[  Einar Martahan Sitompul / N U   dan Pancasila ]

 
C. Nahdlatul Ulama dan Partai Persatuan Pembangunan

Kedudukan NU dalam PPP hampir sama dengan kedudukannya dalam Masyumi; ia diserahi kursi kehormatan, jabatan Rois Am PPP dipegang oleh K.H. Bishri Sansuri, yang juga Rois Am NU. Struktur PPP diusahakan agar dapat menampung struktur semua partai pendukung (NU, Parmusi, PSII, dan Perti). Demikian juga personalianya dibuat sedemikian rupa agar mencerminkan garnbaran kekuatan partai pendukung dalam Pemilu 1971, dengan urutan NU, Parmusi, PSII dan Perti.(137)

Tentang struktur itu Umaidi Radi menjelaskan,

NU sebagai partai yang terbesar memperoleh kedudukan penting seperti Ketua Rais Am, Presiden Partai, Ketua MPP (Majelis Pertimbangan Partai) dan Sekretaris Jenderal dan sejumlah jabatan lainnya. Parmusi sebagai partai kedua terbesar, mendapat jabatan penting sebagai Ketua Umum, merangkap Wakil Presiden, dan sejumlah jabatan lainnva. PSII memperoleh jabatan-jabatan sebagai Wakil Ketua Umum MPP, Perti memperoleh jabatan-jabatan Wakil Presiden, Wakil Ketua MPP, Ketua dan beberapa jabatan lainnya.(138)

Sekilas saja kita lihat struktur ini sangat rumit sehingga tepatlah pendapat Radi bahwa struktur yang sangat rumit ini merupakan salah satu penyebab kerapuhan PPP.(139)

Dalam deklarasi pembentukannya dinyatakan kesepakatan semua organisasi pendukung untuk "memfusikan politiknya" dalam PPP.(140) Sedangkan kegiatan non-politik tetap dijalankan oleh masing-masing organisasi,

Segala kegiatan yang bukan politik, tetap dikerjakan dan dilaksanakan oleh organisasi masing-masing sebagaimana sedia kala, bahkan lebih ditingkatkan sesuai dengan partisipasi kita dalam pembangunan spritual/material.(141)

Pada tahap awal — saat suasana di kalangan pimpinan PPP penuh semangat persaudaraan (ukhuwah) — NU mampu memainkan peranannya secara optimal sebagai pengendali PPP melalui lembaga Majelis Syuro, sebagai penasehat untuk urusan keagamaan.(142) Dalam hal ini besar sekali jasa K.H. Bishri Sansuri "seorang ulama yang memiliki kharisma menonjol".(143)

Jabatan yang ia miliki selaku Rois Am Majelis Syuro PPP, bertugas memberi nasihat-nasihat dan pertimbangan dalam segala hal terutama di bidang agama kepada partai telah ia manfaatkan secara efektif. Dengan kewenangannya memberikan pertimbangan, terutama pertimbangan-pertimbangan berdasar pertimbangan keagamaan, yang mempunyai kekuatan mengikat bagi segenap jajaran partai, lembaga Majelis Syuro yang ia pimpin ia tampilkan sedemikian optimal untuk menjaga PPP sebagai suatau persekutuan yang solid.(144)

Kekompakan PPP langsung mendapat ujian di lembaga DPR. Ketika pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan 1973. K.H. Bishri Sansuri langsung menolak RUU itu.(145) RUU ini memang mendapat reaksi yang keras dari berbagai kalangan Islam.(146) Hanya berkat pendekatan yang sangat intensif akhirnya baru dapat disahkan menjadi undang-undang, "setelah mengalami perubahan atas seluruh pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan Islam."(147) Apakah NU mulai mengambil sikap keras terhadap upaya pembaharuan dari pemerintah? Tercatat bahwa NU dalam PPP pernah walk out, meninggalkan Sidang MPR ketika sidang akan mengesahkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (sering disingkat P4) dan masuknya aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (secara singkat sering disebut sebagai Kepercayaan) ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).(148) Kalangan PPP khususaya NU khawatir "kalau menjadi syirik (menyerikatkan Tuhan). Sikap ini dipelopori K.H. Bishri Syansuri."(149)

Yang ingin ditegaskan oleh pemerintah dengan adanya P4 adalah agar kelangsungan kehidupan negara berdasarkan Pancasila dapat terjamin dan agar Pancasila yang telah terbukti keampuhannya (maksudnya negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila senantiasa dapat mengatasi rongrongan terhadap dirinya) dapat dihayati dan diamalkan oleh seluruh rakyat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.(150) Sedangkan Kepercayaan sebagaimana dikatakan oleh Presiden Suharto beberapa bulan setelah ditetapkan oleh MPR, adalah "merupakan warisan dan kekayaan rohaniyah rakyat" haruslah dicegah dalam perkembangannya menjadi agama baru tetapi "harus diarahkan pada pembinaan budi luhur bangsa kita".(151) Agaknya maksud pemerintah agar Kepercayaan sebagai bagian kehidupan budaya seyogianya akan menopang — bersama dengan P4 — upaya menciptakan stabilitas politik sehingga program pembangunan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Dengan ditetapkannya P4 maka pemerintah berhasil meningkatkan pembaharuan dalam lapangan sosial politik. Dan tak dapat disangkal keberhasilan ini menjadi andil keberhasilan pemerintah menggoalkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial dan politik pada Sidang MPR tahun 1983 (yang akan dibahas lebih lanjut dalam Bab V).

Apakah NU dapat dikatakan telah mengambil sikap keras? Apakah NU telah meninggalkan sikapnya yang fleksibel yang telah berulang kali dinyatakan dalam masa Orde Lama? Fachry Ali berpendapat bahwa NU pada masa Orde Baru telah mengambil sikap keras, "telah berubah menjadi kelompok yang berani menentang arus, rigid dan tidak goyah dalam pendirian."(152) Sehingga dia menyatakan bahwa NU telah menggambil sikap seperti Masyumi (di tahun 1950-an) dan Parmusi atau MI (yang akomodationis, dikatakannya (walaupun dengan sedikit ragu-ragu) telah bersikap seperti NU pada masa Orde Lama.(153) Saya meragukan pendapat Fachry Ali ini. Memang saya akui bahwa sekilas sikap NU keras tetapi bukan berarti ia telah meninggalkan sikapnya yang fleksibel yang sesuai dengan wataknya yang tradisional.(154) Ia tidak berubah karena situasi berubah karena yang demikian itu adalah oportunistis. Bagi NU ukuran adalah keagamaan; sepanjang sesuatu perkembangan tidak mengancam keberadaan agama dan tradisi yang dianutnya (ingat kesetiaannya terhadap mazhab), NU selalu fleksibel.(155) Karena itu sikap NU tidak dapat disamakan dengan sikap
Masyumi dulu!

"Perkawinan", kata Sidi Gazalba tentang nilainya dalam Islam, "membuka kehidupan kebudayaan, karena itu setelah ibadat ia merupakan soal pertama dihadapi oleh ajaran Islam. Perkawinan adalah tindakan kebudayaan yang diatur oleh Quran dan Hadis."(156) Oleh sebab itu dapat dimengerti bila kalangan Islam melancarkan kritiknya terhadap RUU Perkawinan.

Kalau P4 dan Kepercayaan dikhawatirkan akan menjadi syirik, haruslah dimengerti yang dikhawatirkan keduanya akan menjadi saingan bagi agama (Islam). Lawan dari syirik adalah tauhid.(157)
Bagaimana mengamalkan agama secara bulat bila ada yang lain — menurut keputusan negara — harus diamalkan pula (ingat istilah Pengamalan dalam P4)? Bagaimana tentang Kepercayaan? Harian Abadi pada bulan Maret 1973 ketika pembicaraan tentang Kepercayaan sudah mulai hangat, mengungkapkan keluhan Islam,

[. . .] Islam disederajatkan dan disenafaskan dengan ratusan kepercayaan yang tersisa di Indonesia. Dari hari Proklamasi 1945 sampai Sidang MPR Maret 1973 Islam tidak pernah disamakan dengan ratusan kepercayaan yang simpang siur. Kepercayaan-kepercayaan itu bukan agama, tetapi dikelompokkan ke dalam spiritisme yang dijalinkan kepada ikatan-ikatan batin atau rohaniah dalam bentuk kepercayaan, takhayul [ . . . ] Berciri keberhalaan-keberhalaan, animisme dan kedewa-dewaan.(158)

Ada juga yang melihat reaksi kalangan Islam terhadap Kepercayaan sebagai wujud polarisasi antara santri (yang diwakili oleh partai
politik yang berlandaskan keagamaan) dengan abangan (yang diwakili oleh para pendukung/penghayat kepercayaan).(159) Jika 
benar maka makin dapat dimaklumi reaksi keras dari kalangan Islam.

Sementara pendapat mengatakan sikap keras NU karena watak K.H. Bishri Sansuri yang dinilai lebih keras dibandingkan K.H. Abdul Wahab Hasbullah, 

K.H. Abd. Wahab Hasbullah senantiasa mengukur kondisi masyarakat. Bisakah masyarakat menanggung konsekuensinya?. . .

. . . .
Adapun pokok pangkal K.H.M. Bishri Sansuri didasarkan pada faktor mental manusia. Pada umumnya manusia itu hendak menghindar dari hukum . . . Maka lebih baik diterapkan hukum yang lebih berat . . . (160)

Konon sikapnya yang keras itulah yang membuat PPP relatif tetap utuh pada masa ia menjabat Rois Am; kalaupun terjadi pertikaian tetapi tidak berkepanjangan.(161) Walaupun ia tidak ahli dalam soal politik praktis berkat sikapnya yang kukuh dalam soal prinsip (keagamaan) menyebabkan ia menjadi tokoh yang berwibawa dan mampu mengendalikan para pimpinan PPP.(162)

Tetapi setelah K.H. Bishri Sansuri meninggal tahun 1980, maka berakhir pula kekompakan dan berganti dengan pertikaian.

Segera ternyata sepeninggal Bishri Sansuri NU tidak mampu mengimbangi permainan politik para politisi PPP, khususnya dari unsur Parmusi. Hanya beberapa bulan setelah Bishri Sansuri meninggal, NU dalam Sidang DPR tidak berhasil meminta kembali jatahnya sebagai Ketua salah satu Komisi, jabatan yang konon sementara dipegang oleh Sudardji (Parmusi).(163) Penolakan Sudardji mengembalikan jabatan yang dipegangnya menyebabkan pertikaian intern PPP menjadi pertikaian terbuka di forum DPR dengan kerugian di pihak NU — "NU kehilangan satu kursi pimpinan sementara MI bertambah satu kursi".(164) Sementara pertikaian antara NU dan Parmusi makin keras, J. Naro, ketua umum PPP, menyerahkan daftar calon anggota DPR dari PPP kepada Panitia Pemilihan Umum. Dalam daftar calon yang disusun oleh Naro ini (lebih dikenal dengan sebutan Daftar Naro) tokoh-tokoh utama NU (seperti Rachmat Muljomiseno, Saifuddin Zuhri, K.H. Masjkur dan lain-lain) berada di urutan bawah, berarti tipis kemungkinan menjadi anggota DPR.(165)

Ulama kalah lincah dengan politisi, bukan karena ulama tersaing dari peranan politik dan tidak mempunyai visi politis, melainkan karena kalah lincah dalam menjalankan politik praktis. Dengan berfusinya NU ke dalam PPP maka hilanglah ciri khasnya sebagai wadah ulama. Karena merupakan salah satu unsur saja, berarti NU setaraf dengan partai-partai politik Islam lainnya, pada hal sebagai wadah ulama NU diharapkan akan menjadi sarana bagi menjalankan tugasnya sebagai pimpinan umat. Kerugian NU dalam PPP bukan hanya sekedar kerugian politis (Daftar Naro), tetapi juga kerugian dalam soal prestisenya di mata sesama unsur dalam PPP. Para politisi bukanlah umat yang mudah manggut kepada ucapan ulama. Para politisi bukan saja enggan manggut kepada kehendak NU, mereka bahkan lebih pandai mencari argumen untuk menjalankan langkah praktis. Dengan berani Sudardji (Parmusi) meminta jatah lebih banyak bagi kelompoknya berdasarkan hasil Pemilu 1955 — seolah mereka adalah penerus Masyumi — di mana Masyumi keluar sebagai pemenang kedua dan NU ketiga.(166) Bahkan permintaan Sudardji diikuti motif "akan membersihkan PPP dari unsur-unsur Orde Lama dan mereka yang walk out pada saat pengesahan RUU Pemilu tahun 1980. Tentu yang ia maksud, NU."(167)

Pertikaian dalam tubuh PPP merembes ke dalam kalangan NU sendiri. Sebenarnya, dalam kasus pemecatan Subchan, kita melihat makin kuatnya peranan politisi dalam tubuh NU. Di sini bibit pertikaian dalam NU sudah mulai tertanam. Oleh karena itu ketika NU dirugikan oleh MI dalam konflik dengan MI dalam PPP, polarisasi muncul dalam tubuh NU. Maksoem Machfoedz menguraikan terdapat tiga kelompok yang berebut pengaruh:

  1. Kelompok yang menghendaki politik praktis. Kelompok ini adalah kelompok Dr. Idham Chalid yang ketua umum.
  2. Kelompok yang menghendaki N.U. kembali kepada N.U. '26. Dalam kelompok ini tertampung para kiyai yang dalam menyebarkan ajaran N.U. tidak membutuhkan jabatan formal dalam N.U. Mereka itu antara lain K.H. Abd. Hamid Pasuruan, K.H. Ahmad Siddiq Jember, K.H. Ali Maksum Krapyak — Yogyakarta.
  3. Kelompok yang menghendaki N.U. kembali pada tahun 1926 tetapi juga tidak meninggalkan politik. Dalam kelompok ini terdapat narna H.M. Yusuf Hasyim, Ketua I PB. N.U. [Pengurus Besar NU].(168)
Secara lebih tegas dapat dikatakan terjadi konflik antara ulama dan politisi.(169) Machfoedz menolak menggolongkan konflik itu sebagai konflik antara Majelis Syuriah (Dewan Tertinggi Partai yang diketuai oleh Rois Am) dengan Tanfidziyah (Eksekutif Partai atau Pengurus Besar yang dipimpin oleh ketua umum), karena ulama dan politisi terdapat di dalam kedua lembaga.(170) Di dalam NU sebenarnya Majelis Syuriah-lah yang menjadi penentu kiprah partai. Bukan berarti Tanfidziyah otomatis untuk non-ulama persoalan adalah bahwa para ulama di dalam Tanfidziyah lama-kelamaan lebih menampilkan sosok politisi.

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa peranan ulama telah makin terdesak oleh peranan politisi. Sesungguhnya hal itu konseknensi dari keputusan NU menjadi partai politik. Untuk memenuhi peran partai politik segera setelah menjadi partai, NU menarik (rekrut) tenaga-tenaga trampil. Maka masuklah tenaga-tenaga muda di awal NU sebagai partai, seperti Jamaluddin Malik (seorang pedagang dan tokoh perfilman) dan Idham Chalid (asal Kalimantan Selatan dan alumni pesantren Gontor, Ponorogo).(171) Hampir tiga puluh tahun Idham Chalid menjabat Ketua Umum NU (1956-1984). Ia mampu menduduki posisi itu karena ketaatannya kepada ulama tak dapat diragukan, tetapi dalam perjalanan waktu "otonominya makin mekar."(172) Apakah itu karena suasana dalam Orde Baru sudah lebih "longgar" ketimbang dalam Orde Lama, sehingga politisi (Idham Chalid) menilai peranan ulama tidak begitu penting lagi? "Otonomi menunjukkan gejala memudarnya kultural panutan dan kepercayaan," demikian Fachry
Ali.(173) Dengan kata lain, peranan ulama makin lemah serentak dengan makin kuatnya peranan politisi atau Majelis Syuriah makin terdesak oleh Tanfidziyah.

Melihat perkembangan yang demikian ulama tidak berdiam diri. Langkah pertama setelah Bishri Sansuri, Rois Am, meninggal adalah mencari penggantinya. Dalam Musyawarah Nasional (disingkat Munas) NU pada tanggal 2 September 1981 di Kaliurang Yogyakarta, terpilih K.H Ali Maksum menjadi Rois Am.(174) Konon kabarnya pihak politisi (diwakili Idham Chalid) lebih cenderung membiarkan jabatan Rois Am itu lowong dengan alasan rnempertahankan status quo supaya NU tidak jatuh ke dalam perpecahan.(175) Bagi ulama justru jabatan Rois Am sangat hakiki artinya, sebab bukan saja melalui jabatan itu mereka menjalankan peranan keulamaannya, melainkan juga melalui jabatan itu ia dapat mengendalikan Tanfidziyah (Pengurus Besar) dan seluruh gerak partai. Di saat suasana menjelang Pemilu 1982 makin hangat PB Syuriah mengadakan rapat pleno tanggal 29 Januari 1982 (di saat itu Idham Chalid anggota ex-officio tidak hadir).(176) Dalam rapat itu ditegaskan bahwa kemelut dalam NU dan NU dengan PPP harus diselesaikan secara tuntas. NU juga akan mempertimbangkan kedudukannya dalam PPP,

Nahdlatul Ulama akan mempertimbangkan kedudukannya dalam lingkungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada saat yang tepat, apabila asas musyawarah, solidaritas intern dan prinsip-prinsip organisasi yang lainnya tidak dapat ditegakkan di dalamnya.(177)

Bergabung dalam PPP merupakan pengalaman pahit bagi NU. Boleh dikatakan NU tidak serasi dalam PPP. Sebagai partai politik sudah tentu para politisi harus menguasai "seni berpolitik", harus praktis dan lincah. Itulah yang dilakukan oleh para politisi NU (Tanfidziyah). Sudah tentu ini akan menimbulkan konflik dengan ulama (Syuriah). Syuriah ingin mengamankan identitas keagamaan NU (dengan referensi tradisi) sedangkan Tanfidziyah ingin mengamankan pengaruh politik (dengan referensi situasi).

Perkembangan NU selanjutnya ditentukan oleh perkembangan ekstern, yaitu lahirnya keputusan MPR agar semua kekuatan sosial politik berasaskan Pancasila, yang dituang dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN.(178)

_____________________
137. Umaidi Radi, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi tentang Kekuatan Politik Islam Tingkat Nasional, (Jakarta: Integrita Pers, 1984), hlm. 94. Resensi buku ini dibuat oleh Kusnadi, "Wajah PPP: Dari Krisis ke Krisis", dalam Optimis, nomor 54, 31 Januari 1985, hlm. 26-30. 
138. Ibid, hlm. 96. 
139. Ibid., hlm. 184-185. 
140. Ibid., hlm. 82. 
141. Ibid., hlm. 83. 
142. Lihat, Yusuf, et al., op. cit., hlm. 65.
143. Ibid., hlm. 64. 
144. Ibid., hlm. 64-65. 
145. Ibid., hlm. 65. 
146. Lihat, Radi, op.cit., hlm. 122-126. 
147. Ibid., hlm. 116. 
148. Lihat, Ibid., hlm. 148-149. 
149. Ibid., hlm. 150.
150. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 1, hlm. 265 di bawah "Ekaprasetia Pancakarsa. "
151. Lihat, Ibid., jilid 2, hlm. 242-243 di bawah "Aliran Kebatinan."
152. Fachry Ali, Islam. Pancasila dan Pergulatan Politik, kumpulan artikel. (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), hlm. 52.
153. Ibid., hlm. 52-53.
154. Supra, hlm. 61.
155. Supra, hlm. 64.
156. Sidi Gazalba, Masyarakat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 188.
157. Supra, hlm. 66.
158. Harian Abadi, 29-3-1973, dikutip di dalam Ensiklopedi Politik, jilid 2 hlm. 240. Cetak tebal dari saya. 
159. Lihat, Ibid., hlm. 235; Radi, op.cit., hlm. 146-151;Bandmgkan Geertz, Abangan, hlm. 478-479.
160. Masyhuri, Al-Maghfurlah, hlm. 61-62. 
161. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 66. 
162. Ibid. 
163. Ibid., hlm. 69. 
164. Ibid., hlm. 70. 
165. Lihat, Ibid., hlm. 71.
166. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 70. Identifikasi dengan Masyumi ditolak sinis oleh Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang terkenal itu: "Bahwa hal itu akan membuat pertanyaan orang. Kalau hukum nyaris mau dibawa, coba perlihatkan akte kelahirannya dulu, supaya silsilah terang!" Majalah Kiblat No. 12 TH XXIX Nopember 1/1981, dikutip oleh Saifuddin Zuhri, "NU Sekedar Mempertahankan Asas Musyawarah", dalam, PPP, NU dan Ml: Gejolak Wadah Politik Islam, kumpulan artikel polemis K.H. Saifuddin Zuhri, Drs. H. Ridwan Saidi, H. Mahbub Djunaidi dan Fachry Ali, diterbitkan oleh Integrita Press, (Jakarta: Integrita Press, 1984), hlm. 13.
167. Yusuf, et al., loc.cit.
168. Machfoedz, op.cit., hlm. 269. Cetak tebal dari saya 
169. Bandingkan, Irsyam, op.cit., hlm. 122-123.
170. Machfoedz, loc.cit.
171. Ibid., hlm. 160-161.
172. Ali, op.cit., hlm. 59.
173. Ibid.
174. Lihat, Anam,op.cit., hlm. 282.
175. Ibid., hlm. 281.
176. Ibid., hlm. 286.
177. Dikutip dalam, Ibid., hlm. 287.
178. Lihat, Supra, hlm. 1; Infra, hlm. 197-199.


 
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt