Suku
dan Golongan
Masalah suku dan golongan sering dianggap masalah peka,
yang potensial menjadi sumber konflik sosial. Sebetulnya,
bukan terletak masalah suku dan golongan an sich, tetapi
agaknya masalah yang sebenarnya adalah kesenjangan
antara kaya dan miskin; desa dan kota, pusat dan daerah.
Salah satu contoh yang patut disebut adalah cap yang
ditimpakan pada golongan Cina yang sering disebut
"nonpri" sebagai makhluk ekonomi atau makhluk bisnis
(home economicus). Rasanya, kurang adil bila orang Cina
disebut memonopoli dunia bisnis. Mereka melakukan itu
karena kesempatan di sektor lain tidak dibuka. Tentu saja
ada pengecualian satu dua orang. Sebut saja di lingkungan
militer atau politik, orang Cina belum merasa at home di
sana. Selama di sektor lain tidak terbuka kemungkinan,
tentu saja mereka berkiprah hanya ngumpul di sektor yang
terbuka untuk mereka. Bila sektor-sektor lain dibuka,
niscaya mereka akan tersebar dan pasti dapat memberi
kontribusi yang balk bagi bangsa ini.
Demikian halnya dalam masalah golongan, sering
disebut ada golongan mayoritas dan minoritas. Sebetulnya,
di desa-desa dan di daerah pertanian, kerukunan itu
sebenarnya sudah ada dan sudah terbina secara alami.
Masing-masing saling menghargai dan menghormati dalam
kegiatan-kegiatan bersama. Alasan mengapa di beberapa
daerah adanya golongan itu menjadi masalah, faktor politik
yang memicunya. Politik dalam hal ini adalah politik yang
tidak memihak kepentingan rakyat, tetapi politik untuk
mencari kepentingan sendiri. Dalam masa Orde Baru,
perbedaan golongan, suku, dan agama ini tampak dibesar-
besarkan, sehingga ada alasan untuk menegakkan politik
untuk mempertahankan kekuasaan. Masyarakat tidak
diajari berpolitik secara bersih, secara fair, atau kesatria
tetapi politik dengan jalan pintas memobilisasi massa
melalui cara-cara kekerasan. Masyarakat Indonesia harus
belajar lagi untuk berpolitik secara sehat. Politik itu untuk
kepentingan masyarakat, bukan hanya kepentingan
golongan atau pribadi. Ada pepatah yang mengatakan,
"Keselamatan masyarakat adalah hukum yang tertinggi."
Demikian pula pepatah lain mengatakan, Lawan bicara
adalah teman berpikir. Lawan dalam kampanye adalah
kawan untuk memacu pemikiran baru yang berguna bagi
masyarakat. Semestinya, dalam pemilu menang atau kalah
harus diterima dengan lapang dada, karena bukankah
lawan politik kita juga memikirkan dan memperjuangkan
kepentingan kita? Rerilah kesempatan kepada mereka
untuk berpikir dan berbuat yang terbaik untuk bangsa
ini, sebab pada akhirnya untuk kita-kita juga.
|