[ Musykilat dalam NU] |
Demokrasi dapat dipahami dalam berbgai pengertian
bisa dipandang sebagai antitesis dari sistem monarkhi.
Ia bisa diletakkan juga sebagai antitesis sistem teokrasi;
atau sekaligus sebagai antitesis dari keduanya.
Karena dalam sistem demokratis pemegang kedaulatan bukan
raja dan bukan tuhan, melainkan rakyat, maka rakyatlah
yang menentukan arah pemerintahan dan
Tulisan ini mencoba menanggapi tulisan Saudara Salahuddin Wahid di Republika
edisi 9 Juli l998, yang berusaha membahas masa depan politik Nahdlatul
Ulama dengan menggunakan stigma ideologis tahun l950-an sebagai cara analisis;
dan yang bertitik tolak dari perseteruan antara kelompok nasionalis
Islam dan nasionalis sekuler. Dengan dalih itu ia
mengajak mendirikan partai yang beridentitas Islam dan berusaha
menerapkan legislasi Islam. Sebaliknya ia mengecam kemungkinan
terjdinya koalisi antara NU (yang Islam)
dengan kelompok Megawati yang nasionalis (sekuler),
dengan alasan aspirasinya berbeda. Ini merupakan
pandangan khas bagi penganut politik identitas
(keagamaan), karena berusaha keras menerapkan syari'at Islam
dalam sistem
Masyarakat Indonesia --dan NU ada di dalamnya -- menerima bentuk
negara ini sebagai nation state (negara bangsa)
yang bersatu berdasarkan ikatan kebangsaan, bukan etnis
dan bukan pula agama. Karena itu akhirnya ditetapkan Pancasila sebagai
dasar negara. Negara sekuler adalah negara yang
tidak berdasarkan agama sementara Pancasila bukanlah agama, tetapi sekuler,
karena
Lebih lanjut dalam sebuah negara bangsa, hubungan
antara rakyat dengan pemerintah dan negara bukan
berdasarkan ummat atau kelompok, melainkan berbasis
pada asas kewarganegaraan yang bersifat individual. Implikasinya
adalah jaminan hak dan kewajiban seseorang bukan karena mayoritasnya, tetapi
semata-mata sebagai warga negara yang sama
haknya. Karena itu setelah kembali ke Khittah l926 ,
NU menyerahan aktivitas politik warganya sebagai stelsel individual,
artinya NU secara kelembagaan merasa tidak
pantas mendikte rakyat dalam menentukan pilihan politiknya.
Karena warga negara punya ha individu yang tidak boleh
diintervensi siapapun. Hak individu ini
Perkembangan NU belakangan terutama di kalangan mudanya, baik
dalam gerakan pemikiran maupun gerakan sosial di alam yang plural ini telah
membawa mereka pada pemikiran yang lebih empirik. Dalam situasi
plural kita memang tidak bisa memaksakan Islam sebagai acuan
tunggal, karena itu harus dicari acuan yang bisa dipakai bersama.
Sebuah gerakan tidak lagi ditunjukkan hanya untuk
Hal itu menyiratkan terjadinya sekularisasi di kalangan
NU. Memang hal itu tampak sekali; banyak kalangan NU
-- terutama di kalangan mudanya yang dengan tegas
menolak agama dijadikan sebagai landasan politik dan
dengan tegas menghendaki tatanan politik yang sekuler. Alasan
pertama, karena hal itu mendistorsi maqqasidu syari'ah
(cita-cita syari'at) Islam sebagai
Sebagai contoh, ketika didirikan Generasi
Muda Islam (Gemuis) yang disponsori rezim
ketika terjadi kekacauan politik tahun l996 yang
lalu, kalangan muda NU tidak bergabung ke sana, malah
bersama mahasiswa sekuler mendirikan Forum Kebangsaan
Indonesia, yang lebih bersifat kritis dan suportif
terhadap kelompok Megawati. Sehingga selama ini gerakan
generasi
Sikap tersebut buan sekedar pilihan taktis, melainkan telah menjadi
semacam ideologi pemikiran kalangan muda NU.
