Kembali
ke Partai
Setelah tidak menjadi-pengurus PPP, saya tidak tinggal
glanggang colong playu. Artinya, saya tidak meninggalkan
gelanggang perjuangan politik. Dengan kata lain, saya tidak
akan kapok berpolitik. Tentu saja karena kesibukan di
partai berkurang, saya lebih mempunyai waktu untuk
merenung dan merefleksikan perjalanan bangsa. Sering
saya ngeri juga melihat perkembangan-perkembangan
yang terjadi di negeri ini. Bagaimana di tengah per-
kembangan zaman ke arah globalisasi atau the borderless
world, Indonesia mempersiapkan diri? Kenichi Ohmae
merumuskan empat indikator keruntuhan tapal batas
negara. Ia menyebutnya sebagai 4 "I"
Pertama, Investasi. Modal investasi sebagian besar
berada di negara maju. Dengan terbukanya investasi maka
perkembangan transfer akan melampaui batas negara.
Dalam mekanisme transfer itu pemerintah suatu negara
tidak lagi berhak untuk terlibat banyak dalam aktivitas
ekonomi terutama investasi itu. Pihak swasta akan
menguasai perputaran arus uang. Aktivitas pihak swasta
akan berpindah-pindah melewati batas-batas negara.
Aktivitas investasi sangat dipengaruhi oleh peluang wilayah
yang lebih baik dan tidak terikat lagi pada letak geografis.
Kedua, industri. Perusahaan-perusahaan mutinasional
tidak dibangun atas alasan-alasan kenegaraan, melainkan
menurut keinginan dan kebutuhan untuk melayani pasar-
pasar potensial. Bagi perusahaan itu yang paling penting
adalah di mana saja mereka dapat hidup dan dapat
menemukan sumberdaya yang aman bagi usaha mereka.
Banyak perusahaan dari Barat berminat memasuki bagian
Cina dan India karena mereka melihat kawasan itu masa
depan mereka.
Ketiga, informasi atau lebih tepat dikatakan teknologi
informasi. Penguasaan teknologi ini memungkinkan
perusahaan bekerja di berbagai bagian dunia ini tanpa
terlebih dahulu membangun sistem bisnis pada setiap
negara yang akan dimasukinya. Dengan demikian,
halangan-halangan akibat partisipasi lintas batas (cross bor-
der participation) dan aliansi strategis sudah tidak ada.
Kemampuan operasi kerja hanya terletak pada penguasaan
informasi dan jaringan kerja. Hal itu dapat dilakukan di
mana saja tergantung kebutuhan. Kegiatan-kegitan per-
ekonomian semakin didorong lewat arus informasi untuk
ikut serta dalam percaturan ekonomi global.
Keempat, individual consumers (konsumen individual)
yang lebih berorientasi global. Dengan kepemilikan akses
informasi gaya hidup di seluruh dunia maka kemungkinan
besar mereka kurang ingin membeli produk yang di-
dasarkan pada ikatan-ikatan kebangsaan atau kedaerahan.
Para konsumen kelak akan menginginkan produk yang
terbaik dan termurah tanpa mempermasalahkan dari mana
produk itu berasal.
Jika keempat faktor itu secara bersama bergerak, maka
diperkirakan negara-negara kebangsaan hanya menjadi
"perantara tradisional" (middleman). Sebagian besar unsur
pemerintahan yang besar tidak diperlukan lagi karena pasar
global akan bekerja untuk mereka sendiri.
Bagaimana rakyat Indonesia menanggapi perkembang-
an seperti itu? Akhirnya permasalahan bangsa bukan lagi
persoalan ideologi, demokrasi liberal, perekonomian
sosialis/pasar, atau bahaya komunisme tetapi lebih-lebih
pembangunan kualitas kehidupan rakyat dalam menyong-
song perekonomian global. Itulah PR besar bangsa!
Dalam rangka pendidikan masyarakat itu saya tidak
jemu-jemunya terlibat aktif dalam berbagai forum diskusi,
debat, maupun pelatihan baik di lingkungan nahdliyin
maupun dalam masyarakat luas. Selain aktivitas itu, saya
juga dipercaya sebagai anggota Pokja Komnas HAM. Tentu
saja kegiatan saya itu tidak berjalan dengan lurus-lurus
saja. Selalu saja ada halangannya. Selama aktif di PPP saya
mencoba melakukan akomodasi terhadap pemerintah yang
secara formal dianggap konstitusional karena dipilih rakyat.
Tetapi, akhirnya harus saya akui langkah-langkah itu tidak
efektif. Untuk itulah saya berusaha mengambil jarak.
Istilahnya saya mau melakukan oposisi yang kritis. Untuk
itu, saya ikut mendirikan Yayasan Kerukunan Persaudaraan
Kebangsaan (YKPK) bersama tokoh-tokoh dari berbagai
latar belakang agama, profesi, warna kulit, suku, dan
ekonomi. Pendirian YKPK disemangati oleh rasa per-
saudaraan sesama manusia, sebangsa, dan warga negara
serta kesamaan untuk menjaga persatuan dalam satu
wawasan kebangsaan. Pada saat itu persatuan dan kesatuan
dalam satu wawasan kebangsaan seolah terusik oleh
semaraknya isu-isu yang bersifat sektarian. melalui YKPK
bersama ketua umumnya Letjen TNI (purn) Bambang
Triantoro, saya telah lama ikut menggerakkan roda refer-
masi. Saya menolak dan mengutuk penggulingan ketua
umum PDI Megawati Soekarnoputri melalui Kongres
Medan. Bahkan bersama kawan-kawan di YKPK kami
mengumpulkan rilsuan tandatangan untuk menolak seluruh
tindakan pemerintah yang semena-mena pada peristiwa
Gerakan "oposisi" kepada pemerintah Soeharto yang makin
sentralistis.
Menjelang SU MPR 1998 saya bersama kawan-kawan
menemui beberapa fraksi di MPR agar mereka tidak lagi
mencalonkan Soeharto, melainkan Try Sutrisno sebagai
presiden. Sayangnya, gerakan itu belum berhasil karena
begitu kuatnya cengkeraman kekuasaan ke seluruh lem-
baga politik dan kemasyarakatan. Usaha itu harus dilakukan
bukan untuk tujuan sesaat tetapi juga sebagai pendidikan
politik masyarakat. Orang sering mengkritik mengapa kritik
para aktivis "Petisi 50" selalu terarah pada diri Presiden
Soeharto. Hal yang harus dihilangkan adalah Soehartoisme
meskipun di bawah pemerintahan Soeharto. Tetapi, dalam
praktek mengubah sistem tanpa me-lengser-kan orangnya
terlebih dahulu amatlah sulit. Sejak para tokoh NU
mengadakan pertemuan di Rembang tahun 1994, praktis
NU melakukan gerakan nonkooperasi terhadap pemerintah
yang ada. Namun, gerakan itu tidak mudah karena kuatnya
lembaga eksekutif.
Saya lalu bisa memahami secara lebih jernih aspirasi
kelompok Petisi 50. Namun, seperti pepatah Jawa becik,
ketitik ala ketara (yang baik akan terlihat balk dan yang
jelek akan kelihatan jelek) akhirnya terbukti. Krisis monoter
yang melanda Indonesia membuka semua kedok
keberhasilan pembangunan yang selama ini didengung-
dengungkan. Angka pertumbuhan ekonomi yang setiap
tahun diumumkan 7% ternyata hanyalah keberhasilan semu
karena fundamental ekonomi Indonesia ternyata sangat
rapuh. Campur tangan IMF lewat kesepakatan Letter of
Intent menyingkap seluruh selubung seluruh kelemahan
dan kebobrokan pemerintahan Orde Baru selama ini. Krisis
kepercayaan terhadap pemerintahan Soeharto pun terjadi.
Bagaimana mungkin di kepulauan Nusantara yang katanya
kaya raya ini rakyat kekurangan pangan sehingga harus
mengimpor beras? Bagaimana mobil yang jelas-jelas
made in Korea dikatakan mobil nasional! Bagaimana
menenangkan masyarakat tentang keampuhan sektor
perbankan di tengah krisis di bank-bank swasta! Bagaimana
menjelaskan fenomena budaya bangsa yang halus dan
murah senyum, tetapi melakukan penjarahan, pembakaran,
dan pemerkosaan pada bulan Mei 1998?
Aksi ketidakpuasan masyarakat ditanggapi dengan
keras hati oleh pemerintah. Peristiwa penembakan maha-
siswa Trisakti dan kerusuhan di bulan Mei 1998 menjadi
pemicu kebangkitan masyarakat yang makin besar untuk
menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Mahasiswa
dengan aksi demonstrasinya merupakan representasi
kehendak masyarakat akan perubahan. Semangat saya
untuk melakukan oposisi serasa disegarkan kembali. Ketika
para mahasiswa berdemonstrasi dan menuntut Soeharto
mundur serta reformasi total, saya turun ke jalan bersama
mahasiswa.
Saya sempat menyampaikan pidato atau orasi di
hadapan ribuan mahasiswa yang memadati gedung DPR/
MPR. Dalam gerakan moral itu saya tidak sekadar "membeli
tiket" reformasi, tetapi saya memang bersama kekuatan
rakyat yang ingin perubahan. "Hidup mahasiswa, hidup
ABRI, turunkan Soeharto, turunkan Soeharto! Dialah biang
malapetaka bangsa!"
Hal itu saya ucapkan dengan berapi-api dan disambut
mahasiwa dengan gegap gempita. Presiden Soeharto
memang lengser. Tetapi, reformasi belum selesai bahkan
dapat dikatakan baru mulai karena masih ada "Orde Baru
minus Soeharto." Soeharto sudah menyatakan berhenti,
tetapi penggantinya BJ tIabibie yang konstitusionalitasnya
masih diperdebatkan. Habibie dikenal paling dekat dengan
Soeharto, mengaku murid kepada mantan presiden itu
sehingga pemerintahannya masih dianggap
kelanjutan rezim Soeharto. Reputasi Habibie
presiden masih dipertanyakan. Mantan Menristek masa
Orde Baru itu dipandang belum memenuhi syarat sebagai
kepala negara, seperti sadar dan mengerti permasalahan
pokok bangsa; sadar dan mengerti apa yang harus
dilakukan serta mampu memimpin bangsa ini menjalan-
kan apa yang harus dilakukan, dan terakhir dipercaya oleh
rakyat. Syarat-syarat tersebut menurut saya belum dipenuhi
oleh Habibie. Saya malah pernah mengusulkan agar
Habibie mengundurkan diri dalam Sidang Istimewa MPR
bulan November 1998 karena tidak mendapat legitimasi
masyarakat. Menurut saya, Presiden Habibie tidak dapat
menyelesaikan berbagai masalah seperti krisis sembilan
bahan pokok, krisis ekonomi, nilai mata uang, dan tidak
mendapat dukungan internasional. Tetapi, kenyataannya
justru pemerintah bersikeras melangsungkan kekuasaannya
sehingga menimbulkan Tragedi Semanggi
menewaskan sejumlah mahasiswa. Masyarakat
domba dengan mengaktifkan Pam Swakarsa di sekitar
gedung DPR/MPR sehingga bentrokan demi bentrokan
terj adi.
Dalam situasi seperti itu bagaimana reformasi total
dapat dijalankan masih menjadi tanda tanya. Sebetulnya,
benturan demi benturan dalam dunia politik yang saya
rasakan pernah mendorong saya untuk berkiprah di
lembaga penelitian dan pendidikan saja. Ibarat seorang
profesional, saya sudah cukup lama aktif praktek di
organisasi maka sebaiknya sekarang menjadi "konsultan"
saja. Biarlah orang-orang lain saja yang berpolitik di ketiga
partai yang ada. Saya pikir dalam tataran kelembagaan
politik yang ada (dua parpol dan satu Golkar) beserta
perangkat perundangannya (5 UU Politik) membuat
orang mengalami jalan buntu. Namun, derasnya arus
reformasi yang dipelopori para mahasiswa membuat
semangat saya serasa bangkit kembali untuk aktif di partai
politik. Semula saya belum mendapat bayangan partai
seperti apakah yang harus saya ikuti. Secara pribadi, saya
pernah membicarakan keinginan saya akan sebuah partai
yang terbuka dengan Gus Duu. Pucuk dipinta ulam tiba,
demikian kata pepatah. Bersamaan hasrat saya itu, dalam
lingkungan saya warga NU ada aspirasi yang cukup besar
untuk memiliki wahana perjuangannya sendiri berupa
partai politik. Setelah mengalami, pemhicaraan yang cukup
alot, akhirnya PKB dideklarasikan. Saya yang mendapat
mandat sebagai Ketua Umum dalam periode kepengurusan
1998/1999 seperti harus memasuki kembali "rumah" yang
telah saya tinggalkan untuk sementara. Sebuah rumah
politik untuk membangun demokrasi. Lagi-lagi pilihan
hidup saya jatuh ke politik.
Sumber Bacaan
A. Ramlan Surbakti. 1998. Reformasi Kekuasaan Presiden.
Jakarta: Grasindo.
Econit. 1998. Pemulihan Ekonomi Indonesia: Perlu Pemimpin
Bangsa yang Dipercaya: Grasindo.
Kenichi Ohmae. 1996. The End of Nation State The Rise
of
Regional Economics. London: Warper Collins.
Kompas, 29 September 1998 "PKB Desak Habibie Mundur
Di SI MPR"
Kompas, 30 September 1998 "Seminar Lemhanas 1998"
Kompas, 31 Desember 1998 "Mana Lebih Tepat: Tahun
1998 "Anus Horibilis" atau Tahun Reformasi?"
(Tajuk)
Kompas, 5 Januari 1999 "Pemimpin, Kepemimpinan, dan
Para Pengikut"
Kompas, 6 Januari 1999
Kompas, 7 Januari 1999
Vokal, No. 03 Th.I Edisi 31 Desember 1998 - G Januari
1999 "Tak Puas, Lama-lama Bisa "Mbledos" |