Mengapa
saya?
Banyak orang ingat peran saya sebagai formatur dalam
Muktamar PPP tahun 1994. Saya bersama K.H. Syamsuri
Badawi merupakan dua formatur yang berasal dari NU,
sedangkan lima lainnya dari unsur Muslimin Indonesia.
Saat sidang formatur, ada dua tawaran yang diajukan, yakni
kursi NU untuk pengurus harian ditambah satu. Usulan
itu disetujui. Satu lagi, dalam hal pengisian kursi tersebut
menentukan orang-orangnya adalah unsur NU sendiri.
Tawaran kedua itu ditolak oleh lima formatur MI, satu di
antaranya adalah Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum
lama yang kemudian terpilih kembali. Karena permintaan
kedua ditolak, saya tidak mau lagi meneruskan sidang.
Percuma saja, kalau kemudian di dalam rapat hanya model
voting karena hal itu sudah sering terjadi selama ini di
DPP PPP. Saya sudah tahu pada saat yang menentukan
itu Hamzah Haz dan kawan-kawan sudah keluar dari
barisan "Rembang." Ada yang mengatakan bahwa kubu
saya yang dijagokan Kelompok Rembang kalah karena
kekurangkompakan unsur NU dalam PPP. Tetapi, ada yang
menyebut lebih disebabkan oleh suasana politik waktu
itu yang memang tidak menguntungkan untuk saya. Sekjen
meminta restu pada Ketua Umum PBNU Gus Dur yang tidak disenangi
pemerintah. Sebagai kader NU yang dikenal dekat dengan
Gus Dur, saya tidak takut mengatakan bahwa saya mendapat
restu Gus Dur, meskipun kemudian kalah dalam muktamar.
Langkah saya itu menyebabkan saya tidak dimasukkan
dalam daftar calon. Bahkan, dalam kampanye saya tidak
dimasukkan sebagai juru kampanye tingkat pusat. Tetapi,
karena kecintaan kepada partai yang sudah digeluti sejak
puluhan tahun, saya tetap berkampanye dan membantu
anggota lain bila diperlukan. Saya mengharapkan bahwa
sikap saya yang ikut serta dalam pemilihan ketua partai
dapat menjadi pelajaran demokrasi yang baik bagi
masyarakat. Itulah demokrasi. Meskipun saya tahu tidak
semua politisi NU berani melakukan hal itu. Mengapa saya
bersikap respect sekali pada Ali Sadikin dan teman-
temannya. Karena meskipun tahu kalah ia tetap berani
mengambil jarak, mengkritik, dan mencoba melakukan
kontrol atas kekuasaan presiden yang makin hari makin
bertambah besar. Mestinya, fenomena itu dapat menjadi
semacam "pencerahan" (enlightenment) pada para politisi
di negeri ini. Salah seorang anggota Komnas HAM,
Roekmini Koesoemo Astuti, almarhumah pernah
menegaskan perlunya pencerahan di kalangan elite
pemerintahan agar kesadaran hukum dan politik mereka
semakin meningkat. "Jangan selalu menganggap mereka
yang paling benar dan menjadi penafsir tunggal dari semua
persoalan yang terjadi di negeri ini," ujarnya. Tetapi
memang harapan berbeda dengan kenyataan.
Meskipun "lepas" dari PPP, saya ini orang politik. Peker-
jaan saya, ya politik. Saya ikut kampanye bukan hanya
karena saya menjadi pengurus atau pimpinan melainkan
karena kecintaan saya pada partai. Gus Dur juga menyata-
kan bahwa saya kalau memimpin partai bukan sekadar
ingin menjadi anggota DPR. Kalau saya sekadar ingin
menjadi anggota DPR saja, tentu saya cukup bekerja sama
Ismail Hasan Metareum. "Tetapi, dia ingin membawa partai
ini lebih dari itu. Hal itu berbeda dengan orang-orang NU
lainnya. Mereka paling-paling sekadar ingin jadi DPR.
Setelah itu selesai," tegas Gus Dur.
Memimpin partai ini adalah amanah. Untuk itu, beliau
saya ditugaskan dengan mengucap "la haula wala quwwata
illa billah" (tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah),
saya slap.
Tantangan PKB adalah mendorong sipil atau masyara-
kat madani yang selama ini dipinggirkan sebab sudah tiba
saatnya tampil ke depan. Politisi sipil bertanggung jawab
mengembalikan hal besar yang penting bagi bangsa ini,
Akibat pendidikan politik yang salah selama ini, politisi
maupun masyarakat biasa menganggap musuh atau
berseberangan orang yang berbeda pendapat. Bangsa ini
sudah terbiasa diseragamkan. Di pundak saya bersama
kawan-kawan, titik pijak PKB dipertaruhkan. Mampukah
saya membawa PKB menjadi partai besar, bukan hanya
dalam hal jumlah suara tetapi juga dalam peran me-
nentukan corak masa depan bangsa dan umat! Menurut
saya, apalah artinya memiliki jumlah suara besar, tetapi
mendapat peran pinggiran. Tantangan tidak ringan. Saya
harus bisa menghimpun seluruh massa NU yang jumlahnya
mencapai 40 juta jiwa. Ini tidak mudah karena massa NU
terkonsentrasi di pesantren. Seperti dimaklumi, di
pesantren, para kiai memiliki otonomi yang sangat kuat.
Di samping itu, massa NU dikenal sebagai pemilih tradi-
sional PPP selama dua dasawarsa lebih, selain masih
banyak tokoh NU di PPP yang bisa juga mempunyai massa
sendiri. Sering ada tuduhan dari orang luar bahwa PKB terlalu
mengandalkan nama besar Gus Dur. Sekjen PPP saat itu
Tosari Widjaja, mantan aktivis Ansor berpendapat bahwa
figur yang tampil menjadi pimpinan akan sangat
menentukan minat warga NU untuk bergabung atau tidak
dengan PKB. "Kita lihat saja figur pimpinannya, apakah
bisa merekrut warga NU atau tidak. Sebab Gus Dur sendiri
tidak berada di barisan ini, tapi memilih bergabung dengan
Megawati", tegas Zarkasih Nur, salah seorang pimpinan
PPP. Hal itu, menurut Tosari, berbeda kalau NU menjadi
partai. PKB tidak didirikan oleh PBNU, sementara PPP
ada karena keputusan resmi NU untuk berfusi bersama
partai Islam lainnya. PKB memang menggunakan ide dan
gagasan Gus Dur, namun hal itu hendaknya jangan hanya
ditafsirkan secara fisik. Bagaimanapun besarnya peran
Ketua Umum PBNU itu, Gus Dur tidak menentukan dirinya
sebagai ketua partai. Dia hanya meminta seseorang yang
dianggapnya mampu, supapa mengantar partai ini sampai
pemilihan umum yang akan datang. Ternyata permintaan
itu diterima oleh PBNU dengan beberapa pertimbangan
dan catatan. Kepuasan semua pihak tidak mungkin
tercapai 100%. Bagaimanapun pendeklarasian PKB saya
kira tidak kalah demokratis dengan deklarasi partai
partai lain. Gus Dur bukan hanya berkali-kali me-
nyampaikan bahwa Islam itu inklusif dan persaudaraan.
Namun, dia juga melakukan action aktif mempersatukan
bangsa. Visi dan usaha itu juga kita usahakan lewat per-
juangan partai.
Memang tidak sedikit yang menolak kehadiran saya
di pucuk pimpinan PKB. Selain intern PBNU, juga
dilakukan tokoh-tokoh intern PPP. Hal yang sama juga
dilakukan oleh kelompok Yayasan Saifuddin Zuhri yang
diprakarsai oleh adik kandung Gus Dur, Ir. Salahuddin
Wahid. "PBNU telah bersikap diskriminatif terhadap partai-
partai baru di kalangan NU selain PKB," tulis Salahudin di
sebuah surat kabar Ibu Kota. Sikap senada disampaikan
oleh K.H. Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng,
Jombang. Pak Ud, demikian panggilan akrab kiai itu, tidak
mau bergabung dengan PKB karena dipimpin oleh saya.
Mantan anggota MPP PPP ini menilai, saya tidak memiliki
keulamaan dan kematangan politik. Menurut dia, orang
yang memenuhi syarat memimpin PKB adalah K.H. Mustofa
Bisri. Ia memiliki kualitas individu, ulama, pola pikir dan
moralitas yang tidak diragukan lagi. Sikap serupa juga
dilontarkan oleh K.H. As'ad Umar dari Peterongan,
Jombang yang juga menjadi anggota
Wahab yang dikenal sebagai tokoh KPPNU (Koordinasi
Pengurus Pusat NU) pimpinan Abu Hasan.
Silang pendapat tentang kedudukan saya dalam partai
menjadi cambuk bagi saya untuk melakukan yang terbaik bagi
kesuksesan tujuan partai. Di samping itu, aneka
pendapat itu juga mendorong saya berkomunikasi dan turun
ke bawah menampung aspirasi dan harapan mereka.
Secara pribadi saya tidak merisaukan silang pendapat itu
karena kerlibatan di partai bukan untuk mengejar
kepentingan pribadi saya. Partai adalah sarana ibadah. Saya
berjuang dalam partai dengan niat mengabdi kepada Allah. |