Hal itu bisa ditelusuri melalui referensi yang
mereka baca dan dijadikan sebagai ideologi gerakan. Mereka
lebih tergerak untuk mempelajari karya-karya Mahmud
Thaha dan Abdullahi
Ketika Abdurrahman Wahid, Said Aqiel atau Masdar, mengatakan bahwa tidak
ada negara Islam, maka tersirat di dalamnya bahwa sistem
negara sekuler yang dikehendaki, karena itu mereka bisa dengan
rileks mengatakan bisa bergabung dengan kelompok manapun. Apalagi
Gus Dur berulangkali menegaskan bahwa
Lain lagi sikap yang diambil Masdar. Karena wilayahnya gerakan sosial dan pemikiran, maka ia dengan tegas mengatakan bahwa sumber pemikiran bukanlah Hadis sahih atau doktrin yang lain, melainkan maslahat mursalah (realitas empirik). Pemikiran model itu berkembang cukup luas di kalangan NU, melalui berbagai halqah yang gencar diselenggarakan. Adanya pandangan seperti itu menjadi tidak aneh
bila kalangan NU sangat getol mendukung Megawati yang digusur
saat itu. Demikian juga NU mendukung kalangan non-Islam yang
tertindas, misalnya membela kaum Kong Hu Cu yang dilanggar
hak agama dan status pernikahannya. Juga kegigihan
Said Aqiel dalam membela Romo Sandiawan, seorang pastor yang
diadili karena melakukan tugas pastoral, yakni membela tokoh
PRD yang tertindas. Gus Dur sendiri aktif bersama
Romo Sandi dalam tim relawan korban peristiwa
27 Juli. Kerjasama semacam itu berlanjut ketika
gerakan reformasi marak: ketika kelompok lain lagi giat membangun
posko kemanusiaan bersama kelompok relawan
Argumen "Islam kalah dan ditindas" yang dipakai Salahuddin Wahid
sebenarnya tidak populer di kalangan NU, terutama di kalangan mudanya.
Sebab orang tahu bahwa ketika rezim Soeharto berkuasa, semua
kekuatan politik yang berbasis massa dihancurkan: PKI,
PNI, NU dan termasuk kelompok agama lainnya.
Pendeknya semua kekuasaan diambil alih; tidak perduli
agama, ideologi dan
Bagi kalangan NU yang ingin menerapkan Islam secara formal, memang pendirian
partai salah satu cara. Begitu pula mereka yang berambisi
untuk berkuasa. Tetapi mereka yang ingin Islam berkembang secara
substansial melalui jalur kulturl, apalagi tidak berambisi untuk berkuasa,
maka pendirian partai tidak penting. Sebab mereka selama ini telah bisa
berbuat banyak, dengan melakukan pendidikan politik dan
meningkatkan kesadaran rakyat, tanpa partai --seperti
dilakukan Gus Dur, Masdar atau MM Billah, dan banyak
lagi. Bagi mereka, komitmen utamanya adalah rakyat Indonesia,
sementara NU hanyalah bagian darinya, karena itu tidak
perlu merasa iba atau eman-eman memberi
Kalau NU membuat partai, sumberdaya NU dalam menangani pengembangan pendidikan pesantren dan urusan kemasyarakatan, akan terserap ke sana. Ketika NU kembali ke Khittah pada tahun l984, puluhan pesantren yang terlantar karena dirtinggal main politik -- bisa dihidupkan kembali. Bila sekarang mereka terseret dalam bidang politik, rintisan itu akan terbengkalai lagi. Apalagi politik sekarang hanya dipandang sebagai sarana meraih kekuasaan kaum elite semata, bukan untuk memperjuangkan idealisme, maka gerakan pemberdayuaan civil society yang dilakukan NU selama ini akan tercampak mandek. Tidak perlu heran kalau Gus Dur dan warga NU mendukung Megawati
atau partai mana saja yang punya komitmen demokrasi dan kerakyatan,
walaupun dikatakan PDI pernah mendukung RUU
Perkawinan, tentang sekularisasi hukum dan pendidikan,
serta tentang aliran kepercayaan. Sebab Golkar yang selama
ini
Dalam situasi plural aspirasi kebangsaan jauh lebih aspiratif
bagi seluruh elemen bangsa, karena di sini tidak memandang perbedaan agama,
ideologi, dan suku. Sebagai warga negara, semuanya memiliki
hak dan status yang sama. Kalaupun mereka memperoleh posisi,
bukan by privelege karena agama, ideologi atau etnisnya, tapi
semata by choice: dipilih karena keahliannya
dan
|
|