Bab
2
KILAS BALIK KEBANGKITAN KAUM ULAMA
Ada hal yang tidak mungkin dihindari, yakni
pertumbuhan bangsa kita secara demokratis dan
sosiologis sebetulnya sangat positif: ini ditinjau dari
berbagai segi, termasuk: dari segi perkembangan
Islam (Nurcholis Madjid)
Barangkali ada yang bertanya: mcngapa saya menjadi
orang NU? Tentu saja demikian, sebab lingkungan dari
mana saya berasal adalah NU. Usia saya baru enam tahun,
ketika ayah saya Abdul Djalil meninggal dunia. Saya
kemudian diasuh oleh kakek saya, Haji Elias. Sebagai
seorang warga nahdliyin tentu kebiasaan-kebiasaan ke-
NU-an membentuk saya, di samping sekolah saya di
Madrasah Ma'arif yang juga dikelola NU.
Untuk ukuran zaman itu, menurut saya, kakek
termasuk orang modern. Ia misalnya, berlangganan majalah
dan saya membaca majalah-majalah yang dibeli kakek.
Boleh dikatakan, kakek saya seorang NU yang bersikap
modern. Dia menganjurkan anak dan cucunya untuk
menimba ilmu dan untuk sekolah di mana pun. Saya juga
diizinkan bergaul dengan banyak orang, sehingga
membentuk sikap terbuka dalam diri saya. Saya kuliah di
Universitas Kristen Satya Wacana, termasuk saudara sepupu
saya, M.M. Billah. Sepupu saya itu dikenal sebagai aktivis
LSM dan pimpinan LSM. Kalau ada orang meninggal, kami
bersembahyang kubur, mendoakannya di hari ketiga,
ketujuh, keempat puluh, dan seterusnya, sebagaimana
layaknya kebiasaan orang Jawa.
Secara teologis, kenapa jadi orang NU, pemahaman
saya begini: Dalam Islam, saya melihat ada tiga paham.
Pertama, Mu'tazilah yang mengagungkan kebebasan
manusia untuk berbuat ini dan itu. Sukses dan keberhasilan
seolah-olah seratus persen bergantung dari ikhtiarnya.
Pandangan ini tentu saja berat sebelah, sebab meletakkan
manusia sebagai makhluk yang bebas seratus persen, tidak
perlu bergantung pada Allah dalam hidupnya.
Kedua, Jabariah yang percaya bahwa segala sesuatu
dalam hidup manusia itu sudah ditentukan oleh Allah SWT.
Jadi, manusia tanpa menerima takdir. Pandangan yang
merupakan antitesis yang pertama ini berat sebelah, karena
bisa menyeret manusia banya pasrah pada keadaan. Ia
hanya pasif menunggu takdir.
Ketiga, Sunni atau lengkapnya Ahl-u 'I-sunnah wa 'l-
jama'ah yang meyakini bahwa manusia memiliki ruang
gerak untuk berikhtiar, berusaha, di samping Tuhan yang
menentukan demi kebaikan manusia.
Paham ketiga itu saya rasa cocok sekali, sebab merupa-
kan sintesis dari pandangan pertama dan kedua. Tentang
Ahl-u 'l-sunnah wa 'l-Jama'ah, cendekiawan Nurcholis
Madjid menjelaskan bahwa kalangan pesantren mengacu
pada golongan Sunni. Dalam hal kalam atau ilmu
ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab sunni,
sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al-Asy'ar, dan
kemudian tersebar antara lain melalui karya Imam
Ghazali. Dari teologi Asy'ari itu biasa dipelajari oleh kaum
santri (khususnya) rumusannya tentang dua puluh sifat
Tuhan yang terkenal itu. Santri menghafalkan itu di luar
kepada, dan mereka percaya bahwa hal itu akan menjadi
salah satu pertanyaan di alam kubur. Konsep Ahl-u 'l
sunnah wa 'l-Jama'ah h itu akan terasa dalam hal figh. Kaum
santri dalam hal figh mengikuti dan mewajibkan mengikuti
salah satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzhab
fiqh, yaitu Maliki, Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali. Di Indone-
sia sendiri yang umum dianut adalah imam Syafi'i.
