[ Musykilat dalam NU] |
Setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya pada akhir Mei 1998, kehidupan di Indonesia, terutama kehidupan politik, berubah dengan cepat dan sering sekali tidak terduga. Salah satu perubahan yang mendasar ialah dibukanya kemungkinan untuk mendirikan partai politik baru, perubahan beberapa UU yang berkaitan dengan kehidupan politik dan dipercepatnya pemilu. Berbagai pihak segera mendirikan partai termasuk warga NU. Upaya warga NU untuk mendirikan partai baru ternyata menarik untuk disimak. Yang sudah resmi dinyatakan berdirinya ada dua yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI). Partai SUNI didirikan oleh Abu Hasan dkk, yang ternyata tidak begitu banyak mendapat sambutan dari warga NU. PKB dideklarasikan oleh beberapa pengurus teras NU dan didalam risalah rapat pleno PBNU Juli 1998 dinyatakan sebagai satu-satunya wadah penyaluran aspirasi politik bagi warga NU. Ternyata masih cukup banyak warga NU yang merasa belum tertampung aspirasinya oleh kedua partai itu dan akan mendirikan partai ketiga dilingkungan NU yaitu Partai Nahdlatul Ummat (Partai NU). Wajar jika timbul pertanyaan kenapa tidak cukup satu partai untuk warga NU ?. Berdirinya beberapa partai itu apakah tidak menimbulkan perpecahan didalam tubuh NU ?. Memang akan lebih baik apabila hanya terdapat satu partai saja bagi warga NU. Hal itu akan dapat terwujud apabila jam'iyah NU berubah menjadi partai. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa warga NU yang berada di PPP, Golkar dan PDI akan masuk menjadi warga partai apabila NU berubah menjadi Partai Nahdlatul Ulama.Tetapi keinginan untuk merubah NU menjadi partai tidak mendapat tanggapan yang positip dari PBNU dengan argumentasi hal itu bertentangan dengan Khitthah NU. Apakah benar bahwa perubahan itu tidak sesuai dan bertentangan dengan Khitthah NU? Kalau benar demikian halnya, apakah tindakan merubah NU menjadi partai pada muktamar NU di Palembang (1952) dapat disebut juga bertentangan dengan khitthah NU ? Pertanyaan itu makin mengusik kita kalau diingat bahwa para anggota PBNU saat itu -KHA Wahab Chasbullah (Rais Aam), KH Bisri Syansuri (Wakil Rais Aam)- adalah para tokoh yang mendirikan dan membina NU sejak awal berdirinya sehingga sangat mengetahui apakah yang dimaksud dengan khitthah NU 1926. Demikian pula halnya dengan tokoh PBNU lainnya yang terlibat dalam langkah menjadikan NU partai politik, seperti para ketua KHA Wahid Hasyim, KH Masykur, KHM Dahlan. Batasan dan pengertian Muktamar NU 1984 di Situbondo merumuskam batasan dan pengertian tentang Khittah sbb : 1. Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertingkah-laku bagi warga NU dalam semua tindak dan kegiatan (organisasi) serta dalam setiap pengambilan keputusan. 2. Landasan tersebut adalah faham ahlussunnah wal jama'ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. 3. Khitthah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. Dibagian lain dari keputusan itu juga ditegaskan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai jam'iah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan kemasyarakatan manapun juga. Konsekwensi logis dari Keputusan Muktamar itu adalah terputusnya hubungan (historis) antara NU dengan PPP, dan terwujudnya kebebasan bagi warga NU untuk menggunakan hak-hak politiknya, diantaranya menjadi anggota atau aktifis ketiga orpol yang ada. Maka posisi dan jarak NU terhadap semua orpol yang ada adalah sama. Sebagai contoh, saat ini ketua umum PP Muslimat NU menjadi anggota DPP Golkar dan menjadi anggota DPR dari FKP, sedangkan ketua I PP Muslimat NU menjadi anggota DPR dari FPP. Sementara itu, ketua III PP Muslimat NU menjadi salah satu ketua DPP PKB. Mengacu kepada alinea diatas bahwa posisi dan jarak NU terhadap semua orpol yang ada itu adalah sama, maka pernyataan didalam risalah rapat pleno PBNU bahwa PKB adalah satu-satunya wadah penyaluran aspirasi politik bagi warga NU, adalah bertentangan dengan keputusan muktamar NU Situbondo dan Yogyakarta. Dan pernyataan itu juga bersikap tidak fair atau tidak adil terhadap warga NU yang menjadi aktifis ketiga orpol yang ada. Kita tentunya memahami bahwa cukup banyak jasa mereka bagi perjuangan ummat Islam termasuk NU didalamnya. Pernyataan didalam risalah rapat pleno PBNU itu dapat diibaratkan sebagai "air susu dibalas dengan air tuba" terhadap warga NU yang menjadi aktifis PPP, Golkar dan PDI. Bagaimana pernyataan semacam itu dapat tercantum didalam risalah rapat pleno PBNU karena menurut beberapa pihak yang hadir dalam rapat pleno tersebut, tidak dilakukan pembahasan pernyataan semacam itu. Apakah telah terjadi pemutarbalikan fakta oleh beberapa oknum didalam PBNU. Lepas dari dibicarakan atau tidaknya masalah itu didalam rapat pleno PBNU, yang jelas sikap semacam itu tidak pada tempatnya diambil oleh PBNU karena PKB tidak punya kaitan organisatoris apapun dengan Jam'iyah NU dan secara formal sama posisinya dengan PPP ataupun Golkar dan PDI. Penafsiran kembali khitthah Menurut hemat saya Khitthah NU tidak berubah dari 1926 sampai sekarang. Yang berubah adalah penafsirannya, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi NU. Kita tahu telah dilakukan beberapa kali penafsiran terhadap Khitthah NU secara kontekstual sesuai dengan ruang dan waktu tertentu. Tahun 1952 NU berubah dari jam'iyah menjadi partai karena ada tuntutan keadaan untuk melakukannya dan ternyata tindakan itu adalah langkah yang tepat. Tahun 1984 NU mengalami himpitan secara politis dan harus berusaha untuk menempatkan dirinya pada posisi yang tepat. Langkah kembali ke Khittah 1926, yang membebaskan NU dari ikatan politik dengan salah satu orsospol ternyata telah membuat posisi NU secara politis lebih menguntungkan. Bahwa akhirnya NU tidak bisa sepenuhnya memanfaatkan posisi itu adalah soal lain. Tetapi yang penting untuk dicatat ialah adanya kebutuhan bagi NU untuk menafsirkan kembali khitthah-nya sesuai situasi dan kondisi saat itu. Kita tidak bisa membantah bahwa situasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat ini sangat jauh berbeda dengan tahun 1984. Perubahan mendasar terjadi didalam kehidupan politik yang menimbulkan tuntutan untuk melakukan penafsiran ulang terhadap Khitthah NU. Tidak ada alasan untuk menolak dilakukannya penafsiran kembali terhadap Khitthah NU sesuai dengan konteks situasi mutakhir. Timbul pertanyaan, siapa yang berhak melakukan penafsiran itu ? Menurut saya yang berhak menafsirkan ialah seluruh warga NU melalui muktamar yang dipercepat (karena waktunya sangat mendesak). Penafsiran kembali terhadap khitttah itu tidak boleh menjadi monopoli PBNU, karena hal itu berarti pemasungan terhadap hak warga NU. Kalau PBNU berpendapat bahwa merubah NU menjadi partai akan lebih banyak madharatnya dibanding manfa'atnya, maka PBNU harus bisa menjelaskan dan meyakinkan hal itu kepada warga NU melalui muktamar. Kalau tidak bisa meyakinkan dengan baik, maka keputusan harus diserahkan kepada para peserta muktamar. Alasan kesulitan teknis untuk menyelenggarakan muktamar terasa sebagai alasan yang tidak relevan. Saya tidak tahu apakah penolakan merubah jam'iyah NU menjadi partai itu adala keputusan resmi dalam rapat pleno PBNU atau bukan. Selentingan terdengar bahwa cukup banyak anggota PBNU yang sebenarnya setuju dengan gagasan menjadikan NU sebuah partai. Sekarang terpulang kepada para anggota PBNU yang sadar akan bahaya disintegrasi internal NU bersama PW dan PCNU merenungkan kembali usulan penyelenggaraan muktamar NU yang dipercepat, guna membahas penafsiran kembali terhadap khitthah dalanm kaitan kehidupan bernegara pada saat ini. Sekali lagi perlu digaris-bawahi bahwa merubah kembali NU menjadi partai politik tidak melanggar khitthah. Yang berhak menafsirkan adalah warga NU melalui Muktamar. Jangan hak itu dipasung karena tindakan itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip berorganisasi yang telah lama dianut oleh NU. |
|