Kekuatan
Mahasiswa
Berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, tidak dapat tidak
mesti disinggung "kekuatan mahasiswa". Aksi mahasiswa
sepanjang tahun 1998 yang tidak kunjung henti dan
diperkirakan akan terus berlanjut membuat pemerintah
tidak saja semakin gerah, tetapi juga sebagian masyarakat
di Jakarta mulai jengkel. Sampai menjelang bulan
Ramadhan di Jakarta hampir tiada hari tanpa demonstrasi,
yang selalu meninggalkan kemacetan panjang. Muncul
kesan seakan-akan orang lupa bahwa berkat aksi maha-
siswa Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun secara
otoriter dan tanpa perlawanan berarti dipaksa mundur.
Kekuasaan kemudian diserahkan kepada BJ Habibie.
Namun, kini pemerintah menuduh cara-cara pengerahan
massa seperti itu merupakan cara-cara komunis, memak-
sakan kehendak, anarkis, dan inkonstitusional. "Demokrasi
tidak dapat didikte dari jalanan!" kata Presiden Habibie.
Bagaimanapun, gerakan mahasiswa sejauh ini
merupakan gerakan moral. Justru karena aksi-aksi mereka
merupakan gerakan moral maka sangatlah wajar bila
mereka sempat tergagap ketika tuntutan agar Soeharto
mundur dijawab dengan pengalihan kekuasaan dari
Soeharto ke Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Wajar pula
mereka mempertanyakan apakah kekuasaan yang me-
rupakan kelanjutan dari rezim sebelumnya itu dapat men-
jalankan sebuah pemerintahan transisi. Ide pemerintahan
transisi itu juga saya dukung dan saya lontarkan di berbagai
media massa. Secara konseptual, bukankah tidak mungkin
kekuasaan lama akan bisa mengantar masyarakat ke dalam
suatu era yang lebih demokratis! Penguasa lama bagaiman-
pun akan cenderung mempertahankan status quo karena
perubahan yang drastis dalam jangka panjang akan
memposisikan mereka sebagai korban.
Tuntutan mahasiswa terhadap pembentukan
pemerintahan transisi yang demokratis merupakan sebuah
tuntutan logis, meskipun secara praktis berdasarkan real
politics tuntutan itu semakin hari makin sulit diwujudkan
karena pemilu yang dipercepat semakin mendesak dan
semakin dekat waktunya. Pertanyaannya apakah ada
jaminan pemilu akan berlangsung secara damai, jujur, dan
adil? Bila tidak bukankah lagi-lagi akan diperlukan
kekuatan ekstrakonstitusional untuk menggagalkan hasil
pemilu yang tidak mencerminkan kehendak rakyat?
Pengalihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie sejak awal
menimbulkan kontroversi. Saya masih ingat perdebatan
panjang antara dua pakar Yusril Ihza Mahendra yang
sekarang menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB)
dan Dimyati Hartono (pengurus PDI Perjuangan) perihal
apakah pengalihan itu konstitusional atau tidak. Hanya
sehari setelah pengalihan kekuasaan itu terjadi, mahasiswa
yang masih melakukan aksi pendudukan Gedung DPR/
MPR pada tanggal 22 Mei 1998 menyatakan penolakan
terhadap pengalihan kekuasaan itu. Sebagian mahasiswa
lain memang lebih bersikap akomodatif dengan bersikap
menunggu. Perjalanan waktu kemudian membuat maha-
siswa semakin meyakini tentang perlunya pembentukan
pemerintahan transisi. Mahasiswa yang tergabung dalam
Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarata (FKSMJ) dan
Forum Kota yang memelopori aksi pendudukan Gedung
DPR/MPR sama-sama menghendaki pembentukan
pemerintahan transisi secara demokratis, baik dalam bentuk
presidium maupun Komite Rakyat Indonesia. Menjelang
dan sesudah pelaksanaan Sidang Istimewa (SI) MPR 1998
kekuatan mahasiswa yang menghendaki pembentukan
pemerintahan transisi semakin nyata karena sebagian
besara kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa di Ibu Kota
menyerukan tuntutan yang sama.
