[ Einar Martahan Sitompul / N U dan Pancasila ] |
A. Nahdlatul Ulama dan Pemilihan Umum Segera setelah keluar dari Masyumi, NU menghadapi tantangan berat, yaitu mempersiapkan diri memasuki pemilihan umum (untuk selanjutnya disingkat Pemilu) pertama 1955. Dalam Muktamar 1953 di Medan, NU menyatakan kesiapannya dengan mengeluarkan keputusan: "Wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mengambil bagian dalam Pemilu baik untuk DPR maupun Konstituante."(1) Dalam Pemilu 1955 dihasilkan "empat besar" partai yang unggul, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan Partai Komunis Indonesia (untuk selanjutnya disingkat PKI). PNI memperoleh 22,3 persen (57 kursi), Masyumi 20,9 persen (57 kursi), NU 18,4 persen (45 kursi) dan PKI 16,4 persen (37 kursi).(2) Apabila dibandingkan dengan keadaan sebelumnya dalam Dewan Perwakilan Rakyat Sementara maka NU mendapat hasil yang mengagumkan, yaitu 8 kursi menjadi 45, sedangkan PNI dan Masyumi meningkat sedikit (PNI naik dari 42 menjadi 57 dan Masyumi dari 44 menjadi 57).(3) Dalam hasil Pemilu justru saingan NU adalah PKI yang mencatat kemenangan dari 17 menjadi 39 kursi. Menurut Nasikun, kemenangan yang dicapai oleh NU dan PKI adalah karena keduanya mempunyai basis kuat di pedesaan.(4) Dari Pemilu 1955 itu terungkap hasil yang mencolok adalah yang dicapai oleh NU! Mengapa NU mampu mengimbangi Masyumi (hanya terpaut 2,5 persen) padahal NU hanya memiliki waktu kurang lebih 3 tahun saja setelah keluar dari Masyumi? Menurut Mahrus Irsyam kemenangan NU itu karena "adanya perubahan strategi dalam kampanye."(5) Sambil mengutip Herbert Feith, ia menyatakan, Pada mulanya NU mengambil tema sentimen agama yang paralel dengan tema kampanye Masyumi. Sehingga kampanye-kampanye dari kedua partai ini sering kali mempunyai nada yang sama, seperti "siapa memilih mereka (NU atau Masyumi) kelak akan masuk sorga sedangkan siapa yang tidak memilih mereka (NU atau Masyumi) akan masuk neraka.(6) Kampanye demikian sudah tentu mempertajam pertentangan
Perubahan strategi itu lebih menekankan kepada perhitungan-perhitungan realistis yang lebih menguntungkan NU. Tema kampanye NU menarik garis batas yang jelas antara Masyumi dan PKI di satu pihak dengan NU di pihak lain yang sejajar atau sama dengan PNI. Garis batas antara NU dengan Masyumi adalah opini politik yang tumbuh pada waktu itu berupa keterlibatan Masyumi dengan gerakan DI/TII gerakan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo dengan basis Jawa Barat, sedangkan batas dengan PKI terletak pada fakta bahwa PKI pernah melakukan pemberontakan Madiun 1948!(8) Oleh karena itu NU harus mengambil "jalan tengah", seperti diungkapkan oleh Feith, "memilih Masyumi berarti mendatangkan ancaman, memilih PKI pun akan mendatangkan bahaya; oleh karena itu pilihan yang tepat adalah PNI (atau NU )."(9) Hasil Pemilu 1955 ini menggoncangkan kedudukan Masyumi di kabinet yang pada saat itu dipegang oleh Burhanuddin Harahap dari Masyumi.(10) Dengan usainya Pemilu kabinet merasa tugasnya telah selesai. Untuk selanjutnya bila Masyumi diserahi membentuk kabinet maka NU harus diperhitungkan dan justru di sinilah kesulitan, seperti diungkap oleh Daniel Dhakidae, Hasil pemilihan umum ini sendiri sebenarnya merupakan pukulan bagi Kabinet Burhanuddin dari Masyumi yang tidak melihat kemungkinan untuk bergabung dengan NU untuk membentuk kabinet, karena kemungkinan jauh lebih besar bagi NU untuk bergabung dengan PNI untuk membentuk kabinet berikutnya. Dengan kata lain kabinet pelaksana pemilihan umum pun tinggal menghitung hari untuk mengembalikan mandatnya.