[ Einar Martahan Sitompul / N U dan Pancasila ] |
A. Perkembangan Islam di Indonesia "Anda tahu bahwa keadaan dan perkembangan Islam di Asia Barat Daya (Middle East) sangatlah berbeda dengan yang Anda hadapi di Indonesia; yang kedua ini sungguh sulit bagi saya merumuskannya . . . "Demikian bunyi sepucuk surat Kenneth Cragg, Islamolog terkenal, kira-kira di awal tahun enampuluhan".(1) Apa yang dikatakan oleh Cragg sebagai 'sulit' dalam ucapan di atas bagi saya rnerupakan sebuah pengakuan secara tidak langsung akan keunikan sosok Islam di Indonesia. Di kala bangsa Indonesia mulai mampu menyatakan reaksi perlawanannya terhadap penjajahan Belanda secara modern sejak awal abad XX, ia telah tampil dalam dua sosok, yaitu kelompok yang disebut kaum pembaharu (modernis) dan kelompok tradisionalis. NU digolongkan kepada kelompok yang terakhir. Penampilan NU secara sendiri maupun dalam berhadapan dengan kelompok lain di pentas sejarah Nusantara bertaut erat dengan perkembangan Islam di Indonesia sejak awalnya, dan watak kebudayaan Indonesia (khususnya Jawa) pra-Islam. Islam masuk ke Indonesia bercorak sufistik.(2) Pengaruhnya yang kuat bergema dalam nama-nama tasawuf dari abad XVI dan XVII seperti Hamzah Fansuri yang sangat dipengaruhi oleh mistik Persia, Syamsudin As-Sumatrani dan lainnya. Gerakan, pengaruh dan karya tokoh sufi di Indonesia ditulis oleh Hawash Abdullah.(3) Sejarah perkembangan Islam di Aceh mempunyai kaitan langsung dengan perkembangan tarekat-tarekat sufi (4) dan tokoh-tokoh utamanya di Timur Tengah. Menurut A. Johns sekurang-kurangnya ada empat tarekat berpengaruh di Indonesia, yaitu tarekat Qadiriyah (yang didirikan di Bagdad oleh Abdul Qadir Jailani kira-kira 1166), Naqsabandiyah yang didirikan oleh Baha al Din (meninggal 1388) di Turkistan, Shattariyah yang didirikan oleh Abdul Shattar (meninggal 1415 atau 1428) dan Suhrawardiyah.(5) Masa kejayaan sufisme berlangsung—pengaruhnya juga terasa di Indonesia—antara abad X H / XVI M hingga XII H / XVIII M, kurun waktu yang kira-kira bersamaan dengan kemunculan dan kejayaan dinasti Ottoman.(6) Mengenai kurun waktu ini Fazlur Rahman memberikan kepada kita catatan yang menarik. Akan tetapi, pada waktu yang sama, timbul kekuatan-kekuatan untuk mengontrol gerakan Sufi dan membatasi ekses-eksesnya serta cara-cara pemujaan yang berlebih-lebihan.... Pertama-tama, theosofi dan praktek-praktek Sufi menjadi obyek kritik yang keras dari orang-orang seperti Ibnu Taymiyah. Kedua, persekutuan yang erat antara ulama ortodoks sendiri dengan Sufisme menyebabkan bekerjanya kekuatan yang berusaha memperbaharui Sufisme dari dalam. Kekuatan-kekuatan ini, apakah menolak pantheisme Sufi ataupun menafsirkan kembali theosofi pantheistiknya dalam batasan-batasan ortodoks, menghasilkan terbawanya Sufisme jauh lebih dekat kepada cita-cita ortodoks. Lebih lanjut, kecenderungan ini mempersiapkan jalan bagi perkembangan lain yang tampak meledak dengan kemendadakan yang mengagetkan di seluruh dunia Islam, walaupun pada tingkat regional, dan yang mempengaruhi Sufisme pada intinya sendiri dalam abad ke 12 H/18 M dan 13 H/19 M. Perkembangan ini adalah serbnan terhadap agarna populer yang hampir menggantikan Islam sendiri di daerah-daerah perbatasan dunia Islam dan juga telah mempengaruhi pusatnya. Penyerbuan terhadap agama populer ini menyatakan dirinya dalam bentuk gerakan-gerakan reformasi puritanikal yang gencar yang merata di seluruh penjuru dunia Islam.(7) Cerita tentang sufi di Indonesia membenarkan pengamatan Rahman di atas. Ajaran Hamzah Fansuri yang sering dicela oleh lawannya pantheistis diberantas oleh pengaruh ulama sufi asal India ar-Raniri.(8) Di Jawa hukuman mati terhadap Siti Jenar —terlepas dari historis atau legendaris— "merupakan versi Jawa daripada riwayat tentang Al-Hallaj".(9) Rupanya perkembangan lebih lanjut tentang sufisme mengarah kepada paham sunni atau ortodoksi (pengikut ahlusunnah wal jamaah dan mazhab Syafii).(10) Hal ini bisa terjadi kemungkinan sekali karena posisi Indonesia yang strategis bagi persinggahan pelayaran niaga, sehingga mudah menerima pengaruh pergolakan yang terjadi di belahan bumi lainnya. Yang menarik dari perkembangan Islam di Indonesia adalah
Pada abad XV Majapahit makin pudar kekuasaannya, tetapi Islam yang sudah menapak di pantai utara Jawa makin memperkuat kedudukannya. Dari pantai utara (Demak) Islam menerobos makin jauh ke pedalaman dan serentak dengan itu kerajaan Majapahit yang Hindu berakhir riwayatnya. Para pahlawan penyebar Islam di Jawa biasanya disebutkan Wali Sanga (sembilan wali) yang sering melakukan pendekatan kebudayaan dalam menyebarkan Islam".(11) Legenda yang beredar di sekitar Wali Sanga mengungkapkan penyesuaian agama Islam dengan kebudayaan Hindu-Jawa.(12) Corak sufisme dari Islam nampaknya mudah akrab dengan lingkungan Jawa. Dengan mengutip Notohamijoyo, Tanja melukiskan penyebabnya adalah dasar kultural-religius masyarakat Jawa yang bersifat kosmik-monisme.(13) Pandangan ini harus dibedakan dari pantheisme. Sambil mengutip Notohamijoyo, Tanja menegaskan perbedaannya, bahwa di dalam pantheisme dunia yang menyerap di dalam dewa itu ialah dunia sebagai suatu bagian dari sifat-sifat dewa; sedangkan di dalam monisme, dewa atau yang adikodrati itu menyerap di dalam dunia atau di dalam yang adikodrati, yang sekaligus juga, merupakan kebenaran mutlak, dan karena kemutlakannya itulah maka tetap disebut dewa juga, kendatipun pemujaan terhadapnya tak pernah dilakukan.(14) Dari studi Titus Burckhardt mengenai ajaran kaum sufi, khususnya tentang keesaan Tuhan, ditekankan kesejajarannya dengan non-dualitas Hindu (advaita).(15) Prinsip keesaan Tuhan (bagi sufisme merupakan prinsip keterpencilan Tuhan atau tanzih) bukan hanya menyangkal realitas lain selain Tuhan tetapi juga rnenyerapnya sehingga realitas lain menjadi alat untuk memahami keesaan Tuhan.(16) Kita tidak dapat mencari dan memahami Tuhan dengan rnembawanya ke tingkat benda-benda yang rendah. Sebaliknya benda-benda dengan segera diserap kembali ke dalam Diri Tuhan ketika seseorang mengenali kualitas-kualitas hakiki yang membentuk dirinya,(17) Kehadiran Islam di Jawa —dalam bingkai kebudayaan yang telah terbentuk sebelumaya dalam perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli (Jawa)— melahirkan sikap bahwa kehadiran Islam bukanlah sesuatu vang baru untuk menggantikan yang lama— tetapi menambahkan sesuatu kepada yang lama. Sehingga Benda dalam sebuah artikelnya berani menyatakan bahwa seandainya Islam langsung datang dari Timur Tengah dengan monotheismenya yang tegar "mungkin sekali ia tak akan menemukan tempat untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia, lebih-lebih pulau Jawa".(l9) Adanya penyesuaian Islam dengan kebudayaan lokal bukan hanya terjadi di Indonesia, ia juga terjadi di Iran. S.H. Nasr, theolog Islam yang terkenal itu ketika mengamati perkembangan Islam di Persia mengemukakan terjadinya harmonisasi antara Islam dengan kebudayaan Iran (yang didominasi pemikiran agama Zoroaster); "ajaran-ajaran Zoroaster yang tetap hidup di dalam jiwa manusia Parsi mengalami islamisasi dan diinterpretasikan dari sudut pandangan tauhid Islam".(20) Dengan makin berkembangnya agama Islam ke pedalaman Jawa, agama Islam
yang semula dikembangkan oleh kaum pedagang di pantai utara mau tidak mau
memasuki ruang lingkup pedalaman yang agraris tempat unsur keramat (karamah)
den berkat (barakah) sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan. Mungkin
saja mula-mula ditolak tetapi kemudian diterima dengan tangan
Penyesuaian itu di Jawa diresmikan oleh kebijaksanaan Sultan Agung pada pertengahan abad XVII dan dengan kebijaksanaan itu "kebudayaan lama yang asli (Jawa) dan Hindu dapat disenyawakan dengan agama Islam".(22) Sultan Agung juga berusaha memajukan pendidikan agama Islam, Di bidang pendidikan Islam perhatian Sultan Agung cukup besar pula. Sehingga pada zaman kerajaan Mataram, khususnya pada masa pemerintahan Sultan Agung, merupakan zaman keemasan bagi kemajuan pendidikan dan pengajaran Islam, terutama pendidikan pondok pesantren.(23) Bagi sebagian sarjana perkembangan ini dinilai sebagai permulaan polarisasi antara santri dan priyayi.(24) Sering juga diperluas sebagai polarisasi antara abangan, santri dan priyayi. Abangan adalah sebutan untuk rakyat desa, para petani, yang menghayati agama secara sinkretistik (agama Islam mereka telah bercampur baur dengan unsur animisme dan Hinduisme). Santri (orang yang belajar di pesantren) yang umumnya pedagang, adalah orang yang melaksanakan kewajiban agama secara cermat dan teratur. Dan priyayi adalah golongan bangsawan (aristokrat) yang dekat dengan kekuasaan, yang penghayatan agamanya banyak dipengaruhi oleh Hinduisme.(25) Manfred Ziemek dalam disertasinya tentang Pondok Pesantren dan Perubahan
Sosial baru-baru ini mengkritik perkembangan ini;
Dalam proses peleburannya dengan tradisi Hindu-Jawa, Islam saat itu kehilangan banyak sifat-sifat egaliter serta tanggung jawab sosialnya dan menjadi suatu agama penguasa atau jadi bersifat pajangan, yang hampir tidak dapat mengatasi unsur-unsur budaya Jawa kuno. Betapa dangkalnya proses perpindahan agama dari Hindu ke Islam ini, juga terlihat jelas dari betapa mudahnya pusat-pusat pendidikan keagamaan dari tradisi Jawa mengambii alih dan menerima faham-faham dari luar.... Bakat bangsa Melayu untuk menerima pengaruh-pengaruh budaya yang baru dan menggabungkannya dengan unsur-unsur budaya tradisional sendiri, juga berhasil pada saat itu, mendesakkan dorongan pembebasan Islam yang bertujuan melindungi martabat dan hak-hak pribadi manusia ke dalam agama negara yang terbentuk waktu itu.... Dengan demikian aliran-aliran ini telah mengubah faham-faham Islam yang dahulunya humanistis individualis menjadi kebalikannya, dimana hak keagamaan menjadi bentuk yang formal...(26) Menurut hemat saya pendapat-pendapat di atas dan kritik Ziemek tidak sepenuhuya dapat diterima. Pertama, agama Islam sejak semula mampu melakukan integrasi, yang dilakukan secara sadar. Karena Islam berkembang dalam bingkai kebudayaan lama, maka kemunculan kerajaan Islam (Mataram) dianggap penerusan kerajaan Hindu-Majapahit. Candi tidak dibangun lagi, tetapi tidak pula dihancurkan. Mesjid dibangun secara besar-besaran; yang unik gaya arsitekturnya dipengarahi oleh corak Hindu-Jawa.(27 Pendidikan agama dikembangkan dengan mengambil alih "mandala-mandala Hindu-Budha" sebagai model pesantren.(28) Dalam situasi yang demikian dapat saja terjadi dalam kiprah Islam pergeseran peranan ulama, tetapi belum tentu penurunan nilai peranan ulama. Bahkan ada gejala kuat bahwa para ulama serentak dengan kemajuan pesantren memperoleh peranan yang struktural dalam masyarakat, sebagai —misalnya— pelaksana administrasi keagamaan.(29) Kedua, justru setelah berkiprah di pedalaman, ortodoksi dapat makin memperkuat kedudukannya. Dari penelitian tentang buku-buku yang digunakan di pesantren ternyata buku-buku sufisme kalah banyak dibandingkan dengan buku-buku ibadah dan syariah, kalau mau disebut buku sufi, yang terkenal di kalangan al-Ghazali, seorang ulama sufi sunni (sufi ortodoks).(30) Suasana tenang dan stabil di pedalaman memungkinkan Islam mengembangkan dirinya dan para ulama makin mengukuhkan kedudukannya di dalam masyarakat sebagai kyai "pemuka yang berkharisma karena keramatnya".(31) Ketiga, abanga dan santri tidak dapa digolongankan sebagai kelompok yang bertentangan dalam soal kesalehan. Ia harus dimengerti sebagai dua kategori penghayatan keagamaan. Golongan abangan menghayati agama secara "pengalaman mistik"; sedangkan kaum santri "menjalankan prinsip-prinsip Islamiyahnya menurut cara-cara yang diajarkan oleh ulama ortodoks dengan saleh, dalam arti bahwa yang terlebih penting baginya ialah penerapan hukum, moral dan sosial di dalam kehidupan sehari-hari".(32) Segera cerita menjadi lain setelah Belanda makin rnemperluas genggamannya
di Nusantara. Maka bangkitlah perlawanan terhadap Belanda. Ada empat perlawanan
yang menurut Geertz dilakukan oleh kaum santri: Perang Paderi, Perang Diponegoro,
Perang Banten dan Perang Aceh.(33) Semuanya berlangsung pada abad XIX.
