[  Einar Martahan Sitompul / N U   dan Pancasila ]

 
Bab II
Lahirnya Nahdlatul Ulama
sebagai Organisasi Keagamaan
  
 

A. Lahirnya Nahdlatul Ulama 

Bagi orang yang kurang akrab dengan NU, apabila mendengar nama itu disebutkan, maka akan berasosiasi pada sosok ulama berjubah dan bersorban, yang bergerak perlahan menjaga keanggunan dirinya, yang hanya paham akan hukum-hukum agama saja, dan kalau ia tampil di arena politik maka sosok itu akan bertampang kaku. Itu hanyalah gambaran lahiriah saja. Apabila kita membalik lembaran sejarah, segera terpampang bahwa NU adalah sebuah organisasi Islam yang telah banyak merasakan garam pergolakan sejarah dan badai perubahan zarnan, namun selalu mampu berdiri tegak. Walau kadang ia agak terhuyung tapi tetap mampu meneruskan perjalanannya. Tepatlah lukisan Dhofier tentang NU: 

Perkumpulan Nahdlatul Ulama seperti yang kita kenal sekarang ini adalah pewaris dan penerus tradisi kyai..., NU telah mampu mengembangkan suatu organisasi yang stabilitasnya sangat mengagumkan, walaupun ia sering menghadapi tantangan-tantangan dari luar yang cukup berat. Modal utamanya adalah karena para kyai memiliki sesuatu perasaan kemasyarakatan yang dalam dan tinggi (highly developed social sense) dan selalu menghorrnati tradisi. Rahasia keberhasilan kyai dalam mengembangkan sistem organisasi yang kuat dan stabil itu terletak pada kebijaksanaan dan kesadaran mereka bahwa struktur sosial yang mana pun haruslah mempercayai general consensus; bukannya mempercayakan atau menggantungkan persetujuan yang dipaksakan atau sistem organisasi yang rumit.(1) 

Cukup lama kurun waktu antara berdirinya organisasi pembaruan dengan berdirinya NU (1911-1926 atau 1905-1926! ). Bahkan seorang tokoh ulama, Abdul Wahab Hasbullah pernah bekerja sama dengan Mas Mansur (Muhammadiyah) mendirikan Taswirul Afkar (Grup Berpikir) di sekitar 1914-1916 di Surabaya.(2) Namun sementara itu rupanya di kalangan umat Islam telah terjadi perdebatan sengit yang kadang sampai dilakukan di depan aparat keamanan Achmad Fedyani Saifuddin telah mengamati hal ini dalam penelitiannya yang kemudian ditulis menjadi sebuah buku Konflik dan Integrasi: Perbedaan faham dalam agama Islam, yang di dalamnya ia menguraikan bagaimana terjadinya konflik antara pengikut NU dan Muhammadiyah dalam bidang praktek keagamaan.(3) Sebelum NU berdiri tampaknya umat Islam telah berhasil menggalang forum persatuan, yaitu berdirinya Kongres Umat Islam Indonesia (yang pertama berhasil diselenggarakan di Cirebon tahun 1922) sebagai forum bersama kelompok pembaharuan dan tradisi.(4) Tetapi rupanya kelompok pembaharuan tidak dapat menahan diri untuk tidak menyerang kaum tradisional di forum bersama itu. Kongres yang diharapkan akan menjadi forum menggalang kekuatan menghadapi penjajahan berubah menjadi arena perdebatan. Muhammadiyah yang paling gencar melancarkan serangannya. "Umat Islam," menurut mereka, "harus segera menutup kitab-kitab karangan ulama untuk hanya kembali kepada Quran dan Hadis Nabi".(5) Sedangkan SI tampaknya tidak tertarik memperdebatkan masalah keagamaan.(6) Dengan ikut sertanya kaum ulama dalam kongres sebenarnya tampak bahwa kaum ulama (golongan tradisional) bukanlah anti kepada gerakan pembaharuan, tetapi menentang serangan kaum pembaharuan terhadap sendi-sendi keislaman yang mereka anut! 

Sementara itu, kongres di samping memunculkan polarisasi tradisional dan pembaharuan, juga memunculkan konflik antara sesama golongan pembaharuan, yaitu antara SI di satu pihak yang lebih menekankan perjuangan karena itu berusaha menjauhkan hal 
yang membawa pertikaian dengan Muhammadiyah dan Persis di pihak lain yang lebih menekankan apa yang dianggap kemurnian agama. Sampai-sampai Muhammadiyah dan Persis melarang anggotanya masuk SI dan demikian pula sebaliknya SI melarang anggotanya memasuki Muhammadiyah.(7) 

Sejak kongres pertama di Cirebon sampai dengan sebelum berdirinya NU para ulama masih dapat menuntut penghargaan dari 
kaum pembaharuan. 

Kongres berikutnya, berlangsung di Surabaya tanggal 24 - 25 Desember 1924, mengangkat masalah ijtihad, kedudukan tafsir Almanar dan ajaran Muhammadiyah dan A1—Irsyad sebagai topik utamanya. Perdebatan yang sengit antara unsur 'tradisi' dari Taswirul Afkar dengan unsur 'pembaharu' membawa kongres pada suatu kesimpulan bahwa ijtihad memang masih tetap terbuka, tapi tidak bisa dilakukan kecuali dengan syarat-yarat mengetahui nash Al Qur'an dan Hadis, memahami betul ijma para ulama terdahulu, mengetahui bahasa Arab, asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), asbabul wurud (sebab-sebab lahirnya Hadis) dan beberapa persyaratan lainnya. Sampai pada tahap ini, ulama-ulama pesantren yang dicap tradisional itu memang telah berhasil memberikan warna yang cukup menyolok pada keputusan-keputusan kongres. Tapi tidak demikian pada tahapan berikutnya.(8) 

Memang para tokoh penting atau para pendiri NU sebenarnya tidak merasa asing dengan gagasan pembaharuan yang sedang hangat di Timur Tengah. Tiga orang tokoh penting ulama adalah para alumni Mekah di awal abad XX. Mereka adalah Hasyim Asyari, Abdul Wahab Hasbullah dan Bishri Sansuri. Mereka bertiga dan K.H. Ahmad Dahlan pernah belajar pada salah seorang ulama terkenal asal Indonesia di Tanah Suci, Syeh Ahmad Khatib Minangkabau.(9) Ahmad Khatib dianggap tokoh kontroversial. Dengan mengutip Noer, Dhofier mengatakan: "Di satu pihak ia tidak menyetujui buah pikiran Muhammad Abduh yang menganjurkan uma Islam melepaskan diri dari anutan-anutan mazhab yang empat. Di lain pihak ia menyetujui gerakan untuk melenyapkan segala bentuk praktek tarekat."(10) Hasyim Asyari, tokoh paling berpengaruh, yang digelari Hadratus Syeh, guru besar, bagi seluruh ulama di Jawa, juga menerima pengaruh dari Syeh Mahfudh at-Tarmisi yang menerima kehadiran Tarekat.(11) Perbedaan jalan yang ditempuh oleh kaum tradisional dengan kaum pembaharuan mungkin sekali terletak pada latar belakang para ulama sendiri. Ulama pesantren tidak pernah menikmati pendidikan modern ala Barat dan hubungan yang sangat erat antar kyai dengan pendahulunya (yang sering bersifat genealogis atau turun-temurun (12) ), menyebabkan penerimaan para ulama terhadap gerakan pembaharuan berbeda. Para ulama menyambut baik gerakan pembaharuan tetapi menyesuaikannya dengan tradisi yang mereka anut! 

