[  Einar Martahan Sitompul / NU dan Pancasila ]

 
Pendahuluan

Sejak tahun 1983 Pancasila ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, lembaga tertinggi negara sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik.(1) Ini merupakan keputusan politis yang paling gemilang bagi bangsa dan negara Indonesia sejak kemerdekaan. Karena menjelang Indonesia merdeka Pancasila diterima menjadi dasar negara setelah melalui perdebatan sengit, terutama di antara kalangan kaum kebangsaan (nasionalis) dan kalangan Islam.(2) Dan tetap menjadi diskusi yang hangat setelah Indonesia merdeka.(3) Dengan adanya ketetapan itu maka semua organisasi sosial dan politik harus menyesuaikan diri. Nahdlatul Ulama (untuk selanjutnya disingkat NU) menerima asas Pancasila sebagai asas organisasi dalam Muktamar (lembaga musyawarah tertinggi dalam NU) yang ke 27 bulan Desember 1984 di Situbondo Jawa Timur.(4) 

NAHDLATUL ULAMA DAN PANCASILA, demikian judul tesis ini bermaksud mengkaji perkembangan pemikiran keagamaan dalam NU sejak berdirinya pada tahun 1926 sampai dengan diterimanya Pancasila sebagai asas. Sejak terbentuk NU telah terlibat dalam perkembangan politik, tetapi keputusan menerima Pancasila berhubungan dengan pergumulan NU, baik secara intern maupun di dalam wadah perhimpunan organisasi politik Islam yaitu Partai Persatuan Pembangunan, menghadapi perkembangan yang terjadi dan bagaimana menyalurkan aspirasi-aspirasi yang diembannya sebagai organisasi yang bernapaskan Islam. Penerimaan atas Pancasila juga berkait erat dengan perkembangan terakhir yang terjadi dalam tubuh NU, yaitu konflik antara yang disebut ulama dengan politisi. Dengan menerima Pancasila sekaligus NU juga menyatakan dirinya kembali menjadi organisasi keagamaan yang terkenal dalam semboyan Kembali kepada Khittah (Semangat) 1926. Suatu langkah untuk mengukuhkan kembali peranan ulama sebagaimana hakikatnya ketika didirikan tahun 1926; agar ulama memegang kendali sepenuhnya dalam kiprah NU sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah), dan memang Nahdlatul Ulama sendiri berarti Kebangkitan Ulama! 

Sebenarnya sudah ada beberapa buku yang membahas NU. Slamet Effendi Yusuf dan kawan-kawan dalam Dinamika Kaum Santri secara khusus membahas perkembangan NU sejak berdirinya, tetapi ia lebih banyak berbicara tentang pergumulan politik NU, terutama masalah yang dihadapinya di dalam Partai Persatuan Pembangunan.(5) Maksoem Machfoedz dalam Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, menguraikan pasang surut peranan ulama sejak NU berdiri sampai dengan awal 1980-an saat memuncaknya konflik yang dihadapinya secara intern dan di dalam Partai Persatuan Pembangunan.(6) Sedangkan Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, menguraikan sejarah NU sejak berdirinya sampai dengan Musyawarah Nasional Ulama di Situbondo 1983.(7) Anam banyak menyumbangkan informasi sejarah yang berguna bagi tesis saya. Tetapi semua penulis di atas kurang sekali perhatiannya terhadap perkembangan pemikiran keagamaan di dalam NU menanggapi berbagai perkembangan politik dan lagi pula semua penulis di atas menyumbangkan karya mereka sebelum Muktamar XXVII 1984 berlangsung. Itulah sebabnya saya tertarik membahas perkembangan NU dalam hubungan dengan masalah kenegaraan yang sangat mendasar yaitu Pancasila. 

Mengapa kaum ulama atau NU menerima Pancasila? Mengapa 
NU meninggalkan panggung politik yang telah dimasukinya sejak 
tahun 1952 kemudan bergabung bersama kekuatan Islam lainnya 
dalam Partai Persatuan Pembangunan sejak 1973? Apakah penerimaan NU terhadap Pancasila mencerminkan sikap "apa boleh buat" akibat penyelenggaraan politik yang inisiatif sepenuhnya dipegang oleh pemerintah? Benarkah penerimaan Pancasila oleh NU karena bersifat oportunistik? 

Ada dua faktor utama yang menyebabkan para ulama bangkit dan menghimpun kekuatan organisasi Nu pada ahun 1926. Pertama kemunculan Nu secara langsung atau tidak berkait erat dengan politik penjajahan Belanda terhadap Islam. Pada mulanya Belanda tidak merasa erlu bentrok langsung dengan Islam, tetapi munculnya banyak pemberontakan selama abad XIX yang di sana sini diperkuat oleh motif keagamaan mendorong Belanda berupaya membendung gerakan-gerakan Islam.(8) Maka Belanda membuat pembatasan ketat bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji ke Mekah; sebab dalam pandangan Belanda keberanian umat Islam menentang Belanda didorong oleh kerajaan-kerajaan Islam di luar negeri.(9) "Namun hasil tindakan-tindakan pembatasan ini sama sekali negatif."(10) Pembatasan yang sangat terasa pengaruhnya di kota-kota, menyebabkan masyarakat di desa-desa memperkuat diri di bawah bimbingan para ulama atau para kyai, 

... Karena Islam tidak dapat memainkan peranan penting dalam percaturan politik di kota-kota, maka pusat-pusat studi Islam pindah ke desa dalam kompleks pesantren yang dikembangkan oleh para kyai.(11) 

Politik Belanda terhadap Islam kemudian mengalami perubahan yang cukup mendasar setelah kedatangan Snouck Hurgronje seorang yang patut disebut sebagai arsitek politik Belanda terhadap Islam di abad XX. Salah satu hasil telaahnya ialah bahwa umat Islam di Indonesia di samping taat kepada agama juga taat kepada adat. Karena itu, di satu pihak ia mengendorkan pembatasan terhadap umat Islam, misalnya orang yang akan menunaikan ibadah haji tak perlu dibatasi tetapi cukup diawasi saja. Pada pihak lain ia mengaktifkan peranan lembaga-lembaga adat dan menarik para bangsawan menjadi pendukung Belanda.(12) 

Kedua, kemunculan NU sering dikatakan sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang berhembus dari Timur Tengah yang hanya menekankan wibawa Qur'an dan Hadis saja untuk memberlakukan dan menilai Islam. Di Indonesia gerakan pembaharuan muncul dalam dua wadah yaitu Serikat Islam dan Muhammadiyah. Yang pertama adalah awal gerakan modern Islam dalam bidang politik dan yang kedua dalam bidang pendidikan dan sosial.(13) Namun hal itu bukan berarti bahwa para ulama pendiri NU tidak mengenal gerakan pembaharuan. Ketika kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dengan Timur Tengah terbuka, tercatat tiga orang tokoh yang kemudian dikenal sebagai pendiri NU, Hasyim Asyari, Abdul Wahab Hasbullah dan Bishri Sansuri, pernah belajar di Mekah.(14) Para ulama bangkit membela perikehidupan keagamaan yang berlandaskan tradisi (sunnah) dan mazhab (aliran).(15) Bagi para ulama memahami agama tidak mungkin langsung kepada sumber utama Qur'an dan Hadis, tetapi harus melalui tradisi dan yang mengetahui tradisi itu adalah para ulama.(16) 

NU adalah organisasi para ulama (bentuk jamak dari alim yang berarti orang berilmu) adalah orang-orang yang mengetahui secara 
mendalam segala hal yang bersangkut paut dengan agama.(17) Dalam tradisi Islam ulama dijuluki sebagai pewaris nabit.(18) "Tanpa mereka kontinuitas ajaran dan tradisi Islam itu tidak akan berhasil.(18) Ulama mempunyai wibawa yang kuat di mata umat. Dengan mengutip Abdullah Fadjar, Sirait merumuskan faktor-faktor yang membentuk wibawa ulama itu, 

Pertama, ulama merupakan personifikasi orang yang pengetahuan agama Islamnya luas dan dalam. 
Kedua, ulama adalah teladan orang yang patuh menjalankan syari'at agamanya. 
Ketiga, ulama adalah penjunjung moralitas Islam dan sekaljgus penterjemah ke dalam tingkah laku sehari-hari. 
Keempat, ulama merupakan tempat bertanya dan pengaduan masyarakat, baik dalam soal-soal agama maupun dalam hal-hal duniawi, dan masalah pribadi. 
Kelima, ulama merupakan tokoh yang punya kemampuan untuk membantu usaha-usaha desanya. 
Keenam, ulama mempunyai latar belakang pendidikan pondok pesantren yang sangat dihargai umat Islam. 
Ketujuh, ulama mempunyai status ekonomi yang pada umumnya lebih baik daripada umat umumnya. 
Kedelapan, ulama sering menjadi penggerak perjuangan politik.(20) 

Kesetiaan terhadap tradisi dan status mereka sebagai pemimpin keagamaan, membuat penampilan NU di panggung sejarah berbeda dari kelompok Islam lainnya. Yang diutamakan oleh NU adalah pelaksanaan hukum agama di dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan tradisi ketimbang menjalankan konsep politik yang berlandaskan ideologi keagamaan. Itulah sebabnya para ulama tetap menjalankan kegiatannya membina umat kendai pun pemerintah membatasi gerakan politik Islam. 

.. pola pikiran politik para kyai hanya didasarkan kepada kepentingan yang terbatas, yaitu kekuasaan agama dan kepentingan usaha penyebaran ajaran dan inti Islam yang sebenarnya. Dalam pola pikiran kyai terbuka kemungkinan untuk menerima kepemimpinan orang kafir selama ia tidak menghancurkan tujuan para kyai untuk menyebarkan Islam. Dalam batas-batas tertentu, pola pikiran politik ini masih tetap dipegang oleh para kyai dalam periode Indonesia merdeka.(21) 

Slamet Effendi Yusuf menyimpulkan makna kehadiran NU pada awal kemunculannya bahwa NU mampu: pertama, mengembangkan perjuangan dalam peningkatan ibadah, pendidikan, ekonomi, amal-sosial serta melakukan perubahan dengan "kearifan pada sistem budaya yang dimiliki oleh bangsa indonesia", dan kedua, bahwa perlawanan kuitural terhadap Belanda berhasil "membentuk kyai dan santri-santrinya menjadi lapisan masyarakat Indonesia yang sangat anti penjajah".(22) Kearifan budaya yang ditampilkan NU tercermin di dalam julukan yang dikenakan oleh masyarakat kepada ulama yaitu Kyai Haji (yang sering disingkat K.H.). Gelar Kyai adalah gelar tradisioinal (Jawa) yang dikenakan kepada ulama.(23) Sedangkan gelar Haji adalah sebutan untuk orang yang telah menunaikan rukun lslam yang kelima yaitu ibadah haji.(24) Dengan demikian seorang ulama adalah seorang yang memahami seluk beluk agama dan diakui wibawanya dalam membimbing masyarakat rnelaksanakan kewajiban agamanya dalam arti yang seluas-luasnya. Ulama merupakan penghubung antara tuntutan Islam dengan realita sosial, kultural dan keagamaan masyarakat. 

Sejak kemunculannya, NU selalu menunjukkan sikap fleksibel menanggapi perkernbangan politik dan puncak dari sikap fleksibelnya itu adalah menerima Pancasila menjadi asas organisasi. Studi ini ingin mengungkapkan dasar-dasar sikap fleksibelnya itu. Sesuai dengan sinyaleman Dhofier bahwa sikap NU telah sering salah dimengerti karena dinilai sangat terikat kepada ajaran sufisme (tasawuf) sehingga ia hanya menekankan kehidupan akhirat saja dan 
mengabaikan kehidupan duniawi.(25) Seolah-olah karena menekankan kehidupan akhirat ia tidak tegar dan kritis menanggapi perkembangan politik. NU sering digolongkan sebagai kelompok tradisional dan memang NU menegaskan bahwa ia adalah golongan tradisional, namun demikian hal itu tidak membenarkan penilaian bahwa NU adalah golongan yang konservatif, kolot dan tidak mampu menghadapi perkembangan zaman; seolah-olah hanya "Islam modern saja yang memenuhi harapan mampu menghadapi sesuatu perkembangan. Sambil mengutip H.A.R. Gibb, Dhofier merumuskan potensi golongan tradisional atau NU: 

Islam tradisional di mana-mana (terrnasuk di Indonesia) masih tetap lebih dominan dibandingkan dengan Islam modern. Dalam keadaan sekarang pun. Islam tradisional di Jawa masih tetap dominan,... Dalam situasi sekarang ini, organisasi NU masih terus berkembang ... 

Keberhasilan Islam tradisional dalam menghimpun kekuatan yang besar di Jawa dewasa ini bukan semata-mata karena jumlah pengikutnya lebih banyak daripada Islam modern; tetapi juga karena kuatnya solidaritas dan integritas para penganutnya. Tidak seperti kebanyakan organisasi sosial, keagamaan dan politik lainnya yang sering kali menderita kelemahan-kelemahan dan pertentangan di dalam, NU selalu berhasil menghindari keduanya...(26) 

Untuk mengkaji lebih lanjut perkembangan pernikiran keagamaan di dalam NU saya mencoba mengajukan beberapa hipotesa: 
— Berdirinya NU sebagai organisasi ulama harus dimengerti berdasarkan perkembangan Islam di Nusantara (khususnya Jawa) 
sejak awalnya dan perkembangan Islam pada awal abad XX atau akhir abad XIX. 
— Sikap fleksibel NU dalam menanggapi perkembangan politik 
bukan sikap oportunis melainkan sikap yang diambil berlandaskan sikap keagamaan yang tradisional, dalam menanggapi perkembangan politik NU selalu mencari landasan sikapnya sikap yang dipilih dan 
ditampilkan dengan penuh kesadaran. Karena itu penerimaan NU atas Pancasila bukan karena tekanan eksternal tetapi karena sikap keagamaan. 
— Penerimaan NU atas Pancasila adalah keputusan paling tepat bukan saja sesuai dengan perkembangan politik, tetapi juga sesuai dengan hakikat NU sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah). Dengan kembali menjadi organisasi keagamaan (jamiah diniyah) NU meraih dua manfaat. Pertama, NU dapat mendayagunakan segala potensinya untuk membina kehidupan umat secara lebih sunggah-sungguh; karena selama menjadi organisasi politik NU telah larut di dalam konflik baik secara intern maupun dengan kekuatan politik Islam lainnya akibat memperjuangkan pengaruh dan status politik. Kedua NU dapat memulihkan kembali peranan ulama sebagai penentu segala gerak langkahnya; karena selama menjadi organisasi politik peranan ulama telah terdesak mundur oleh kaum politisi. 

Tulisan ini bukanlah sebuah uraian sejarah tetapi menggunakan pendekatan sejarah; fakta sejarah diketengahkan sepanjang berguna untuk melihat perkembangan pemikiran keagamaan. Metode yang saya pergunakan adalah metode deskriptif dan analisis. 

Untuk menguji hipotesa di atas, saya akan membagi uraian dalam lima bab. Bab I membahas latar belakang berdirinya NU. Pertama-tama akan diuraikan perkembangan Islam di Indonesia, pembahasan dititikberatkan pada pengaruh sufisme yang menyebabkan Islam (khusus di Jawa) menyerap warisan kebudayaan Hindu-Budha yang hidup di dalam masyarakat. Pengaruh sufisme menyebabkan Islam diterima bukan sebagai pengganti yang lama tapi sebagai suatu Kontinuitas terhadap yang lama. Selanjutnya diuraikan pula kemunculan organisasi Serikat Islam dan Muhammadiyah, keduanya adalah perwujudan gerakan pembaharuan Islam (Islam modern). Dengan semangat rasionalisme gerakan pembaharuan menyerang kehidupan keagamaan yang tradisional. Tujuan kita bukan membuat dikhotomi di kalangan Islam tetapi untuk memperjelas adanya perbedaan cita-cita dan karakter antara NU sebagai perwujudan golongan tradisional dengan gerakan pembaharuan. 

Bab II menguraikan berdirinya NU; peristiwa-peristiwa yang mendahului dan makna tradisi bagi NU. Di sini akan diuraikan betapa kuatnya napas keagamaan dan peranan ulama dalam berdirinya NU. Perhatian utama akan diberikan pada pengertian ahlusunnah wal jamaah (umat yang mengikuti tradisi nabi Muhammad) menurut NU. Juga akan diuraikan keterlibatan NU dalam perjuangan kemerdekaan yang mampu menggalang kerja sama dengan kelompok Islam lainnya. 

Bab III membahas kiprah NU di awal kemerdekann. NU mulai memasuki panggung politik bersama dengan kelompok pembaharuan dalam Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Di sini akan terungkap perbedaan karakter organisasi NU dengan kalangan Islam lainnya, NU tidak lama bergabung di dalam Masyumi, karena para pemimpin partai yang berasal dari kalangan pembaharuan berusaha mengurangi peranan ulama. Ketika peranan ulama yang semula sebagai penentu kebijaksanaan partai dikurangi menjadi penasehat saja, maka NU keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik (1952). 

