di Pondok
Pesantren milik K.H. R. As'ad Syamsul Arifin, di Situbondo.
Apakah, dengan demikian, berarti NU lalu akan keluar
dari lingkup agama Islam! Ternyata, tidak demikian. Karena
Islam tetap hidup dalam organisasi itu dalam bentuk
kesusilaan (Al-Akhlaq al-Karimah) dan cara menyebarkan
terhadap agama (Al-Dakwah).
Dengan demikian, NU berasaskan Pancasila tapi tetap
menggunakan Islam dengan paham Ahl-u 'I-sunnah wa 'I-
Jama'ah sebagai salah satu referensi' dasarnya. Dengan
demikian, orang-orang yang tidak beragama Islam dapat
mengikuti kiprah organisasi tersebut dengan berpedoman
pada asas itu, karena tidak ada kerugian apa-apa bagi
mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, bagi
mereka yang beragama Islam haruslah disediakan tempat
bagi mereka untuk berkiprah menurut ajaran agama
tersebut. Landasan untuk melakukan hal itu, adalah ajaran
formal agama Islam yang berbentuk aqidah (keyakinan).
Dengan kata lain, kita berkiprah membangun prinsip
bermasyarakat dan bernegara yang direfleksikan dalam
asas yang bersifat umum untuk semua pihak, hingga
memungkinkan bagi mereka yang tidak beragama Islam
pun akan membantu kiprah tersebut. Dan sebaliknya, bagi
kaum muslimin yang ingin menggali ajaran formal agama
mereka bagi kepentingan seluruh bangsa, tersedia aqidah
atau keyakinan sebagaimana tersebut di atas.
Dengan cara inilah, NU berharap dapat menyelesaikan
konflik falsafi di atas, yang terjadi antara asas sebagai
landasan bernegara dan aqidah (keyakinan) dan sebagai
landasan individual maupun kolektif dalam bermasyarakat.
Mengingat keadaan seperti itu, maka NU telah berhasil
memecahkan masalah dasar berupa hubungan antara
negara dan agama. Menurut paham ini bisa diambil sebuah
prinsip yang berlaku bagi semua warga negara. Ambil saja
contoh berupa demokrasi. Dalam pengertian yang luas,
demokrasi berarti persamaan peluang dan hak bagi semua
pihak, terlepas dari asal usul warga negara yang ber-
sangkutan. Bahwa, perbedaan agama, ideologi, ras, jenis
kelamin, maupun tingkat ekonomi; tidaklah membuat para
warganegara berbeda pada prinsipnya, melainkan berbeda
pada penampilan fisiknya atau kepentingannya. Inilah yang
dimaksudkan dengan firman Allah SWT. "Sesungguhnya
telah Ku-jadikan kalian semua berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku (yang saling berbeda-beda) agar kalian saling
mengenal (Wa ja'alnaakum syu'uban wa qobaa'ila ii
ta'arafuu)" Dengan demikian, agama Islam dapat menjadi
rahmat bagi seluruh isi alam, termasuk mereka yang tidak
beragama Islam tanpa harus memeluknya sebagai agama.
Tepatlah firman Allah SWT. "Tiadalah Ku-utus Engkau
07Vahai Muhammad), kecuali sebagai pembawa rahmat bagi
seluruh alam (Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil 'alaamiin)"
Dengan demikian, Islam datang sebagai agama yang
dapat dinikmati oleh semua orang, tanpa harus
memeluknya secara resmi sebagai agama. Bukankah ini
berarti bahwa terkadang ajaran formal agama juga harus
mengalami perubahan (modifikasi)? Memang benar, karena
itu terjadi dalam kenyataan hidup. Contohnya, adalah
pengertian tentang murtad (apostacy) dalam figh Islam
(Hukum Islam), menurut paham Ahl-u 'I-sunnah wa 'I-Jama'ah.
Menurut pengertian lama, mereka yang berpindah
agama dari Islam memasuki agama lain haruslah dihukum
mati. Kalau ini diterapkan, maka dengan sendirinya lebih
dari 10 juta orang warga negara Indonesia, harus dihukum
mati sejak tahun 1965. Hal ini, tentu tidak mungkin akan
terjadi, karenanya pengertian kemurtadan dalam figh Is-
lam haruslah diubah. Perubahan itu dimungkinkan oleh
prinsip figh yang berupa "sebab terjadinya hukum agama,
balk ada maupun tidaknya hukum itu sendiri, ditentukan
oleh sebab yang menimbulkannya (Yadullu ma'a illatihi al-
hukm wujuudan wa'adaman). Atau kaidah "Dar'u al-mafasith
muqoddamun 'alajalbi al-mashalih", dalam qawa'id al-fiqh.
Jelaslah dengan demikian, berasas Islam atau tidaknya
sebuah organisasi, tidaklah menentukan apakah organisasi
itu berasaskan agama atau tidak. Bagaimanapun juga,
orang akan tetap menganggap NU sebagai organisasi Is-
lam terlepas dari asasnya Islam atau tidak.
Oleh karenanya, jika dalam Pemilu 1999 ini pendapat
tersebut diterima rakyat banyak, berarti kaum muslimin di
Indonesia -khususnya dalam wadah NU- telah berhasil
mencari penyelesaian bagi hal yang dihadapi kaum
muslimin di seluruh dunia saat ini.
Keseluruhan buku ini memperlihatkan pandangan
seorang tokoh politik yang berusaha mencari sintesa seperti
itu, sebuah keadaan yang dihadapi kaum muslimin di
seluruh dunia. Bukankah hal itu merupakan sebuah
keberhasilan tersendiri!
Ciganjur, Akhir Dzu al-Hijjah 1419 H/April 1999
|