[ Musykilat dalam NU] |
Kompas edisi 7 Juli l998 memberitakan bahwa Wakil
Katib Aam Syuriah PBNU Said Aqiel Siradj telah menegaskan keputusan
Gus Dur untuk bergabung dngan Megawati. Dukungan itu dalam
kapasitas pribadi bukan sebagai Ketua Umum PBNU. Menurut
Said Aqiel, dengan demikian sikap NU tetap berpegang
pada
Menjawab pertanyaan pers apakah dukungan itu untuk
membentuk partai atau sekedar dukungan moral, Said Aqiel
menjawab bahwa "sulit untuk mengatakan itu, tapi yang jelas
Gus Dur akan bergabung dengan Mega". Selanjutnya Said Aqiel
mengatakan bahwa nantinya NU akan mempunyai partai
sendiri tetapi pribadi Gus Dur akan bergabung dengan partainya Megawati.
Ummat NU silahkan memilih partai warga NU atau memilih
Gus Dur. Artinya, kalau partainya Megawati menang
berarti juga kemenangan warga NU, dan
demikian pula sebaliknya. Menurutnya, kita tidak
usah membedakan antara NU dengan
Menjawab pertanyaan apa target Gus Dur dalam dukung mendukung itu, Said Aqiel menjawab bahwa "tentunya ada, agar ada single majority di DPR dengan cara yang manis. Tidak seperti sekarang, hal tersebut dicapai dengan cara yang tidak manis." Saya yakin banyak orang bertanya-tanya tentang langkah politik Gus Dur ini, apakah ini hanya sekedar taktik untuk kepentingan sesaat atau berdasarkan konsep pemikiran politik yang mendasar? *** Warga NU harus bersikap kritis terhadap langkah politik
Gus Dur tersebut, baik itu berupa taktik sesaat apalagi kalau
bersifat pemikiran konseptual yang mendasar. Kalau bersifat taktik, yang
jelas akan membingungkan warga NU dan sedikit banyak akan menimbulkan
konflik intern. Tidak benar pendapat Said Aqiel tidak akan timbul
konflik intern, karena masalahnya cukup serius.
Pernyataan mempersilahkan warga NU untuk memilih mana yang disukai, partai warga NU atau ikut Gus Dur (bersama Megawati) adalah pernyataan yang terlampau menyederhanakan masalah. Kita bukan sedang memilih baju, mobil atau barang lain, tetapi sedang memilih sesuatu yang sangat banyak mempengaruhi kehidupan kita di masa depan. Kalau memang NU dan Megawati (baca kelompok Nasionalis) itu sama, kenapa tidak dari dulu bergabung dalam satu partai? Walaupun banyak persamaan dalam tujuannya, tetapi keduanya mempunyai perbedaan yang bersifat prinsip. Di dalam peta politik Indonesia, Megawati dan kelompoknya dikenal sebagai kelompok Nasionalis-sekuler, sedangkan NU termasuk dalam kelompok Nasionalis-Islam. Untuk dapat memberi gambaran yang tepat dan mudah dicerna tentang perbedaan kelompok Nasionalis-sekuler dengan Nasionalis-Islam, saya akan mengambil kasus pembahasan RUU perkawinan pada tahun l973. RUU Perkawinan diajukan oleh Pemerintah - yang waktu itu dikuasai oleh kelompok Nasionalis-Sekuler - sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan kehidupan sekuler. Waktu itu DPR beranggotakan 460 orang dengan rincian FPP: 94 orang, FKP: 236 orang, FDI: 30 orang dan FABRI 100 orang. FPP (58 orang dari NU) menentng RUU itu karena banyak
pasalnya mengandung ketentuan yang bertentangan dengan syari'at Islam.
Peran NU dalam menentang ketentuan yang anti syai'at Islam sangat
menentukan, dengan figur utamanya ialah Rais Aam PBNU (waktu
itu) K.H. Bisri Syansuri (kakek Gus Dur dari pihak ibu).
Berkat perjuangan gigih seluruh ummat Islam, para anggota DPR
Jadi perbedaan prinsip antara Nasionalis-sekuler dengan
Nasionalis Islam adalah tentang masuknya syari'at Islam ke dalam hukum
positif atau peraturan perundangan. Mereka menolak hal itu
dengan tegas. Hal itu dapat dilihat dalam argumentasi mereka.
Salah satu contoh adalah argumentasi Franz Magnis Suseno yaitu:
"Apabila mau melihat-lihat ke arah
negara-negara yang
Adalah sesuatu yang menarik bahwa Magnis Suseno telah
berubah sikap dalam menilai kalangan Islam seperti dapat dilihat
dalam pernyataannya menanggapi polemik sekitar pernyataan Muchtar
Pakpahan tentang fundamentalis Islam. Menanggapi hal itu, dia
menilai tidak ada fundamental Islam. " Yang muncul adalah kebangkitan
Islam secara kritis," katanya seperti di kutip
oleh
Menurut pandangan penulis, pendapat Magnis Suseno itu di kalagan
Nasionalis-Sekuler bukanlah pendapat mayoritas. Apa pun yang
terjadi, mereka akan tetap menentang masuknya syariat Islam
ke dalam UU. Penulis yakin bahwa hal itu akan tetap mereka perjuangkan
dan dengan lebih keras apabila mereka bisa menguasai DPR atau
menjadi "Single Majority" bersama kelompok
lain.
Perubahan Sikap Adalah sesuatu yang wajar kalau orang lalu bertanya apakah Gus Dur memang bersikap sama dengan kaum Nasionalis - sekuler dalam menentang masuknya syariat Islam kedalam UU negara Repoblik Indonesia. Kalau sama, bagaimana sikap mayoritas warga NU, bagaimana sikap PBNU? Tidak mudah untuk menjawab pertayaan ini. Berbagai pemikiran Gus Dur dalam pernyataan, pidato, wawancara, ataupun ceramahnya, memberikan indikasi berbeda-beda. Pemikirannya itu sendiri melalui proses yang berkembang dalam waktu lebih dari 25 th tentunya sedikit banyak akan mengalami perubahan bahkan bertentangan, tetapi tetap akan dapat ditengarai adanya benang merah di dalamnya. Douglas E Ramage telah melakukan kajian terhadap tulisan Gus Dur dan wawancara langsung dengannya. Dia menulis dalam Tradisionalisme Radikal bahwa pemikiran politik Gus Dur di dasarkan pada visi politik yang demokratis, sekuler, dan nasionalis. Salah satu keyakinan intinya adalah bila Indonesia benar-benar akan menjadi "civil society" yang demokratis, aspirasi politik masyarakat tidak boleh disalurkan melalui agama (hal. 194). Selanjutnya juga ditulis bahwa Gus Dur menolak UU Peradilan Agama yang memperjelas dan menegaskan kembali independensi peradilan agama dan kesamaannya dengan peradilan sipil serta UU Peradilan (1989) yang menetapkan bahwa pengajaran agama itu wajib di semua sekolah umum (hal. 205 cataan kaki). Perlu dikemukakan bahwa muktamar NU di Krapayak mendukung ke dua Undang Undang tersebut. Wawancara lain dengan Ramage menunjukkan bahwa bagi Gus Dur dan Nasionalis-Sekuler lainnya, setidaknya ada kesepakatan bersama dengan ABRI bahwa Indonesia harus menjadi masyarakat sekuler (hal. 217). Gus Dur dalam artikelnya di Media Indonesia (1994
yang berjudul "Gerakan Islam dan Wawasan Kebangsaan"
mengemukakan bahwa "yang paling mendasar adalah
pembentukan antar klaim mereka untuk tetap setia kepada
UUD 1945, sedangkan pada saat yang sama menginginkan legalisasi ajaran
agama sebanyak mungkin. Jelas ini merupakan sikap
kontradiktif, karena pada dasarnya
Alenia di atas menunjukkan bahwa Gus Dur tidak setuju
masuknya ketentuan syariat Islam ke dalam peraturan perundangan (melegalisasikan
ajaran Islam) karena dianggapnya bertentangan dengan
bunyi pasal-pasal UUD 1945 yaitu pasal 27 ayat 1 yangberbunyi
: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya
Pendukung legalisasi ajaran Islam mengambil pasal 29 ayat
2 UUD 1945 untuk membuat Undang-undang yang berlaku hanya
untuk ummat Islam. Prof. Ismail Sunny menulis : "Penafsiran