Bab IV membahas kiprah NU sebagai partai politik. Dalam Bab IV ini pertama sekali akan dibahas prestasi dengan acuan hasil yang dicapai dalam pemilihan umum. Kemudian akan dibahas sikap keagamaan NU dalam menanggapi berbagai perkembangan politik. Dan akan dibahas pula masalah yang dihadapi NU setelah bergabung dengan kekuatan politik Islam lainnya di dalam Partai Persatuan Pembangunan. 

Bab V merupakan bab terakhir yang membahas penerimaan NU atas Pancasila menjadi asas organisasi. Bab ini akan didahului oleh uraian tentang inisiatif yang diambil oleh ulama agar NU kembali menjadi organisasi keagamann (jamiah diniyah) yang terkenal dengan semboyan Kembali Kepada Khittah 1926, NU kembali kepada karakter atau semangat 1926, saat ia berdiri sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah). Kemudian saya akan mencurahkan perhatian pada dasar-dasar keagamaan yang dikemukakan di dalam Muktamar NU XXVII 1984 di Situbondo Jawa Timur. Muktamar adalah lembaga tertinggi di dalam NU yang menentukan semua gerak langkah organisasi. Dan juga akan dibahas sikap kemasyarakatan dan program NU dalam menapak masa depan sebagaimana dirumuskan oleh Muktamar. 

Seluruh uraian akan ditutup dengan kesimpulan.
 

______________________

  1. Pancasila ditetapkan menjadi satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial dan politik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1983 yang dituangkan di dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (sering disingkat GBHN). Lihat Undang-Undang Dasar, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Garis-Garis Besar Haluan Negara, (Sekretariat Negara Republik Indonesia, tanpa tahun), hlm. 60. Untuk selanjutnya cukup disebut Undang-Undang.
  2. Lihat, A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, semula tesis Doktor pada Universitas Parahyangan Bandung 1984, (Jakarta. Centre For Strategic and International Studies — CSIS, 1985), hlm. 25-54, 279-283.
  3. Ibid., hlm. 55-172, 284-310.
  4. Lihat, Hasil Muktamar Nahdlatul Ulama ke 27 Situbondo, (Semarang: Sumber Barokah, tanpa tahun). Untuk selanjutnya akan disebut Muktamar Situbondo.
  5. Slamet Effendi Yusuf, et al., Dinamika Kaum Santri, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983).
  6. Maksoem Machfoedz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, (Surabaya: Yayasan Kesatuan Ummat, tanpa tahun, kata pengantar 1982).
  7. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nabdlatul Ulama, (Sala: Jatayu, 1985).
  8. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terjemahan dari "The Crescent and the Rising Sun Indonesia under the Japanese Occupation 1942-1945"; (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 37-39.
  9. Ibid., hlm. 38.
  10. Ibid., hlm. 39.
  11. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, semula tesis Ph.D pada Australian National University Canberra tahun 1980, (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi—LP3ES, 1983), hlm. 13.
  12. Lihat, Benda, op. cit., hlm. 40-47.
  13. Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, diterjemahkan dari 'The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942', (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial— LP3ES, 1980), hlm. 37-179. Untuk selanjutnya disebut, Noer, Gerakan Moderen. Resensi buku ini ditulis oleh Victor Tanja dalam Prisma, nomor 5, Mei 1981, hlm. 79-82.
  14. Effendi Yusuf, et al., op, cit., hlm. 5.
  15. Ibid, hlm. 27.
  16. Lihat, Dhofier, op. cit., hlm. 151-152.
  17. Lihat, JI Sirait, Ulama Pemimpin Informal Umat Islam, tesis Master Theologia pada Sekolah Tinggi Theologia Jakarta 1983 (Perpustakaan Sekolah tinggi Theologia Jakarta), hlm.18-19.
  18. Ibid., hlm. 27.
  19. Ibid., hlm. 18.
  20. Ibid., hlm. 43-44.
  21. Dhofier, op. cit., hlm. 13.
  22. Effendi Yusuf, et al., op. cit., hlm. 34-35.
  23. Di samping itu juga dikenakan kepada barang-barang keramat dan orang-orang tua pada umumnya. Lihat, Dhofier, op cit., hlm. 55.
  24. Lebih jauh tentang ibadah haji, lihat, M. Noor Mathdawam, Ibadah Haji dan 'Umrah, (Yogyakarta: Yayasan Bina Karier, 1985).
  25. Dhofier, op. cit., hlm. 2.
  26. Ibid., hlm. 4. Cetak tebal dari saya.

 
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt