[ Einar Martahan Sitompul / N U dan Pancasila ] |
Perlu secara khusus meninjau hubungan NU debgab Masyumi karena di dalam organisasi ini untuk pertama kali golongan Islam bersatu dalam satu wadah politik di dalam degara yang sudah merdeka. Kalau Partai Persatuan Pembangunan merupakan gabungan partai politik Islam karena anjuran pemerintah melalui undang-undang kepartaian, maka Masyumi adalah gabungan semua golongan Islam yang didorong oleh semangat persatuan agar umat Islam mempunyai kekuatan yang utuh dan padu untuk memperjuangkan aspirasi Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa berdirinya negaa R.I. didahului oleh
perdebatan yang sengit tentang dasar negara. Perdebatan itu terjadi di
dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan yang dibentuk
oleh Jepang bulan April 1945, badan yang beranggotakan 62 orang ini diketuai
oleh Radjiman Wedyodiningrat (seorang tokoh Budi Utomo dulu (1)). Walapun
badan ini dibentuk oleh Jepang tetapi bagi para pemimpin perjuangan yang
duduk di dalamnya, diarahkan bagi kepentingan kehidupan bangsa. "Tidak
saja Bdan itu sekedar 'menyelidiki segala sesuatu mengenai persiapan kemerdekaan
Indonesia', tetapi badan ini langsung membicarakan dasar-dasar negara Indonesia
Merdeka dan merencanakan, Undang-undang Dasar Indonesia."(2) Dalam badan
inilah terjadi erdebatan yang sengit dan tajam antara yang disebut kelompok
nasionalis sekuler (nasionalis yang netral agama) dan nasionalis muslim.(3)
Kelompok Islam melupakan perbedaan di antara mereka; golongan pembaharuan
bersatu dengan golongan tradisional untuk mewujudkan aspirasi Islam dalam
Indonesia Merdeka, karena itu mereka menuntut negara harus
Bagi pihak muslim nasionalis hal ini merupakan sebagian kemenangan baginya karena, walaupun piagam tersebut tidak secara khusus menyebutkan tentang pembentukan sebuah negara Islam bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, maka dengan mengakui berlakunya Jakarta Charter hal itu berarti memperlakukan kewajiban hukum bagi pemerintah Indonesia untuk memaksakan hukum Islam sebagai pengikat bagi semua umat tanpa memandang latar belakang kultural atau kemasyarakatan mereka.(14) Tetapi Piagam Jakarta hanya penyelesaian sementara. Perdebatan masih tetap berlangsung dalam Badan Penyelidik. Sehari setelah proklamasi para tokoh merasa perlunya pemantapan ideologi negara dan lagi pula ada pihak yang keberatan terhadap Piagam Jakarta yang dianggap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Atas prakarsa Hatta "seorang tokoh yang oleh muslim nasionalis lebih dipercaya daripada Sukarno,"(15) diadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh muslim nasionalis. Pertemuan itu menghasilkan rumusan Pancasila yang baru yang kemudian akan menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Prinsip pertama Piagam Jakarta dirumuskan secara singkat menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.(16) Atas usul seorang penganut Hindu-Bali, I Gusti Ktut Pudja istilah Allah (yang dianggap "nama khas dalam Islam" (17)) diganti dengan Tuhan. "Menurut Wahid Hasjim," demikian Noer mencatat berdasarkan keterangan Hatta, "kata Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan tauhid dalam Islam, dan oleh sebab itu pergantian ini akan memuaskan kalangan Islam. Hanya Islam yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, pikir Wahid Hasjim."(18) Noer langsung menyambut pemikiran ini; Memang, menurut pendapat umum kalangan Islam di Indonesia, hanya Islam di antara agama-agama di dunia yang menegakkan tauhid dalam arti yang murni. Dipandang dari sudut ini, memang benar hanya Islam yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.(19) Tetapi ini hanyalah pendapat sepihak. Bagi kalangan nasionalis sekuler prinsip Ketuhanan itu bukanlah konsep agama tertentu, melainkan hanya merupakan gagasan Ketuhanan saja.(20) Atau, seperti yang ditegaskan oleh Boland dengan mengutip Sidjabat, merupakan gagasan yang bersifat umum dan netral yang memberikan ruang gerak bagi setiap orang memuja Tuhan.(21). Memang, menjadi pergumulan berat bagi segenap bangsa setelah proklamasi mencari legitimasi dukungan terhadap negara sendiri. Kalau dalam masa penjajahan perlawanan terhadap penjajah dengan mudah ditemukan legitimasinya apakah dalam agama Islam (menentang kafir Belanda) atau dalam nasionalisme (menentang penguasa asing) dan di saat perlu kedua motif dengan mudah bersatupadu, tetapi cerita menjadi lain setelah penjajah angkat kaki. Persoalan sekarang adalah bagaimana membangun persatuan agar negara dapat melangsungkan kehidupannya. Mengapa tokoh-tokoh muslim nasionalis dalam waktu yang sangat singkat
menerima perubahan atas rumusan Piagam Jakarta?(22)
Demikian pula suatu Indonesia baru telah lahir, bukan sebagai suatu negara Islam seperti yang dimaksud dalam konsepsi Islam ortodoks, dan juga bukan sebagai suatu negara sekuer yang memandang agama hanya sebagai masalah pribadi. Pembahasan mengenai masalah ini telah berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu dalam adanya gagasan mengenai suatu negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan, dan ingin bersikap positif terhadap agama pada umumnya serta dalam berbagai bentuk perwujudannya, atau menurut suatu slogan yang timbul belakangan, suatu negara yang ingin memandang agama sebagai suatu sumbangan yang mutlak terhadap nation-building dan character-building 'pembentukan bangsa serta pembinaan watak'. Jadi, penyelesaiannya secara Indonesia dari masalah ini bukanlah suatu undang-undang dasar yang mempergunakan peristilahan Islam tanpa sungguh-sungguh menerima makna Islaminya, tetapi penerimaan nilai-nilai kerohanian milik bersama seperti tercantum dalam Pancasila, dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Mahaesa.(25) Pada tanggal 3 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat (yang
dikenal sseagai Maklumat No.X) yang ditandatangani oleh Wakil Presiden
Mohammad hatta yang berisi anjuran tentang berdirinya partai-partai politik;
yang merupakan penegasan bahwa pemerintah menyukai timbulnya partai-partai
"karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin kejalan yang
teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat" dan merupakan harapan
pemerintah "supaya partai-partai politik itu telah tersusun, sebelumnya
dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan
Januari 1946."(26) Setelah dikeluarkannya maklumat pemerintah ini, kalangan
Islam menyambutnya dengan cepat. Masyumi (singkatan dari Majelis
Ada dua macam keanggotaan dalam Masyumi: 1) Perseorangan dan 2) Organisasi. Sistem keanggotaan yang demikian menjadi salah satu kelemahan Masyumi karena sejak terbentuk sistem ini selalu menjadi pokok pembahasan dalam setiap kongres partai. Semula tujuan struktur keanggotaan ini adalah agar Masyumi demgan cepat dapat memperoleh banyak anggota. Pada mulanya hanya empat organisasi yang masuk Masyumi: Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Dua terakhir kemudian bergabung menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia.(30) Noer mengatakan keempat anggota merupakan wakil pembaharuan (Muhammadiyah), tradisional (NU), dan Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam bersifat tradisional dalam agama tetapi cenderung modern dalam soal dunia "sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan modernis."(31) Kalau demikian hanya NU saja yang mewakili kelompok tradisional murni dalam kiprah politik di awal kemerdekaan. Karena PSII belum dibentuk kembali sejak dibubarkan oleh Jepang, para tokohnya menjadi anggota secara perseorangan seperti Sukiman dan Adikusno. Struktur keanggotaan memang berhasil menghimpun banyak anggota. Jika dilihat dari perkembangannya maka sampai 31 Desember 1950 di tiap-tiap Kabupaten terdapat cabang, hampir di tiap kecamatan ada anak cabang dan hampir-hampir tiap desa di Jawa terdapat rantingnya. Sambil memperluas pembentukan di desa-desa di luar Jawa telah tercatat 237 cabang, 1080 anak cabang dengan 4982 ranting dengan lebih kurang 10.000.000 anggota.(32) Dilihat dari segi angka memang struktur keanggotaan di atas menjadi kekuatan Masyumi. Namun demikian struktur itu pula merupakan kelemahan. Sebenarnya sejak semula NU lebih condong kebentuk federasi dalam arti yang menjadi anggota adalah organisasi seperti Masyumi di zaman Jepang.(33) Mungkin maksud NU ialah dengan berbentuk federasi eksistensi keanggotaan organisasi pendukung dapat berperan lebih besar dalam perjalanan partai. Memang NU dihornnati dengan memberikan kepadanya Majelis Syuro, tetapi kiprah partai lebih banyak dilakukan oleh eksekutif partai.(34) Dengan adanya keanggotaan perseorangan, Masyumi berhasil menghimpun para intelektual yang tangguh seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem dan Sjafruddin Prawiranegara dan lain-lain. Tiga orang inilah yang banyak mengarahkan perjalanan partai karena kefasihan mereka merumuskan pemikiran politiknya. Namun demikian mewakili siapakah mereka melontarkan pemikiran politiknya? Apakah artinya keanggotaan organisasi kalau juru bicara partai orang yang tidak mempunyai basis organisasi? Mampukah mereka menghayati aspirasi para anggota berdasarkan organisasi? Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya dapat mewakili keberatan NU sehingga, ia lebih condong kepada bentuk federasi. Walaupun NU, seperti dikatakan di atas, agaknya cukup puas dengan kedudukan di dalam Majelis Syuro, bukan berarti ia tidak menyadari bahwa eksekutif dipegang oleh tokoh-tokoh modernis (pembaharuan ) atau "orang-orang sekolahan" menurut ucapan Nurcholis Madjid kepada Ahmad Syafii Maarif.(35). Seolah ingin mengungkapkan suatu kekecewaan Saifuddin Zuhri mengatakan: "Soalnya sederhana saja, Nahdlatul Ulama merasa diperlakukan tidak adil oleh dominasi golongan dan perorangan yang kuat kedudukannya lantaran struktur organisasi yang berlaku."(36) Ucapan ini ditujukan kepada kelompok pembaharuan.(37) Bahwa NU diperlakukan tidak adil dibantah oleh Maarif sambil mengajukan rekaannya terhadap pandangan kaum pembaharu: Dari sisi pandangan modernis, cara menempatkan kedudukan para ulama (kyai) itu sudah dipandang cakup adil, karena Dewan Partai (Majelis Syuro) memang diciptakan untuk mereka, sedangkan Dewan Eksekutif untuk para politisi yang berpengalaman, yang kebetulan sebagian terdiri dari golongan modernis. Pihak NU mungkin akan bertanya: Mengapa pintu ditutupi bagi para kyai untuk dilatih menjadi politisi yang berpengalaman?(38) Selanjutnya ia menambahkan: Pada waktu itu tampaknya kelompok modernis kekurangan data sosial dalam membaca faktor religius-psikologis yang amat penting ini. Sekiranya waktu itu mereka cukup arif dan bijaksana, sayap pesantren dan umat mungkin tidak menarik diri dari Masyumi, sebab bukankah para kyai ini pula yang juga menjadi Bapak Pendiri partai yang dibentuk tiga bulan setelah kemerdekaan RI diproklamasikan?(39) Pandangan Maarif ini benar-benar mewakili visi kelompok pembaharu yang menganggap diri lebih mampu karena latar belakang pendidikan modern yang mereka peroleh. Keluhan yang diajukan oleh Maarif belum mewakili keluhan NU. Secara lebih tajam keluhan itu harus diungkapkan demikian: Mengapa kaum pembaharu tidak memperhatikan sejarah di mana para ulama dengan caranya sendiri telah berjuang aktif? Atas dasar apakah kaum pembaharu meremehkan kemampuan politik para ulama, apakah berdasarkan pendidikan atau berdasarkan pandangan keagamaan? Terlepas dari latar belakang para ulama dalam NU, yang sangat kurang mengecap pendidikan modern, menyingkirkan NU dari panggung politik sebenarnya menyangkal peranan klasik ulama di mana aspek politik selalu terkait erat. G.H. Jansen seorang diplomat Inggris yang lama bekerja di kota-kota Kairo, Istambul, Jakarta dan Beirut selama 25 tahun, dengan tepat melukiskan potensi ulama kendatipun mereka dijuluki tradisional dan konservatif: Adalah sama sekali tak islami kalau seorang ulama Islam tidak tertarik dan bergerak dalam bidang politik, karena itu berarti bahwa mereka bermasa bodoh terhadap nasib ummat muslimin. Salah satu alasan mengapa ulama mendapat kedudukan di dunia politik, ialah terutama karena mereka adalah kelompok orang-orang yang dihormati di setiap negara muslim . . . Mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh tradisionalis dan konservatif tetapi justru karena itu mereka dianggap berhasil. Maksudnya berhasil memelihara tradisi Islam dalam bentuk yang hidup, bukan sebagai mummi.(40) Selanjutnya dia menambahkan, dengan mengutip L. Binder Islam tradisional telah disatukan oleh tradisi dan organisasi para ulama. Mereka adalah tokoh-tokoh terpelajar Islam yang sampai hari ini berhasil mempertahankan kedudukan mereka sebagai penjaga-penjaga simbol Islam. Hak eksklusif mereka dalam menafsirkan Islam hanya akhir-akhir ini saja dibantah orang. Mereka juga berhasil memelihara semua pokok-pokok ajaran Islam sejak abad pertengahan. Ini adalah hasil yang besar bagi suatu lembaga yang tidak berbentuk semacam itu.(41) Bagi NU kedudukan Majelis Syuro bukan sekedar kehormatan. Agaknya bagi NU kedudukan Majelis Syuro dalam Masyumi merupakan pengalihan model struktur NU sendiri yaitu yang disebut di dalam organisasi NU sebagai Majelis Syuriah (ketuanya disebut Rois Am). Dalam NU ia merupakan badan tertinggi yang tugas utamanya "mengawasi dan memimpin gerak langkah" NU. Kemudian hari setelah NU keluar, Masyumi menetapkan "dalam Anggaran Rumah Tangga tahun 1953, perkataan wajib dalam rangka Majelis Syuro itu dihapuskan".(42) Selama NU masih bergabung dalam Masyumi tampaknya kedudukan Majelis Syuro dianggap atau diusahakan menjadi semacam badan penasehat, suatu hal yang dengan gigih di tentang oleh NU.(43) Fungsi hanya sebagai penasehat yang diberikan kepada Majelis Syuro juga dirasakan sebagai usaha, untuk mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan keagamaan dalam keputusan-keputusan dan kebijaksanaan partai. NU menuntut agar Majelis Syuro yang sudah berdiri sejak tahun 1945 itu berfungsi sebagai badan yang dipimpin oleh ulama terkemuka yang bertugas meninjau keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan Majelis Dewan Partai (Eksekutif) yang dianggap bertentangan dengan Islam.(44) Dalam pandangan NU, kalau Masyumi sungguh-sungguh akan meniadi partai Islam, maka peranan ulama harus diakui sebagai pengawas kiprah partai agar partai selalu bekerja sesuai dengan gagasan keislaman. Pandangan inilah yang menyebabkan NU seperti sudah saya katakan cukup puas dengan kedudukan di dalam Majelis Syuro walaupun eksekutif didominasi oleh kalangan pembaharuan. Bukankah itu menandakan NU telah menunjukkan sikap yang arif? Para pemimpin Masyumi (eksekutif) — yang memperoleh pendidikan modern (Barat) — mungkin melupakan bahwa NU adalah organisasi yang khas, organisasi massa yang bersifat keagamaan (Jamiah diniyah) dengan basis pesantren dan kedudukan ulama. Kedudukan ulama yang kuat dan menentukan diperoleh bukan karena gagasan yang gemilang atau karena kepandaian merumuskan pemikiran politik tetapi karena statusnya di mata umat sebagai, meminjam istilah Zuhri, "penggembala umat".(45) Perbedaan latar belakang pendidikan dan paham keagamaan (akibat politik etis Belanda dan paham pembaharuan dalam agama (46) ) para tokoh eksekutif Masyumi dengan para ulama mencuat dalam konflik intern Masyumi. Para tokoh eksekutif Masyumi merasa dirinya lebih mampu mengelola partai dan merasa juga bahwa pemahaman keislaman mereka dan aktivitas mereka di dalam pergerakan Islam tak perlu diragukan lagi.(47) Dengan demikian Masyumi sebenarnya partai yang rapuh. Masyumi yang sangat diharapkan oleh kalangan muslim sebagai satu-satunya saluran aspirasi politik Islam, hanya kurang lebih dua tahun saja mampu bertahan. Harapan itu sudah sirna pada tahun 1947 ketika beberapa tokoh eks Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Arudji Kartawinata dan Wondoamiseno, keluar dari Masyumi dan mendirikan kembali PSII.(48) Tindakan partai ini karena ada peluang untuk mendapat posisi dalam kabinet Amir Sjarifuddin. Dan PSII memang kemudian memperoleh enam kursi dalam kabinet.(49) Masyumi yang semula menolak untuk mendukung kabinet menjadi goyah dan kemudian memberikan dukungannya.(50) Hancurlah mitos Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik Islam. Dari sudut persatuan muslim sudah tentu sikap PSII dikecam habis-habisan, namun demikian dari sudut politik — yang senantiasa mementingkan kemenangan golongan — sikap PSII sudah tentu cukup wajar. Keluarnya PSII menunjukkan kurangnya komitmen persatuan di kalangan tokoh pendukung Masyumi. Dengan ikutnya Masyumi mendukung kabinet maka "dalam satu kabinet ada dua partai Islam yang duduk di dalamnya."(51) Kiprah Masyumi banyak sekali diwarnai oleh pemikiran para tokohnya — dan jangan lupa — umumnya berlatar belakang pendidikan Barat. Kendatipun kedua tokoh PSII yang telah kita sebut tadi — menurut Noer — keluar dari Masyumi karena kedudukan mereka yang kurang memuaskan (52), agaknya kerapuhan partai ini juga disebabkan oleh perbedaan orientasi ideologi politik para tokohnya. Pengamatan Abu Hanifah, seorang tokoh Masyumi, mengungkapkan hal itu: Ketua Masyumi pertama adalah pemimpin muslim terkenal dari Sarekat Islam lama, yaitu Dr. Soekiman. Kelompok pemikirnya terdiri dari pemimpin-pemimpin intelektual muslim yang lebih muda. seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman, Jusuf Wibisono dan saya sendiri. Kelompok yang lebih muda ini termasuk ke dalam golongan sosialis 'religius'. Jalan pikiran mereka sedikit berbeda dengan kelompok pemimpin muda muslim yang lain dibawah pimpinan Mohammad Natsir. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat tiga kelompok dalam Masyumi: Kelompok konservatif yang umumnya terdiri dari pemimpin-pemimpin agama muslim; kelompok moderat yang terdiri dari Mohammad Natsir, Sjafruddin, Roem; dan kelompok sosialis religius yang lebih berpikir secara Barat seperti Dr. Soekiman, Jusuf Wibisono dan saya sendiri. Kelompok moderat secara politis lebih dekat kepada Sjahrir. sementara kelompok konservatif dan sosialis religius kebetulan lebih sering berdampingan terutama selama tabun-tahun pertama revolusi.(53) Boland setuju dengan George Kahin yang melukiskan para pemimpin Masyumi
(Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Jusuf Wibisono dan Abu
Hanifah) banyak dipengaruhi oleh
Walaupun terdapat perbedaan di antara Abu Hanifah dan Kahin dalam cara pengelompokan dan dalam penempatan nama-nama tokoh, sekurang-kurangnya keduanya menegaskan pengaruh tokoh terhadap kiprah partai. Masyumi mengalami kesukaran merumuskan langkah dan kebijaksanaannya. "Kegagalan mengarahkan dan menangani secara bijak perbedaan-perbedaan pendapat dan kecenderungan ideologi tersebut ke arah persamaan sikap secara wajar, kemudian ternyata telah menghadapkan Masyumi pada problem-problem yang serius," demikian Maarif.(55) Problem yang serius itu — mungkin yang paling serius — adalah ketegangan antara kelompok intelektual (dari kalangan pembaharuan, para eksekutif partai) dan kelompok ulama. Apakah tujuan berdirinya Masyumi? Dalam Anggaran Dasar tahun 1945 ditetapkan tujuan berdrinya Masyumi : a. Menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam.
Apakah Masyumi mengutamakan berdirinya 'masyarakat Islam' atau 'negara Islam'? Yang tegas menyebutkan negara Islam sebaga tujuan Masyumi adalah sumber dari Wahid Hasyim: "untuk mewujudkan masyarakat dan negara Islam".(57) Boland menyangsikan ketepatan kutipan dari Hasjim ini.(58) Kemungkinan sekali Masyumi berharap perwujudan negara Islam akan mudah terlaksanakan bila ia kemudian memenangkan pemilihan umum. Harapan itu termaktub dalam program aksi yang dikeluarkan tanggal 17 Desember 1945 yang bermaksud "memperkuat dan menyempurnakan dasar-dasar pada Undang-Undang Dasar Rl sehingga dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam" dan karena itu partai menuntut suatu pemilihan umum "yang umum dan langsung".(59) Ada dua bidang, bidang sosial dan ekonomi, yang ditekankan oleh program tersebut: Dalam bidang sosial partai menuntut: 1. adanya undang-undang guna kesejahteraan umum yang mencakup larangan segala macam perjudian minuman keras dan madat, perzinahan dan riba; 2. undang-undang yang memberi perlindungan kepada kaum buruh secukupnya dengan kesempatan cukup untuk rnelakukan syariat Islam dalam waktu kerja, upah umum, pembatasan jam kerja, bantuan kecelakaan dan bantuan hari tua, penjagaan keamanan dalam bekerja, kesehatan dan perumahan, serta mempertinggi kecerdasan dan juga kesempatan untuk beristirahat; 3. undang-undang yang memberi jaminan pada kaum tani dalam hak memiliki sebidang tanah untuk jaminan hidup berumah tangga, perbaikan alat dan bibit pertanian, perlindungan penjualan hasil bumi di dalam dan di luar negeri, peningkatan derajat dan modernisasi rumah tangga desa serta peningkatan kecerdasan kaum tani khususnya mengenai pertanian; 4. hal yang sama dilakukan untuk keperluan para nelayan. Partai juga menuntut terbit dan terlaksananya undang-undang kewajiban belajar. Dalam bidang ekonomi partai berpendapat bahwa: 1) negara wajib mengadakan kemungkinan berusaha dan memberikan lapangan kerja kepada warga negaranya; 2) perekonomian rakyat perlu disusun atas dasar gotong royong, yang di dalamnya usaha perseorangan tidak boleh merugikan kepentingan umum, 'bahkan harus ditujukan ke arah menjamin kemakmuran bersama'; 3) pembatasan hak milik perseorangan dengan 'ketentuan-ketentuan agama Islam (pemberian zakat, kurban dan lain sebagainya)'; 4) sistem kapitalisme yang nyata mengandung kepentingan perseorangan belaka harus ditentang.(60) Kesan kita dengan bunyi program di atas adalah sifat pragmatismenya. Sesuatu yang tidak mengherankan karena program itu banyak persamaannya dengan Tafsir Asas PSII tahun 1917 dan memang besar sekali pengaruh Sukiman (eks PSII) ketua Masyumi dalam perumusannya.(61) Menurut Noer kepemimpinan di dalam Masyumi pada tahap awal (1945-1949) didominasi oleh "kalangan yang lebih tua" yang disebut kelompok Sukiman dan barulah pada tahap selanjutnya (1952-1960) didominasi oleh "kalangan yang lebih muda" yang disebut kelompok Natsir.(62) "Antara kedua masa ini (1950-1952) dijumpai fase peralihan, ketika kalangan yang lebih tua tampak berusaha bertahan dan kalangan yang lebih muda mendesakkan garis dan kedudukan kepemimpinannya."(63) Berarti garis perjuangan partai tidak konsisten, tetapi mudah berubah sesuai dengan pemikiran pimpinannya (eksekutif). Kesan keagamaan lebih kuat dalam Manifesto Politik tanggal 6 Juni 1947; "Republik Indonesia, yang penduduknya sebagian besar menganut agama Islam, haruslah merupakan suatu negara dengan suatu undang-undang yang berlandaskan asas-asas yang sesuai dengan agama ini atau tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.(64) Dan pada tahun 1948 Masyumi memutuskan "agar pemerintah harus didesak untuk mewajibkan pendidikan agama di sekolah dasar dan sekolah menengah".(65) Mengenai ini Kahin memberi komentar bahwa "kelompok kecil yang bersikap konservatif dalam Majelis Syuro lebih banyak memberikan perhatian kepada pendidikan Islam dan amal keagamaan secara formal daripada segi sosiai ekonomi dalam program Masyumi tersebut".(66) Ini menunjukkan bahwa sejak semula Masyumi telah mengalami ketegangan yang serius antara kepentingan politik yang cenderung pragmatis dan kepentingan keagamaan (dalam visi tradisional para ulama). Oleh karena itu keluarnya NU dari Masyumi hanya soal waktu saja. Ketika Masyumi menolak calon NU untuk duduk sebagai menteri agama dalam Kabinet Wilopo tahun 1952 melalui "pemungutan suara"(67), maka NU menyatakan diri keluar dari Masyumi. Seperti yang dikatakan oleh Saifuddin Zuhri soal menteri agama hanyalah picu peledak saja: Masalah Menteri Agarna cuma picu peledak dari ketidakpuasan akibat kebijaksanaan-kebijaksanaan partai. Keliru kalau orang hanya melihat itu sebagai masalah pokoknya. Soalnya bisa dipahami dengan pertanyaan, cukup pantaskah suatu kekuatan besar seperti NU secara terus menerus dikurangi perannya, lalu satu-satunya yang masih dimiliki diambil lagi.(68) Menurut hemat saya, kalau NU menuntut dengan gigih kursi menteri agama didorong oleh ciri khas NU sebagai organisasi ulama dan lagi pula ciri khas itu secara tidak langsung diakui Masyumi dengan menyerahkan pimpinan Majelis Syuro kepadanya. NU mengharapkan melalui jabatan menteri agama pemberlakuan ajaran Islam — sepanjang dimungkinkan di negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dapat dilakukan secara maksimal! Dengan nada pahit Idham Chalid (dalam kepengurusan NU 1952 menjabat sekretaris umum dan 1956 ketua umum(69) ) mengungkapkan kekecewaan NU: Ini terus terang saja waktu itu 5 menteri Masyumi, 4 sudah
diambilnya. Departemen Agama masih diambilnya juga. Kalau orang mengatakan,
NU pecah, karena kursi meninggalkan Masyumi kata Masyumi.
Keputusan untuk keluar dari Masyumi diambil dalam Muktamar di Palembang
Mei 1952 sambil memberi amanat kepada pengurus:
Nahdlatul Ulama berasas agama Islam dan bertujuan: a. Menegakkan syari'at Islam, dengan berhaluan salah satu
daripada 4 madzhab: Syafi'i, Maliki, Hanafi dan Hambali.
Rumusan ini hampir tidak ada bedanya dengan rumusan Anggaran Dasar 1926. NU dalam wujudnya sebagai partai politik tetap mempertahankan ciri-cirinya sebagai penganut ajaran mazhab. Orang yang tidak mengakui wibawa keempat mazhab tidak dapat menjadi anggota. Tradisi Islam khususnya tradisi keempat mazhab akan tetap menjadi rujukan kiprah politiknya. Menekankan peranan mazhab merupakan letak kekuatan NU, sementara Masyumi dengan tokoh-tokohnya yang berlatar belakang pendidikan Barat masih bergantung pada pemikiran individu. Nanti kita akan melihat bahwa Masyumi baru pada akhir Agustus 1952 menyusun ideologinya yang disebut sebagai Tafsir Asas (Penjabaran Anggaran Dasar).(73) Saya kurang setuju dengan pendapat Boland bahwa "rumusan politik keagamaan mereka malahan tidak begitu jelas watak Islamnya dibanding dengan Masyumi".(74) Karena, sesuai dengan watak tradisionalnya ia cukup mengajukan rumusan bila diperlukan, dengan menggali dari khazanah tradisi. G.H Jansen melukiskannya dengan fasih: ... NU selalu dituduh oportunis dan tidak mempunyai program atau ideologi sendiri yang jelas. Dan memang ia tak membutuhkannya, karena dengan hanya mengulang ulang tujuan-tujuan tradisional dan skolastiknya ia dapat dengan leluasa melakukan langkah-langkah politik demi kelangsungan hidupnya...(75) Segera setelah memutuskan keluar dari Masyumi, NU menggalang persatuan
yang bersifat federatif bersama dengan PSII dan
Fenomena ini dapat pula berarti bahwa corak bersatu-berpecah dikalangan umat Islam adalah ulangan belaka dari peristiwa yang terjadi pada periode pra-MIAI, dan sesudah kemerdekaan muncul ke permukaan kembali. Dengan demikian ikrar November (berdirinya Masyumi) ternyata belum mampu mencegah umat dari bencana perpecahan. Bila sebelumnya berpecah karena khilafiah, maka sesudah kemerdekaan berpecah karena soal-soal politik Tentang gejala bersatu-berpecah dikalangan umat, menurut K.H.A. Sjaichu (seorang tokoh NU), memang cerminan dari kelemahan yang disebabkan oleh dua faktor: 1. Umat masih belum memiliki kepemimpinan yang dapat diandalkan. Inilah salah satu sebab mengapa persatuan masih sering goyah; 2. Sebagai konsekuensi logis dari faktor pertama, maka pemimpin-pemimpin umat sering benar membuat keputusan-keputusan politik tanpa mempertimbangkan secara mendalam dampak masa depan bagi umat secara keseluruhan.(85) Dan bersamaan waktu dengan terbentuknya Liga, pada akhir Agustus Masyumi mencetuskan Tafsir Asas dan Program Perjuangan Partai.(86) Tafsir Asas ini terutama merupakan karya Mohammad Natsir dan Program Perjuangan karya Jusuf Wibisono.(87) Dengan demikian barulah pada tahun 1952 — sesudah NU keluar dari Masyumi — Masyumi mempunyai rumusan ideologi dan program yang baku. Dan, Masyumi sekarang dikendalikan oleh tokoh Natsir, seorang tokoh pembaharuan yang progresif dan fasih dalam merumuskan pemikirannya. Tafsir Asas ini disusun dengan kesadaran yang tinggi tentang situasi internasional yaitu, persaingan ideologi kapitalisme dan komunisme. "Perkembangan terjadinya kedua kekuatan itu juga dikemukakan, dan analogi dibuat dengan membandingkannya dengan cerita-cerita dalam Quran".(88) Seolah dengan itu ingin ditegaskan bahwa Islam adalah alternatif di antara kedua ideologi tadi. Noer merangkum pokok-pokok Tafsir Asas itu sebagai berikut:
Kembali kepada Tafsir Asas. Ditinjau dari sistematika bahasan dan pokok-pokok yang dibahas sungguh suatu karya yang pantas dipuji dan sangat setia mencari rujukan pada ayat-ayat Quran. Tetapi sepintas kilas Tafsir Asas ini sangat kabur napas keislamannya dan mungkin sekali hanya dimengerti oleh orang yang berpendidikan modern atau oleh orang yang hidup di kota-kota! Dan, memang para pendukung Masyumi adalah orang-orang yang hidup di kota, kelas menengah dan kaum pedagang.(95) Demikian pula Program Perjuangan, tidak lebih dari mensakan pemikiran
modern (Barat) dalam bidang kenegaraan, ekonomi keuangan, sosial, pendidikan
dan kebudayaan, dan sebagainya
Mengamati ideologi (Tafsir Asas) dan Program Perjuangan Masyumi suatu kenyataan terungkap, bahwa rumusan Masyumi nyata sekali menggunakan bingkai pemikiran modern (Barat) dan mengisinya dengan semangat Islam. Hal ini mungkin didorong Oleh semangat menjadi modern dan rasional sehingga yang menonjol akhirnya kaum intelektual dengan pemikirannya ketimbang peranan ulama yang bertumpu pada tradisi. Pengamatan Rahman hampir secara tepat mengungkapkan fenomen ini ketika ia mengamati peranan kaum pembaharuan (modernis) dalam beberapa negara Islam: Sebagian besar tokoh teras dalam pemerintahan-pemerintahan Islam adalah modernis: meskipun banyak yang pada dasarnya (jiwanya) sekuler. Namun setidaknya secara lahir mereka mengaku sebagai modernis baik demi kepentingan politik belaka maupun karena berusaha untuk menjaga perasaan khalayak (masyarakat). Tetapi di bidang ini pun para modernis tidak mampu rnenyusun teori yang konsisten tentang negara Islam, yang bisa disesuaikan dengan konsep-konsep demokrasi Barat mereka dengan citra ideal Islam. Sebenarnya bukan Islam yang mereka pakai sebagai titik tolak, melainkan konsep-konsep demokrasi itu.(100) Jika pengamatan ini dapat dikenakan kepada Masyumi, maka besar sekali jurang perbedaan antara Masyumi dengan NU! Lagi pula, upaya menyingkirkan ulama dari panggung politik memang bersesuain dengan watak kaum pembaharuan yang menekankan ijtihad ketimbang pendapat tradisi dan pendapat ulama. Dengan meminjam kalimat Rahman: Sebenarnya, dengan menampik 'kelas kyai' dalam Islam, para modernis bermaksud menurunkan para ulama dari panggung. Kemudian mengganti otoritas ulama dengan kelompok lain yakni mereka sendiri bersama para legislator awam sesamanya.(101) Ucapan seorang tokoh Masyumi yang menjadi walikota Yogyakarta, Mohammad Saleh, dalam Kongres Masyumi 1949, memperkuat kesan Rahman ini: "Ini adalah politik . . . Politik ini saudara-saudara tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih, jangan dikira skop (scope)-nya politik ini hanya di sekeliling pondok dan pesantren saja. Dia luas menyebar keseluruh dunia."(102) Ketika tuntutan wakil NU agar Mohammad Saleh menarik kembali ucapannya ditolak, "sekitar tiga puluh orang NU meniggalkan ruangan."(103) NU sangat tersinggung akibat ucapan itu, karena untuk pertama kali wibawa dan peranan ulama digugat dalam suatu forum justru setelah berada di alam kemerdekaan. Penepatan Majelis Syuro — yang diharapkan menjadi pengakuan peraan ulama sebagai penasehat partai, merupakan penyingkiran secara tidak langsung peranan ulama dari politik. Bergabungnya NU dalam Masyumi menjadi pengalaman berharga bagi NU; ia mulai mengalami liku-liku politik, sesuai yang relatif baru baginya. Bahkan, mempertegas perbedaan visi kaum pembaharuan dengan visi ulama; bagi NU politik ingin dijadikan perluasan peranan ulama, sedangkan bagi kaum pembaharuan untuk mewujudkan cita-cita Islam tetapi mengabaikan pengemban utamanya ynitu ulama. Peranan ulama digantikan oleh analis intelektual para eksekutif partai tanpa rujukan tradisi yang menjadi anutan NU. Kalau begitu Masyumi akhirnya merupakan organisasi ideologi (keislaman), sedangkan NU sejak semula adalah organisasi massa (dengan peranan ulama dan pesantren sebagai basis) Siapa atau apakah yang menentukan? Politisi atau ulama? Ideologi atau tradisi? Inilah pertanyaan dilematis yang dipecahkah dengan perpecahan! ___________________________
|
|