(11) Apa yang dikatakan oleh Dhakidae saya rasa dapat dibenarkan bukan saja karena pertentangan antara NU dan Masyumi masih segar, tetapi juga karena pendekatan NU terhadap PNI dalam kampanye Pemilu. Memang akhirnya dengan susah payah — oleh karena polarisasi yang terjadi dan sikap campur tangan Soekarno — kabinet yang terbentuk adalah paduan tiga kekuatan politik, yaitu Ali-Roem-Idham (Ali Sastroamijoyo dari PNI, Mohammad Roem dari Masyumi, dan Idham Chalid dari NU).(12) Sebenarnya Sukarno ini dengan gigih pula ditentang oleh NU dan Masyumi.(14) Pemilu 1955 memang telah menghasilkan "empat besar" kekuatan politik yang pada dasarnya mewakili tiga corak ideologi, yaitu Nasionalisme, Islam dan Barat modern (komunis).(15) Sukarno telah mengamati hal ini dalam tulisannya di tahun 1920-an; itulah sebabnya ia bersikeras agar PKI juga diikutsertakan dalam kabinet.(16) Hasil Pemilu ini tidak memunculkan kekuatan yang dominan. Bila dihimpun kekuatan kalangan Islam (Masyumi, NU, PSII, dan lain-lain) hanya memperoleh 45,2%, Nasionalisme 27,6%, dan PKI 15,2%.(17) Di satu pihak Pemilu ini hampir mengecewakan semna pihak terutama PNI dan Masyumi; PNI yang yakin akan mendapat dukungan dengan landasan nasionalisme justru merosot perolehannya dan kalangan Islam terutama Masyumi dengan asumsi penduduk Indonesia mayoritas Islam (90% atau 95%) memperoleh jauh di luar harapan. Tetapi pada pihak lain Pemilu pertama ini merupakan indikator yang paling absah memaparkan realitas masyarakat betapa ragamnya cita-cita politik yang bertarung untuk menang namun tidak ada satu pun yang menang secara meyakinkan. Sehingga tak heran bila perdebatan tentang dasar negara dalam Konstituante berlangsung keras dan tersendat-sendat yang akhirnya diselesaikan oleh Presiden Sukarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.(18) Dekrit 5 Juli 1959 memutuskan:
Pengamatan Feith sangat menolong kita menggambarkan perjalanan partai politik sesudah Pemilu pertama. Dalam waktu kurang lebih sepuluh tahun dua saingan NU yang dipengaruhi dengan kuat oleh alam pemikiran Barat tersingkir dari panggung politik. Masyumi dibubarkan pada tahun 1960 karena keterlibatan beberapa tokohnya dengan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Rakyat Indonesia).(24) PKI yang dinilai oleh Feith "lebih drastis dibandingkan dengan partai besar lain mana pun, dalam memutuskan ikatan dengan masa lampau," melakukan kudeta pada tahun 1965 tetapi gagal dan mengalami kehancuran.(25) Dan golongan nasionalis (PNI) yang "dipengaruhi oleh lebih dari satu aliran," mengalami pukulan berat, banyak orang PNI terlibat atau dicurigai menyokong kudeta PKI yang gagal itu.(26) Dalam Pemilu kedua 1971 NU muncul sebagai pemenang kedua dengan perolehan 18,75% (58 kursi). Yang menang secara mutlak adalah Golkar (Golongan Karya) dengan 62,8% (227 kursi).(27) Satu-satunya partai yang berhasil bertahan adalah NU yang mendapatkan 18,7 persen, sedikit lebih tinggi dari suara yang diperolehnya dalam Pemilu 1955 (18,4 persen). PNI mengalami kekalahan berat dan kurang berhasil memperoleh suara (6,9 persen), yang berarti kurang dari sepertiga dari tahun 1955 (22,3 persen).(28) Golkar muncul sebagai kekuatan baru dalam bidang politik. Semula ia bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya (disingkat Sekber Golkar) ketika ia lahir pada tanggal 20 Oktober 1964, dan pada masa Orde Baru (sejak 1965) mendapat dukungan dari pemerintah dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).(29) Wadah baru ini merupakan gabungan dari hampir 300 buah organisasi fungsional non-politis — yang berorientasi karya dan kekaryaan, yang dulunya tidak berorientasi kepada politik dengan tiga organisasi sebagai tulang punggungnya, yaitu SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia), MKGR (Musyawarah Keluarga Gotong Royong), dan KOSGORO (Koperasi Serbaguna Gotong Royong).(30) Pembentukan Sekber Golkar adalah didorong oleh usaha membendung pengaruh PKI di mana saat itu keadaan politik makin goyah.(31) Enam faktor dapat disebut sebagai sebab kemenangan 1971, yang tetap penting dan aktual dalam pemilu-pemilu berikutnya: 1. Golkar diidentifikasikan dengan pemerintah; 2. Kelemahan-kelemahan parpol (partai politik) di masa lalu; 3. Penonjolan hal-hal nyata dalam kampanye Golkar; 4. Tidak memperjuangkan ide-ide abstrak seperti hak-hak azasi atau demokrasi; 5. Adanya organisasi yang efektif. 6. Peranan kaum cendikiawan serta kesatuan aksi.(32) Kemenangan Golkar merupakan tonggak baru dalam perjalanan politik di Indonesia yang mempunyai implikasi jauh bagi bangsa dan negara lndonesia. Pertama sekali, yang patut dicatat dengan kemenangan Golkar secara mutlak maka untuk pertama kali sebuah kekuatan politik dapat mendominasi Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR). Hal ini sangat perlu karena pembangunan berencana yang dicanangkan sejak tahun 1969 (secara bertahap dikenal sebagai Pelita — singkatan Pembangunan Lima Tahun) memerlukan stabilitas politik. Sesuatu yang tidak pernah dicapai di masa demokrasi parlementer, kabinet dengan mudah jatuh atau bubar bila sebuah partai menarik dukungannya.(33) Kedua, kemenangan Golkar — yang tidak mau disebut sebagai partai tetapi kedudukannya sama dengan partai — mengungkapkan runtuhnya pamor partai di masyarakat. Seolah-olah dunia partai adalah sebagian dari sejarah Orde Lama yang dinilai telah menyeleweng dari Undang-Undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disingkat UUD 45). Ketiga, walaupun NU menempati posisi kedua (dengan hasil sedikit lebih tinggi dari Pemilu 1955), namun demikian di ukur dari jarak waktu antara kedua Pemilu dan tanpa Masyumi dan PKI menjadi saingannya, hasil yang diperoleh NU merupakan hasil yang merosot! Mungkin saja orang dapat menilai bahwa kekalahan partai-partai karena besarnya kekuasaan eksekutif dan bahwa Golkar tidak dapat dipisahkan dari pemerintah dan ABRI, tetapi yang jelas Golkar dalam posisinya yang unggul telah berhasil menggunakan keunggulannya dengan optimal yaitu dengan menyuarakan hasrat yang kuat dalam masyarakat, yaitu kebutuhan akan pembangunan sebagai ganti jargon revolusi dari Orde Lama yang telah membuat masyarakat jenuh. Sementara itu para tokoh Masyumi yang melihat kemunculan Orde Baru sebagai peluang, untuk membangun kembali Masyumi. Setelah melalui proses yang sangat rumit, pemerintah akhirnya mengizinkan berdirinya partai Islam yang baru untuk menampung aspirasi tokoh-tokoh eks Masyumi dengan syarat tokoh-tokohnya tidak diperbolehkan menjadi pimpinan di tingkat pusat.(34) "Partai Islam yang baru itu disebut Parmusi (singkatan dari Partai Muslimin Indonesia — sering juga disebut MI saja, singkatan dari Muslimin Indonesia) yang diresmikan berdirinya tahun 1968. Partai ini diharapkan dapat menarnpung aspirasi politik umat Islam yang kebetulan tak tergolong ke dalam wadah-wadah politik yang telah ada seperti tiga partai politik Islam lainnya."(35) Muhammad Kamal Hassan yang melihat kemunculan Parmusi sebagai bagian respons cendikiawan muslim terhadap modernisasi, mengamati dalam upaya Parmusi untuk mendapat pengakuan dan kelangsungan hidupnya, akhirnya Parmusi muncul dengan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai kelompok akomodasionis.(36) Yang paling menonjol adalah H.M.S. Mintaredja yang kemudian diangkat oleh pemerintah menjadi ketua Parmusi untuk mengatasi kemelut dalam tubuh partai.(37) Tokoh ini tidak tanggung-tanggung melancarkan sikap akomodasionisnya, seperti memuji peranan ABRI dan mendukung tujuan pembangunan yang diperjuangkan Golkar.(38) Apakah sikap akomodasionis Parmusi disebabkan oleh perasaan shoc yang dialami oleh umat Islam akibat modernisasi?(39) Dengan demikian sikap yang dijalankan oleh Parmusi sungguh-sungguh bertentangan dengan sikap Masyumi di tahun 1950-an yang cenderung bersikap tegar dan kritis terhadap pemerintah dan perkembangan politik. Kalau Parmusi berharap meraih kemenangan besar (mengingat hasil perolehan Masyumi di tahun 1955) maka boleh dikatakan Parmusi merasa kecewa. "Parmusi yang diperkirakan akan memperoleh suara dari pengikut Masyumi dulu (20,9 persen, Pemilu 1955) hanya berhasil mendapatkan 5,4 persen."(40) Dengan kemenangan yang diperoleh Golkar, maka mudah bagi pemerintah melancarkan gebrakan dalam bidang politik. Pemerintah berhasil melakukan penyederhanaan partai-partai. Sebenarnya sebelum Pemilu 1971 Presiden Suharto sudah melontarkan gagasan penyederhanaan partai. Daniel Dhakidae menulis, Di muka pimpinan sembilan partai politik dan satu golongan karya yang akan ikut pemilihan umum 1971, Presiden Suharto mengemukakan sarannya mengenai pengelompokan partai-partai tersebut — katanya — semata-mata bertujuan untuk mempermudah kampanye pemilihan umum tidak untuk melenyapkan partai. Setiap partai pada dasarnya memiliki identitasnya sendiri-sendiri. Pengelompokan itu akan menjadi pertama Golongan Nasionalis, kedua Golongan spirituil, dan ketiga, Golongan Karya. IPKI dan PNI yang pertama-tama memberikan dukungan. NU malah menyatakan anjuran Presiden sesuai dengan Kongres Umat Islam Indonesia tahun 1969....(41) Dan setelah melalui serangkaian 'pendekatan khusus'(42) oleh pemerintah maka dalam MPR hasil pemilihan umum 1971 "sudah diutuskan tentang penyederhanaan partai politik. Malah sudah secara tegas dikatakan bahwa hanya tiga peserta dalam pemilihan mum 1977".(43) Maka dalam tahun 1973 partai-partai politik bergabung dalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung dalam wadah fusi yang disebut Partai Persatuan Pembangunan (untuk selanjutnya disingkat PPP), yaitu NU, Parmusi (MI), PSII, dan Perti. Sedangkan yang lainnya bergabung dalam wadah yang disebut Partai Demokrasi Indonesia (untuk selanjutnya disingkat PDI), yaitu PNI, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, dan Partai Murba.(44) Maka apa yang diidam-idamkan sejak lama tentang penyederhanaan partai baru tercapai pada masa Orde Baru. Menarik untok dicatat bahwa dalam nama partai tidak tercantum istilah yang mengacu kepada ideologi tertentu (seperti nasionalisme dan Islam); hal mana sesuai dengan keinginan pemerintah agar segenap kekuatan politik dapat diarahkan untuk mendukung program pembangunan. Dalam landasan yuridis yang dihasilkan pada tahun 1975 (Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya),(45) Golkar disebut tersendiri sehingga Undang-undang itu harus disebut Tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Berarti kini hanya ada dua jenis organisasi politik, yaitu partai dan golongan fungsional; dengan demikian menjadi alternatif terhadap sistem banyak partai pada masa Orde Lama yang rapuh dan lemah. Dengan menyebut diri Golongan, Golkar agaknya ingin meraih keuntungan psikologis bahwa ia bukanlah salah satu dari partai-partai yang pada masa Orde Lama — karena memperjuangkan ideologi-ideologi tertentu — menjadi salah satu penyebab rapuhnya pemerintahan. Dengan terbentuknya PPP maka kalangan Islam harus memikirkan identitasnya. Lambang Ka'bah(46) yang diusulkan oleh K.H Bishri Sansuri, Rois Am NU, diterima menjadi lambang partai.