[ KH Bisri Syansuri; Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat ] |
Pergerakan
Nasional
Tahun-tahun tiga puluhan adalah periode yang menarik dalam kehidupan bangsa, karena di dalamnya berlangsung banyak perkembangan penting. Di antaranya adalah pemunculan sejumlah tokoh muda dalam berbagai corak pergerakan, yang membawakan juga perdebatan sengit antara berbagai golongan tentang visi kemasyarakatan apa yang akan diwujudkan di masa depan bagi bangsa yang disaat itu sendiri masih dijajah pemerintah kolonial. Perdebatan M. Natsir dan Soekarno dalam seri polemik yang panjang dalam media masa, umpamanya, dapat disebutkan sebagai salah satu tonggak penting dalam kehidupan bangsa. Semakin jelasnya polarisasi pandangan antara aspirasi 'golongan Islam' dan kaum nasionalis, kalau mau dipakai istilah klise yang kebenarannya memerlukan pengujian lebih lanjut, memunculkan dinamika berpikir yang akan jauh implikasinya bagi masa depan bangsa, sebagaimana nantinya terbukti dalam sejarah. Di lingkungan Nahdlatul Ulama, periode itu menyaksikan dua perkembangan penting, yaitu konsolidasi kegiatan organisasi, dan munculnya perumusan-perumusan sikap organisasi yang memiliki lingkup tersendiri bagi pemikiran masalah kemasyarakatan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama. Kiai Bisri terlibat sepenuhnya dalam proses konsolidasi kegiatan organisasi itu, seperti terbukti dari kiprahnya dalam mengembangkan dan mengawasi kegiatan lailatul ijtima', sebuah forum keagamaan untuk mengingat-ingat jasa mereka yang telah berpulang ke rahmatullah dan memohonkan kelapangan tempat mereka di sisi Allah. Forum ini memiliki arti penting dalam memelihara solidaritas intern di lingkungan organisasi, karena ia langsung melibatkan para keturunan dan keluarga dekat orang yang telah meninggal dunia ke dalam upaya pelestarian perjuangan mereka, sehingga dengan demikian lailatul ijtima' yang diadakan sebulan sekali pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa itu merupakan mata rantai pemantapan keterlibatan warga kepada kelangsungan hidup organisasi. Munculnya tokoh-tokoh muda di sektor pelaksana harian (kepengurusan Tanfidziyah), seperti Ali Ubaid, Mahfudz Siddiq dan kemudian A. Wahid Hasyim, ternyata membawakan angin segar baru: munculnya pemikiran-pemikiran kemasyarakatan yang beraneka ragam, yang kesemuanya itu mempunyai bekas tersendiri dalam kehidupan Nahdlatul Ulama. Perhatian kepada upaya pengembangan masyarakat melalui jalur-jalur sosial-ekonomis, sosial-budaya dan sosial-politis tampak mencolok peningkatannya, seperti dapat dikaji dari nomor-nomor lama organ organisasi itu, seperti Berita Nahdlatoel Oelama (BNO). Kiai Bisri tidak pernah melibatkan diri dalam dunia tulis-menulis, tetapi keterlibatannya dalam upaya dinamisasi organisasi dengan pelebaran wilayah kegiatannya itu tampak jelas dari upayanya mendorong dan kemudian menopang berdirinya rumah-rumah yatim-piatu di berbagai tempat, termasuk di Jombang sendiri. Juga dalam dukungannya kepada upaya pelayanan kesehatan yang dirintis di berbagai tempat. Disamping itu, perkembangan pesantren yang dipimpinnya telah membawa Kiai Bisri kepada kedudukan guru dari sejumlah kiai muda hasil didikannya, seperti Kiai Abi Dardak dari Jombang, Kiai Nursalim dari Malang, Kiai Masduki dari Salatiga dan Kiai Bunyamin dari Mojokerto. Kemampuan mendidik santri-santri yang kemudian berhasil menjadi kiai di tempat masing-masing membawa pesantren Denanyar yang dirintis dan kemudian dikembangkan Kiai Bisri itu ke jenjang status sebagai pesantren utama di kemudian hari. Korps guru yang tangguh, asuhannya sendiri dari titik nol, telah memiliki momentum perkembangannya sendiri, yang di kemudian hari akan melahirkan sejumlah kiai lebih di bawah lagi dalam usia, seperti Kiai Baqir dari Pacitan, Kiai Khusnan dari Kudus, Kiai Muhadi yang kemudian membantu Kiai Bisri di Denanyar sendiri, dan seterusnya. Sekolah agama yang berkembang di pesantren asuhan Kiai Bisri itu juga telah mampu mengubah watak kehidupan secara umum di desa Denanyar. Nilai-nilai yang tadinya dominan dalam pengaturan hidup masyarakat, seperti kejagoan fisik seseorang dan sebagainya, secara tetap dan bertahap telah digantikan oleh nilai-nilai kehidupan yang lebih rasional dan lebih berpautan dengan kaidah-kaidah moral keagamaan. Sebagai petani berukuran sedang yang sukses dalam mengatur kehidupan ekonominya sendiri. Kiai Bisri juga mendorong munculnya sejumlah petani yang mengamalkan moral keagamaan dalam profesi mereka. Hubungan.dengan pemerintahan desa juga berada pada tahap yang baik, tidak usah terlalu dekat tetapi tidak pula bermusuhan. |
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt |