Bab
3
ISLAM DAN DEMOKRASI
Dengan demikian, bukankah lebih praktis
memperjuangkan Islam melalui hak-hak: asasi
manusia dan persamaan kedudukan seluruh warga
negara daripada menjelaskan sebaliknya?
(K.H. Abdurrahman Wahid)
Secara pribadi, saya bertemu Gus Dur akhir tahun 1970-
an. Akan tetapi, sebelumnya, Gus Dur itu kan penulis di
media massa yang sangat produktif, balk di majalah Prisma,
Tempo, maupun di koran-koran. Saya terus mengikuti
pikiran-pikirannya. Saya ketemu beliau dalam rangka
koordinasi organisasi NU di daerah-daerah. Membaca ide
dan pikirannya, saya merasa cocok. Saya berpikir seperti
itulah. Masalah kehidupan beragama, masalah nasionalisme,
atau masalah pembangunan saya merasa pas saja dengan
beliau.
Sebelumnya, karena termasuk Angkatan '66 saya
sempat terkesan oleh H. Subchan Z.E., aktivis muda NU.
Ia seorang politikus demokrat, pelaku bisnis yang sukses.
Akan tetapi, saya melihat Subchan ini tidak memiliki akar
yang kokoh dalam tubuh NU. Yang punya akar kuat, siapa
lagi kalau bukan Gus Dur karena mbah-mbah-nya semua
kiai ternama dan pendiri NU. Sebut saja dari pihak ayah
ada K.H. Hasyim Asy'ari dan dari pihak ibu K.H. Bisri
Syamsuri.
Oleh karena itu, secara intelektual dan wawasan, saya
merasa cocok dan dekat dengan Gus Dur, meskipun tidak
secara fisik dalam arti saya sering sowan atau menghadap.
Maka sah-sah saja, bila ada orang mengatakan saya itu
sangat dekat dengan Gus Dur. Komunikasi kan bisa saja
lewat telepon dan bertatap muka bila perlu. Saya itu kalau
diberi tugas yang penting adalah melaksanakannya. Kalau
sudah membuahkan hasil, baru saya melaporkannya. Tidak
sedikit-sedikit lapor, sedikit-sedikit minta pertimbangan
seperti tidak merasa mampu. Malu kalau saya begitu.
Gus Dur yakin, saya bisa membawa PKB menjadi
sebuah partai yang besar. Artinya, PKB bisa menjadi
mayoritas. Minimal kepentingan dan gagasan-gagasannya
bisa mempengaruhi keputusan politik yang menyangkut
persoalan: ke mana bangsa ini akan dibawa? PKB ingin,
yang mayoritas itu tidak menjadi momok bagi saudara-
saudaranya yang minoritas. Justru yang mayoritas harus
bisa menjadi pengayom dan nyantuni. Inilah dasar filosofis
PKB yang berusaha dibangun. Dasar itu menjadi penting,
sebab jika landasannya sendiri tidak pas, maka tidak pas
pulalah cita-cita hidup berbangsa dan bernegara yang
hendak kita bangun. Singkat kata, PKB bersedia
membangun negara dan bangsa Indonesia dalam semangat
persaudaraan sejati.
Sebagai seorang muslim, saya selalu merenungkan
kembali peran agama saya dalam memajukan kehidupan
masyarakat Indonesia. Sejauh mana peran agama Islam
dalam memajukan demokratisasi bangsa? Apa yang saya
lakukan sekarang tentu tidak bisa dilepaskan dari
kerterkaitan dengan sejarah perkembangan pada masa
lampau. Gus Dur pernah mensitir pandangan Dr. Taufik
Abdullah dalam salah satu tulisannya. Menurut tulisan itu,
sejarah panjang agama Islam terdapat empat model yang
hingga kini masih terasa pengaruhnya.
Pertama, model Aceh, masyarakat Islami berkembang
dari daerah perkampungan muslim. Kampung-kampung
muslim itu makin lama makin bertambah banyak pen-
duduknya hingga membentuk suatu kerajaan. Karena
bermula dari kampung muslim maka keraaan itu memiliki
wajah Islam yang menyeluruh. Wajah itu tetap diper-
tahankan hingga zaman modern ini. Hal itu menimbulkan
sebuah pemeo "Aceh adalah serambi Mekkah."
Kedua, model ranah Minang, seribu kilometer lebih
dari Aceh. Di daerah itu tidak ada kerajaan yang kuat
sehingga tidak ada pemerintahan pusat yang ditakuti
orang. Hukum adat berkembang subur selama berabad-
abad dan kemudian hadir hukum Syari'ah mendampingi-
nya. Kedua hukum itu menimbulkan sedikit masalah
karena dua kekuasaan yang berkembang, yaitu yang
disebut "Kaum Adat" dan "Kaum Ulama". Akibat perbedaan
yang demikian tajam, tanpa kehadiran kekuasaan pusat
yang sanggup menghentikan sengketa itu terjadilah Perang
Paderi (1822-1836). Perang itu tidak mungkin diselesaikan
secara militer, tetapi hanya mungkin diselesaikan secara
politis. Hal itu terjadi ketika kekuasaan kolonial Belanda
menghentikan perang tersebut dengan memisahkan kedua
golongan itu, seperti tampak dalam pemeo terkenal: "Adat
bersendikan syara dan syara bersendikan Kitabullah."
Pemisahan itu sebetulnya bukan pemecahan, tetapi
sanggup menghentikan peperangan.
Ketiga, model Gowa. Model ini terwujud lewat
perjalanan sejarah yang panjang. Kekuasaan raja dipandang
sebagai perwakilan kekuasaan agama, walaupun dalam
kenyataan hal itu tidak terjadi--minimal formalitasnya saja
yang terjadi. Hal itu tampak dalam kekuasaan sultan di
semenanjung Malaya. Sultan di kawasan itu dipandang
sebagai pemimpin agama, apa pun tingkah laku mereka
dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat, model Tanah Jawa yang berawal dari kerajaan
Mataram. Keraton, di samping sebagai pusat kerajaan, juga
menjadi pusat kekuasaan agama, entah seluruh warganya
mempraktekkan ajaran agama atau tidak. Sultan bergelar
Sayyidin Panotogomo Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Namun,
dalam kenyataan adat pra-Islamlah yang berlaku di keraton,
seperti terlihat pada pemakaian kemben yang berada di
uar adat Islam. Juga, kepergian Sultan ke Masjid Keraton
yang hanya dua kali setahun serta keikutsertaannya dalam
upacara Sekaten untuk menghormati Nabi Muhammad
SAW. Meskipun negara tidak mempraktekkan hukum
agama, penghormatan terhadap hukum itu dalam bentuk
Masjid Keraton di dalam kompleks keraton dan pem-
bangunan kantor penghulu adalah lambang kekuasa-
an agama (meskipun kekuasaan itu tidak ada realisasi-
nya).
Menurut Gus Dur, hal yang sama dapat dilihat dalam
posisi Departeman Agama sekarang atau posisi Masjid
Istiqlal negara saat ini. Bila memungkinkan hal itu telah
dijadikan contoh oleh provinsi lain, terutama Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Struktur sepcrri itu, tentu tidak me-
j
nyenangkan dan sudah dicoba untuk diubah oleh gerakan-
gerakan Islam. Namun, perubahan itu belum sampai ke
perubahan struktural. Hal itu tampak dalam kenyataan
sejarah sekarang ini. Orang tidak berani memberikan
tempat terlalu besar kepada Departemen Agama dan juga
tidak berani menghilangkannya. Yurisdiksinya juga hanya
dibatasi pada hal-hal keagamaan, seperti pendidikan,
pembangunan sarana ibadah, atau penerangan agama.
Demikian pula dengan Musyabaqoh Tilawatil Qur'an, event
bercakupan nasional dan negeri-negeri lain yang diundang.
Begitu banyak ayat Al-Qur'an tentang demokrasi dan hak-
hak asasi manusia, tetapi belum banyak memperbaiki
kondisi demokrasi dan HAM di Indonesia. Oleh karena
itu, penghayatan agama masih dilihat sebagai sebuah
seremonial belaka dan belum melihat agama yang
fungsional dalam kehidupan. Gerakan-gerakan Islam baru
menyentuh pada aspek-aspek ornamental, seperti
pencantuman agama sebagai ideologi atau perjuangan
menetapkan syariah sebagai hukum negara dari
pelaksanaan agama.
Adalah tanggung jawab umat untuk mengejawantah-
kan nilai-nilai agama itu menjadi tatanan masyarakat.
Tatanan itu mesti fungsional, bukan sekadar ornemen atau
hiasan. Seturut pandangan itu, prinsip saya dalam berpolitik
sederhana. Setiap manusia pada dasarnya dilahirkan
merdeka. Dia bebas menentukan jalan hidup, memilih mata
pencaharian, pasangan hidup, atau sikap politiknya. Karena
manusia pada dasarnya bebas maka dia harus diperlakukan
sama antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, dia
harus diperlukan adil. Di sinilah letak problemnya,
keadilan. Dalai Lama dalam Konferensi Forum 2000 di
Praha pada tanggal 3 - 7 September 1997 pernah
mengemukakan, "Tidak ada sistem pemerintahan yang
sempurna, tetapi demokrasi adalah yang terdekat dengan
hakekat sifat kita sebagai manusia, dan hanya demokrasi
yang merupakan fondasi stabil di mana di atasnya dapat
dibangun struktur politik dunia yang adil dan bebas. Oleh
karena itu, menjadi kepentingan kita semua yang bersedia
menikmati demokrasi untuk secara aktif mendukung agar
setiap orang diperlakukan sama. Kita semua ingin hidup
dalam kehidupan yang balk. Ini semua belum cukup. Kita
membutuhkan motivasi yang balk. Kasih sayang, tanpa
dogmatisme, tanpa filosofi yang rumit, sekadar tahu bahwa
orang lain adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan
kita dan menghormati hak-hak mereka dan harkat mereka
sebagai manusia. Dengan demikian, kita umat manusia
dapat saling tolong-menolong dan itulah kapasitas kita
yang unik sebagai umat manusia."
Demokrasi sebagai sistem merupakan dambaan semua
orang. Dari sudut agama, pendirian ifu pasti dapat dibenar-
kan karena saya kira semua agama memandang manusia
sebagai sama-sama hamba Allah. Karena sama kedudukan-
nya di hadapan Allah maka setiap orang wajib diperlakukan
secara adil. Orang yang menjunjung tinggi keadilan pastilah
dia demokrat.
Islam sebagai salah satu agama di bumi juga tidak
lepas dari misi penegakan keadilan. Kata "adil" berasal
dari bahasa Arab adala-ya'dilu-'adlan yang berarti moder-
nisasi, tengah-tengah atau egalitarian, persamaan. Seseorang
dipandang adil apabila mampu memberikan keputusan
"moderat" , tidak kiri atau kanan kepada pihak pencari
keadilan. Demikian juga orang baru disebut adil kalau
memandang semua orang secara sama harkatnya tanpa
embel-embel jabatan atau kedudukan. Kebalikan adil
adalah Zalim (lalim) artinya kesewenang-wenang,
penindasan, serta penganiyaan. Semua agama didatangkan
untuk menyuarakan keadilan dan memerangi keaaliman.
Keadilan adalah simbol tegaknya khalifah di bumi,
sedangkan kezaliman menjadi agen ifsad wa isfakuddima,
kerusakan, dan pertumpahan darah.
Upaya penegakan itu mula-mula tampak pada misi
tauhid (monoteisme) dalam Islam, dalam penegakan
kalimat laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah.
Pernyataan itu meskipun ringkas substansinya, mampu
mengguncangkan kemapanan masyarakat jahiliah saat itu.
Inti kalimat tersebut merupakan peneguhan sikap bahwa
seluruh realitas: raja, majikan, harta benda, dunia sebenar-
nya hanyalah semu, yang ada secara hakiki hanyalah Tuhan
(Allah). Oleh karena itu, semua usaha yang tidak
disandarkan dan diatasnamakan Tuhan haruslah ditolak.
Perjalanan Islam kemudian ditandai dengan pesan-
pesan moral Tuhan yang mencapai puncaknya dalam misi
rahmatan lil-'alamin, menciptakan rahmat, kedamaian, dan
keadilan dunia. Misi ini terakumulasi dalam lima prinsip
universal (kulliyatul khams), yaitu (a) menjamin kebebasan
beragama (hifdz al-din); (b) memelihara nyawa (hifdz al-
nafs); (c) menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wal-
'irld); (d) menjamin kebebasan berekspresi dan berserikat
(hifdz al-'aql); dan (e) memelihara harta benda (hifdz al-
maal. Kelima prinsip ini dewasa ini relevan dengan prinsip-
prinsip HAM yang menjadi pilar demokrasi.
Dampak pesan-pesan Tuhan itu tercermin pada
bangunan komunitas masyarakat Madinah (Yatsrib) yang
dipimpin Nabi Muhammad SAW. Pranata sosial yang
dibangun Nabi saat itu sungguh pun mayoritas muslim,
justru memakai perjanjian bersama di bawah payung
"Piagam Madinah". Dalam piagam yang memuat 47 pasal
itu, sekali-kali tidak pernah disinggung kata Islam dan Al-
Qur'an. Piagam itu hanya memuat kesepakatan antara
etnis migran (muhajirin), etnis Madinah (pribumi)
meliputi Aus Khazaraj, Qainuqa, Nadlir dan Quraidlah,
dengan back-ground keyakinan Yahudi, Nasrani, Islam,
dan Musyrik.
Kemudian di penghujung misi Rasullah SAW, ditutup
dengan peristiwa "Haji Wada". Pada kesempatan itu, Nabi
Muhammad SAW menyampaikan pesan-pesan akhir
melalui mimbar khutbah haji Wada di padang Arafah.
Dalam khotbah itu lagi-lagi beliau menandaskan bahwa
ada tiga hak yang harus dijunjung tinggi agar menjadi muslim
yang sempurna, yaitu hak hidup yang jauh dari pertumpah-
an darah dan kekerasan (aGdima), hak properti dan
memiliki harta benda (al-amwal) serta hak untuk terjaga
kehormatan, martabat, harkat dan profesinya (al-a'rad).
Singkatnya, melalui pesan tersebut, ke-Islam-an
seseorang belumlah sempurna jika belum menegakkan
demokrasi dan HAM. Semua agama memiliki semacam
platform untuk mewujudkan keadilan di muka bumi.
Hilangnya keadilan berarti misi agama kurang berhasil.
Kalau keadilan sudah diperjuangkan dan setahap demi
setahap diwujudkan maka umat manusia maju selangkah
lagi. Keadilan akan mewujudkan persaudaraan antarwarga
negara dan persaudaraan umat manusia pada umumnya.
Dalam bahasa kerennya tercipta fraternity. Dalam
persaudaraan itu harapan Dalai Lama tenvujud, masyarakat
yang penuh kasih sayang, tanpa dogmatisme, tanpa filosofi
yang rumit, sekadar tahu bahwa orang lain adalah saudara-
saudara kita yang harus dihormati hak-hak dan harkat
mereka sebagai manusia. Sarana untuk mewujudkan
masyarakat itu adalah demokratisasi, penegakan hukum,
dan penjaminan HAM yang diperjuangkan semua umat
beragama, termasuk saya. Hal itu saya lakukan karena
penghayatan agama saya bukan hanya ornamen. Peng-
hayatan itu juga saya suarakan bukan hanya kepada in-
tern lingkungan kaum muslimin saja, tetapi bagi seluruh
masyarakat Indonesia. Bagi saya, menjadi suatu keharusan
membangun kembali kerangka beragama yang lebih
mengedepankan nilai dan esensi agama.
|