Di saat kesadaran nasional belum dikenal agama Islam melalui semboyan Hubbul
Wathon minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman) menjiwai
motif perlawanan.(34) Dalam kasus Perang Diponegoro (seorang pangeran!)
nampak bahwa hubungan antara kraton dan ulama cukup akrab.(35) Perubahan
situasi tidak mengurangi peranan, bahkan peranan ulama makin kuat
yang berbeda ialah orientasi dan visi. Kadang-kadang langkah yang diambil
ulama sepintas lalu kolot dan berlebihan. Ia pernah "mengharamkan memakai
celana (pentalon), dasi dan lain-lain model pakaian yang berasal dari Barat".(36)
Tetapi hal ini dapat dimengerti sebagai upaya membangkitkan identitas dalam
perlawanan terhadap penjajah Belanda. Setelah Diponegoro kalah dalam perlawanannya
Memang, akhir abad XIX dan awal abad XX situasi telah berubah. Hal ini terutama disebabkan perubahan politik Belanda akibat saham Hurgronje menentukan sekali. Atas jasa Hurgronje kebijaksanaan Belanda terhadap jajahannya Indonesia (inlandsch politiek) berdasarkan asumsi Islam tidak berbahaya sebagai agama, bahkan pada dasarnya bersifat damai; tetapi ia berbahaya secara politik.(38) Aqib Suminto yang menjadikan politik Islam Hindia Belanda sebagai tesisnya, menguraikan kebijakan Belanda itu dalam tiga pokok: Pertama, Belanda harus netral dalam persoalan agama; kedua, asosiasi kebudayaan (mempromosikan kebudayaan Belanda dan merangkul kebudayaan pribumi) agar ada yang mengimbangi identitas Islam; dan yang ketiga, mengawasi dengan ketat gerakan tarekat dan Pan-Islam.(39) Kebijakan Belanda ini mempunyai dampak yang luas dan dalam bagi bangsa Indonesia. Boleh dikatakan sejak itu bangsa Indonesia mulai mengenal modernisasi walaupun secara terbatas. Sebagaimana lazimnya sesuatu yang baru akan menimbulkan pergolakan. Ada yang menerirna begitu saja kebudayaan Barat (Belanda). Ada pula yang menerima sambil terkenang kepada kejayaan masa lalu dalam kebudayaan. Ada juga yang memadu modernisasi Barat dengan agama, seperti kaum modernis Islam. Namun ada yang memanfaatkan modernisasi sebagai momentum membenahi diri dalam kesinambungan dengan tradisi. Yang terakhir inilah yang diambil oleh kalangan Islam tradisional dengan basis pesantren sebagaimana yang ditegaskan oleh Saifudin Zuhri, Tidaklah berlebihan jika Pesantren dikatagorikan sebagai
Benteng Ketahanan Islam di samping kedudukannya sebagai Tempat Pengembangan
Islam . . . Pesantren mengutamakan sikap percaya kepada dirinya sendiri.
Namun sebagai anggota masyarakat bahkan yang ikut memberi corak masyarakat,
Pesantren dapat menerima modernisasi selama modernisasi tersebut secara
positif mendatangkan manfaat bagi kemajuan ummat Islam tanpa menghilangkan
identitas ajaran pokok dari pada Islam.(40)
______________________
|
|