[ KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial ] |
Akan tetapi tentu tidak mubazir dan justru lebih adil, bila "orang dalam" pun ikut membicarakannya. Justru ini merupakan sarana alih informasi yang diharapkan mampu memberi input obyektif kepada pihak luar yang berkepentingan tertentu dalam upaya membicarakan pesantren tersebut. Diharapkan pula akan terjadi dialog. Fenornena dialog memang tidak bisa dihindarkan, karena sifatnya yang alamiah, sejalan dengan proses interaksi antar individu, antar komunitas, bahkan antara umat manusia. Segala aktivitas yang cenderung menolak dan antipati terhadap dialog, adalah tidak bertanggung jawab sama sekali. Beranjak dari kesadaran akan pentingnya dialog itu, pesantren sejak berdirinya senantiasa berupaya berdialog dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Kedudukannya yang mengakar di tengah-tengah masyarakat tidak memungkinkan pesantren untuk tampil terisolir, apalagi eksklusif. Filosofi lahirnya pesantren menurut sementara kalangan, sama persis seperti filosofi wujudnya pasar sebagai tempat jual beli, di mana para pembeli dan penjual tidak dapat begitu saja "dipaksa" menempati pasar tersebut. Namun interaksi antara pembeli dan penjual itu sendiri yang menciptakan tempat, yang disebut pasar. Gambaran seperti itulah yang semula melahirkan pesantren. Ini merupakan cermin intensifnya dialog antara pesantren dengan lingkungannya. *** DIALOG ini tercipta secara alamiah, karena berdirinya pesantren adalah kehendak masyarakat. Justru tidak masuk akal, apabila pesantren tidak dapat berdialog dengan "pemilik"-nya sendiri. Tidak pernah tersebut dalam sejarah, bahwa pesantren adalah hasil paket dari kalangan tertentu. Dengan demikian, setidaknya ada dua hal yang mendukung terciptanya fenomena dialog pesantren dengan masyarakat. Pertama, karena tempat dan kedudukannya yang berada di tengah-tengah masyarakat. Dan kedua, pendirian pesantren itu sendiri berasal dari karsa masyarakat yang memang membutuhkan kehadirannya.(1) Yang kita coba bicarakan kali ini adalah peranan dan tugas pesantren dalam pembicaraan umat di abad modern. Telah kita awali pembicaraan kita ini dengan fenomena dialog yang pada dasarnya juga merupakan satu ciri umat modern. Sebagaimana dimaklumi, umat berarti kelompok orang. Dalam setiap kelompok orang tentu ada komunitas. Setiap komunitas, kecuali mempunyai kepentingan masing-masing, juga mempunyai pandangan dan wawasan yang berbeda. Pluralitas pandangan dan keragaman wawasan biasanya mulai berproses di negara berkembang. Sesuai dengan cirinya, proses modernisasi berjalan wajar seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semuanya berjalan serba berkembang, begitu juga kebutuhan masyarakat pun makin meningkat dan beragam, yang pada gilirannya muncul sikap dinamis dan kompetitif. Kesadaran kritis muncul, meski selalu ada usaha untuk menekannya sedemikian rupa dengan dalih agar tidak menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial mau pun politik. Bersamaan dengan itu, kebutuhan hidup rnasyarakat yang sedang berkembang dan dalam proses modernisasi itu selalu menuntut segala hal yang serba pragmatis, praktis, dan tentu serba lebih. Konsekuensi mengejar "yang lebih" atau dalam bahasa ekonominya, strategi yang menekankan pertumbuhan (growth), berarti meninggalkan "yang kurang". Meskipun pada kenyataannya, sejak proses awal sampai pada pertengahan (hingga sekarang), "yang kurang" itu tetap masih cukup dominan. Artinya, kesenjangan yang diciptakan sangat lebar. Akibat mengejar "yang lebih" ini, terjadilah kompetisi yang sering tidak sehat, di mana kepentingan individu atau kelompok tertentu lebih dominan ketimbang kepentingan umum. Kecenderungan sikap dan perilaku individualistis di kalangan masyarakat tersebut, dapat membentuk sikap kekerasan, konflik dan masa bodoh bagi pihak yang tidak beruntung. Sedangkan di pihak lain, akibat tekanan-tekanan sosial dari sikap tersebut sering juga menimbulkan stress dan putus asa. Gambaran seperti itulah yang selalu mewarnai kehidupan masyarakat dan umat modern, sebagaimana terjadi pula di negara-negara maju. Dalam hal ini, salah satu upaya pengendalian umat adalah mencanangkan keseimbangan antara unsur duniawi dan unsur ukhrowi. Hal ini sudah sering dikemukakan oleh banyak kalangan, tetapi pada realitasnya belum memenuhi hasil yang diharapkan karena kurang jelasnya standar nilai yang digunakan sebagai penyeimbang atas distorsi yang ada. Di sinilah kemudian terlihat pentingnya fungsi pesantren yang menitikberatkan tafaqquh fiddin (pendalaman agama). *** MENGAPA pesantren dengan tafaqquh fiddin-nya? Sebagaimana dimaklumi, pesantren merupakan lambang pendidikan Islam yang tentu saja memiliki titik tekan sebagai garapan yang mendasar yaitu tafaqquh fiddin. Di samping itu, di dalamnya juga diajarkan beberapa ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai upaya untuk menyiapkan tenaga-tenaga terampil yang mampu mengabdi dan berperan dalam masyarakat. Garapan semacam ini merupakan sasaran mikro pesantren sebagai pengabdiannya kepada masyarakat, karena seperti disinggung di atas, betapapun pesantren merupakan bagian dari masyarakat yang tak mungkin dipisahkan. Dalam skala makro, sasaran pesantren adalah masyarakat luas. Keberadaan pesantren di tengah masyarakat sebagai suatu lingkungan kehidupan, pada hakikatnya membawa sebuah misi yaitu upaya merangkum kehidupan dalam jalinan nilai-nilai spiritual dan moralitas yang Islami. Adalah merupakan tanggung jawab yang nyata, pesantren dalam hal ini berfungsi kontrol dan sekaligus stabilisator dalam proses perkembangan masyarakat yang sering menimbulkan ketimpangan sosial mau pun kultural. Apabila terjadi ketimpangan, pesantren tentu tidak lepas menjadi sasaran kritik dan gugatan.(2) Bagaimanapun proses modernisasi sering nampak sebagai suatu perubahan yang mempunyai dampak sangat mendasar dan mendalam pada struktur nilai yang telah berlaku dalam kehidupan. Tidak mustahil sering terjadi pergeseran nilai atas perkembangan modernisasi. Pesantren dalam kaitannya dengan permasalah ini, mempunyai tugas yang harus mampu memberikan motivasi dan arahan terhadap perkembangan yang ada. Di samping itu pesantren harus mampu memproyeksikan nilai-nilai transendental secara tetap dan tepat sebagai realisasi pembinaan terhadap umat yang dimulai dari titik tekan tafaqquh fiddin. Dengan demikian, benteng isolasi dalam diri masyarakat dan umat akan tumbuh secara inhern, untuk menghadapi ekses-ekses negatif produk modernisasi yang mengancam keberadaan nilai-nilai transendental. Fungsi dan posisi pesantren dalam upaya pembinaan umat modern, akan sangat erat kaitannya dengan keberadaan Islam sebagai sebuah sentral nilai dan dengan serta sikap dalam kehidupan umat. Islam secara mendasar rnemberikan arahan dan batasan tertentu sebagai suatu sistem nilai yang harus dijalankan umatnya. Arahan dan batasan tersebut dimasuklcan dalam pola yang dinamakan syari'at, yaitu aturan-aturan dalam kaitannya dengan hubungan antara manusia dengan Allah serta antara manusia dan sesama manusia. Bersamaan dengan itu, realisasi pola tersebut dalam Islam dilandasi oleh keimanan sebagai orientasi kerja, dilengkapi dengan akhlak yang secara lahiriah membentuk sikap dan perilaku etis pada setiap komunitas sesuai dengan lingkungan dan situasi. Secara batiniah, ia juga menumbuhkan rasa tenteram, karena makin meningkatnya pendekatan diri kepada Allah SWT. Kerangka-kerangka ideal sebagaimana terurai itu, memang bukan merupakan hal baru, akan tetapi tetap memiliki relevansi tersendiri terhadap perjalanan pesantren, untuk senantiasa membina umat sepanjang waktu. Masalah ini bukan soal remeh. Adalah sikap besar kepala dan rnustahil, jika lembaga pesantren meremehkan permasalahan itu. Justru akan terjadi kemunduran dan kemerosotan di kalangan pesantren sendiri, sebagai akibat dari kurangnya perhatian terhadap hal-hal yang berkesan remeh itu. *** Catatan Kaki:
|