Perbedaan mencuat menjadi perpisahan setelah kaum pembaharuan bertindak sendiri memilih utusan ke Kongres Khilafat (kongres yang bertujuan menetapkan Khalifah, pemimpin umat Islam) di Mekah yang diprakarsai oleh Raja Saud penguasa baru di Hijaz yang menganut aliran Wahabiyah. Sebenarnya ini adalah rencana yang kedua. Sebelumnya penguasa di Mesir telah bermaksud mengadakan Kongres Khilafat tahun 1924. Dan umat Islam di Indonesia sudah mempersiapkan diri dengan terbentuknya sebuah komite yang diketuai oleh Wondoamiseno (SI) dan wakilnya Abdul Wahab Hasbullah mewakili golongan tradisi. Sebagai delegasi ditetapkan Soerjopranoto (SI), H. Fachruddin (Muhammadiyah dan Abdul Wahab Hasbullah (golongan tradisi).(13) Tetapi perkembangan menjadi lain ketika Kongres Kairo diundur. Perhatian segera beralih ke Hijaz. Ketika itu kaum pembaharuan memutuskan sendiri akan mengirim utusan, yaitu Tjokroaminoto dari SI dan Mas Mansur dari Muhammadiyah.(14) Walaupun merasa terpojok, kaum tradisi masih mau menerima dengan syarat "mereka menitipkan usul kepada delegasi yang akan berangkat ke Mekah agar penguasa baru di Saudi tetap menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di sana dan ajaran-ajaran madhzhab yang dianut oleh masyarakat Islam setempat.''(15) Tetapi, usul ini ditolak oleh golongan pembaharuan.(16) 

Golongan tradisi cukup peka dengan perkembangan internasional ini. Mungkin mereka sudah melihat perbedaan antara Kairo dan Hijaz; Kairo akan cenderung hanya kepada masalah politik (Pan-Islam) tetapi bangkitnya penguasa baru Raja Saud yang menganut paham Wahhabiyah maka masalahnya menjadi lain. Dengan berkuasanya Raja Saud maka nasib mazhab dan tradisi keislaman di Indonesia sedang dipertaruhkan masa depannya.(l7) Abdul Wahab Hasbullah seorang ulama muda yang sangat berbakat dalam bidang organisasi membicarakan perkembangan di Hijaz dengan Hadratus Syeh Hasyim Asyari (pimpinan pesantren Tebuireng) yang lebih senior. Mereka merasa perkembangan itu sebagai masalah penting. "Persoalan tersebut adalah merupakan persoalan besar. Karena itu tidak mungkin hanya dibicarakan berdua saja, maka pembahasan persoalan itu akan ditingkatkan dalam forum yang jauh lebih besar lagi."(18) Di mata ulama yang penting adalah kehidupan keagamaan dalam arti yang seluas-luasnya dapat berlangsung berdasarkan tradisi yang dianutnya. 

Atas saran K.H. Hasyim Asyari, Abdul Wahab Hasbullah dan kawan-kawannya keluar dari Komite Khilafat.(19) Rupanya unsur senioritas merupakan unsur penting di dalam hubungan di antara ulama! Untuk menjawab tantangan yang sedang terjadi maka berkumpullah para ulama seluruh Jawa dan Madura di Surabaya (di kediaman Abdul Wahab Hasbullah) pada tanggal 31 Januari 1926 saat yang menjadi tanggal kelahiran perkumpulan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah). Pertemuan para ulama itu mengambil dua keputusan penting: 

Pertama, meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz dengan masa kerja sampai delegasi yang diutus menemui Raja Saud kembali ke tanah air. 

Kedua, membentuk Jam'iyah (organisasi) untuk wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya cita-cita izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan umat Islam). Atas usul Alwi Abdul Aziz, jam'iyah ini diberi nama "Nahdlatul Ulama" yang artinya "Kebangkitan Para Ulama".(20) 

Maksoem Machfoedz memberikan catatan menarik dari pertemuan itu. 

. . . Dalam menghadapi pertemuan ini beberapa yang sudah gandrung dengan adanya organisasi yang patut dijadikan tempat bernaung, bertingkah menurut selera masing-masing. Mas H. Alwi Abd. Aziz mengutak-atik nama apakah yang paling serasi dengan isi dan tujuannya. K.H. Abd Wahab Hasbullah melakukan istikharah, memohon petunjuk langsung dari yang maha Mencipta. Dalam istikharah itu bermimpi bertemu dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Oleh beliau K.H. Abd. Wahab Hasbullah diberi blankon (semacam kopiah versi pakaian Jawa asli) dan sebuah sapu bulu ayam bergagang panjang, yang biasanya dipakai membersihkan langit-langit.(21) 

Dalam kelahirannya kita segera melihat ciri khas NU yang membedakannya dari organisasi-organisasi pendahulunya. Bila BU SI dan Muhammadiyah sedikit banyak digerakkan oleh semacam gagasan, maka NU adalah wadah para ulama sebagai pimpinan umat dan pengemban tradisi! Ia bukan sesuatu yang baru karena sebelumnya para ulama telah bergerak dengan cara masing-masing di dalam masyarakat terutama di pedesaan. Para ulama bangkit untuk membela perikehidupan umat Islam di Indonesia khususnya yang menganut mazhab tertentu akibat pergeseran yang terjadi di dunia Islam. Ia tidak menentang gerakan pembaharuan tetapi tidak pula ingin larut begitu saja. Yang dituntutnya adalah pengakuan bahwa peranan ulama dan tradisi tidak boleh diabaikan sekalipun itu dilakukan oleh penguasa Tanah Suci! Dengan lahirnya NU maka para ulama menunjukkan wataknya yang kritis! 

NU memang sungguh-sungguh organisasi keagamaan dan mungkin ia adalah yang satu-satunya saat itu. Kalau BU mengambil watak kebudayaan (nasional) dan SI bentuk dan cara politik serta Muhammadiyah menentukan dirinya sebagai gerakan pendidikan, maka NU menetapkan dirinya sebagai jamiah diniyah, sebagai organisasi keagamaan tradisional. Corak kelahirannya Juga khas; ia tidak ditentukan oleh seseorang yang patut disebut pendiri atau pencetus gagasan dan tidak pula ditentukan oleh cara-cara pendirian organisasi modern. Kelahirannya ditentukan dengan istitharah (sembahyang khusus) dan dikonsultasikan dengan ulama yang lebih tua. Tentang istikharah dijelaskan oleh Shodiq dan Shalahuddin Chaery: "Shalat yang sebaiknya dilakukan oleh umat Islam, untuk menentukan pilihan dari beberapa pilihan yang meragukannya (bimbang memilih salah satu yang paling baik baginya)".(22) Menurut Nurcholish Madjid dalam tulisannya Pesantren dan Tasauf, istikharah menunjukkan kuatnya pengaruh sufisme dalam kehidupan pesantren.(23) Walaupun demikian upaya keagamaan ini pada prinsipnya dapat diterima oleh ortodoksi, hanya dalam cara-cara yang dilakukan dapat terjadi perbedaan pendapat.(24) Istilah Nahdlatul Ulama diresmikan setelah disetujui oleh Hadratus Syeh Hasyim Asyari.(24) Kelahirannya juga berkait erat dengan sejarah masuknya Islam dan perkembangannya yang khas, berbaur dengan kebudayaan pra-Islam. Dalam lambang NU — yang juga diperoleh melalui istikharah K.H. Ridwan — sembilan bintang melambangkan Wali Sanga.(26) Sehingga tepatlah yang dikatakan oleh Kenji Tsuchiya dari Universitas Kyoto Jepang bahwa watak keislaman para kyai bukan saja tradisional tetapi juga "mewarisi banyak dari 
agama pra — Islam".(27) 

Wataknya yang khas membuat NU terkadang sukar di mengerti penampilannya. Ia dicap kolot atau konservatif oleh kalangan pergerakan lainnya karena mengharamkan dasi dan pentalon.(28) Tetapi ketika pemakaian dasi dan pentalon, makin tak terhindarkan para ulama juga mampu bersikap fleksibel (lentur); para ulama mengeluarkan fatwa, "pakailah peci bilamana memakai dasi".(29) Agar umat Islam selalu menunjukkan dirinya berbeda dari Belanda si orang Kafir itu. Keputusan (fatwa) itu mempunyai landasan hukum: Al-Hukmu yaduru moal illah, wujudan wa adaman! yang artinya: "kepastian hukum sesuatu tergantung faktor penyebabnya, bila ternyata adanya sebab maka tetaplah hukum, sebaliknya jika tak terjumpai sebab maka tidak jatuhlah hukum".(30) Demikian pula dengan pemakaian bahasa Belanda; para ulama memang anti sekali (lagi pula pesantren adalah lembaga yang tak pernah disentuh oleh pengaruh pendidikan ala Belanda), para ulama kemudian mengijinkannya "untuk kewaspadaan terhadap, tipu muslihat Belanda".(31) Dalilnya adalah Man arofa lughooti qaumin amina min syarrihim, siapa yang faham bahasa-bahasa asing akan terhindar dari tipu-muslihat mereka."(32) 

Adalah tak dapat disangkal sumbangan ulama (NU) dalam pergerakan kemerdekaan. Melalui para ulama — dengan basis pesantrennya — aspirasi bangsa dapat disampaikan kepada masyarakat pedesaan yang merupakan lapisan terbesar dalam masyarakat Indonesia! Sebuah upaya yang telah gagal dilakukan oleh kaum pembaharuan (yang memang lebih banyak memusatkan kegiatannya di kota-kota). Dengan mengutip Alfian, Aziz Masyhuri mengatakan sebab kegagalan itu di samping salah pendekatan "juga karena mempertentangkan faham serta ajaran agama dalam usahanya mendekatkan penduduk yang setia menjadi pengikut kyai dan santri tradisional".(33) 
 

_____________________ 

  1. Dhofier, op.cit., hlm. l 5 - 160.
  2. H. Aziz Masyhuri, NU dari Masa ke Masa (Tanpa penerbit: 1983), hlm. 127 Untuk selanjutnya disebut Masyhuri, NU dari Masa; Yusuf, et al., op.cit., hlm. 6-7.
  3. Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham Agama Islam, (Jakarta: Rajawali,1986), hlm.52-62. 
  4. Lihat, Yusuf, et al., op.cit., hlm. l5. 
  5. Ibid. 
  6. Ibid., hlm. 16.
  7. Lihat, Noer, Gerakan Moderen, hlm. 255-260. 
  8. Yusuf, et al. op.cit., hlm. 16. 
  9. Dhofier, op.cit., hlm. 93.
  10. Ibid., hlm. 93-94.
  11. Ibid., hlm. 95.
  12. Hal ini secara rinci diuraikan oleh Zamakhsyari Dhofier. Lihat, Ibid., hlm. 62-99.
  13. Yusuf, et al. op.cit., hlm. 17. 
  14. Ibid., hlm. 18. 
  15. Ibid
  16. Ibid
  17. Lihat, Masyhuri, NU dari Masa, hlm. 128-129. 
  18. Machfoedz, op.cit., hlm. 30. 
  19. Yusuf, et al., loc.cit.
  20. Ibid., hlm. 19. 
  21. Machfoedz, op.cit., hlm. 31.
  22. Shodiq dan Shalahuddin Chaery, Kamus Istilah Agama, (Jakarta: Sienttarama, 1983), hlm. 151. Untuk selanjutnya disebut Kamus Istilah Agama. Istikharah untuk mengawali suatu kegiatan pribadi atau umum sudah lazim dilakukan umat Islam; bahkan sudah dikenal pada zaman pra -Islam. Lihat, Shorter Encyclopaedia of Islam, hlm. 186-187. Di kalangan orang Islam Asia sudah lazim melakukan sembahyang dan renungan dengan harapan Allah akan memberi petunjuk melalui mimpi. T.P. Hughes, Dictionary of 1slam, (New Delhi: Oriental Books, 1976), him. 222 di bawah istikharah.
  23. Nurcholish Madjid, "Pesantren dan Tasauf", dalam Pesantren dan Pembaharuan, ea., M. Dawam Rahardjo, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 115-116.
  24. Shorter Encyclopaedia of Islam., loc.cit.
  25. Maksoem Machfoed, op.cit., hlm. 33.
  26. Masyhuri, NU dari Masa, hlm. 143.
  27. S. Ichimura dan Koentjaraningrat, editor, op.cit. hlm. 49.
  28. K.H. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, (Bandung: Al-Maarif' tanpa tahun), hlm. 84-85. Untuk selanjutnya disebut, Zuhri, Guruku
  29. Ibid., hlm. 85. 
  30. Ibid.
  31. Ibid
  32. Ibid.
  33. H. Aziz Masyhuri, Al Maghfurlah KHM Bishri Syansuri, (Surabaya: Al Ikhlas , tanpa tahun), hlm. 65. Untuk selanjutnya disebut, Masyhuri, Al Maghfurlah.

 
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt