[ KH Bisri Syansuri; Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat ] |
Barisan
Peminat Fiqh
Di pesantren Tebuireng, pemuda Bisri juga belajar bersama sejumlah pemuda pilihan yang di kemudian hari akan menjunjung nama guru mereka, seperti pemuda Abdul Manaf dari Kediri, As'ad dari Situbondo, Ahmad Baidhawi dari Banyumas, Abdul Karim dari Sedayu (Gresik), Nahrawi dari Malang, Abbas dari Jember, Ma'sum Ali dari pesantren Maskumambang di Sedayu (yang pernah terkenal sebagai pesantren paling utama sebelum masa itu), dan seterusnya. Mereka kemudian akan membentuk barisan peminat fiqh dan penganut hukum agama yang tangguh, menjadi kiai-kiai pesantren yang sekarang ini merupakan pusat-pusat pendalaman ilmu-ilmu agama di pulau Jawa. Angkatan pemuda Bisri sebagai dikatakan Kiai Syukri Ghazali Almarhum, adalah generasi paling baik dari mereka yang dididik Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari di pesantren Tebuireng selama hampir setengah abad lamanya. Angkatan yang menjadi kiai-kiai terkemuka hingga saat ini, atau yang mewariskan pesantren-pesantren besar kepada para pengganti sebelum kepulangan mereka kerahmatullah. Selama enam tahun di pesantren Tebuireng itu, pemuda Bisri memperoleh ijazah (perkenan lisan) dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama, dari teks fiqh Al-Zubad (yang kemudian akan menjadi kegemarannya) hingga ke cor-pus magnus hadits yang menjadi spesialisasi Kiai Hasyim Asy'ari, Bukhari dan Muslim. Pada waktu itu sudah terlihat jelas corak pengua-saan ilmu-ilmu agama yang diikuti pemuda Bisri dan akan membuat-nya sangat terkenal di kemudian hari: pendalaman pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, tanpa terlalu banyak variasi tambahan pengetahuan baru yang bermacam-macam. Literatur keagamaan yang dikuasainya terasa terlalu bersifat sesisi, lebih ditekankan pada literatur fiqh lama. Tetapi penguasaan itu memiliki intensitas luar biasa, sehingga secara keseluruhan membentuk sebuah kebulatan yang matang dalam kepribadian dan pandangan hidupnya. Ketundukannya kepada keputusan hukum agama yang diambil berabad-abad yang lampau, mungkin terasa agak aneh terdengar di masa modern ini. Tetapi ia memiliki validitasnya sendiri, selama dilakukan dengan keterbukaan sikap dan keteguhan hati seorang yang mampu menghadapkannya kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik. Jarang diperoleh keterangan tentang keadaan pemuda Bisri sewaktu ia belajar di pesantren, khususnya sewaktu belajar di pesantren Tebuireng. Banyak santri lain dikenang orang karena berbagai ulahnya, seperti pemuda Abdul Wahab Hasbullah, pemuda dinamis yang membuat banyak persoalan bagi gurunya. Lain halnya dengan pemuda Bisri Syansuri, yang bersikap hidup lugas, memiliki jalur kegiatan yang sangat bersifat rutin dan yang cenderung membenamkan diri ke dalam kebersamaan pola hidup dengan teman-teman sebaya daripada menonjolkan kiprah sendiri. Gambaran ini sudah tentu sangat bersesuaian dengan pola hidupnya setelah ia di kemudian hari menjadi kiai di tempatnya sendiri. Setelah enam tahun lamanya berada di Tebuireng, pada tahun 1912-13 pemuda Bisri Syansuri berangkat melanjutkan pendidikan ke Mekkah, kemungkinan besar atas persuasi teman karibnya sesama santri di Tebuireng, yaitu Abdul Wahab Hasbullah. Kedua kawan yang berwatak saling bertolak belakang itu sama-sama belajar pada sejumlah ulama terkemuka di tanah suci Mekkah, seperti Syaikh Muhammad Baqir, Syaikh Muhammad Sa'id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani dan Syaikh Jamal Maliki. Juga kepada guru-guru dari 'sang guru' Kiai Hasyim Asy'ari, seperti Kiai Ahmad Khatib Padang, Syu'aib Daghistani dan Kiai Mahfuz Termas. Pola kehidupan yang tekun, penuh dengan upaya menguasai pelajaran yang diberikan guru. Dan keteguhan untuk sejauh mungkin melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan panggilan peribadatan sepanjang yang difahaminya, dapat digambarkan tentulah mewarnai keadaannya semasa di Mekkah. Berbeda dengan teman karibnya, Abdul Wahab Hasbullah, yang penuh gerak dan kegiatan 'sampingan' di luar pola belajar seperti itu. Dalam tahun 1914, adik Abdul Wahab Hasbullah yang bernama Nur Khadijah menunaikan ibadah haji bersama ibunya. Tidak lama setelah kedatangan mereka di Mekkah, dimulailah upaya Abdul Wahab Hasbullah.untuk menjodohkan adik yang paling disayanginya itu dengan teman karib berasal dari Tayu itu. Tanpa banyak persoalan maksud itu tercapai dengan baik, dan pada tahun yang sama kedua suami isteri baru itu kembali ke tanah air, dengan meninggalkan ipar bernama Abdul Wahab Hasbullah untuk melanjutkan pelajaran di Mekkah. Di antara hal-hal menarik yang terjadi di Mekkah selama Bisri Syansuri berada di sana untuk dua-tiga tahun itu, walaupun tidak langsung melibatkan dirinya, adalah pembentukan sebuah cabang Syarikat Islam di tanah suci itu oleh Abdul Wahab Hasbullah, bersama-sama dengan Abbas dari Jember, Raden Asnawi dari Kudus dan Dahlan dari Kertosono. Terlepas dari motif yang melandasi berdirinya Syarikat Islam cabang Mekkah itu, yang jelas ia merupakan latar belakang yang memberikan bekasnya sendiri pada diri Bisri Syansuri: dirasakan perlunya mengorganisir diri dalam melakukan perjuangan keagamaan, di luar 'kumpulan' masing-masing di pesantren sendiri. Memang benar Bisri Syansuri tidak melibatkan diri dalam kegiatan rintisan berorganisasi di kalangan orang pesantren itu, karena (menurut ucapannya sendiri di kemudian hari) 'menunggu perkenan dari Kiai (Hasyim Asy'ari)'. Ternyata, sebelum perkenan itu tiba, Bisri Syansuri sendiri harus kembali ke tanah air. Selain membawa istri pulang, juga karena datangnya Perang Dunia I membuat ia harus meninggalkan Mekkah dalam tahun 1914, lebih cepat dari perkiraannya semula. |
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt |