[ Einar Martahan Sitompul / N U dan Pancasila ] |
B.
Dasar-dasar Pemikiran Nahdlatul Ulama Menerima Pancasila
Penerimaan NU atas Pancasila benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang dan mendalam. NU adalah organisasi kemasyarakatan yang pertama menuntaskan penerimaannya atas Pancasila.(32) Kendati demikian hal itu bukanlah alasan untak menuduh bahwa penerirnaan
itu karena ia bersikap akomodatif, dan juga tidak benar bahwa kembalinya
NU menjadi organisasi keagamaan atau meninggalkan politik praktis sebagai
sikap yang emosional.(33) NU bukan hanya pertama menerima tetapi juga yang
paling mudah menerima Pancasila. Muhammadiyah menerima Pancasila setelah
terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.(34)
1. Konsep Fitrah Penerimaan NU benar-benar telah dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan. Dalarn muktamar itu NU memahami ulang dasar-dasar keagamaannya dan dari sana merumuskan sikapnya terhadap perkembangan yang sedang dihadapinya. Dasar-dasar keagamaan paham ahlusunnah wal jama'ah dijabarkan sebagai berikut: Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fithri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.(35) Fithri atau fithrah (sifat asal, keadaan murni) adalah konsep yang sangat penting dalam Islam. Fithrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk menemakan Tuhan, demikian Ali Issa Othman mengawali bukunya tentang Manusia Menurut Al-Ghazali.(36) Dorongan hati (fithrah) itulah yang menyebabkan manusia menyerahkan diri (islam ) kepada Allah; Inilah Islam pada hakekatnya: menyerahkan diri (self-commitment) sebagai responsi terhadap gerak hati yang tertanam di dalam fitrah manusia— suatu kedamaian batin yang tidak dapat diperoleh tanpa menemukan Allah dan menyembah Dia.(37) Dalam Quran seluruh alam dan manusia pada dasarnya tunduk (islam) kepada Allah (lihat Sura 22:18; 16:49,50; 13:15; 3:83; dan lain-lain).(38) Bila dianalisis lebih lanjut, maka pengertian islam menurut Quran mencakup hal-hal sebagai berikut, sebagaimana dirumuskan oleh Othman, Pertama : islam dari kosmos;
Dengan kata lain segala sesuatu adalah islam secara rela atau terpaksa dan hal itu adalah konsekuensinya, segala sesuatu adalah ciptaanNya sebab tidak ada di dalam alam yang di luar jangkauan Secara singkat islam tidak terbatas pada manusia saja, islam mencaku seluruh unsur yang ada, islam dari segala "sesuatu" dapat secara sukarela atau terpaksa. Tetapi di dalam kedua-duanya ia tetap merupakan muslim, karena jika tidak demikian ia harus berada di luar hal-hal yang ada dan bebas dari segala hukukmnya.(40) Menurut al-Ghazali, dalam upaya manusia mencapai kebahagiaan ia selalu terancam olein "kecintaan terhadap nafsu" yang dapat menghalanginya mengikuti fithrah.(41) Berdasarkan hal itu al-Ghazali melihat "ada tingkatan-tingkatan dalam islam, yang sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya".(42) Sikap keagamaan NU seperti yang dirumuskan di atas dapat dipahami melalui pola pemikiran al-Ghazali ini. NU tidak bersikap antitesis terhadap suatu nilai masyarakat. Sepanjang suatu nilai atau sistem di dalam masyarakat tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, maka ia mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan di dalam Islam. Dalam pengertian itulah ia bersikap "menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia". Sikap ini berbeda dengan sikap kaum pembaharuan, seperti yang sering dilontarkan oleh Natsir bahwa —dengan mengutip H.A.R. Gibb— "Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia adalah satu kebudayaan yang lengkap".(43) Sikap seperti yang dilontarkan Natsir ini cenderung membawa Islam ke dalam sikap antitesis; Islam sebagai suatu totalitas yang lengkap akan dihadapkan dengan sistem lain yang dengan mudah akan dicap tidak islami dan pada giliranya akan menimbulkan pertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada. Ketika membicarakan pemikiran teoritis Islam, Wahid membantah bahwa Islam mempunyai konsep baku tentang negara.(44) Pemikiran yang demikian kata Wahid dianut oleh pemikiran idealistik. Bertentangan dengan itu ia mengajukan pemikiran realistik, Jenis pemikiran realistik tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam, melainkan lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis dapat ditampung dalam pandangan Islam tentang negara. Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan... membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan atau tercegah lagi. Dengan kata lain, kesepakatan akan bentuk negara... dilandaskan... pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu. Inilah yang membuat mengapa hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara...(45) Berbicara tentang sesuatu masyarakat dari sudut pandangan
Dilihat dari sudut pandangan al-Ghazali itu maka titik berangkat menilai masyarakat bukanlah sejumlah doktrin yang dikembangkan secara subyektif, melainkan perkembangan masyarakat dari sudut potensi yang terdapat dalam diri manusia sebagai ciptaan Allah (fithrah). Titik berangkat dari fithrah membuat NU bersikap inklusivistis karena mengakui "nilai-nilai yang baik yang sudah ada" dan akan bersikap positif-kritis karena bertujuan "menyempurnakan" nilai-nilai itu. Dengan meminjam istilah Wahid NU akan menjadikan nilai-nilai yang sudah ada sebagai "persambungan vertikal"(52), untuk mengantarkan masyarakat berjalan sesuai dengan tujuan Islam. Dalam Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam seperti
yang saya kutip di atas, dalam bagian pertama ditegaskan
Mencari kebenaran meminta sang pencarinya untuk membedakan antara hal-hal dan tujuan yang penting dan perlu yang ada dalam masyarakat dengan hal-hal dan tujuan-tujuan yang tidak penting dan tidak perlu.(55) Dalam deklarasi termaktub penerimaan atas Pancasila diputuskan sebagai dasar dan jalan bagi NU untuk menjalankan syariat (hukum agama) Islam; Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan
dari upaya ummat Islam Indonesia untuk menjalankan syari'atnya.
2. Konsep Ketuhanan NU menilai rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 (ayat
1) UUD 1945 —yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan tauhid menurut
pengertian keimanan Islam(56). Pasal 29 UUD 1945 itu berbunyi:
Di sini yang dinilai oleh NU adalah kedudukan agama dalam negara atau hubungan agama dengan negara. Sebagaimana kita ketahui hubungan antar agama dan negara adalah bersifat rumit dan krusial. Secara teoritis terdapat empat kemungkinan hubungan antara negara dan agama:
Sebagai Negara Pancasila kita tidak menganut faham sekuler, sehingga Negara dan Pemerintah sama sekali bersikap tidak memperdulikan peri kehidupan beragama kita. Karena itu Pemerintah tidak menempatkan usaha dan kegiatan pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama sebagai masalah masyarakat dan umat beragama semata-mata. Di lain pihak, negara kita juga bukan negara agama dalam arti didasarkan atas salah satu agama. Dalam hubungan ini, maka negara tidak mengatur dan tidak ingin mencampuri urusan syariah dan ibadah-ibadah agama yang umumnya terbentuk dalam aliran agama masing-masing.(59) Prinsip Ketuhanan yang merupakan pokok perdebatan sengit di antara kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler sejak sebelum kemerdekaan diselesaikan secara tuntas oleh NU dengan menyatakan bahwa sila itu mencerminkan tauhid Islam. Mencerminkan berarti membayangkan atau menggambarkan sesuatu perasaan, keadaan, batin, dan sebagainya.(60) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dinilai sudah membayangkan atau menggambarkan apa yang diinginkan oleh tauhid Islam. K.H. Ahmad Siddiq yang sejak Muktamar 1984 terpilih sebagai Rois Am, orang yang boleh dikatakan konseptor utama keputusan Munas 1983 dan Muktamar 1984, dalam makalahnya yang disampaikan pada Muktamar mengatakan: a) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan
Islam akan keesaan Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid;
Pengertian mencerminkan tampaknya sudah dipilih secara matang. Tidak ada disebutkan bahwa itu sesuai dengan ajaran tauhid Islam. Bukankah mempersamakan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tauhid dibantah oleh kalangan nasionalis sekuler dan kalangan lainnya yang non-Islam?(62) Juga tidak dikatakan bahwa itu tak ada kaitan dengan tauhid Islam. Al-Ghazali dalam sebuah tulisannya (Essai Mengenai Jerusalem) yang melukiskan perjalanannya berkelana sebagai seorang sufi yang mencari kebenaran, tulisan yang ditujukan kepada kaum awam berkata tentang asal mula kepercayaan: Kepercayaan kepada Allah lahir di dalam diri setiap manusia karena fitrahnya (sifat yang ditanamkan Allah ke dalam diri manusia sewaktu menciptakannya), dan tak seorang pun dapat menghindari dorongan fitrahnya untuk mencari pengetahuan mengenai Allah ... lagi pula, di dalam Al-Qur'an kita jumpai banyak sekali "pertanda-pertanda" yang dapat berperan sebagai dasar kepercayaan kepada Allah ... yang mudah dipahami ... untuk membuatnya percaya kepada Pencipta Yang Tunggal yang memerintah dan mengendalikan alam semesta.(63) Selanjutnya, al-Ghazali mengenal tingkatan pemahaman akan keesaan Allah sehubungan dengan perkembangan diri agar sampai kepada pengenalan yang penuh —menurut kacamata sufisme— tetapi sepanjang untuk orang-orang awam al-Ghazali cukup puas dengan pemahaman yang sederhana. Sejauh kepentingan orang-orang awam, Al-Ghazali merasa cukup puas bahwa usaha mereka untuk mencari Allah cukup dijamin oleh dorongan alamiah dari fitrah masing-masing dan petunjuk-petunjuk (syawahid) yang banyak serta beraneka ragam yang dapat kita jumpai di dalam Al-Qur'an ..(64) Ditinjau dari pandangan al-Ghazali ini ditegaskan bahwa kendatipun Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dikatakan identik dengan Tauhid bukan berarti dapat dilepaskan dari penilaian Islam Secara universal karya Allah seluas ciptaan dan dapat dikenal melalui ciptaanNya oleh sebab itu Islam hanya perlu mengembangkan fithrah manusia itu. Karena itu Islam tidak akan menerima suatu negara sekuler sebab hal itu melepaskan sesuatu bidang dari keagamaan. Sebab Islam tidak mengenal pemisahan agama dari politik. Bagi NU yang penting ia dapat menegakkan nilai-nilai keagamaan (Islam) di segala bidang atau wilayah kehidupan. Dengan kata lain Islam dapat menjalankan fungsinya terhadap masyarakat. Fungsi itu, menurut Wahid ketika ia berbicara tentang kebudayaan adalah fungsi inspiratif, yaitu dapat "memberikan kekuatan pendorong"; dan fungsi normatif, yaitu dapat "mengatur dan mengarahkan" kehidupan masyarakat"(65). Peluang untuk itu sudah terbuka secara potential dalam Negara Pancasila, karena dalam negara ini NU menilai negara Indonesia terjamin wawasan keagamaannya! Ketuhanan Yang Maha Esa sekarang menjadi suatu fithrah bangsa Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut sehingga tercapai tingkat pemahaman Keesaan yang sesuai dengan penilaian Islam dan pada gilirannya tercapai pula masyarakat keagamaan (Islam) yang sejahtera! Pada titik sebagai sumber inspiratif dan sekaligus batasan normatif dari ajaran inilah sebuah konsep menyeluruh tentang Islam sebagai Ad-Din (Agama, huruf besar untuk menunjukkan klaim kebenaran tunggal bagi dirinya...) ... Islam sebagai keimanan, hukum agama (Syari'at), dan pola pengembangan aspek-aspek kehidupan, dalam totalitasnya berfungsi sebagai jalan hidup yang akan membawakan kesejahteraan bagi umat manusia. Dalam totalitas jalan hidup itu dirumuskan arah, orientasi, wawasan dan lingkup kehidupan perorangan dan bermasyarakat manusia, dengan pola hubungan antara kaum muslimin dan yang bukan muslimin diatur didalamnya ... Dalam keadaan demikian, tidak lagi akan ada hal-hal yang tidak berwawasan keagamaan, antara wilayah agama dan wilayah-wilayah lain sudah tidak ada perbedaan lagi.(66) Konsep Islam sebagai sesuatu yang menyeluruh (ad-Din) adalah
konsekuensi logis dari ajaran Keesaan Allah (tauhid). Ia adalah
konsep bukan ideologi baku yang tinggal diterapkan saja dalam
Wawasan keagamaan yang diutamakan oleh NU diperkuat pula oleh Pembukaan UUD 1945 yang memuat anak kalimat "Atas berkat rakhmat Allah".(70) Menurut Sidjabat ketika membahas konsep Ketuhanan dalam sila Pancasila dalam rangka tuntutan kalangan nasional muslirn agar negara berdasarkan Islam, mengatakan bahwa anak kalimat "Atas berkat rakhmat Allah" digunakan untuk memperkuat tuntutan itu.(71) Bagi kalangan muslim nama itu khas nama Islam sebab tidak ada Allah lain kecuali yang dikenal oleh kaum muslimin melalui Quran ("Qur'anic Allah").(72) Kendatipun penghayatan keagamaan di kalangan Islam di Indonesia dapat saja diliputi oleh pengaruh sinkretisme den mistisme, mempercayai Allah sebagai yang Esa dan maha kuasa tetap merupakan sesuatu yang mutlak.(73 Memang, Pancasila itu sendiri bersifat filosofi, tetapi bila kita perhatikan rumusan sila pertama Pancasila dan anak kalimat "Atas berkat rakhrnat Allah" di dalam Pembukaan UUD 1945 maka negara Indonesia benar-benar mengutamakan landasan dan wawasan keagamaan bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dan wawasan keagamaan itu menurut Mukti Ali sesuai dengan watak kehidupan bangsa Indonesia. Dengan memperhatikan UUD 1945 dengan Pembukaannya kami berpendapat bahwa pendekatan terhadap UUD 1945 harus pendekatan agama. Ini berarti bahwa pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengertian agama, dan bukan pengertian falsafi. Hal ini disebabkan karena yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah "Allah", dan "Allah" adalah istilah agama, bukan istilah filsafat ... Indonesia dengan Pancasilanya adalah bukan negara sekuler dan tidak teokrasi. Di dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Mana Esa... memberikan bimbingan kepada tindak laku bangsa Indonesia. Ya, bahkan kesanggupan Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Mungkin hal ini juga memang sesuai dengan watak kehidupan bangsa Indonesia ... yang hidup dan kehidupannya selalu religious ..(74) Watak kehidupan bangsa Indonesia yang religius yang dibakukan dalam
bentuk UUD 1945 —yang sebenarnya merupakan pengejawantahan berbagai tradisi
keagamaan— bila disimak lebih dalam tidak jauh berbeda dengan watak NU
sebagai organisasi keagamaan yang tradisional khususnya penerimaan NU atas
tradisi sufistik maka dengan mudah NU menerima Pancasila dengan mengutamakan
landasan keagamaan. Dengan menerima Pancasila berdasarkan pertimbangan
theologis seperti diuraikan di atas, NU telah menegaskan sikapnya bahwa
watak keagamaan (bagaimanapun itu ditafsirkan) sedikit banyak telah memenuhi
aspirasi Islam, yaitu segala tindak-laku di dalam masyarakat —terutama
kebijakan-kebijakan politis— akan menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai
tolok ukur!
3. Pemahaman Sejarah Pertimbangan di atas dalam menerima Pancasila diperkuat oleh Muktamar dengan mengetengahkan peranan umat Islam menentang penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Beberapa pokok pikiran K.H. Ahmad Siddiq menegaskan:
Nilai sejarah terletak pada bagimana kita menafsirkan atau memahaminya
dan tak jarang penafsiran atau pemahaman itu disesuaikan dengan kebutuhan
zaman.(77) Dengan diperkuat oleh dalil-dalil hukum Islam (fiqh)
K.H. Ahmad Siddiq mengambil kesimpulan keagamaan:
Dari pendapatat-pendapat yang dijadikan dalil untuk kesimpulan keagamaannya,
dapat kita baca nama-nama yang terkenal dalam sejarah Islam seperti Abu
Huraira(79), Ahmad ibn Hanbal(80), Ibn
Islam di Indonesia yang kelihatan statis dan tenggelam dalam kitab-kitab salaf abad pertengahan itu sebenarnya mengalami perubahan perubahan yang fundamentil; perubahan-perubahan itu demikian perlahan, rumit dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamatinya secara hati-hati dan teliti dapat mengetahui perubahan tersebut.(82) Selanjutnya dia mengatakan —saya rasa tentang potensi ulama sebagai penafsir ajaran agama, Karena pemahaman atas isi ajaran agama dipegang oleh pemuka-pemuka agama (religious elite) yang biasanya juga menjadi kelompok pimpinan (elite class) dalam hampir semua struktur masyarakat, maka sesuai dengan dinamika yang dimiliki oleh kelompok pimpinan itu sendiri, mau tidak mau isi ajaran-ajaran agama itu akan selalu mengalami proses pembaharuan pemahamannya.(83) Pengakuan atas negara berdasarkan dua dalil. Pertama berasal dari sebuah
hadis yang berbunyi: "Tak diperkenankan bagi tiga orang yang berada di
sebuah lokasi di bumi ini kecuali menetapkan salah satu di antara mereka
sebagai pemimpin".(84) Dalil ini mirip dengan asal mula negara menurut
teori alamiah (naturalis); menurut Aristoteles yang pertama kali mengemukakannya
bahwa negara adalah ciptaan alam karena itulah sudah kodrat manusia untuk
hidup bernegara.(85) "Negara adalah organisasi yang rasional dan ethis
... Allah telah pula menciptakan ke dalam diri manusia hasrat yang tak dapat dihindarinya untuk berhubungan dengan manusia-manusia lain. Dengan perkataan lain, dalam menentukan sifat manusia seperti telah dilakukan-Nya itu, Allah telah membuat masyarakat sebagai sebuah keharusan.(87) Yang penting di sini bukanlah kodrat manusia melainkan adalah penegasan
bahwa adanya negara sesuai dengan kehendak Allah atas manusia ciptaanNya.
