[ Einar Martahan Sitompul / N U dan Pancasila ] |
A. Bangkitnya Ulama Ketika NU bergabung di dalam PPP sebenarnya boleh dinilai bahwa NU telah kembali menjadi organisasi keagamaan karena PPP sudah menjadi wadah kegiatan politiknya. Tetapi ini hanya penilaian saja sebab NU belum melakukan pemulihan itu secara tuntas. Rupanya perhatian NU lebih tercurah kepada kegiatan politik melalui PPP. Upaya untuk menjernihkan status NU setelah bergabung dalam PPP baru dilakukan oleh NU dalam Muktamar XXVI 1979 di Semarang. Inilah muktamar pertama dan terakhir bagi NU setelah bergabung dalam PPP dan terlihat pula betapa lama jarak waktunya dengan muktamar XXV 1971. Sudah tentu NU sebagai organisasi keagamaan tidak intensif lagi mengikuti perkembangan politik dan menilainya dari sudut pemikiran keagamaan. Muktamar 1979 sudah menegaskan agar NU kembali kepada Khittah 1926, kembali menjadi organisasi keagamaan.(1) Hal ini didorong oleh perjalanan sejarah NU sebagai partai politik yang penuh dengah kekecewaan.(2) Untuk mencapai tujuan kembali kepada Khittah 1926, maka muktamar menyusun program lima tahun. Dalam kata pendahuluan program diuraikan maksud dan bidang sasarannya, Pada hakekatnya, Muktamar NU ke-26 adalah pemantapan NU sebagai jam'iyah sehingga kegiatan kualitatip yang mengisinya adalah pembenahan kembali organisasi masyarakat. Melalui kegiatan-kegiatan keagamaan dan masyarakat. Konsolidasi organisasi tersebut meliputi: a) Pemantapan penghayatan dan pengamalan asas aqidah Ahlusunnah wa Jama'ah; b) Penyusunan program dasar yang memberi arah yang tegas kepada kegiatan pengembangan NU; dan c) Tata organisasi yang menyangkut tata laksana, tata kerja dan personalia sehingga jelaslah pegangan bagi para fungsionaris dalam mengambil setiap keputusan dan tindakan.(3) Sebenarnya keputusan ini sudah tegas sekali menjernihkan identitas NU sebagai organisasi keagamaan, tetapi karena semangat politis masih kuat sekali identitas keagamaan menjadi kabur kembali. Keputusan Muktamar 1979 agar NU kembali menjadi organisasi keagamaan hanya berhasil memulihkan NU sebagai organisasi keagamaan secara konsepsional tetapi gagal secara operasional. Dengan nada agak menyesalkan, Anam mengatakan bahwa pengurus baru "kurang mencerminkan adanya regenerasi dan pemisahan secara tegas siapa yang seharusnya mengurus NU dan siapa pula yang di PPP".(5) Nakamura, sarjana Jepang yang turut menghadiri Muktamar 1979 itu mengamati bahwa Idham Chalid yang telah banyak mendapat kritik dari ulama, dengan keahlian retorikanya mampu menghimpun simpati dari para peserta sehinggaa dikukuhkan kembali menduduki jabatan ketua umum.(6) NU benar-benar mengalami krisis identitas; semangat kembali menjadi organisasi keagamaan dikumandangkan tetapi langkah untuk kembali tidak dibenahi. Bila ia kembali menjadi organisasi keagamaan, siapakah yang akan menjalankan tugas itu karena pimpinan NU adalah juga pimpinan di PPP? Apakah mungkin bagi NU untuk menjadi organisasi keagamaan sambil mempertahankan status sebagai salah satu unsur dalam PPP di mana ia sudah banyak mengalami kekecewaan? Adalah logis bila krisis identitas berlanjut. dengan krisis organisasi. Ketika gagasan memberikan gelar Bapak Pembangunan kepada Presiden Suharto sedang hangat, organisasi pemuda NU, Ansor, mencetuskan pernyataan mendukung dengan menilainya sebagai "yang wajar dan tidak berlebih-lebihan, dan mempunyai arti penting" serta mengusulkan agar MPR "mempercayakan kepemimpinan nasional" kepada Jenderal Suharto.(7) Pernyataan ini dinilai oleh Anam berbeda bahkan bertentangan dengan keputusan Munas Kaliurang 1981 yang memutuskan bahwa untuk Presiden "tidak diperlukan tambahan sebutan-sebutan lainnya" dengan alasan "agar tidak mengurangi martabat Jabatan" Presiden, dan dalam soal pencalonan Jenderal Suharto "hendaknya diajukan secara konstitusional" kepada MPR hasil pemilu 1982 "tepat pada waktunya".(8) NU larut lagi ke dalam perjuangan politik. Arus balik yang drastis pada awal Mei 1982. Dalam pertemuan para ulama terkemuka diprakarsai oleh Rois Am dibahas apa yang disebut "kelemahan Idham Chalid".(9) Kelemahan itu tidak dirinci karena dinilai "tidak etis bahkan dapat membangkitkan reaksi yang keras".(10) Pertemuan itu memutuskan untuk memberhentikan Idham Chalid, tetapi caranya dibuat sehalus mungkin. Karena saat itu Idham Chalid sedang dalam perawatan maka hal itu dijadikan dasar untuk menilai bahwa Idham Chalid "tidak mungkm mengemban amanat muktamar"; atas dasar pertimbangan itu Idham Chalid "diminta mengundurkan diri serta menyerahkan Jabatan Ketua Umum PBNU kepada Rois Am".(11) Semula Idham Chalid menerima dan menandatangani surat yang berisi pengunduran diri yang disodorkan oleh para ulama, tetapi kemudian ia mencabutnya kembali.(12) Kasus pengunduran diri Idham Chalid ini segera menggemparkan kalangan dalam dan luar NU, dan di dalam NU sendiri timbul pro dan kontra tindakan para ulama tersebut. Terlepas dari sisi pro dan kontra, tindakan ulama itu adalah suatu pertanda bangkitnya ulama yang selama ini sudah tersudut oleh perkembangan yang terjadi di dalam tubuh PPP dan kiprah kaum politisi di dalam tubuh NU sendiri — menyelamatkan NU agar NU tetap menjadi wadah ulama. Dilihat dari sudut wewenang yang ada pada Rois Am maka tindakan para ulama yang diprakarsai oleh Rais Am itu adalah wajar dan sudah waktunya. Abdurrahman Wahid dalam komentarnya terhadap kasus itu menilai sebagai "titik yang sangat menentukan bagi masa depan NU, artinya kyai-kyai kerjanya sudah lebih cepat dari biasanya".(13) Dan lebih lanjut ia menyatakan bahwa kasus itu tidak terlepas dari "unsur-unsur keagamaan".(14) Ketika Idham Chalid mencabut kembali pengunduran dirinya, Rois Am menilai pengunduran diri dan penyerahan jabatan kepada Rois Am adalah sah secara hukum agama (syara'), . . . .penyerahan jabatan ketu umum dari tangan DR. K.H.
Idham Chalid kepada Rois Am adalah sah menuru hukum syara'. Oleh
karena itu kalau kasus semacam itu tidak ada dalam AD ART maka tidak
pada tempatnya dicari akal-akalan sehingga menimbulkan berbagai macam tafsiran
terhadap AD/ART sendiri. Kejadian itu harus dikembalikan kepada hukum
syara', yaitu hukum Islam yang harus diperjuangkan oleh Jami'ah
NU. Kalau terjadi kasus seperti penarikan kembali pernyataan yang sudah
dikeluarkan oleh DR. K.H. Idham Chalid, sedang di dalam AD/ART tidak ada
maka mudah saja. Persoalan itu dikembalikan pada hukum syara', bahwa
pemberian berupa apapun kalau sudah diberikan, maka tidak boleh diminta
kembali. Dalam hal ini termasuk juga jabatan Ketua Umum NU yang telah diserahkan
kepara Rois Am maka tidak boleh diminta lagi. Kalau AD/ART berlawanan dengan
itu maka berarti AD/ART NU tidak sesuai dengan hukum syara'. . . .(15)
Tindakan para ulama itu membuat pertentangan intern NU menjadi terbuka dan kaena sudah terbuka maka ia memerlukan penyelesaian yang segera. Idham Chalid yang mencabut pengunduran dirinya dengan alasan karena diprotes oleh pengurus wilayah menghimpun kekuatan dan menginginkan agar segera diadakan Muktamar.(17) Sedagkan para ulama lebih mempertahankan perlunya terlebih dahulu diadakan Munas (lengkapnya Musyawarah Nasional Alim Ulama NU) yang akan "merupakan rekomendasi bagi muktamar NU ke XXVII.(18) Sementara itu asas Pancasila sebagai isu nasional harus pula mendapat tanggapan NU. Karena pertenangan sudah terbuka masa dean NU tidak lagi ditentukan dirinya sendiri tetapi turut juga ditentukan oleh pemerintah (kepada pihak mana izin mengadakan muktamar/munas diberikan) dan bagaimana NU menanggappi asas Pancasila sebagai isu nasional. Pihak ulama berhasil memenangkan perhatian pemerintah yang terbukti dengan mendapat gren light (lampu hijau) untuk menyelenggarakan Munas. Munas dilangsungkan di pesantren Salafiah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo, di pesantren yang dipimpin oleh K.H. As'ad Syamsul Arifin, bulan Desember 1983.(19) Sebelum itu pihak politisi (Idham Chalid dan kawan-kawan) dan kelompok ulama sama-sama mengadakan pendekatan kepada pemerintah. Bedanya menurut Irsyam, pihak ulama (yang disebutnya kelompok idealis sedangkan Idham Chalid kelompok realis) berhasil "menyampaikan terlebih dahulu ketetapan politik yang telah diputuskan oleh pemimin-pemimpin kelompok idealis langsung kepada Presiden".(20) Menurut kalangan ulama (Syuriah) masalah asas Pancasila sudah dibicarakan lebih dahulu dengan Presiden ketika K.H. As'ad Syamsul Arifin menemui Presiden sebelum Munas. Kyai Haji As'ad Syamsul Arifin sesepuh NU dari Jawa Timur belum lama berselang telah diterima oleh Presiden Soeharo dalam sebuah pertemuan khusus. Dalam pertemuan itu KH As'ad Syamsul Arifin telah menegaskan pendirian sebagian besar ulama dan ummat Islam Indonesia bahwa mereka menerima Pancasila hukumnya adalah wajib... KH As'ad juga menyatakan pendapatnya tentang perlunya diadakan suatu musyawarah nasional alim ulama untuk meratakan pendirian itu. Munas tersebut antara lain akan memasyarakatkan sikap yang diutarakan KH As'ad dan sekaligus dilihat kemungkinan perubahan anggaran dasar NU sebagai konsekwensi dari pernyataan tersebut.. Pernyataan di hadapan Presiden Soeharto itu adalah sikap dan pendirian KH As'ad dan sama sekali bukan karena permintaan Presiden.(21) Apakah pernyataan semacam ini bukan mendahului atau melangkahi Munas? Mengapa para ulama (seperti K.H. As'ad) berani mengeluarkan pernyataan demikian? Apakah NU takut menghadapi tekanan? Bagaimana kalau Munas menolak sikap yang sudah dilontarkan secara terbuka itu? Pertanyaan demikian kurang tepat disampaikan kepada NU. Organisasi ini tidak dapat dimengerti dengan menggunakan mekanisme organisasi modern. Untuk memahami mengapa para ulama berani menyatakan pendapatnya terlebih dahulu dan mengapa Munas dengan mudah menerima asas Pancasila, kita harus memahami dari sudut kehidupan NU sendiri. Pertama, ulama dengan basis pesantren mempunyai wibawa yang kuat di mata umat. Para ulama yang menjadi konseptor keputusan Munas Situbondo (Ali Maksoem, Machrus Ali, As'ad Syamsul Arifin, Ahmad Siddiq, dan lain-lain) adalah ulama-ulama yang berwibawa dan pemimpin pesantren besar.(22) Kedua, sebagai pemimpin Islam tradisional, keputusan mereka diyakini bukanlah semata-mata berdasarkan pertimbangan politis tetapi benar-benar berdasarkan keagamaan. Ketiga, sebagai pemimpin umat dengan sendirinya mereka peka terhadap perkembangan dan kebutuhan umat. Sambil membantah pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang konservatif dan kaku sehingga tidak mampu berkembang Montgomery Watt menegaskan bahwa sejarah Islam membuktikan kemampuannya untuk menyesuaikan diri (adaptasi) dengan perkembangan, seperti yang dikatakannya, . . . jika seseorang melihat dengan seksama kepada
sejarah Islam, ia akan mendapatkan banyak peristiwa berlangsungnya "adaptasi"
itu secara sungguh-sungguh . . . .
Ada dua faktor yang memungkinkan perubahan adaptif itu, yaitu melalui "pemunculan seorang pemimpin yang kharisrnatis" dan "aktifitas-aktifitas para ulama atau yang lebih umum lagi, kaum intelektual".(24) Ia memuji peranan dua orang theolog muslim yang telah mampu mengembangkan tradisi Islam (Sunni) dalam situasi baru, seperti al-Asyari dan al-Ghazali(25) (dua orang theolog yang sangat berpengaruh di kalangan NU). Dalam hal ini besar sekali peranan ijma (konsensus) untuk "mengadaptasikan ajaran dan tradisi Islam dengan situasi baru".(26). "Konsensus atau persetujuan bersama masyarakat Islam ini, kemudian merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan, meskipun konsensus tersebut hanya bergerak lamban".(27) Perkembangan NU membenarkan apa yang dikatakan oleh Watt di atas. Munas 1983 membahas empat masalah:
Masalah yang utama tampaknya adalah Pancasila dalam kaitannya dengan Islam. Dan untuk itu keputusan Munas adalah sebuah, Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam
________________________
|
|