Pembelakaan mereka kepada penganut madzhab itu
sejalan dengan paham tentang taqlid yang berposisi
menjadi lawan dari ijtihad. Dalam hal ijtihad ini
diperjuangkan oleh organisasi reformasi di Indonesia,
yaitu (terutama) oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan
Persis. Kalangan pesantren yang menamakan diri Ahl-u
'l-sunnah wa 'I-Jama'ah membedakan diri dengan golongan
reformasi itu. Dalam kenyataan sehari-hari perbedaan
dalam figh itu hanya terbukti dalam hal-hal yang amat
sederhana, seperti persoalan niat sebelum wudlu
(nawaytu), jumlah azan sebelum sembahyang Jum'at satu
atau dua kali, salat tarawih pada malam bulan Puasa 11
rakaat atau 23 rakaat, dan tentang halal tidaknya
beberapa binatang untuk dimakan, seperti katak, ular,
dan musang. Selain itu perlu diketahui bahwa dalam hal
figh sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrennya
di desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u 'I-
Najah, sedangkan dalam hal keagamaan sikap mereka
umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u 'I-Tawfiq.
Persoalan lain yang membedakan kaum Ahbu 'I-
sunnah wa 'l-Jama ah dari lainnya menyangkut masalah
adat, khususnya adat Jawa. Kaum santri menolak banyak
sekali unsur-unsur adat Jawa, tetapi mempertahankan
sebagian lain yang kemudian diberi warna Islam. Adat
Jawa yang masih menjadi perdebatan dengan kaum
formis adalah adalah sekitar selamatan. Selamatan dalam
hal ini adalah acara makan-makan untuk mendoakan
orang mati, baik pada saat meninggalnya maupun
sesudahnya, seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat
puluh hari hingga setahun (pendek) dan seribu hari setelah
meninggal. Selain selamatan-selamatan itu pada saat
yang dirasa perlu keluarga orang yang meninggal dapat
menyelenggarakan haul. Dalam selamat itu biasanya
dibacakan tahlil, suatu ritus dengan bahasa Arab yang
intinya berdoa untuk kebahagiaan yang meninggal, atau
"mengirim pahala wirid" kepada arwah yang meninggal.
Unsur kejawaan kaum Ahl-u 'I-sunnah wa 'l-Jama'ah
tidak hanya terbatas pada soal tahlil. Kebiasaan datang
berziarah ke makam-makam tertentu yang umum sekali
dalam kalangan ini. Hanya saja dalam hal ini menjadi
tidak jelas apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam
konsep-konsep sufisme atau jawanisme. Sebab sebelum
Islam datang, agama yang ada adalah agama Hindu yang
tidak mengenal kubur atau makam. Makam yang banyak
dikunjungi untuk ziarah umumnya makam orang-orang
yang dinamakan wali atau orang suci yang keramat,
sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu
menolong memberi kesehatan, keselamatan, atau sukses
dalam usaha. Di Jombang, makam yang paling terkenal
adalah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10 Km
sebelah timur Jombang menuju Surabaya. Makam lain di
Jawa Timur yang banyak diziarahi adalah di Girl (makam
Sunan Girl, salah seorang wali sanga dan di Batuampar,
Madura. Di samping kepercayaan kepada orang keramat
yang telah meninggal, kepercayaan kepada adanya wali
yang masih hidup jug umum di kalangan santri. Pada
tahun 1970-1980-an di daerah Jombang, sekurang-
kurangnya ada seorang yang dianggap wali dan masih
hidup, yaitu yang terkenal dengan sebutan Gus 'Ud dari
Mojoagung. Cerita tentang kekeramatan dan kekuatan
gaibnya sangat umum di masyarakat. Kiai Hamid di
Pasuruan juga dipercaya sebagai wail. Demikian pula Kiai
Ramli (almarhum), tokoh pesantren Rejoso yang sampai
kini dianggap paling besar dan merupakan guru mursyid
gerakan tarekat Qadiriyah-Naqsyabdiyah yang terbesar di
Jawa Timur, dipandang sebagai wali kaum santri di sana.
Sebagaimana lazimnya orang NU, saya pun tidak bisa
lepas dari tradisi para kiai dan pesantrennya. Meskipun
saya tidak pernah belajar di pondok pesantren melainkan
di madrasah saja, saya sangat mengagumi model
pendidikan dan cara hidup para kiai. Hasil didikan mereka
lewat kehadiran rekan, sahabat, maupun saudara-saudara
saya ikut memperkaya dan membentuk diri saya hingga
saat ini. Nadhlatul Ulama bukan hanya saya pandang
sebagai "kehidupan organisatoris," tetapi juga hidup
keseharian saya sebagai manusia. Sebagai seorang anak,
saya tidak hanya diajar untuk menaati perintah agama
oleh orang tua, tetapi juga dilatih untuk belajar prihatin
dengan berpuasa pada hari Senin dan hari Kamis (Pasa
Senin-Kemis).
Prihatin itu bukan hanya untuk diri sendiri supaya
tetap hati-hati dan arif, (eling lan waspada), tetapi juga
memprihatinkan orang lain yang menderita kekurangan
atau sedang susah. Katakanlah semacam semangat
solidaritas. Saya lihat di lingkungan sekitar saya di Jawa.
Tidak hanya yang beragama Islam, tetapi juga keluarga
yang Kristen, Katolik, atau Hindu dan Buddha juga mela-
tih anggota keluarganya dengan puasa "Senin-Kemis" itu.
Kehidupan pesantren dengan para kiainya sangat
menarik bagi saya. Hal itu berkat pengalaman saya
bergaul dengan para ulama selama saya berkiprah dalam
organisasi dan partai. Pernah saya baca dalam mahakarya
sejarawan Dennys Lombard tentang kehidupan di Pulau
Jawa bahwa pesantren sudah ada sejak abad ke-16.
Bahkan, sesungguhnya yang telah terjadi adalah
penerusan dalam bentuk baru lembaga pra-Islam yang
lebih tua lagi. Jadi, pesantren bukan sebuah struktur yang
diimpor dari luar. Pada masa Jawa Kuno, katakanlah pada
zaman kerajaan Hindu dan Buddha, terutama dalam
masyarakat bagian timur pulau lawa, terdapat jenis
pertapaan para resi yang menjauh dari dunia ramai dan
menjalankan latihan rohani sambil menggarap lahan
pertanian. Dalam teks-teks Zaman Majapahit, lembaga-
lembaga itu dikenal dengan nama dharma, mandala atau
pertapaan (dari dasar kata tapa yang dalam bahasa
Sansekerta berarti "kehangatan" bersemedi. Dharma pada
masa itu selalu mengambil jarak terhadap kekuasaan raja
di Kotaraja. Jarak itu tidak hanya dalam arti fisik, letak
geografis yang jauh dari kerajaan, tetapi juga dalam arti
spiritual. Dharma bersikap kritis terhadap lembaga
kerajaan. Perubahan pertapaan-pertapaan itu menjadi
pesantren berjalan secara alamiah seturut kemajuan syiar
agama Islam di Jawa. Tampaknya, agama Islam cepat
sekali mengakar di masyarakat pertanian tersebut.
Tentang hubungan orang-orang muslim pertama
dengan pertapaan-pertapaan itu terdapat beberapa
tradisi. Diceritakan bahwa Sunan Kalijaga, seorang Wali
yang sangat berpengaruh dan yang membangun Mesjid
Demak, sering pergi bersemedi di pertapaan Mantingan
yang tidak terlalu jauh letaknya. Kita juga dapat melihat
bagaimana Ki Gede Pandan Arang mengumpulkan mu-
rid-muridnya di atas bukit Tembayat dan dengan demikian
ia membuka pesantren pertama di daerah itu. Perlu
diperhatikan bahwa situasi purbakala yang sama
tampaknya memiliki undang-undang lama dan para
arkeolog mempertanyakan apakah situs itu merupakan
tempat ibadah pra-Islam, seperti misalnya Candi Sukuh.
Di Leles, daerah Pasundan pada tahun
ditemukan bongkah-bongkah batu dari sebuah
Hindu yang hampir lengkap yang digunakan sebagai dasar
sebuah makam keramat.
Para sejarawan memastikan kelak pasti ditemukan
contoh-contoh lain dari "tumpang-tindih" satu agama
dengan agama lain. Tradisi yang paling jelas adalah seperti
dikemukakan dalam Hikayat Hasanuddin yang mengisah-
kan bagaimana tokoh utamanya setelah mendarat di
Banten, mengajak delapan ratus ajar dari Gunung
Pulasari, masuk agama Islam. Hasanuddin mula-mula
menetap agak jauh dari laut (di Banten Girang) di dalam
sebuah pondok. Di tempat itu ia membuat gula Jawa
dengan bantuan para pelayan yang membantunya atas
perintah ayahnya Sunan Gunung Jati. Selama tujuh tahun
ia hidup bertapa, dan menyepi di atas gunung-gunung di
Pasundan Barat, sampai di Pulau Panaitan (di ujung barat,
di Selat Sunda). Sunan Gunung Jati kemudian dari Cirebon
telahmenjemputnya untuk menunaikan ibadah haji. Ketika
Hasanuddin berperang melawan Raja Pakuan yang
bersikeras mempertahankan kekafirannya, ia tidak lupa
memanggil ajar-ajar yang setia dan mereka yang
membantu memenangkan agama yang benar.
