[ Musykilat dalam NU] |
Komite Hijaz yang telah dibentuk sehubungan terjadinya perubahan
Selain obsesinya tentang negeri merdeka agar ummat Islam leluasa
Buku kecil ini, maka bertajuk "Musykilat dalam NU", memuat
Tulisan KH Yusuf Hasyim mengungkap posisi NU sebagai jam'iah diniah Islamiah terhadap peluang bagi lahirnya partai politik. Ungkapan itu berkaitan dengan hasil pengamatannya, oleh PBNU keputusan muktamar dipatuhi sebagian dan dilanggar sebagian. Contohnya, disebutkan bahwa PKB adalah satu-satunya wadah penyalur aspirasi politik warga NU. Dan itu resmi tercatat dalam risalah rapat pleno PBNU. Sedangkan muktamar menetapkan, bahwa NU tidak mempunyai ikatan organisatoris dalam bentuk apapun dengan organisasi kekuatan sosial politik yang manapun juga. Disebutkan juga, NU tidak akan menentang organisasi sosial politik
yang manapun juga dan tidak akan menjadi partai politik sendiri.Ini
Tulisan Salahuddin Wahid "NU, Gus Dur dan Megawati", (Republika, 9 Juli
l998), mengungkap musykilat yang lain. Dilengkapi tulisan M. Ishom
Hadzik "Gus Dur di antara Dua Partai". Lalu tulisan Amsar A. Dulmanan "Demokrasi
Berimplikasi Sekularisasi" (Republika, 30 Juli l998), yang mengundang minat
Salahuddin menurunkan tulisan lagi "Negara Demokrasi tak Mesti Negara
Sekuler" (Republika, 10 Agustus l998).
Jawaban atas berbagai pertanyaan dan dugaan yang dimaksud sebenarnya sudah ada sejak lama. Mungkin karena tidak ada sikap dan tindakan organisasi yang tegas dan jelas merespon penyimpangan-penyimpangan itu, maka warga masih terus bertanya-tanya. Awal 90-an Gus Dur berkunjung ke Amerika Serikat. Di antara acaranya
memberikan seminar di Universitas Cornell tentang "Islam dan Politik di
Indonesia", berlangsung pada Kamis 12 April l992.
"Kalau orang Islam boleh dapat potongan, bagaimana dengan penganut agama lain?," katanya sambil menambahkan, "dalam suatu negara harus hanya ada satu hukum yang tidak membedakan agama, ras dan keyakinan politik rakyatnya". Pada kesempatan lain, menjelang diselenggarakannya Muktamar NU XXIX, Nopember l994 di Cipasung, Tasikmalaya, Gus Dur singgah di Tokyo dari AS. Di ibukota Jepang itu ia telah disediakan forum oleh Nakamura, profesor Jepang yang tekun menjadi pemerhati NU. Forumnya berupa sebuah pertemuan dengan sejumlah orang Indonesia. Dalam ceramahnya Gus Dur mengungkapkan pendirian yang berkembang di kalangan NU dan pendirian pribadi dia. Dia menyatakan, "cukup besar kalangan Islam yang menghendaki Islam menjadi penggerak pemerintahan (prime-mover). Karena itu (Islam) harus memiliki kedudukan yang lebih utama dibanding dengan agama-agama lain. Ini tercermin umpamanya di dalam sikap sebagian warga/pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Majelis Ulama (MUI), demikian pula dengan beberapa pernyataan yang dikemukakan para pemimpin Islam dari bermacam-macam organisasi termasuk juga pemimpin-pemimpin NU". Gus Dur menjelaskan, " bentuk dari sikap itu ialah Islam, karena mewakili mayoritas, harus memperoleh perlakuan tersendiri oleh negara, harus memperoleh perhatian berlebih. Nahdlatul Ulama dalam hal ini terpecah dua. Ada yang menganggap itu wajar. Tetapi orang-orang seperti saya menganggap tidak wajar." "Kalau kita bicara demokrasi lalu hanya memikirkan jumlah warga terbanyak itu muslim lalu Islam yang diutamakan, ya tidak demokratis lagi." Menurut Abdurrahman, hal-hal yang merupakan pembeda diantara sesama warga negara tidak boleh dijadikan pertimbangan untuk melebihkan. Ini akan membawa konsekuensi sikap atau pandangan untuk menganggap kedudukan semua agama itu sama di muka undang-undang. Terlepas dari pandangan teologis masing-masing, tentu tiap agama menganggap dirinya paling benar yang lain salah. Itu wajar-wajar saja, kata dia. Dapat difahami karena pandangannya itu Gus Dur pernah menyatakan keheranannya kenapa pemerintah (Departemen Agama) ikut campur dalam menentukan siapa yang dibenarkan menjadi jagal penyembelihan binatang di tempat-tempat penyembelihan umum binatang ternak. Ketika memberikan kuliah umum di depan civitas akademika Universitas Kristen Petra Surabaya (Harian Surya Juni l995), Abdurrahman ditanya, "apa dasarnya pemerintah mengatur jagal penyembelihan binatang kok harus orang beragama Islam ?". "Peraturan tentang jagal itu jelas diskriminatif", ujar Gus Dur. Dia menjelaskan, "dalam fiqih hanya disebutkan, yang penting dalam menyembelih binatang disebut nama Tuhan. Di sana tidak dijelaskan apakah jagal harus beragama Islam apakah tidak." Dia menambahkan, "di Timur Tengah saja, tidak ada orang yang ribut-ribut soal jagal. Di sana sudah biasa yang menyembelih orang Yahudi kemudian yang makan dagingnya orang Islam". Pada bagian lain Abdurrahman menerima pertanyaan soal kawin campur antar agama yang bertentangan dengan UU Perkawinan tahun l974 (termasuk kawin antara muslimat dengan pria non Islam). Menjawab pertanyaan itu Gus Dur langsung memberikan "jalan keluar".
Dia bilang, "sekarang 'kan sudah banyak yang menikah melalui Kantor Catatan
Sipil. Mereka bisa melakukan kawin lari ke negara lain. Mereka bisa ke
Singapura dan melakukan pernikahan di Kantor Catatan Sipil di sana. Kemudian
datang lagi ke sini untuk mencatatkan kembali ke Kantor Catatan Sipil tentang
pernikahan di luar negeri itu."
Hukum Islam telah melembaga di Nusantara, bahkan semenjak zaman kerajaan-kerajaan Islam dahulu. Yang terpenting adalah hukum keluarga mengenai perkawinan, waris dan lain-lain yang berkaitan dengan itu. Suatu lembaga penghulu pada zaman Belanda telah berdiri untuk keperluan
itu. Pemerintah Belanda pada tahun l882 membuat peraturan mengenai wilayah
dan komposisi priesterraad (pengadilan agama) dan pada tahun l931 memperbaharui
lembaga itu dengan sebutan pengadilan penghulu yang kekuasaannya
dibatasi hanya mengenai perkawinan. Setelah pembentukan Kementerian Agama
tanggal 3 Januari l946 soal-soal keagamaan kemudian menjadi tanggung jawab
kementerian ini.
Didirikannya Departemen Agama dalam pemerintahan Indonesia punya kaitan dengan proses yang panjang, saat para pendiri negara Indonesia akan menetapkan dasar negara. Tulisan Salahuddin "Departemen Agama Tidak Diperlukan?" memperjelas posisi sebenarnya departemen tersebut. Departemen pemerintahan yang akan menjadi sasaran pertama untuk dibubarkan jika Said Aqiel berkuasa. Terlalu menyederhanakan persoalan dalam tulisan Amsar A Dulmanan yang menyebutkan bahwa, "Negara sekuler adalah negara yang tidak berdasar agama, sedangkan Pancasila bukan agama tetapi sekuler, karena itu negara Indonesia adalah negara sekuler...". Penafsiran demikian a historis. Pancasila memang bukan agama. Tetapi itulah titik temu yang merubah Piagam Jakarta dengan penghapusan 7 kata sesudah ke-Tuhanan "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Dalam Memoir-nya Bung Hatta menulis, "Pada waktu itu kami dapat menginsyafi,
bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan =
Formalisasi hukum Islam semacam itu termasuk yang dianggap tidak wajar,
bersifat diskriminatif dan ditolak oleh Gus Dur. Ia sadari tidak seperti
itu pendirian umumnya para pimpinan dan ulama NU. Bahkan juga sikap resmi
organisasi NU yang tercermin dalam keputusan Muktamar ke 28 NU di Yogyakarta,
yang mendesak agar RUU Peradilan Agama segera disahkan menjadi UU. Namun
yang terjadi memang sangat ironis. Muktamar itu pula yang secara aklamasi
memilih Gus Dur kembali sebagai ketua umum. Dan Gus Dur juga menerima amanat
muktamar tersebut, sambil tetap berpegang pada pendiriannya sendiri;
artinya tak akan melaksanakan amanat tersebut.
Tulisan "Fatamorgana dalam Realisasi Program NU" memberikan gambaran bagaimana program-program besar dalam rangka kembali ke khittah dilaksanakan. Contohnya di bidang pengembangan ekonomi warga, salah satu dari 4 garapan besar kembali ke khittah. Prakteknya tidak berlanjut setelah diberitakan besar-besaran oleh media massa bersumber dari koperensi pers Gus Dur atau kegiatan yang bersifat kosmetik. Jadi benar, bagi NU yang terpenting pada era reformasi sekarang ini adalah melakukan reformasi diri sendiri. Penerbitan buku ini dimaksudkan sebagai sumbangsih untuk mendukung pelaksanaan pendapat tersebut. |
|