sistematis pasal 27 ayat 1 (yang menjamin kesamaan
kedudukan di dalam hukum adalah "lex generalis" sedangkan pasal 29
ayat 2 (yang menjamin kemerdekaan untuk memeluk
agama masing-masing dan
Pemikiran Gus Dur yang memberi kesan bahwa dia tidak menentang legalisasi ajaran Islam salah satunya adalah artikel dalam Majalah Prisma edisi Agustus 1975 berjudul "Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan". Melihat tahun dibuatnya artikel itu (1975) dengan artikel di Media Indonesia (1994), mungkin dapat disimpulkan bahwa semula memang Gus Dur mendukung legalisasi ajaran Islam, tetapi kemudian berbalik menentang pikiran tersebut. Apakah memang benar demikian halnya, tentunya Gus Dur yang mengetahui. Klarifikasi Warga NU - dan juga (terutama) PBNU - harus melakukan klarifikasi terhadap Gus Dur apakah memang benar ia menentang legalisasi ajaran agama Islam tetapi warga NU dan PBNU harus siap menerima kemungkinan bahwa memang Gus Dur menentang legalisasi ajaran Islam. Kalau memang demikian, bagaimana sikap warga dan PBNU? Kesemuanya harus dilakukan dengan hati tenang dan kepala dingin, tidak perlu emosional. Mengenai sikap dan wawasan kebangsaan warga NU --khususnya generasi mudanya dan para pimpinan dari organisasi otonom NU, mantan anggota PBNU serta aktifis di lingkungan NU-- sebenarnya tidak perlu terlalu dirisaukan. Banyak dari mereka menginginkan partai terbuka murni, tetapi tetap mempertahankan NU sebagai komponen terbesar tetapi mereka juga menginginkan ketentuan syariat Islam tetap dimasukkan ke dalam undang-undang, minimal mempertahankan yang sudah ada. Seperti arus utama gerakan Islam
Mutakhir, mereka juga sudah tidak menginginkan
adanya negara Islam di Indonesia. Mereka menganggap
negara pancasila --yang bukan negara agama dan bukan negara
sekuler-- adalah bentuk yang paling ideal bagi Indonesia. Dan itu,
tidak harus menghilangkan ketentuan syariat Islam dari undang-undang.
Mereka sepakat untuk membatasi
Ummat Islam tentunya ingin memper-tahankan suasana dan
iklim politik yang mendukung tumbuh dan berkembangnya kehidupan beragama
di Indonesia. Mereka tidak menginginkan kembalinya keadaan pada tahun
1970-an, ketika kehidupan beragama sangat di tekan dan
dikekang. Mereka juga tidak menginginkan
Menurut penulis, NU terlalu besar hanya untuk menjadi mendukung Kelompok Megawati yang notabene bervisi politik tidak sama dengan NU. NU juga terlalu besar untuk pantas khawatir menerima bergabungnya kelompok non-NU, non-Islam, kalangan keturunan (Cina, Arab, Eropa, dan lain-lain) ke dalam partai terbuka murni yang mungkin akan bisa menjadi ladang persemaian menuju masyarakat dan negara Indonesia baru yang kita cita-citakan. Suatu masyarakat madani yang beradab dan sejahtera, suatu negara yang demokratis, berkeadilan, menghormati hah-hak warganya tanpa memandang agama, suku, ras, dan golongan. NU bisa melakukan peran yang berarti dalam menuju
masyarakat yang kita cita-citakan itu, tanpa harus mendukung
siapa pun termasuk Megawati. Warga NU harus yakin bahwa
NU mempunyai potensi untuk melakukan peran tersebut asalkan
warga NU percaya diri, bersatu, kompak, dan mengutamakan kepentingan
Mungkin penulis agak berlebihan kalau mengatakan bahwa hanya NU-lah saat ini yang mempunyai potensi itu, dan waktunyapun hanya saat ini. Mudah-mudahan Allah s.w.t. memberi petunjuk kepada para pemimpin dan warga NU untuk bisa memilih jalan terbaik. Amin. |
|