[ KH Bisri Syansuri; Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat ] |
Terlibat
Perjuangan Bersenjata
Yang menarik dari cerita orang-orang tua yang masih hidup di desa tersebut hingga hari ini, periode tahun-tahun tiga puluhan itu juga menyaksikan sebuah perkembangan menarik dalam diri Kiai Bisri: keterlibatannya kepada upaya memperbaiki nasib mereka yang malang dan miskin. Ia menjadi sangat dekat dengan mereka, memberikan santunan sosial yang besar kepada mereka, dan senantiasa membantu prakarsa perbaikan nasib dengan usaha-usaha baru di antara mereka. Keterlibatan kepada upaya perbaikan nasib mereka yang malang dan miskin itu ternyata tetap dipeganginya hingga ke akhir hayatnya, sebagaimana dapat direkam dari cerita masyarakat desa tersebut. Pecahnya Perang Dunia II dan pendudukan Jepang membawa keprihatinannya sendiri kepada Kiai Bisri. Mula-mula ia harus prihatin dengan kebalauan hidup yang diakibatkan oleh penjajahan Jepang, terutama yang menyangkut kegiatan Nahdlatul Ulama dan kelangsungan pendidikan di pesantrennya sendiri. Setelah itu, ditambah lagi keprihatinan oleh penangkapan pemerintah Jepang atas diri guru yang dicintainya, yang kini telah menjadi besannya dengan pernikahan putrinya dengan anak sang guru, Abdul Wahab Hasyim. Walaupun demikian, ia berusaha sekuat-kuatnya meneruskan tugas-tugas organisasi dan kewajiban mendidik santri-santrinya, secara tekun dan tidak kenal putus asa. Ketika Masjumi dibentuk, Kiai Bisri turut aktif berkiprah di tingkat lokal, karena bagaimanapun juga kesetiaannya yang pertama adalah kepada Nahdlatul Ulama. Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun ternyata masih diikuti oleh perkembangan yang juga membuat Kiai Bisri lebih berprihatin. Kemerdekaan bangsa telah tercapai. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mempertahankannya. Kiai Bisri mengambil jalan yang paling dikenalnya: turut aktif dalam pertahanan negara, dengan jalan menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang semula berkedudukan di Waru dekat Surabaya, dan kemudian terus-menerus terdesak sampai ke garis belakang, hingga saat pem-bubarannya di kala TNI telah berdiri sebagai satu-satunya angkatan bersenjata yang bertanggung jawab atas pertahanan negara. Ternyata usia yang sudah menginjak ambang 50 tahun di saat itu, tidak mengurangi mobilitas dan kegesitan gerak fisiknya sama sekali. Jendral (pur-nawirawan) A.H. Nasution memberikan informasi tentang bagaimana Kiai Bisri masih tetap melakukan konsultasi dengan para komandan militer di daerah pertempuran Surabaya-Jombang, seperti Overste Kretatro dan sebagainya, bahkan setelah Clash Kesatu sekalipun. Dapatlah diperkirakan apa yang menjadi motif Kiai Bisri untuk menerjunkan diri seperti itu ke dalam perjuangan militer secara langsung. Yaitu turunnya fatwa guru tercinta Kiai Hasyim Asy'ari tentang hukum jihad akbar dan perjuangan di jalan Allah bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Terlihat jelas di sini bagaimana keputusan di bidang fiqh ternyata mampu mendorong tindakan-tindakan besar dengan pengorbanan cukup besar. Dalam kasus Kiai Bisri, korban yang harus diberikan adalah pengabaian tugas-tugas organisasi di lingkungan Nahdlatul Ulama dan tugas mendidik santrinya secara langsung. Padahal pengorbanan itu datang dari orang yang begitu taat kepada kewajiban, sehingga masih memberikan pelajaran rnembaca Alquran di tingkat paling dasar dari pendidikan agama di pesantrennya, ketika ia telah berusia sembilan puluh tahun! |
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt |