[ KH Bisri Syansuri; Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat ] |
Anggota
KNIP
Periode kemerdekaan juga membawa tahap baru dalam kehidupan Kiai Bisri, yaitu keterlibatan dalam lembaga pemerintahan. Dimulai dengan keanggautaan dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masjumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Perang Gerilya, yang sempat membubarkan pesantrennya untuk sementara waktu, membuat keterlibatan dalam lembaga pemerintahan terhenti. Tetapi keterlibatan itu dilanjutkan dalam keanggotaan Dewan Konstituante tahun 1956, terhenti lagi semenjak dewan itu dibubarkan hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika itu Kiai Bisri terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat hingga saat berpulangnya ke rahmatullah dalam tahun 1980. Itu semua tidak mempengaruhi kesetiaannya kepada Nahdlatul Ulama, bahkan kegiatan bermacam-macam dilakukannya dalam rangka pengabdian kepada Nandlatul Ulama. Sikap politiknya secara total ditentukan oleh persepsinya sendiri akan tempat Nahdlatul Ulama dalam sesuatu persoalan. Fakta inilah, antara lain, yang telah membuat Kiai Bisri sama keras sikapnya dengan Kiai Abdul Wahab yang menghendaki keluarnya Nadlatul Ulama dari keanggotaan Partai Masjumi dalam tahun 1952-53. Masih belum jelas motif apa yang membuat Nahdlatul Ulama mengambil keputusan tersebut, walaupun yang pasti ia menyangkut masalah keagamaan yang paling dalam: ulamakah yang dianggap seharusnya memiliki kata terakhir dalam semua persoalan, ataukah sebuah lembaga lain di mana ulama hanya menjadi sebagian saja dari penentu kata? Sampai di manakah wewenang Majlis Syuro dibandingkan dengan lembaga lainnya secara formal? Yang jelas mudah diduga bahwa terdapat perbedaan faham yang tak dapat dijembatani tentang masalah kedudukan ulama itu. Yang jelas, setelah Nahdlatul Ulama keluar dari Masjumi, dan kemudian menjadi partai politik tersendiri dengan kemampuan menyuguhkan kekuatan besar dalam pemilihan umum tahun 1955, dan terakhir keterlibatannya yang semakin besar dalam urusan pemerintahan di negeri ini, tugas yang dipikul Kiai Bisri menjadi tidak semakin ringan dan waktu yang dapat disediakannya langsung untuk mendidik santri di pesantrennya juga semakin mengecil. Sifat dari kekuasaan Syuriah (Dewan Agama) yang begitu besar dalam lingkup pengambilan keputusan di lingkungan Nahdlatul Ulama, yang bahkan dapat membatalkan keputusan yang diambil oleh pihak Tanfidziah (Dewan Pelaksana), dengan sendirinya membuat lebih penting lagi keterlibatan Kiai Bisri dalam proses pengambilan keputusan politik. Setelah wafatnya Kiai Hasyim Asy'ari, kedudukan Ra'is Akbar dihapuskan dan digantikan kedudukan Ra'is 'Am sejak 1947, dengan Ra'is 'Am pertama Kiai Abdul Wahab dan Kiai Bisri sebagai wakilnya. Pola pengambilan keputusan secara lama, dengan Kiai Abdul Wahab menggunakan pendekatan multi-sektoral dan Kiai Bisri pendekatan yang semata-mata berada dalam lingkup ilmu fiqh, terus saja berlanjut di masa itu. Hal itu terlihat dari perdebatan sengit antara mereka dalam masalah sikap terhadap pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat dan pengangkatan sebuah Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) sebagai gantinya oleh Presiden Soekarno. Kiai Abdul Wahab melihatnya sebagai masalah vacuum kekuasaan. Menurut doktrin agama tidak boleh dibiarkan, karena akan berakibat munculnya anarki dalam pemerintahan. Dengan demikian, dituntut dari Nahdlatul Ulama untuk turut mengisi lembaga tadi, terlepas dari benar atau tidaknya cara pengangkatan itu sendiri. Kiai Bisri berpendapat sebaliknya, karenra baginya masalah cara pengangkatan anggauta lembaga pemerintahan sebagai pengganti lembaga yang telah dipilih oleh rakyat sebagai pembuatan menentang ketentuan hukum fiqh tentang pemeliharaan hak rakyat. Bertentangan, tetapi saling mematangkan pendirian masing-masing. |
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt |