Gus
Dur di antara Dua Partai
M. Ishom Hadzik
Tulisan Salahuddin Wahid, ketua Kelompok Kerja
Forum
Nahdliyyin untuk Kegiatan Strategis - yang kebetulan adik Ketua
Umum PBNU, Abdurrahaman Wahid alias Gus Dur, menarik untuk dibaca
dalam kerangka memahami manuver Gus Dur akhir-akhir ini. Tulisan
bertajuk NU, Gus Dur dan Megawati yang dimuat
Republika edisi 9 Juli itu, menjelaskan bagaimana sebetulnya
pandangan Gus Dur terhadap formalisasi (dalam
tulisan Salahuddin disebut legalisasi) ajaran Islam di Indonesia,
sekaligus dimana posisi Gus Dur di tengah euforia politik sejumlah tokoh
NU yang sedang "ngebet" membentuk partai baru.
Gus Dur, boleh jadi memang dilahirkan sebagai
tokoh yang sulit
dipahami ummatnya. Begitu seringnya dia membuat bingung warga
NU yang awam, sehingga sekelompok anak muda NU di Yogyakarta
merasa perlu menerbitkan sebuah buku yang diberi judul Tabayun Gus
Dur (LKiS, 1998). Tabayun dalam bahasa santri
lazim di terjemahkan sebagai klarifikasi.
Kini -di tengah kondisi
kesehatannya yang belum pulih,
lagi-lagi ia melontarkan pernyataan kontrofersial, yakni tekadnya
untuk bergabung dengan Ketua Umum PDI versi Munas, Megawati Soekarnoputri.
Jauh sebelumnya, Ketua Litbang PDI, Kwik
Kian Gie, sudah
melontarkan kemungkinan tersebut (Jawa Pos, 28/5). Lalu beragam tanggapan
muncul. Mahrus Irsyam, misalnya, menilai pernyataan Gus Dur merupakan bukti
bahwa NU memang tidak sektarian (Jawa Pos, 29/6). Penilaian
yang sama muncul dari Jalaluddin Rakhmat.
Lebih dari itu, "Gus Dur, tampaknya, telah menjadi simbul
dan kekuatan bagi terciptanya rekonsiliasi nasional," Ujar Kang Jalal
seperti di kutip Jawa Pos (6/7). Sementara
Fachry Ali, memprediksikan konsentrasi warga nahdliyyin
akan terpecah jika Gus Dur akan mendukung partainya Mbak
Mega (Surabaya Post 28/6).
Rekonstruksi Pemikiran
Seperti ditulis Salahuddin, jika benar Gus Dur beraliansi
dengan
Megawati bisa dipastikan bakal muncul koflik
internal di tubuh NU. Pandangan Salahuddin cukup beralasan.
Tanpa bergabung dengan Mega pun konflik internal itu sudah
muncul sejak gagasan pembentukan partai warga NU dicetuskan.
Perdebatan paling alot dalam pertemuan para penggagas partai
di
Rembang, 6 Juni 1998, misalnya, terkait dengan sifat terbuka
atau tertutupnya partai. Sebagian menghendaki partai terbuka
-- tanpa embel-embel Islam, yang bisa menampung aspirasi segenap
komponen bangsa, tanpa membedakan agama, ras, suku maupun golongan.
Tapi kelompok lain ngotot dengan partai tertutup yang khusus
mewadahi ummat Islam, lebih spesifik lagi
warga NU. Akhirnya, ditemukan kompromi bahwa yang akan dibentuk adalah
partai "terbuka". Terbuka dalam tanda kutip berarti memberi
peluang kepada seluruh warga masyarakat untuk ikut, tetapi
yang berhak tampil cuma kader-kader NU. Dengan konsep yang
mendua itu, jelas sulit mengharapkan orang di luar NU mau bergabung.
Ilustrasi di atas, membuktikan bahwa pemikiran Gus
Dur yang
bukan hanya membangsa, melainkan juga kosmopolit
dan cenderung sekuler, belum cukup tersosialisasi, apalagi
terinternalisasi, di kalangan warga NU. Padahal, itu sudah belasan tahun
diupayakan oleh Gus Dur dan sekelompok intelektual muda
NU.
Paradigma pemikiran yang ditawarkan Gus Dur,
sebetulnya,
sejalan dengan watak dasar NU. Paham ahlu as sunnah
wa al jama'ah yang menjunjung tinggi sikap-sikap tawassuth
(moderat), tawazun (proporsional) dan tasamuh (toleran),
plus tatanan sosial-politik-ekonomi yang didasarkan pada
prinsip-prinsip adalah (keadilan), syuro (permusyawaratan)
dan musawah (persamaan), merupakan modal dasar yang penting
untuk membangun wawasan
kebangsaan. Dan NU, sejak dulu
di kenal sebagai ormas yang lebih mengedepankan
wawasan kebangsaan ketimbang ikatan primordial sempit.
Wacana kenegaraan yang dominan pada Muktamar NU di
Banjarmasin tahun 1935 misalnya, lebih mengarah pada
kesepakatan untuk membentuk dar al salam (negara
perdamaian) ketimbang dar al Islam (negara islam). Konsensus
ini merupakan terobosan yang cerdas untuk
menghargai eksistensi kelompok
minoritas, kendati fatwa mufti Hadlramaut, Muhammad Shalih
Al
Rais, ketika itu lebih mengarah pada pembentukan
negara Islam. Penghargaan terhadap eksistensi minoritas
itu, mendorong NU lebih toleran dalam menyikapi
kepentingan komponen bangsa yang lain.
Masalahnya, mengapa paradigma pemikiran yang
disodorkan
Gus Dur belum sepenuhnya diterima oleh warga NU ?
Pertanyaan ini sulit dijawab. Tapi yang jelas dari situ terlihat
bahwa Gus Dur sebenarnya telah gagal membumikan pemikiran-pemikirannya
di kalangan warga NU sendiri. Barangkali, memang
diperlukan rekonstruksi terhadap paradigma pemikiran
yang ditawarkan Gus
Dur, agar kaum nahdliyyin lebih intens terlibat dalam pergumulan
intelektual mengenai berbagai masalah kenegaraan dan kebangsaan yang
menjadi concern NU. Tapi, apa itu mungkin sementara
mereka harus berjuang keras mengatasi kesulitan ekonomi ?
Formalisasi Agama
Kegagalan Gus Dur membumikan pemikiran-pemikirannya di
kalangan warga NU, plus dinamika politik pasca reformasi
yang membuka peluang bagi kebangkitan politik aliran dan fragmentasi
politik ummat Islam, telah meniscayakan set back terhadap
upaya membangun wawasan kebangsaan. Persoalan usang yang
seharusnya sudah selesai, yakni relasi agama-negara, kembali mencuat.
Gejala ke arah itu, terlihat dari ambivalensi
partai yag bakal
dibentuk warga NU. Tarik ulur mengenai terbuka atau tertutupnya
partai, menunjukkan bahwa kecenderungan untuk menjadi sebuah entitas yang
eksklusif, masih belum hilang. Boleh jadi, reasoning
Gus Dur untuk bergabung dengam kelompok Megawati-yang
oleh Salahuddin dikategorikan sebagai Nasionalis-Sekuler,
adalah untuk menciptakan single majority di parlemen
yang bisa
membendung kecenderungan tersebut, sekaligus kemungkinan terjadinya
set back.
Kecemasan Gus Dur bahwa dukungan terhadap partai
agama
bakal melahirkan formalisasi ajaran agama dan mengancam integrasi
nasional, sebetulnya amat berlebihan. Aneh tapi nyata, sementara
fenomena Islamophobia sedikit banyak sudah lenyap dari pikiran
banyak tokoh nasional-sekuler, Gus Dur justru masih menyimpan kecurigaan.
Bahkan tak segan menuding ICMI misalnya, sebagai
kelompok Islam sektarian. Suatu tudingan yang
sama sekali tak
berdasar. Karena seperti diungkapkan Mochtar Pabottingi, terbentuknya
ICMI dan aksesyang mereka miliki ke pusat kekuasaan, bukan
bertolak dari niat memojokkan NU, melainkan karena
memang begitulah maunya kekuasaan. Lagi pula,
keberadaan mereka di pusat kekuasaan , cuma sekedar "ornamen
penghijau" yang tak cukup signifikan untuk menjadikan Islam sebagai
"pemberi warna tunggal" seperti dicemaskan Gus Dur.
Jadi, akomodasi negara terhadap sebagian kecil
ajaran Islam-
yang oleh Salahuddin dicontohkan dengan UU Perkawinan,
UU Pendidikan dan UU Peradilan Agama, merupakan hal yang lumrah dan
tak perlu dicurigai berlebihan sebagai formalisasi ajaran Islam,
yang berimplikasi serius terhadap integrasi nasional.
Jika diamati lebih jeli, proses akomodasi itu merupakan
konsekuensi logis dari adanya transformasi pemikiran dan perilaku
politik generasi baru ummat Islam. Transformasi intelektual
dan aktivitas politik yang mereka alami, telah mengubah
orientasi ummat yang semula legalistik-formalistik atau skripturalistik
meminjam istilah Clifford Geertz, menjadi lebih
substansialistik. Orientasi terakhir ini mengandung potensi integratif,
yang bukan hanya tidak berlawanan, tetapi justru mendukung konstruk negara-bangsa
yang berdasarkan Pancasila.
Maka, adalah ironi yang paradoks jika Gus Dur
yang merupakan
salah satu motor penggerak transformasi intlektual
dan aktivitas politik dengan paradigma baru, masih menggunakan
frame lama untuk mencurigai kebangkitan Islam politik. Padahal, akomodasi
negara terhadap mainstream Islam politik, merupakan sebuah
keharusan untuk menghindari ketegangan di satu sisi,
sekaligus memperkuat lagitimasi negara di
mata ummat di sisi lain.
Pendeknya, seperti dikatakan Bahtiyar Effendi, tanpa
adanya
transformasi pemikiran dan aktivitas politik ke arah
yang lebih substansialistik dan integratif, mustahil ada langkah-langkah
akomodatif negara terhadap Islam.
Kendala Koalisi
Mengenai rencana Gus Dur membentuk dua partai, yakni
partai
warga NU dan partai nasionalis bersama Megawati-seperti
dilaporkan Liputan 6 SCTV (27/6), tampaknya dilatarbelakangi
keinginan melakukan eksperimen politik untuk mengantisipasi perkembangan
pascareformasi. Keinginan itu, agaknya bakal
bergulir menjadi kenyataan."Sebagai Ketua NU, saya akan
mendirikan partai baru untuk orang NU. Sebagai warga negara
Indonesia, saya akan mendirikan partai lain bersama Megawati."
ujar Gus Dur seperti dikutip Surabaya Post (28/6).
Megawati sendiri hingga kini belum menentukan sikap
terhadap
rencana Gus Dur. Malah seperti diberitahukan harian Surya
(29/6), Megawati menegaskan tak akan meninggalkan PDI. Jadi, berbeda
dengan partai yang didirikan warga NU PKB, partai bikinan Gus
Dur -Megawati belum jelas kapan dan bagaimana realisasinya.
Memang, partai NU dengan PNI -unsur paling dominan
dalam
PDI Megawati, dimasa Orde Lama pernah menjalin
perkawanan erat melalui poros Nasakom gagasan presiden
Soekarno. Persoalannya sekarang, bisakah partai NU yang
berbasis Islam dan PDI Megawati yang sekuler disatukan dalam sebuah koalisi?
Rasanya, itu tidak mungkin. Kendati Gus Dur dan mbak Mega memiliki visi
yang kurang lebih sama belum tentu pendukung masing-masing juga demikian.
Apalagi, bila dicermati, kebanyakan tokoh penggagas
partai bagi
warga NU adalah mereka yang gagal di kancah
politik. Ibarat rumah, mereka telah tergusur dari "rumah"
yang dibangun dan dihuni secara kolektif bersama kelompok
lain, baik di zaman Masyumi maupun
di era PPP. Pengalaman mengecewakan itu, tak mudah
mereka hapuskan dan membuat mereka berpikir sekian kali
untuk menjalin koalisi dengan partai lain, termasuk dengan
PDI-nya Megawati.
Dan jangan lupa, para pendukung PDI Megawati
belum tentu
mau menerima orang-orang NU dengan tangan
terbuka. Lihat saja hasil polling yang dilakukan
Litbang PDI. Megawati mendapat dukungan terbesar untuk menjadi
presiden, sementara Gus Dur menempati posisi sedikit diatas juru
kunci. Itu menunjukkan, banyak orang cuma menginginkan dukungan NU, tapi
mereka sendiri keberatan untuk mendudukung NU.
Dari gambaran di atas, sudah bisa di perkirakan
bahwa keinginan
Gus Dur untuk membangun single majority melalui koalisi
partai NU dan PDI Megawati -seperti ditegaskan Said Aqiel Siradj di Kompas
(7/7), akan banyak mengalami kendala, baik secara struktural, kultural
maupun psikologis. Gendala-gendala ini, jelas melahirkan
kondisi yang rawan perpecahan. Tapi, seandainya berbagai
hambatan tersebut bisa diatasi, tak mustahil mereka punya
masa
depan yang sangat prospektif. Cuma, untuk itu Gus Dur harus terjun
langsung sementara kondisi fisiknya sudah sangat tidak memungkinkan.
Bagi mreka yang mengedepankan kepentingan pragmatis,
basis
massa NU yang besar mungkin cuma dilihat sebagai
modal membangun kekuatan politik, atau bahkan tumpukan kartu
suara. Tapi mereka yang benar punya concern terhadap ummat,
akan lebih melihat warga NU sebagai
jutaan orang yang perlu ditingkatkan taraf pendidikan,
ekonomi dan kesejahteraannya. |