Antara struktur dharma Jawa Kuno dan struktur
Pesantren terdapat persamaan yang cukup besar untuk
memperkuat teori bahwa telah terjadi peralihan dari
struktur yang satu ke yang lain. Persamaan pertama
adalah keadaan jauh dari dunia ramai, di daerah yang
kosong jauh dari ibu kota kerajaan, maupun kota-kota
besar yang modern. Pertapa maupun santri memerlukan
ketenangan dan keheningan untuk menyepi dan
bersemadi dengan tenang, untuk merenungi alam dan
menyelami batinnya sendiri. Ia juga merasa perlu
menjauhi daerah-daerah hunian untuk menemukan tanah
yang masih bebas dan cocok untuk digarap. Kini, hal itu
tidak berlaku tetapi beberapa dasawarsa yang lalu pendiri
pesantren --seperti halnya rohaniwan abad ke-14- masih
dapat bertindak sebagai "perintis" yang membuka hutan
di perbatasan dunia yang sudah dihuni, mengislamkan
para warga daerah sekeliling, mengelola tempat baru,
menciptakan "republik" kecil, suatu tempat perlindungan
penuh damai yang berswadaya. Dari kecenderungan lama
ini, pesantren kadang-kadang masih menyimpan tradisi
silat --yang dahulu sangat berguna di daerah-daerah
terpencil dan kurang aman, di mana polisi kerajaan tidak
berani menginjakkan kakinya-- maupun suatu perhatian
yang tinggi terhadap teknik-teknik pertanian.
Seorang kiai yang ternama biasanya juga ahli dalam
bidang pertanian. Banyak pesantren kini menjadi
semacam usaha pertanian teladan, yang menjalankan
budi daya pertanian terpadu, budidaya ikan, sambil
mengajarkan kepada murid laki-laki dan perempuan dasar-
dasar kesehatan, agronomi, dan ekonomi. Kemiripan
kedua, ikatan antara guru dan sisya (murid), santri dengan
kiai. Seorang kiai sangat diandalkan dalam memberi
nasihat, bimbingan, dan pertolongan untuk memberi
dukungan serta bertindak sebagai pemimpin rohaniah.
Santri mematuhi nasihat dan bimbingan gurunya dengan
tetap mempunyai hubungan khusus dengannya sekalipun
studinya sudah tamat serta sudah kembali ke dunia ramai.
Kemiripan ketiga adalah kontak antardharma seperti juga
antarpesantren. Di lingkungan santri atau murid dharma
terdapat kebiasaan untuk berkelana menimba ilmu dan
kemajuan dalam olah rohani dari pesantren atau dharma
yang satu dengan pesantren atau dharma yang lain.
Dalam Kitab Nagarakertagama diceritakan bahwa
Hayam Wuruk singgah dari pertapaan yang satu ke
pertapaan lainnya bersama rombongan pengikutnya. Raja
dijamu dengan ramah oleh kaum rohaniwan dan pada
malam hari membicarakan pokok-pokok filsafat dengan
guru-gurunya. Pengalaman itu tidak terbatas pada raja,
tetapi banyak murid dan pasti juga orang biasa berkeliling
Jawa dengan cara demikian. Semua orang yang telah
memperoleh ijazah (ijin pengajar) dapat pergi ke tempat
lain untuk membuka "cabang." Mereka kembali ke
pesantren induk pada perayaan tahunan tertentu (haul)
untuk menikmati kegembiraan berkumpul kembali dan
bertukar berita. Kebiasaan untuk mengadakan lokakarya
atau seminar pada masa kini sesungguhnya tidak lain dari
menghidupkan kembali kebiasaan lama itu.
Bagaimanapun asal mulanya, dapat ditekankan babwa
pesantren telah mempunyai peran penting dalam
pengislaman yang mendalam di daerah Jawa dan Sunda.
Lembaga itu telah menyesuaikan diri dan mempribumikan
agama dengan sangat balk. Sebagai lembaga mandiri dari
sudut ekonomi dan hukum dan agaknya terletak di
"pinggiran" seolah-olah merupakan tcmpat suaka atau
katup pengaman sosial. Pesantren-pesantren akhirnya
membentuk jaringan luas yang terentang dari ujung pulau
ke pulau lain, bahkan sampai di luar pulau-di seluruh
Indonesia. Pada waktu Perang Diponegoro (1825-1830)
sudah terdapat beberapa haji yang berjuang melawan
Belanda. Mereka dipimpin oleh tokoh legendaris Kiai Maja
bersama santri-santrinya yang melawan pasukan Kompeni
di lereng-lereng Gunung Merapi.
Ada juga haji-haji lain terutama di Jawa Barat yang
terlibat dalam pemberontakan-pemberontakan melawan
penjajah Belanda. Perlawanan itu mcngguncangkan
pedesaan Banten antara awal tahun 20-an hingga tahun
1888, ketika meletus pemberontakan petani. Untuk
jaringan agraris untuk pembentukan parat administrasinya,
pemerintah Ratavia berusaha merangkul mereka. Pada
tahun 1882 didirikan apa yang dinamakan priesterraden
atau "pengadilan pendeta" yang beranggotakan penghulu
dan pembantupembantunya diangkat oleh residen.
Keputusan itu sangat dikritik oleh Snouck Hurgronje.
Keputusan itu mencabut pengadilan agama dari
pengawasan kaum priyayi, karena tugas mengambil keputusan dalam
hal perkawinan, warisan, dan terutama perceraian diserahkan kepada
penghulu sendiri. Hal itu sama dengan memberi kepada
kalangan santri hak-hak istimewa dalam hal hukum sipil
dan agraria. Untuk dapat mengawasi jaringan-jaringan
itulah pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905
mengungumkan Goeroe-Ordanantie atau "peraturan
tentang guru sekolah." Peraturan itu mewajibkan
penanggung jawab semua pondok dan pesantren untuk
mendaftarkan diri dan meminta izin sebelumnya.
Peraturan itu mendapat tantangan dari masyarakat,
sehingga pemerintah kolonial terpaksa melunakkan
syarat-syarat mereka pada tahun 1925.
Jaringan-jaringan muslim di pedesaan tersentuh oleh
Goerae-Ordonantie itu. Mereka ingin membela posisi dan
peran mereka terhadap rongrongan pemerintah kolonial
dan kecenderungan sekuler yang ada di tengah masyarakat
ketika itu. Mereka juga tergugah oleh contoh kaum "kelas
menengah" muslim yang melancarkan Sarekat Islam
maupun Muhammadiyah pada tahun 1911-1912.
Sebagai reaksi terhadap kuatnya gerakan pembaruan
dalam Partai Sarekat Islam (PSI), para ulama dari pesantren
membentuk Naddlatoel Oelama pada tanggal 16 Rajab 1344
H (31 Januari 1926). Prosesnya agak rumit karena
menyangkut beberapa perbedaan pandangan dan mungkin
kepentingan para tokoh Islam.
Semula para ulama pesantren membentuk suatu panitia
yang bernama Comite Meremboek Hidjaz yang didirikan
pada bulan Januari 1926. Komite itu semula dipimpin oleh
Hassan Gipo sebagai ketua, Saleh Sjamil sebagai Wakil
Ketua, Moehammad Shadig Setijo sekretaris, Abdoel Halim
Sebagai wakil sekretaris. Mereka didampingi oleh tiga orang
penasihat, yakni K.H. Wahab Hasboellah, K.H. Masjhoreri
dan K.H. Cholil. Mereka pang bertanggung jawab akan
melaksanakan pertemuan komite pada tanggal 31 Januari
1926 di Surabaya. Komite itu dibentuk untuk mem-
perjuangkan kebebasan beribadat di Hidjaz (Arab Saudi
sekarang) berdasarkan paham Ahl-u 'I-sunnah ,va 'I-
lamci'ah dan perbaikan tata-laksana ibadah haji di Mekkah
dan Madinah. Masalahnya, pada tahun 1924 semenanjung
Arabia yang dikenal sebagai negeri Hidjaz dikuasai oleh
Ibnu Saud setelah mengalahkan penguasa lama di
kawasan itu, Syarif Husin. Sebagai penganut aliran
Wahabi, Ibnu Saud dikhawatirkan oleh pendukung komite
akan menyapu habis tradisi Islam yang berdasarkan
mazhab di wilayahnya. Tradisi itu, antara lain mengenai
kesufian, wirid, menghormati makam Nabi, dan para
syuhada Islam yang pertama. |