[ Tabayun Gus Dur / Abdurrahman Wahid ] |
Kalau kami boleh tahu, masalah spa yang paling lucu dan aktual dalam pikiran Bapak saat ini? Wah tidak ada yang lucu satu pun. Dari segi sosial, politik, budaya, atau ekonomi mungkin? Yah.... apa ya? Lha itu...lucu, 'kan? Ya, mungkin! Yang mana, tuh?! Tahulah.... Bagaimana hubungan Krisis Teluk dengan kesehatan Bapak?
Itu kejadian tidak lucu, jadi susah dicari lucunya. Tidak lucunya, masa orang yang nolong malah dicaplok. Lucunya mungkin, itu Syech Kuwait nggak ragu-ragu nolong. Apa dia tidak mengantisipasi, jangan-jangan kalau yang ditolong sudah kuat malah balik nyaplok. Mestinya dari dulu disiapkan, jangan sampai tentara Irak kuat. Soalnya Irak-Kuwait, 'kan dari dulu musuhan. Dikiranya Irak lemah (hubungannya dengan Iran), makanya dibantu jadi kuat. Eh, akhirnya air susu dibalas air tuba. Kalau misalnya Bapak bisa, pesan apa yang akan disampaikan kepada kubu-kubu yang sedang bertikai? Oh itu sih gampang. Keroyok saja tuh Amerika. Jadinya tidak netral, dong? Mana bisa netral. Dalam kasus Teluk tidak ada yang netral. Kalau Anda menciptakan pemerintahan baru di Kuwait, berarti Anda memenangkan Irak. Kalau Anda berniat mengembalikan Emir Kuwait, berarti Anda memihak Amerika, save. Bagaimana dengan PBB? Apanya yang netral. Coba lihat, Syiria nyerbu Libanon, PBB anteng-anteng saja. Kalau terjadi Perang Teluk, kira-kira siapa menang? Kalau perang militer, Amerika yang menang. Kalau politik, Irak yang menang. Kan di padang pasir, apa Amerika bisa menang? Bisa! Kalau di Teluk itu perangnya begini. Amerika mengerahkan pesawat menggempur pasukan Irak (kekuatan Irak di Irak). Kemudian perbatasan Irak ditutup, sehingga tentara Irak macet. Tak bisa keluar tak bisa masuk. Padahal tentara Irak yang di luar sangat bergantung pada suplai bahan makanan dari dalam. Gampang, 'kan? Wah, serem. Sekarang tanya yang tidak seram ya. Kabarnya Bapak jadi pemimpin bank? Bukan, saya cuma mendirikan, yang memimpin orang lain. Masalah bunganya bagaimana? Untuk membedakan antara yang halal dan haram. Ah, bunga bank belum tentu haram, kok. Dalam Muktamar NU tahun 1938, tentang bunga bank ada tiga pendapat. Haram, halal, dan ragu-ragu. Karena ada tiga pendapat, ya pilih yang halal saja! Bedanya bunga bank, dengan bunga yang dipungut sama rentenir? Bank bukan rentenir. Bank ya bank. Bank 'kan mencari laba yang tidak terlalu besar. Labanya 'kan bukan dari tingginya bunga tapi dari omsetnya. Ada juga sih, bank yang jadi rentenir. Bank apa? Bank Badut..... ha-ha-ha-ha. Di Brunei, bank bisa tanpa bunga. Apa di sini bisa, Pak? Bisa saja. Tapi pakai pos administrasi, apa susahnya. Yang penting ada pungutan. Kalau bank tanpa pungutan ya jadi tukang parkir! Pasang tarif parkir yang mahal. Bilang saja: gue nggak ngambil duit, cuma narik uang parkir. Berhubung ini majalah HumOr, mau tanya yang lucu aja, ah. Apa itu humor? Humor itu ekspresi kewarasan yang paling top, dah. Sebab dengan humor kita menabrak segala batasan yang ada. Sebab orang yang mengerti humor itu yang paling waras. Kita 'kan dikotak-kotak oleh segala macam. Orang harus bisa membalikkan sesuatu dengan cepat dan tepat. Misalnya pernah ada cerita, seorang penggali kubur menemukan kuda mati di depan pintu bangunan. Kemudian dia menilpun petugas. Tapi, apa jawaban petugas. "Semua yang mati-mati 'kan menjadi urusan penggali kubur, bukan urusan saya," jawab petugas. Penggali kubur itu tidak mau kalah. Dia menjawab dengan jitu, "Ya, saya tahu. Tapi saya mesti kasih kabar sama saudaranya dulu, 'kan?" Itulah, pada dasarnya orang yang suka humor bisa terhindar dari stres. Tapi para humoris dan redaktur humornya kok justru sering stres? Itu karena humor sebagai profesi. Profesi apa pun bisa menimbulkan stres. Tentang humor sufi? Humoris paling besar itu justru kaum sufi. Karena dia tahu kelakuan manusia yang aneh-aneh. Pada hal manusia itu tidak ada, kata kaum sufi. Yang ada cuma makhluk-makhluk yang tidak tahu akan kebesaran Tuhan. Kalau dia tahu, tidak mungkin berani ngapa-ngapain, diam saja. Menyadari kebesaran Tuhan, merenung. Tadi kaum sufi melihat, manusia kok macam-macam saja kemauannya. Geli dia. Jadi, humor versi kaum sufi itu bagaimana? Banyak. Tapi bukan dari segi lucunya, melainkan moralnya. Oh....nilai moralnya. Ya. Dan itu tidak lucu. Nilai moral tidak ada yang lucu. Konon hanya orang berjiwa besar yang tidak tersinggung oleh lelucon. Benar itu Pak? Ya. Biasanya dia senang humor dan sangat apresiatif. Dia juga mengerti keadaan manusia lain. Orang yang ingin tahu tentang orang lain, harus memahami lelucon. Jangan gampang tersinggung dengan lelucon. Kabarnya Bapak sedang mengumpulkan joke-joke tentang NU dan ada rencana mau diterbitkan? Wah, kalau NU memang gudangnya lelucon. Contohnya; Suatu hari diadakan seminar di salah satu cabang NU. Kiai Sahal dari PBNU yang jadi pemrasaran segera pulang. Setelah usai memberikan ceramahnya. Rupanya ada seorang kiai lokal dari NU yang datang agak terlambat. Dia berjumpa dengan salah seorang panitia, terjadilah dialog singkat yang menggelitik, "Bagaimana seminarnya, sudah dimulai apa belum?" Tanya kiai lokal itu pada panitia. Jawab panitia, "Wah, seminarnya sudah pulang, Pak Kiai." Ada lagi? Ini terjadi ketika saya diundang untuk menghadiri acara Maulid Nabi. Yang mengundang seorang pemilik fashion. Ia punya banyak peragawati, meski yang diperagakan busana muslim, tapi tidak ada jilbab, atau kerudung. Yang dipamerkan di sana cuma pakaian panjang-panjang saja. Tak lama kemudian terdengar pembacaan doa, doanya juga panjang-panjang. Yang baca doa seorang kiai. Ketika dalam perjalanan pulang, dalam mobil, saya tanya sama itu kiai, "Kok mau-maunya sih, baca doa panjang-panjang untuk peragawati yang begitu?" Kiai itu tersenyum dan menjawab, "Jangan salah sangka, doa yang saya bacakan tadi, artinya: supaya para peragawati itu pada kena varises." Yakin karena peragawatinya nggak ngerti 'bahasanya? Tidak tahu juga. Itu 'kan cuma bercanda saja. Sekarang bagaimana pandangan Bapak tentang Majalah HumOr? Kalau belum 10 nomor sih, belum bisa dikomentari. Tanggapan Bapak mengenai kampanye lewat media massa, bagaimana? Saya rasa Pemilunya jadi hambar. Karena masyarakat hanya nangkap yang lucu-lucu. Contoh yang pernah tejadi. Ketika seorang jurkam (juru kampanye) salah satu kontestan memberikan sambutannya di salah satu daerah. Waktu itu kurang dari tiga hari kunjungan jurkam top kontestan lain lagi dari Jakarta. Jurkam pertama, dengan penuh semangat berkata, "Saudara-saudara kita selalu ambil bagian. Buktinya, bayar pajak, membangun jalan, sekolah, rumah sakit, semuanya kita ikut! Nah, kalau hanya ngaku-ngaku aja sih, kita juga bisa," tambahnya. Rakyat ikut menyambut dengan berseru. "Yaaaa!" Dan ketika giliran jurkam kedua berkampanye, dengan seruan serupa, masyarakat bukannya menyambut antusias, malahan tertawa. Sama juga ketika saya ditanya oleh wartawan. "Pak, katanya orang-orang Indonesia mau dikirim ke Irak? Bagaimana pendapat Bapak?" Terus saya jawab, "Orang Indonesia, jangankan disuruh untuk perang, di sini ada tabrakan aja pada nonton, apalagi ini nonton perang di Irak. Di bayar lagi." Nah, begitulah. Bagaimana tentang film Indonesia, terutama dari segi mutu? Wah, sedih makin jelek. Tapi segi teknik, sudah bagus. Kita sudah bisa membuat sound recording yang sesuai asalnya sound effect, visual effecf sudah kayak beneran. Cuma penggarapannya semakin konyol. Kayaknya diburu-buru sama yang punya modal. Padahal kalau bisa bikin seperti "Cut Nyak Dien", 'kan bagus sekali. Kalau TIM (Taman Ismail Marzuki) yang belakangan ramai dibicarakan? Wah, itu sih sudah lama. Masalahnya para seniman sendiri kurang tahu, mau ngapain dengan TIM. Ini yang repot. Mau diam menyalahkan diri sendiri? Mau bergerak ke mana, tidak tahu. Apakah dia bersedia menerima orientasi komersial? Dia menganggap seni itu dapat dipertahankan dalam bentuknya yang ideal, seni murni. Dan berbicara mengenai estetika yang tinggi. Jangan sampai ada acara-acara komersial. Kalau begitu bisa tidak laku. Antara dua kutub ini belum ketemu titik temunya. Apa karena apresiasi masyarakat yang lambat? Dunia seni itu 'kan mencerminkan masyarakat. Masyarakat kurang tahu, mau diapakan seni itu. Jangankan itu, seni itu sendiri belum' banyak masyarakat yang tahu. Kabarnya Bapak terlalu sibuk, sehingga jarang berbicara dengan keluaga (Ibu)? Kita sih tidak barus ngobrol, deh. Tidak ngobrol juga pada ngerti. Istri kondektur bus, istri sopir taksi, juga jarang ngobrol. Bagaimana dengan remaja yang suka corat-coret, tanda-tanda apa itu? Mungkin mau protes. Persoalannya, kenapa kok pakai nyoret-nyoret dinding. Mungkin itu yang paling mudah untuk menyalurkan bakat seninya. Itulah protes yang nggak pakai ngomong. Kalau dibangun lokasi khusus untuk coret-mencoret, misalnya tembok yang panjang? Itu ide yang bagus. Setiap orang boleh ngomel apa saja di situ. Dengan satu syarat, harus bersedia menutup coretan sebelumnya, kalau kehabisan tempat. Kita tidak menyediakan tembok yang bersih di tempat lain. Omong-omong nih, Pak. Semisal Bapak "dipaksa" jadi menteri pendidikan, apa programnya? Sekolah-sekolah saya bubarkan. Uangnya saya bangunkan bengkel dan toko-toko, anak-anak saya suruh pada kerja di situ. Kalau begitu pegawainya pada buta huruf dong? Emangnya sekolah sekarang tidak buta huruf? Sampai sarjana pun masih ada yang buta huruf. Habis, sarjana tidak ngerti bidangnya, 'kan konyol! Apa perlu di Indonesia didirikan sekolah khusus untuk anak-anak jenius. Kabarnya, anak-anak yang suka coret-coret itu pu"ya IQ yang tinggi. Di negara lain juga nggak ada kok. Alamiah saja, artinya pendidikan yang mutunya bagus otomatis akan memerlukan seleksi. Memang ada lembaga khusus yang hanya mengambil anak-anak jenius. Tapi ini tidak direncanakan. Jenis-jenis jenius itu macam-macam. Kalau di sini 'kan hanya diukur dari IQ-nya saja. Padahal IQ tidak bisa ditularkan. Misalnya Einstein, ketemu sama Greta Garbo. Satunya paling pinter, satunya lagi paling cantik sejagad. Kata si Garbo, "Prof, kita kawin yuk. Biar anak kita nanti cakep seperti saya, dan pintar seperti Anda." Apa jawab Einstein, "Kalau terbalik bagaimana? Wajahnya seperti saya, otaknya seperti Anda?" Kan, kurang ajar. Itu namanya menghina wanita, bukan hanya bintang film. Penyimpangan seks pada remaja? Kan prosentasinya masih kecil. Tidak usah dibesarkan. Hal yang paling esensial, bagaimana cara kita memperbaiki sistem pendidikan. Otomatis, seluruhnya 'kan terbawa baik. Ada gitu-gitu, 'kan karena remaja tidak dapat kasih sayang di rumah. Seketemunya saja di jalan. Sehingga daya tarik seksual disangka kasih sayang. Padahal 'kan jauh! Lain. Nilai-nilai budaya luhur kendor, dan gantinya belum muncul. Bapak seorang ulama, mungkin bisa menerangkan, bagaimana keadaan remaja pada sepuluh tahun mendatang? Sama saja. Begitu-begitu aja. Remaja kita sehat-sehat saja. Remaja senang sama penyanyi, musik rock, itu 'kan biasa. |
|