Banyak orang mengatakan tuntutan reformasi total
yang disuarakan mahasiswa sulit diterima nalar bila hal
itu diperhitungkan atas dasar kekuatan politik saat ini.
Pada saat mereka menuntut pembentukan pemerintahan
transisi untuk menggantikan Habibie, mereka juga me-
nuntut penghapusan dwifungsi ABRI, menuntut Soeharto
diadili, bahkan menuntut pengunduran diri Menhankam/
Pangab Jenderal TNI Wiranto. Bagi saya tuntutan itu wajar
saja, namanya tuntutan moral. Bagaimana tuntutan itu
diwujudkan dalam praksis politik sekarang ini bisa
dibicarakan. Mahasiswa bisa diajak dialog dan diajak
berkompromi. Namanya juga orang muda.
Berbeda dengan gerakan mahasiswa "angkatan"
sebelumnya, katakanlah angkatan 66, 78, atau '80-an,
karakteristik yang unik dalam Gerakan Mahasiswa 1998
yang umumnya tanpa pemimpin, anti-hero, tanpa
organisasi dan jaringan yang solid, telah melahirkan sebuah
gerakan yang nonkooperatif, dan tanpa kompromi. Wajar
bila banyak tokoh politik maupun tokoh informal sampai
pada sebuah kesimpulan bahwa mahasiswa sulit diajak
bicara karena mereka hanya mengenal perlawanan
terhadap sistem dan konstruksi, bukan kompromi atau
tawar-menawar. Dengan gemilang mahasiswa akhirnya bisa
"memaksa" tokoh-tokoh masyarakat, seperti Gus Dur,
Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Sultan
Hamengku Buwono X untuk duduk satu meja dalam per-
temuan di Ciganjur pada tanggal 10 November 1998, tepat
ketika SI MPR memasuki hari pertama.
Namun, mahasiswa serta merta menyatakan kekecewa-
annya ketika keempat tokoh itu menolak gagasan pem-
bentukan presidium untuk menjalankan pemerintahan
transisi dan menuntut pencabutan dwifungsi ABRI saat itu
juga. Berbagai kesatuan aksi mahasiswa kemudian bergerak
mengepung Gedung DPR/MPR yang meminta korban 20
nyawa dan ratusan luka-luka, balk di pihak mahasiwa
maupun warga masyarakat. Hasil SI MPR 1998 memang
tidak bisa dikatakan tidak mengakomodasi sama sekali
tuntutan mahasiswa. Tanpa desakan mahasiwa mungkin
MPR tidak akan memberikan perintah secara eksplisit
kepada Presiden untuk memeriksa harta kekayaan mantan
Presiden Soeharto. Yang sangat mengecewakan mahasiswa,
MPR bersikeras untuk mempertahankan kursi ABRI di DPR
tanpa melalui pemilu. Padahal, desakan terhadap
pencabutan dwifungsi ABRI yang secara gradual dapat
diterjemahkan dengan penghapusan kursi ABRI di DPR,
hampir merata disuarakan di kampus-kampus. DPR pun
agaknya juga tidak mampu menangkap kekecewaan itu.
Kini mereka bahkan memberikan jatah 38 kursi kepada
ABRI di DPR. Caranya pun cukup "lihai", yakni dengan
pembentukan komisi dan subkomisi yang totalnya
memerlukan 40 kursi dari satu fraksi di DPR.
Sulit dibayangkan reformasi berjalan tanpa melibatkan
suara mahasiswa. Dialog nasional pun akan sia-sia tanpa
menyertakan mahasiswa. Namun justru itu yang terjadi.
Hampir-hampir tidak ada pertemuan antara konsep
reformasi total yang dituntut mahasiswa dengan agenda
resmi reformasi yang dipersiapkan pemerintah bersama
DPR.
Dukungan terhadap agenda resmi reformasi yang
disiapkan pemerintah justru menguat sejalan dengan makin
dekatnya pemilu Dukungan mahasiswa terhadap
pelaksanaan pemilu nyaris tak terdengar. Tampaknya
mereka justru makin berkeyakinan pemilu yang damai,
jujur, dan adil tidak bakal terlaksana karena kecenderungan
status quo dalam pembahasan rancangan undang-undang
bidang politik, ditambah lagi dengan pembentukan Dewan
Keamanan dan Pertimbangan Sistem Hukum (DKPSH) dan
Rakyat Terlatih.
Sebagai proses atas keengganan penguasa untuk men-
dengar suara mahasiswa kini mereka mulai meneriakkan
yel-yel revolusi dalam aksi-aksi mereka di jalan. Tokoh-
tokoh masyarakat pun kini cenderung menjauhi dan
meninggalkan mahasiwa. Di kalangan mahasiswa tidak
ada lagi kepercayaan bahwa tuntutan mereka bakal
didengar, sehingga mereka justru semakin intensif
mengadakan aksi turun ke jalan dan mulai membangun
basis-basis perlawanan rakyat.
Tragedi Trisakti telah lama dilupakan. Tragedi
Semanggi tidak pernah lagi dibicarakan di tingkat elite
politik. Penanganan terhadap aksi-aksi mahasiswa
cenderung semakin represif. Mahasiswa pun mulai ber-
paling untuk melakukan perlawanan dengan kekerasan
karena merasa selalu menjadi korban kekerasan tanpa ada
pembelaan dan tindakan hukum.
Pengucilan mahasiswa hanya akan menyemai benih
konflik yang dapat mengorbarkan revolusi yang di
kalangan mahasiswa sejauh ini baru berada dalam tataran
wacana. Mematahkan perlawanan mahasiswa dengan
kekerasan selain terkesan primitif, juga tidak bakal me-
nyelesaikan masalah, karena rasa takut itu sudah tidak
ada lagi. Seperti saya tegaskan, bukankah lebih arif mem-
berikan ruang yang lebih besar untuk mengakomodasikan
tuntutan mahasiswa karena tuntutan mereka merupakan
soal-soal elementer untuk mencegah bangsa ini kembali
terjebak dalam kesalahan yang berlangsung selama 32
tahun!
Semestinya, ada keberanian dan kejujuran terhadap
proses perubahan. Umpamanya, dari pemerintah kita butuh
satu peran perubah yang sangat akomodatif. Ada ruang-
ruang politik yang dibuka. Tetapi kenyataannya, negara
cenderung mengontrol proses perubahan itu untuk dirinya
sendiri. Negara yakin ada perubahan, tetapi mau dikontrol
sendiri, orang lain tidak bisa. Perubahan seperti itu menjadi
monolitik. Tradisi monolitik Orde Baru dibawa ke dalam
logika mengawal proses perubahan juga dengan monolitik.
Padahal, di negara mana pun tidak ada perubahan melalui
tradisi politik yang monolitik. Heterogenitas masyarakat
selalu menjadi dinamika pada proses perubahan. Soalnya,
tidak ada kemauan untuk mengakomodasi politik. Dan,
krisis kepercayaan akhirnya menjadi sulit dipecahkan dan
makin rumit bagi negard. Masyarakat makin kecil
kemungkinannya untuk menerima.
Ruang bagi perbaikan itu masih ada. Hanya saja tingkat
keseriusan pemerintah untuk mengakomodasikan sampai
tingkat yang melegakan masyarakat belum ada. Ambil
contoh, pengadilan mantan Presiden Soeharto. Pengadilan
itu hanyalah simbol. Sekarang yang terjadi adalah tarik-
menarik. Masyarakat tidak percaya terhadap proses itu.
Masyarakat bisa kehilangan harapan. Harapan yang hilang
itu dapat menimbulkan frustrasi politik yang berbahaya.
Pemerintah saja yang katanya Orde Reformasi
Pembangunan tidak serius menangani perkara mantan
presiden itu yang di mata masyarakat jelas-jelas bersalah.
Apalagi, untuk menangani hal-hal yang rumit seperti
masalah dwifungsi, penjaminan HAM, penegakan
hukum.
Tampaknya dari hari ke hari harapan makin tipis
terhadap pemerintahan Habibie. Paska Mei 1998, sebetul-
nya harapan itu cukup besar. Bisa saja ruang harapan itu
terbentuk setelah rezim baru, paska pemilu terbentuk.
Pilihan praktis memang menjadi satu harapan akan lahirnya
suatu pemerintahan baru yang lebih responsif dan memiliki
keberanian untuk mengungkapkan masa lalu kepada
masyarakat secara transparan. Kalau pemilu sukses, maka
pemerintahan yang terbentuk dapat dikatakan masa transisi
yang membuka lembaran yang baru.
Dapat dikatakan, kelahiran PKB berada di tengah
situasi pengharapan akan reformasi. Artinya, suasana
perubahan dari satu era ke era lain. Oleh karena itu, acuan
PKB tidak bisa dibuat seperti acuan masa lalu. Acuan
kepartaian harus terarah ke depan, bukan berorientasi masa
lampau. PKB ditopang oleh tiga kekuatan yang terpisah,
tetapi menjadi satu dalam kombinasi gerakan. Kekuatan
pertama terletak pada kelompok kepengurusan. Kekuatan
ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat, generasi
muda, tenaga ahli, dan tenaga operasional. Kekuatan kedua
adalah kelompok fungsional, yaitu petugas partai yang
aktif di pelbagai lembaga pemerintahan dan kenegaraan.
Kelompok pertama dan kedua harus memiliki orientasi
dalam masalah politik, kejuangan, dan pengetahuan
kenegaraan. Kekuatan ketiga adalah asistensi keahlian.
Kelompok ini memberi sumbangan pemikiran dan konsep
bagi masalah-masalah strategis bangsa. Di samping itu,
dipersiapkan untuk persediaan jika kelak sewaktu-waktu
diperlukan partai untuk peran kenegaraan.
Di samping tiga komponen itu untuk tingkat DPP partai
masih harus ditambah satu lembaga lagi yang bertugas
mengadakan pengkajian strategis dalam skala nasional dan
internasional. Kajian itu berupa kajian di bidang politik,
ekonomi, atau hukum. Bila kombinasi keempat kekuatan
itu terjalin dengan balk, insya Allah PKB akan menjadi
partai besar. Salah satu modal besar bagi PKB adalah
antusiasme generasi muda NU.
Dalam konteks perkembangan dewasa ini diharapkan
pemilu tahun 1999 bisa menjadi salah satu sarana menuju
suatu pergantian kepemimpinan nasional, baik di lembaga
eksekutif, legislatif, serta yudikatif secara demokratis, tertib,
damai tanpa kekerasan. Kita kembali diingatkan pada kata-
kata Prof Sartono Kartodirdjo bahwa agenda bangsa yang
paling penting adalah masalah persatuan dan kesatuan,
seperti disebut dalam Manifesto Politik Tahun 1925. Tanpa
itu negara tidak bisa terselenggara dengan balk. Menurut
sejarawan itu, prinaip berbangsa itu unity liberty, dan
equality. Keempat, personalitir, karena manusia harus
memiliki kepribadian, harus berbudaya. Tanpa kebudayaan
tidak ada artinya. Kelima adalah performance, prestasi lewat
karya-karya nyata. Belum banyak penghargaan inter-
nasional yang diterima bangsa Indonesia berkaitan dengan
pengkajian ilmiah ataupun karya-karya sastra maupun
jurnalistik. Bidang olahraga dapat dijadikan cermin. Prestasi
olahraga kita belum banyak, meskipun berbagai pembina-
an telah dilakukan. Dalam bidang iptek kalau Indonesia
maju berprestasi harus memiliki kebudayaan mesu budi
(asketisme ilmiah) di dalam kampus mesti dicangkokkan
dan dipelihara masyarakat. Para ilmuwan baik muda mau-
pun tua tidak tergoda untuk memasuki bidang-bidang lain,
seperti bidang politik tetapi murni menekuni bidang
ilmunya sehingga menghasilkan prestasi.
Aktualisasi nasionalisme yang paling mendesak adalah
memelihara kesatuan dan kerukunan beragama. Langkah-
langkah itu telah dirintis lama oleh lingkungan NU. PKB
memulai kiprahnya dengan menandai partainya sebagai
partai terbuka, jauh dari semangat sektarian. Harapan itu
tentu masih jauh oleh karena itu diperlukan model peran
(role model), suatu keteladanan. Jangan hanya konsep atau
omongan sebab masyarakat butuh model peran konkret,
keteladanan nyata. Kita menaruh harapan besar pada para
pemimpin partai politik yang menjamur saat ini. Semoga
kepemimpinan mereka dapat mengarahkan para anggota
partai untuk bersama-sama mewujudkan ketiga tahapan
kebangkitan masyarakat sipil tadi. Kebangkitan itu
memuncak dalam perjuangan kehidupan negara yang
demokratis.
Harapan saya itu ternyata masih harus diuji oleh
serangkaian tindak kekerasan yang menimpa warga NU.
Salah satunya adalah "Peristiwa Banyuwangi". Orang
mengatakan ada kebencian kepada PKB. Ada hujatan
kenapa NU tidak membagi adil saja anggotanya, sesuai
dengan Khitah, bebas-bebas saja. Atau ungkapan-ungkapan
bahwa keadaan yang lalu lebih bagus dari sekauang.
Indikasi-indikasi itu ada. Tetapi menurut saya, belum
merupakan fakta dominan. Menurut K.H. Hasyim Muzadi--
Ketua PW NU Jatim--telah terjadi konspirasi. Menurut Kiai
Hasyim minimal ada dua, yaitu sebut saja pro status quo
dan perubahan. Di dalam kantong status quo isinya banyak.
Yang main di dalam ini banyak. Mungkin rezim yang lama,
mungkin orang yang akan dirugikan dengan pemilu,
mungkin juga orang yang akan bergeser kekuasaannya,
mungkin juga kekhawatiran terhadap dwifungsi (ABRT) yang
mengecil. Atau mungkin juga orang-orang yang tidak mau
terbongkar salahnya. Ini semua jadi satu. Satu keranjang
yang dalam istilah saya status quo itu. Sementara "kekuatan
reformis" masih dalam tanda petik karena masih
menghadapi kendala internal maupun eksternal. Kekuatan
reformis mestinya dapat mengkonsolidasikan diri untuk
menghadapi kekuatan status quo itu. Untuk itu, saya beserta
seluruh jajaran PKB tidak henti-hentinya melakukan
penyadaran kepada masyarakat serta melobi rekan-rekan
di partai lain untuk menyatukan visi dan agenda politik
bangsa yang mendesak.
Dalam kerangka ini menjadi relevan menyinggung
tentang dwifungsi ABRI. Idealnya, keberadaan tentara
disesuaikan dengan kebutuhan negara. Akan lebih efektif,
kalau tentara memusatkan perhatiannya kepada pembinaan
untuk dikerahkan sewaktu-waktu bila dibutuhkan. Tentara
dipercaya memegang senjata. Kapan dan ke arah mana
senjata itu ditembakkan, itu bukan ABRI yang menentukan.
Hal itu harus wewenang di luar dirinya. Yang penting,
menjadi militer bukan sesuatu yang otonom. Militer bagian
dari perlengkapan negara, yang sengaja diadakan dan
diatur untuk itu. Oleh karena itu, ABRI disebut sebagai
"alat negara". Dari permulaan orang yang masuk ke situ
harus tahu, ini pengabdian. Sebaliknya, masyarakat juga
harus mampu menciptakan mekanisme pengambilan
politik dan mekanisme penyelesaian konflik sosial-politik
dengan cara damai. Kalau tidak ada perpecahan, tidak
perlu usaha pencegahan berupa fungsi sosial-politik ABRI
dan sebagainya. Deklarasi Ciganjur yang ditandatangani
oleh empat tokoh K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengku
Buwono X sudah menegaskan bahwa dwifungsi akan di-
hapus secara bertahap dalam kurun waktu enam tahun.
Menimbang realitas politik, memang sebaiknya pentahapan
itu dilaksanakan, seperti mulai pengurangan anggota ABRI
di DPR dan mengurangi peran-peran sosial politik ABRI
lain.
|