Karena seperti yang ditegaskan oleh Rahman Zainuddin dengan mengutip Ibn
Khaldun bahwa timbulnya kepemimpinan dalam masyarakat menurut Islam berkait
erat dengan kelanjutan kehidupan manusia.(88) "Dalam pandangan Islam, perincian-perincian
tentang bagaimana penunjukan penguasa dan bentuk-bentuk pelaksanaan kekuasaan
seluruhnya terserah kepada manusia itu sendiri".(89) Yang kedua, adanya
negara dilihat oleh NU
Pemahaman sejarah, peran serta umat Islam dalam kehidupan bangsa, dan wawasan keagamaan yang dianut oleh negara, yang dinilai sah menurut Islam, maka K.H. Ahmad Siddiq menyimpulkan sikap NU, Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara.(91) Negara Indonesia yang berdirinya diakui sah menurut Islam sekarang menjadi ruang lingkup umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya! Penerimaan NU atas Pancasila ditegaskan di dalam Anggaran Dasar. NU menerima dengan "panjang-lebar"; ia menerima dengan sikap positif—menerima dalam rangka perjuangan bangsa dan negara mencapai masyarakat adil dan makmur. Penerirnaan atas Pancasila sudah dimuat di dalam Muqaddimah (Pembukaan) Anggaran Dasar, Bahwa kemaslahatan dan kesejahteraan warga NAHDLATUL ULAMA adalah bagian mutlak dari kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita seluruh masyarakat Indonesia, dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, organisasi NAHDLATUL ULAMA berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi ummat Islam merupakan kepercayaan terhadap Allah SWT sebagai inti aqidah Islam yang meyakini tidak ada Tuhan selain Allah SWT.(92) Pada pasal 2 Anggaran Dasar dicantumkan asas Pancasila dan Islam tidak lagi disebut asas tetapi sebagai aqidah. Dalam pasal 3 disebutkan: Nahdlatul Ulama sebagai Jam'iyah Diniyah beraqidah Islam
menurut faham Ahlusunnah wal Jama'ah dan mengikuti salah satu madzhab
Ketika NU menjadi partai politik Islam disebutkan sebagai asas partai dan aqidah belum disebutkan entah sebagai apa.(94) Demikian Juga Muktamar XXVI 1979 di Semarang juga tidak ada menyebutkan aqidah dan Islam masih disebutkan sebagai asas.(95) Mengapa sekarang menyebutkan Pancasila sebagai asas dan Islam sebagai aqidah? Tentang perubahan itu, Sa'dullah Assaidi menjelaskan: .. masalah yang dihadapi bangsa, termasuk ulama NU, sesuai dengan konstelasi politik adalah Pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal ini bagi Nahdlatul Ulama merupakan waqi'ah (peristiwa aktual), yang tidak di-hadapi secara kaku namun dihadapi dengan teori keagamaan.(96) Dengan meneliti beberapa ayat-ayat Qur'an terdapat tiga lafal yang berasal
dari "asas" (Sura 9:108 dan 109) yang berkaitan dengan asas pendirian mesjid
sehingga disimpulkan bahwa mencantumkan asas bukanlah mutlak; yang mutlak
adalah taqwa (ketaatan kepada Tuhan). Taqwa itulah yang ingin ditegaskan
oleh NU dengan mencantumkan aqidah dan aqidah itu dijalankan
menurut paham
Dalam Islam, aqidah ialah iman atau kepercayaan. Sumbernya yang pasti ialah Qur'an. Iman . . . yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu . . . Aqidah adalah masalah fundamentil dalam Islam, ia menjadi titik tolak permulaan untuk menjadi Muslim. Sebaliknya, tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang menerangkan bahwa orang itu memiliki aqidah...(98) Saya rasa yang penting bukanlah mempertanyakan mana yang lebih tinggi asas atau aqidah, karena di dalam Anggaran Dasar 1926 tidak ada disebutkan asas maupun aqidah. Yang dicantumkan adalah ciri khas NU sebagai penganut mazhab dalam memberlakukan Islam. Yang penting bagi NU adalah pembedaan (bukan pemisahan!); asas berarti pengakuan atau dukungan terhadap negara di mana ia hidup dan bergerak dan negara itu diakui sah secara Islam, sedangkan aqidah menyatakan dengan tegas ciri-ciri keislaman yang dianutnya yaitu ahlusunnah wal jamaah. Perubahan Anggaran Dasar —merupakan penjabaran langsung dan tegas dari perkembangan pemikiran keagamaan di dalam NU; kalau negara adalah "upaya final" seluruh bangsa khususnya umat Islam dan kalau wawasan keagamaan negara sudah diakui sah, maka pencantuman Pancasila sebagai asas merupakan suatu konsekuensi logis. Karena persoalan Pancasila sudah tuntas maka yang tinggal sekarang bagi NU adalah bagaimana memberlakukan Islam menurut aqidah (keyakinan) ahlusunnah wal jamaah di bumi negara Pancasila. ____________________
|
|