[ Einar Martahan Sitompul / N U dan Pancasila ] |
C.
Nahdlatul Ulama Kembali Menjadi Organisasi Keagamaan
Penerimaan atas Pancasila berkait erat dengan semangat NU untuk kembali menjadi organ sasi keagamaan (Jamiah diniyah). Sebab bila ia sudah mengakui negara dan Pancasila sah menurut Islam maka peranan sebagai partai politik menjadi tidak relevan lagi. Apalagi NU sudah menyadari selama menjadi partai politik ia telah banyak menghabiskan tenaga untuk prestasi politis sedangkan usaha-usaha keagamaan terbengkalai. Kalau segala aspirasi politis sekarang harus berlandaskan Pancasila maka jalan yang terbaik bagi kehidupan dan pengembangan agama adalah dengan benar-benar menjadi organisasi keagamaan! Itulah yang ditegaskan dengan semboyan Kembali Kepada Khittah (Semangat) 1926 saat NU berdiri sebagai organisasi keagamaan. 1. Makna Khittah 1926 Dalam keputusan Munas 1983 tentang "Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926", ada empat hal sebagai konsiderans. Pertama, sebagai organisasi keagamaan NU telah mengalami hambatan karena kurangnya ikhtiar kreatif yang sesuai dengan kebutuhan masa; Kedua, karena keterlibatan NU di dalam kegiatan politik praktis secara berlebihan, NU menjadi kurang peka menanggapi perkembangan sehingga NU tidak lagi berjalan sesuai dengan hakikatnya sebagai organisasi keagamaan; Ketiga, sudah menjadi tekad NU untuk senantiasa terikat dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara; Keempat, ulama sebagai unsur utama NU menyadari keprihatinan terhadap perkembangan NU dan merasa perlu menegaskan pedoman dan petunjuk bagi perkembangan organisasi.(99) Selama menjadi partai politik NU telah mengalami kekaburan identitas; NU sebenarnya adalah organisasi keagamaan tetapi dengan menjadi partai politik maka ia lebih terpaku pada prestasi dan prestise politis ketimbang menanggapi perkembangan di sekitarnya secara keagamaan. Kembali menjadi organisasi keagamaan adalah jalan terbaik bagi NU untuk membenahi kelemahannya selama menjadi partai politik dan untuk menegaskan kembali peranan ulama. Khittah 1926 adalah ciri-ciri khas NU sebagai organisasi keagamaan yang dipimpin oleh ulama; melalui peranan ulama, NU berusaha menghimpun umat Islam untuk "melakukan kegiatan-kegiatannya yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia''.(l00) Ciri-ciri khas atau wataknya sebagai organisasi keagamaan itu telah kabur di saat ia menjadi partai politik. Maka Khittah 1926 itu dirumuskan oleh Munas 1983 di Situbondo,
... Khittah NU dengan demikian dalam artinya yang nyata merupakan pencerminan dari apa yang dapat dilihat pada niat dan dorongan berdirinya, rumusan ikhtiar yang pernah dilakukan di saat berdirinya serta pada intisari sejarah perjalanan hidupnya dalam pengabdian. Pemulihan Khittah NU 1926 dengan demikian tidak lain kembali kepada semangat yang dilandasi oleh kekuatan yang mendorong didirikannya jami'ah ini pada tahun 1926 dan tujuan yang hendak dicapainya dengan menyadari sepenuhnya terhadap setiap perubahan yang terjadi pada lingkungan masyarakat di mana NU melakukan khidmatnya.(101) faham ahlusunnah wal jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.(l02) Konsekuensi dari Khittah 1926 NU melepaskan ikatannya dengan organissi politik. Dengan perkataan lain NU melepaskan hubungannya dengan PPP. "Nahdlatul Ulama sebagai jam'iyah secara organisatoris tidak terikat lagi dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun juga."(l03) Untuk memperkuat hal itu Munas 1983 mengeluarkan "Rekomendasi Larangan Perangkapan Jabatan Pengurus Nahdlatul Ulama dengan Jabatan Pengurus Organisasi Politik."(l04) Salah satu dasar pertimbangan adalah perangkapan jabatan di samping berakibat "terbaginya perhatian dan kesungguhan" tetapi juga "dapat menghambat usaha penampilan citra dan pelaksanaan kembalinya Nahdlatul Ulama sebagai jam'iyah diniyah Islamiyah."(105) Sudah tentu larangan ini yang dengan tegas dilaksanakan oleh NU, karena melihat duduknya tokoh NU di dalam PPP telah berakibat dilalaikannya perkembangan NU, bahkan kemelut di dalam PPP secara langsung atau tidak telah menimbulkan pertikaian di antara pimpinan NU sendiri. Pelarangan itu merupakan penjabaran praktis dari Khittah 1926! Tampaknya NU ingin mencegah peranan ulama dijadikan legitimasi semboyan-semboyan politis sesuatu organisasi politik yang akan mengakibatkan kebingungan umat. Untuk menjamin aktivitas NU sesuai dengan Khittah 1926 maka Muktamar
mempertegas peranan ulama secara organisatoris, karena sebagaimana telah
diuraikan di atas (Bab IV) dilihat dari sisi fungsionalnya kemelut dalam
tubuh NU berkisar makin kaburnya peranan ulama yang merupakan pusat organisasi.
Munas 1983 menggariskan wewenang Syuriah sebagai berikut:
Pengurus Tanfidziyah sebagai pelaksana tugas sehari-hari mempunyai kewajiban memimpin jalannya organisasi sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh pengurus Syuriah.(107) Menarik pula untuk dicatat bahwa NU menghapus istilah ketua umum dan
menggantinya dengan sebutan "ketua" saja. NU tidak ingin terjadi penafsiran
terhadap AD/ART yang mengaburkan peranan ulama. Dengan membenahi organisasi
bertumpu pada peranan Syuriah NU ingin mewujudkan Khittah 1926 secara konsepsional
dan operasional.
2. Sikap Kemasyarakatan Nahdlatul Ulama Berangkat dari Khittah I926, NU merumuskan sikap kemasyarakatan yang dihayatinya sejak terbentuk dan yang hendak dikembangkan sesuai dengan situasi baru kini yang dihadapinya. a. Sikap tawasuth dan i'tidal (sikap tengah dan lurus)
Istilah tawasuth terdapat di dalam Sura Al-Baqarah (Sura 2) ayat 143.(109) Dalam ayat ini umat Islam disebut sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan); Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umat yang
pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)mu.
Dan kami tidak menjadikan kiblat yang engkau menghadap kepadanya (bait
maqdis), melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang berbalik..(110)
Sikap pertengahan dipadu dengan sikap lurus atau adil (i'tidal).(112) Sikap lurus atau adil dapat kita baca di dalam Sura 5:8 : ".. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."(113) Dengan sikap tengah dan adil, NU mengakui bahwa umat Islam secara keseluruhan adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang majemuk secara keagamaan, karena itulah ia ingin menjalankan peranannya sebagai panutan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Dengan sikap tengah dan adil NU berusaha memelihara atau menjaga diri (taqwa), yaitu menjalankan perintah Allah ditengah-tengah kehidupan bersama. Karena negara dan bangsa sudah diakui sah keberadaannya, maka tugas NU sekarang adalah mengarahkan kehidupan masyarakat agar selalu berada dalam wawasan keagamaan. b. Sikap Tasamuh (Toleran)
Sikap yang demikian telah dibuktikan oleh NU; sebelum NU berdiri para ulama telah bergabung dengan kelompok pembaharuan dalam Kongres Umat Islam Indonesia.(115) Dan berulangkali NU dapat bergabung dengan kalangan Islam lain sepanjang semua kekuatan memusatkan perhatian kepada tujuan yang sama. Dengan sikap tasamuh (toleran) NU dapat menerima dan bekerjasama dengan kalangan Islam lain kendatipun terdapat perbedaan dalam masalah keagamaan. Dengan kata lain sikap tasamuh adalah sikap "lapang dada, yaitu tidak terburu-buru menerima atau menolak saran atau pendapat orang lain."(116) Lawan dari sikap tasamuh adalah sikap ta'asub yang berarti sikap "mempertahankan pendirian atau keyakinan dengan keras/teguh, tidak dengan dipikirkan secara matang, bahkan tidak bersedia menerima pendapat orang lain."(117) Sikap yang demikian "dicela dalam Islam karena hanya akan mendatangkan kerugian atas dirinya, orang lain dan tidak menghargai cara-cara musyawarah yang dianjurkan Islam.(118) Sejak semula para ulama tidak tertarik membahas masalah yang dipertikaikan oleh umat Islam (khilafiyah) seperti yang dilancarkan oleh kaum pembaharuan. Yang penting bagi para ulama (NU) adalah penghayatan agama ketimbang membahas kebenaran agama itu sendiri. Bagi mereka sepanjang suatu kebiasaan berguna untuk menopang penghayatan, ia dapat diterima dan dikembangkan menjadi tradisi. Secara tidak langsung sikap ini membenarkan pengamatan von Grunebaum tentang watak Islam, bahwa sejak awal Islam berkembang di dalam kemampuannya berintegrasi dengan kebudayaan yang ditemuinya; Kemantapan Islam ..., yaitu mengadakan keseimbangan antara tuntutan tradisi universal dan lokal telah menetralkan akibat-akibat merusak yang timbul...(119) Dalam sikap tasamuh ini diutamakan kelestarian masyarakat Islam dan masyarakat secara umum. Diakui adanya perbedaan sikap dan penghayatan dalam agama maupun dalam hidup kemasyarakatan yang tak mungkin dihapuskan begitu saja, karena itulah perlu sikap toleran. Dengan demikian NU mempunyai potensi yang lebih besar mengembangkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. c. Sikap Tawazun (Seimbang)
Sikap ini menekankan keseimbangan pengabdian manusia terhadap Allah dan sesama manusia. Menurut Anam rujukan sikap tawazun ini adalah Sura 57:25 (Al-Hadiid)(121): "... dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan .." (bandingkan Sura 42:17) "Apakah keseimbangan (neraca) dalam ayat ini menyatakan pemberian Tuhan kepada manusia agar mampu menimbang mana yang baik dan mana yang jahat."(122) Jika demikian sikap tawazun adalah sikap yang senantiasa berusaha mencari cara atau jalan yang tepat mewujudkan pengabdian terhadap Allah di dalam masyarakat yang sesuai dengan tuntutan zaman; yaitu bagaimana "menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang". Dengan kata lain tradisi yang dihayati NU adalah senantiasa menjadi modal utama menentukan sikap yang tepat dalam masa kini dan mendatang! d. Amar ma'ruf nahi munkar
Ungkapan amar ma'ruf nahi munkar sangat terkenal di kalangan umat Islam yang merupakan ungkapan singkat dari ayat Qur'an yang sering dikutip: "al-amru bi'l-ma'ruf wa'l nahyu 'ani'l-munkar" yang biasanya diartikan "memerintahkan kepada yang baik, dan melarang apa yang buruk" (lihat Sura 3:104, 110,114; Sura 7:157; Sura 71:112 dan Sura 22:41).(124) Apa yang baik bagi "kehidupan bersama" atau yang bertujuan meningkatkan
"nilai-nilai kehidupan", bagi NU adalah tugas keagamaan yang dijalankan
dalam sikap tengah dan adil, sikap toleran, dan sikap seimbang.
|
|