(47) K.H. Bishri Sansuri (1886 - 1980) banyak berperan dalam kiprah PPP sejak terbentuk. Di dalam PPP Bishri Sansuri diserahi memegang Jabatan Rois Am. PPP harus bergumul mencari identitas untuk mengimbangi Golkar yang tampil dengan program pembangunan. Lagi pula menjelang Pemilu 1977 situasi sudah berubah Golkar sekarang merupakan peserta yang "sudah berpengalaman" (sudah tampil dalam Pemilu 1971) sedangkan PPP dan PDI sebagai "partai baru" (Pemilu 1977 menjadi pemilu pertama yang diikuti mereka).(48) Apa yang tidak sempat dialami oleh Masyumi — sebagai wadah persatuan kalangan Islam — dialami oleh PPP sebagai kekuatan politik Islam. Karena itu tidak akan mengherankan apabila PPP memajukan identitas Islam. Tidak mengherankan bila menghadapi pemilihan umum Partai
Persatuan Pembangunan sejak awal kampanyenya sudah menangkap isyu agama
sebagai satu-satunya perekat utama bagi partainya. Sasaran kampanye PPP
adalah memusatkan diri pada para pemilih tradisional yaitu umat Islam yang
selama ini telah bernaung di bawah organisasi-organisasi Islam (organisasi
massa Islam) atau yang bernaung di bawah organisasi pendukung PPP seperti
NU, PSII, Muslimin Indonesia dan Perti . . .
Walaupun ada tiga peserta namun yang bertarung sengit adalah Golkar
lawan PPP. Terjadi semacarn polarisasi baru. Bukan lagi antara nasionalisme
sekuler lawan nasionalisme muslim seperti pada masa menjelang dan awal
kemerdekaan, tetapi antara golongan
Usaha menarik dukungan dari umat Islam segera dilakukan oleh PPP melalui Surat Edaran bulan Januari 1977 yang dikeluarkan oleh K.H. Bishri Sansuri sebagai Rois Am PPP, yang pada pokoknya menyerukan — sebagaimana dikutip oleh Dhakidae: . . . menjadi teranglah kiranya, bahwa perjuangan Partai
Persatuan Pembangunan . . . termasuk jihad fi sabillilah atau
berjuang di Jalan Allah. Karenanya . . . wajib hukumnya bagi setiap peserta
Pemilu 1977 dari kalangan umat Islam pria maupun wanita, terutama warga
Partai Persatuan Pembangunan, untuk turut menegakkan Hukum dan Agama Allah
dalam kehidupan bangsa kita, dengan jalan menusuk tanda gambar Partai Persatuan
Pembangunan pada waktunya nanti.
Rupanya hanya identitas agama yang diyakini sebagai upaya memperoleh dukungan umat. Belum terlintas mengembangkan visi bagi keagamann dalam kiprah politik partai Islam. Apakah Islam harus senantiasa berada dalam suasana pertentangan dengan pemerintah? Apakah tidak mungkin menarik perhatian umat dengan menyoroti pembangunan atau modernisasi dalam visi keagamaan yang positif-kritis agar tercapai pemahaman yang integral terhadap perkembangan kehidupan bangsa? Upaya memberikan pemahaman baru terhadap modernisasi dan implikasinya terhadap keberadaan umat Islam dilakukan oleh para cendekiawan muslim yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid dan oleh organisasi Himpunan Mahasiswa Islam,(51) Pengamatan Nurcholish Madjid agaknya akan mewakili apa yang diperlukan umat Islam kini, . . . Dalam satu hal, agak disayangkan bahwa orientasi keislaman yang kuat selalu dikaitkan dengan oposisi terhadap pemerintah. Hal ini tidak mengherankan, sebab Islam di Indonesia . . . memainkan suatu peranan konsisten sebagai ideologi (rallying ideologi) terhadap kolonialisme. Peranan itu menghasilkan kemerdekaan nasional. Karena kaum Muslim mengemakakan gagasan-gagasan politik yang tidak semuanya sebangun dan serupa dengan tuntutan praktis republik ini, maka tumbuhlah prasangka antara politik yang berorientasi Islam dan pemerintah yang berorientasi Nasional. Dalam meredakan prasangka yang timbul antara pemerintah dan rakyat berorientasi keislaman, penting kiranya bila Islam di Indonesia didefinisikan secara lebih inklusivistis. Dengan demikian simbol simbol Islam harus terbuka dan mampu dimengerti (shared) semua Muslim di dalam maupun di luar pemerintah.(52) Untuk mengimbangi identitas Islam, Golkar — sambil membantah bahwa orang yang memilih Golkar adalah kafir — berusaha keras, untuk mengidentifikasikan dirinya dengan suatu partai yang terdiri dari manusia-manusia moderen yang mengusahakan moderenisasi dan pembangunan Indonesia, dan hanya golongan itu yang mengusahakan kedua tujuan tersebut di atas. Melawan semboyan ideologis dan agama, Golkar tidak punya cara lain daripada bersandar pada pembangunan dan moderenisasi.(53) Dalam pemilihan umum 1977 yang pertama setelah penyederhanaan partai-partai
politik, Golkar kembali keluar sebagai pemenang mutlak. Dibandingkan dengan
Pemilu 1971, Golkar mengalami penurunan kecil sebanyak 6 persen (menjadi
62,11 persen) tetapi partai-partai Islam dalam PPP naik 2,1 persen (dengan
hasil 29,19 persen).(54) Namun demikian kemenangan yang sekelumit ini tidak
berkembang karena perkembangan intern dalam tubuh PPP tidak mendukung untuk
meningkatkan pemenangan. Dalam menikmati hasil kemenangan ini NU nampaknya
bersedia "mengalah". Ketika PPP maju memasuki Pemilu, disepakati bahwa
pembagian kursi berdasarkan Konsensus 1975 yang membagi kursi menurut perbandingan
(ratio) hasil Pemilu 1971, yaitu dengan perbandingan 58,24,10 dan 2 untuk
NU, Parmusi (MI), PSII dan Perti.(55)
Dalam keadaan babak belur akibat kasus yang dikenal sebagai 'Daftar Naro' (daftar nama-nama calon anggota DPR yang ditandatangani oleh J. Naro, Ketua Umum PPP),(57) karena daftar itu dianggap merugikan NU, maka NU melancarkan protesnya. Parmusi tidak puas dengan pembagian menurut Konsensus 1975 dan ingin menuntut lebih banyak lagi karena — menurut NU — Parmusi (MI) mengandalkan hasil yang diperoleh Masyumi pada tahun 1955. Harian Merdeka menulis: . . . Ketua II PB (Pengurus Besar) NU Mahhub Djunaidi, mengeluarkan keterangan pers yang menyatakan bahwa hambatan pembagian kursi bagi pencalonan PPP untuk Pemilu 1982 yang akan datang dikarenakan oleh sikap unsur-unsur tertentu dalam PPP. Antara lain yang ditunjuk Mabbub ialah Muslimin Indonesia (MI). MI menghendaki jatah yang lebih besar dari porsi pencalonan 1977. Hal itu, menurut Mahbub mengutib alasan MI, ialah karena MI merasa sebagai "kelanjutan dari Masyumi." Dan karena Masyumi oleh MI dianggap menempati posisi yang lebih besar sebagai hasil Pemilu 1955. berdasarkan ukuran itulah ia meminta angka yang lebih banyak dalam pencalonan dibandingkan angka pencalonan 1977.(59) Dalam suasana konflik wajarlah bila hasil yang dicapai makin merosot, PPP memperoleh 26,1 persen dan Golkar kembali meningkatkan kemenangannya, memperoleh 68,33 persen. Dan ketika NU meninggalkan PPP pada tahun 1984 sesuai dengan keputusan Muktamar Situbondo, hasil yang diperoleh PPP makin jauh merosot. PPP hanya meraih 15,75 persen dan Golkar meraih 74,75 persen!(60) Tuntaslah sudah kekalahan partai Islam. Perjalanan NU diukur dari hasil pemilihan umum menampakkan kemerosotan. Pada Pemilu pertama 1955 ia bersaing keras dengan partai-partai lainnya. Dalam masa Orde Baru, NU dan kekuatan Islam lainnya dikalahkan secara telak oleh Golkar. Sesungguhnya bila disimak lebih jauh partai-partai Islam tidak pernah meraih suara secara meyakinkan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Pada pemilu pertama 1955 — dalam suasana yang paling liberal — partai-partai Islam digabung bersama hanya meraih 45,2 persen(61) (tidak sampai 50 persen agar mampu mengendalikan politik melalui forum DPR). Kampanye-kampanye yang menekankan unsur agama mungkin sekali didorong oleh keyakinan bahwa Umat Islam merupakan mayoritas penduduk. Tetapi kenyataannya bahwa kampanye yang demikian tidak efektif. Seolah merenungkan fakta itu dalam mengantarkan buku Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, M. Amien Rais menulis, Pada umumnya orang menerima anggapan bahwa mayoritas rakyat
Indonesia (sekitar 89,09 %) beragama Islam. Sudah tentu jumlah sebesar
ini mencakup mereka yang tergolong dalam Islam statistik, artinya mereka
yang ber-KTP (Kartu Tanda Penduduk) Islam dan mengidentifikasi dirinya
sebagai muslim. Akan tetapi jika kita berbicara tentang kekuatan politik
Islam di Indonesia, maka angka nominal yang besar itu sedikit banyak dapat
"misleading". Terbukti pada hasil pemilu baik untuk parlemen maupun konstituante
1955, empat partai Islam (Masyumi, NU, PSII dan Perti) hanya berhasil mengumpulkan
suara sekitar 42,½%. Demikian juga dalam pemilu-pemilu tahun 1971
(NU, Parmusi, PSII dan Perti), tahun 1977 dan 1982 (PPP) menunjukkan bahwa
partai Islam hanya mampu mencapai sekitar sepertiga dari jumlah suara.
Bahwa mungkin ketiga pemilu di zaman "Oba" (Orde Baru) di sana-sini merupakan
"rigged election" merupakan juga satu kemungkinan, namun kiranya disepakati
bahwa andaikata pemilu benar-benar luber (semboyan pemilu yang merupakan
singkatan dari langsung, umum, bebas dan rahasia) pun, partai Islam tidak
akan dapat menjadi mayoritas.
Bila di satu fihak kita melihat kemerosotan umat Islam di bidang politik, maka di lain fihak kita melihat fenomena Islamisasi yang bergerak cukup cepat di tengah-tengah masyarakat. Bukan saja di berbagai kampus Islamisasi itu kelihatan dengan jelas, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat pada umumnya . . (62) Di sini Amien Rais ingin menegaskan bahwa umat Islam perlu meninjau
ulang peranannya di dalam masyarakat agar umat Islam
Hal yang senada diutarakan oleh Victor Tanja ketika membahas Arah Pemikiran Keagamaan Islam di Indonesia Masa Kini (khususnya pemikiran tiga tokoh muda Islam: Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan Dawam Rahardjo), berbicara tentang arah baru yang sedang ditempuh umat Islam, . . . arah baru Islam tidak lain adalah suatu tawaran untuk meninggalkan arah lama yang lebih melihat Islam sebagai suatu ideologi yang komprehensip yang pada akhirnya menuju suatu pembentukan negara Islam . . . melalui cara penapsiran yang legalistik dan apologetik terhadap gagasan-gagasan Islam.(65) Sehubungan dengan ucapan di atas, dalam menyimpulkan tentang
Saya rasa tugas umat Islam, khususnya NU masa kini, adalah mengembangkan sikap keagamaan itu agar mampu menjawab tantangan yang makin kompleks akibat proses moderenisasi di segala bidang. Sikap keagamaan tidak akan mempersempit ruang gerak Islam, tetapi justru akan menjadi jalan keluar dari sikap politis-ideologis yang cenderung mempersempit wawasan Islam hanya pada usaha memperjuangkan status politis saja. NU sebagai wadah para ulama, pemimpin umat dan pengemban tradisi, mempunyai potensi besar untuk mengembangkan sikap keagamaan itu di dalam berbagai perkembangan yang dihadapinya. ___________________
|
|