Bab
5
MENGHADAPI PEMILU 1999
Boleh santai sembarang santai
Tapi jangan berkaraoke
Banyak partai sembarang partai
Tapi PKB paling oke
(K.H. Hasan Mutawakkil Alallah)
Tidak bisa dihindari, kebudayaan Jawa sangat
berpengaruh pada diri saya. Tradisi Jawa yang sebenarnya
universal, terutama menyangkut nilai-nilai, saya terapkan
dalam kehidupan nyata sehari-hari. Termasuk dalam
kehidupan politik.
Sebutlah, antara lain falsafah guna, koyo, lan (dan) purun
yang sengaja maupun tidak telah mempengaruhi tindak-
an saya. Guna itu artinya berguna. Bagaimana kehadiran
saya ini berguna bagi orang lain di sekeliling saya? Kaya
artinya sesuatu yang konkret yang bisa saya sumbangkan
untuk orang lain. Yang terakhir adalah purun. Arti harfiah-
nya adalah "mau", suatu loyalitas kepada masyarakat,
lingkungan kerja, atau keluarga. Sering sikap ini dianggap
feodal. Memang ketika itu sikap guna, kaya, lan purun
ditujukan kepada raja oleh kawulanya. Masalahnya, bukan
soal feodal atau tidak, tetapi bagaimana sikap itu diterap-
kan. Kalau sikap itu diterapkan untuk masyarakat luas,
saya kira memiliki nilai yang positif. Ditinjau dari sudut
kemanusiaan, falsafah itu kan universal. Manusia tidak
terbatas pada manusia ini dan itu, berdasarkan suku, ras,
agama, dan golongan. Manusia ya manusia. Yang merasa
kuat, merasa besar, atau katakanlah mayoritas harus
mengayomi yang lain dengan penerapan sikap pribadi
guna, kaya, lan parun itu. Bila sikap itu mau diterjemahkan
dalam sistem, akan menjadi sistem demokrasi. Dalam sistem
itu seluruh rakyat dapat berperan dan mendapat tempat
untuk bersama-sama mengusahakan apa yang disebut
orang Jawa sebagai memayu hayuning bawana, meng-
usahakan ketenteraman dan kesejahteraan dunia.
Banyak orang percaya-termasuk saya--kalau pada
galibnya pemilu adalah wahana pendidikan politik bangsa.
Hanya, selama ini pendidikan itu dilakukan secara tidak
tepat. Pemilu bukan pemilu, tetapi hanya "sandiwara" untuk
melanggengkan kekuasaan, Lama saya aktif di PPP saya
tahu cara yang ditempuh Golkar untuk menang, yang
menurut saya tidak benar. Tetapi, apalah daya menghadapi
kekuatan Golkar yang bertindak sekaligus sebagai pemain,
pengawas, dan penyelenggara serta dapat ditambah satu
fungsi lagi sebagai "pembina". Sampai kiamat pun kalau
sistem atau aturan mainnya seperti itu tidak ada parpol
yang akan menang.
Setelah tersingkir dari kepengurusan PPP saya men-
curahkan perhatian ke pelitian dan pendidikan. Waktu
itu saya merasa mentok. Tidak ada optimisme untuk
mengubah keadaan. Saya tidlak berputus asa. Lebih baik
di jalur lain, tetapi yang masik berkutat seal politik. Bersama
kawan-kawan dekat, seperti H. Ircham Abdurrahim, Lilis
Nurul Husna, Isa Muchsin, dan Abdul Khaliq Ahmad saya
mendirikan suatu lembaga pengkajian institusi sosial yang
nama kerennya ISIS (Institute for Social Institutions
Studies). Saya menjadi direkturnya. Sekali-kali menjadi
direktur tidak apa-apa. Direktur itu kan artinya di-atur-
atur oleh anak buah atau bahkan ada yang bilang direken
batur (dianggap pembantu).
Cita-cita besar ISIS adalah menjadi lembaga yang akan
mengembangkan demokrasi di Indonesia, balk lewat kajian
penelitian maupun pendidikan. Mengapa lembaga seperti
itu yang saya dirikan? Karena saya merasa lembaga-lembaga
masyarakat yang seharusnya mandiri, nyatanya masih
gampang terkooptasi oleh kekuatan pemerintah karena
masyarakat belum menyadari kedaulatannya. Wajah partai
dan ormas yang mudah di-obok-obok: pemerintah itu salah
satu sebabnya ya salehe dewe. Begitu mudahnya orang
dipengaruhi dan ditakut-takuti. Oleh karena itu, pe-
nyadaran pada hemat saya perlu dilakukan dengan jalan
pendidikan politik. Apa sih sebetulnya problematika politik
di Indonesia! Pertanyaan itu sangat penting. Sebab, seperti
dikatakan Paolo Freire, orang yang dapat merumuskan
problematika zamannya akan mampu menentukan masa
depannya. Hal itu saya lakukan setelah perjalanan sekian
lama dalam partai yang tidak membuahkan hasil yang
berarti. Partai politik sepertinya hanyalah alat untuk
melegitimasi kekuasaan seseorang yang makin lama
tampak makin transparan dan kasar. Berkat sedikit
kemampuan saya untuk melakukan lobi yang saya rintis
sejak menjabat Sekjen PPP dan sedikit modal kefasihan
berbahasa Inggris, saya mendapat dukungan dari lembaga-
lembaga luar negeri. Misalnya, FNS dari Jerman dan Asia
Foundation dari Amerika. Kedua lembaga tersebut
mendukung sepenuhnya pelaksanaan program ISIS.
Terlebih lagi program yang berkaitan dengan pelatihan
dan pendidikan. Puluhan pimpinan PPP, ratusan aktivis
muda NU, dan para santri dari berbagai pondok pesantren
telah mengenyam pendidikan gaya ISIS.
Semua orang tahu hanya pada sistem demokrasi dapat
diletakkan keadilan dan kebebasan. Para pendiri Republik
ini telah menggariskan dalam UUD 1945: "[..] Maka
disusunlah kemerdekaan seluruh kebangsaan itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang
terbentuk dalam susunan negara Republik yang ber-
kedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia."
Demokrasi memiliki komponen, memiliki bangun
(struktur), dan keterkaitan antara komponen yang satu
dengan yang lain dalam suatu mekanisme pang teratur.
Dilihat dari komponen-komponen demokrasi, sistem di
Indonesia adalah demokratik. Akan tetapi, mengapa
kekuasaan dapat berkembang menjadi sentralistik?
Kemandulan proses demokrasi di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari konteks perubahan struktural yang di-
hasilkan oleh proses-proses pembangunan dan modernisasi
yang dijalankan oleh Orde Baru semenjak awal 1970-an.
Paradigma developmentalisme yang dianut oleh negara-
negara berkembang di luar blok komunis pada dekade
60-an dan 70-an, yaitu memprioritaskan pertumbuhan
ekonomi dan akselerasi industrialisasi yang ditopang oleh
stabilitas politik yang kokoh. Akibatnya, penyusunan
perundang-undangan hanya menekankan fungsi hukum
sebagai state control dan state engineering. Di pihak lain,
fungsi protektif dan fasilitatif dari UU sengaja ditinggalkan
atau paling tidak kurang mendapat perhatian. Tidak
mengherankan bila 5 UU Politik dalam hal adalah UU
Kekuatan Sospol, UU Pemilu, UUD Susduk DPR/MPR, UU
Pokok Pemerintahan Daerah, serta berbagai UU lain yang
mengikutinya tidak menunjukkan fungsi protektif dan
fasilitatif terhadap nilai demokrasi dan HAM.
Idealnya, sistem sebagai sarana untuk melakukan
aktualiasasi nilai-nilai. Sementara nilai-nilai yang harus
diaktualisasikan tidak dilindungi dan difasilitasi dalam
undang-undang. Akibatnya, komponen-komponen
demokrasi atau institusi-institusi demokrasi dalam struktur
menjadi mandul dan lebih berfungsi sebagai sarana state
control dan social engineering. Organisasi-organisasi rakyat
termasuk lembaga-lembaga keagamaan tidak lagi
berorientasi kepada aspirasi rakyat. Saluran-saluran yang
seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat mampat.
Organisasi yang seharusnya menjadi sarana perjuangan
rakyat tidak lagi berorientasi populis, sehingga ditinggalkan
rakyat. Rakyat menjadi makin lemah. Mengapa institusi
keagamaan juga menjadi ikut melemah! Agama setelah
menjadi institusi dia berkepentingan untuk memper-
tahankan dan mengembangkan eksistensinya. Dalam cor-
porative state, lembaga-lembaga keagamaan tidak luput dari
upaya korporatisme dan pemimpin-pemimpin keagamaan
tidak dapat luput dari upaya kooptasi. Akibatnya, lembaga-
lembaga sebagai simbol institusi rakyat yang berdaulat tidak
dapat berperan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
kebebasan, persamaan, persaudaraan, tanggung jawab
sosial, accountability, kejujuran, transparansi, dan keadilan.
Demokrasi tidak cukup dengan adanya lembaga-lembaga
demokrasi balk di tingkat suprastruktur maupun infra-
struktur, namun bagaimana lembaga-lembaga tersebut
menghormati HAM dan rule of law yang melindungi dan
memfasilitasi nilai-nilai demokrasi.
Tantangan yang dihadapi pada abad XXI adalah mar-
ket socialist economy. Tuntutan dihormatinya HAM dan rule
of law semakin deras. Tegaknya aturan hukum dan HAM
menjadi faktor kunci demokrasi. Derasnya tuntutan itu
menunjukkan bahwa sistem demokrasi menjadi arus dunia.
Sementara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
komunikasi serta informasi telah membuat dunia semakin
kecil dan negara-negara nyaris tanpa batas. Akibatnya,
negara-negara harus mendemokrasikan dirinya agar tetap
survive dan mampu berkompetisi. Demokrasi menjadi
conditio sine gua non. Pertanyaannya kemudian dari mana
harus dimulai. |