[ KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial ] |
Diakui atau diingkari, tercatat dalam sejarah resmi atau diabaikan penulisannya, pesantren mempunyai posisi strategis sebagai tempat penempaan kiai, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Pesantren dengan segala peranannya telah mampu memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi usaha pemerataan hasil pembangunan sekaligus pemerataan partisipasi rakyat bawah bagi pembangunan itu sendiri. Membicarakan masalah ini akan mencakup beberapa kewenangan dan kepentingan. Apakah kewenangan dan kepentingan politis atau sekedar kepentingan sosio kultural sebagai antisipasi terhadap gejala pelecehan budaya yang ada. Dikatakan demikian, karena pada dasarnya pesantren merupakan kreasi budaya Indonesia, atau paling tidak budaya Jawa. Sehingga keinginan memasukkan pesantren dalam GBHN pada akhirnya tidak saja merupakan fenomena politik, namun juga fenomena budaya. Juga mengingat keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, sehingga persoalannya kemudian berkait dengan pranata keagamaan yang semenjak berdirinya menjadi ciri intrinsik dari pesantren itu sendiri. Terlepas dari alasan politis apa pun -karena tulisan ini memang diarahkan ke situ- sebenarnya permasalahn ini bisa dilihat melalui kacamata yuridis formal dan material hukum. *** DALAM beberapa tulisan terdahulu telah diuraikan eksistensi pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional. Meskipun pola teknik penyelenggaraan pendidikan pesantren berbeda dengan pendidikan nasional, akan telapi sistem yang dianut pesantren juga menampakkan integrasi yang partisipatif terhadap pendidikan nasional. Buktinya bisa ditelusuri dari pola pendidikan nasional yang tertuang dalam GBHN, yaitu pendidikan yang bertujuan meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia. Secara implisit, Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1989 pasal 47 menyebutkan, “Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional". Pasal itu tampak memberikan landasan kokoh bagi eksistensi pesantren dalam kerangka kenegaraan untuk meningkatkan segala peranannya. Dalam pasal 11 ayat 6 dari UUPN itu juga terdapat jenis-jenis pendidikan keagamaan yang tentu saja pesantren termasuk di dalamnya. Kalau permasalahannya hanya ingin menjadikan pesantren sebagai sub-sistem dalam sistem pendidikan nasional yang ada -dan karenanya sebagai lembaga pendidikan, pesantren dapat memperkokoh kedudukannya dan semakin jelas pengakuan terhadapnya- maka agaknya ketiga aspek formal yuridis di atas telah menunjukkan kepada keinginan itu. Akan tetapi permasalahannya tidak sesederhana itu. Beberapa kalangan berpendapat, dengan masuknya pesantren ke dalam GBHN, maka beberapa nilai positif strategis akan dapat diproses. Satu di antaranya soal dana APBN yang akan mengalir ke pesantren, akan sangat menunjang sarana pendidikan keterampilan, sehingga para santri tidak hanya menggumuli teori-teori saja, melainkan juga dapat mengamalkan ilmu-ilmunya dengan sarana tersebut. Dana APBN dimaksud juga dapat digunakan untuk mendirikan pesantren-pesantren baru di berbagai daerah terpencil yang notabene masih marginal. *** TIDAKLAH mungkin, suatu sistem pendidikan, bisa berjalan kontinyu dan lestari tanpa melalui proses perubahan dan perkembangan. Setiap sistem pendidikan yang telah berlaku dalam suatu lembaga pendidikan akan berjalan dan berkembang sesuai dengan kondisi dan faktor-faktor yang mengelilinginya. Manakala faktor-faktor tersebut menghendaki penyesuaian-penyesuaian, maka tidak bisa tidak lembaga pendidikan harus menempuh transformasi bila tidak ingin ketinggalan. Pesantren selama ini telah menempuh transformasi mendasar pada elemen-elemen pendidikannya. Transformasi yang ditempuh pesantren merupakan desakan penyesuaian terhadap makna pendidikan yang berlaku dan populer di luar pesantren. Jika tidak menempuh jalan itu, anggapan ketertinggalan akan semakin melekat pada pesantren. Sementara pada segi lain, transformasi itu merupakan perhitungan strategis pengembangan yang dilakukan atas prakarsa intern pesantren, sebagai upaya inovasi yang mutlak diperlukan. Perubahan mendasar diawali ketika di Indonesia mulai kenal denngan lembaga pendidikan yang disebut sekolah oleh pemerintah kolonial Belanda. Sekolah sengaja diciptakan untuk mengimbangi penganuh pesantren yang pada waktu itu telah mencoba dengan sistem pendidikan baru, yaitu madrasah. Perubahan berikutnya ditunjang oleh SKB Tiga Menten (Mendikbud, Menag dan Mendagri) yang menyamakan lulusan madrasah dengan sekolah negeri. Disusul kemudian -secara gradual dan pasti- dengan adanya usaha penegerian madrasah-madrasah pesantren. Pesantren lantas berkenalan dengan sistem sertifikasi dan akreditasi yang pada gilirannya sedikit banyak memberi warna lain bagi pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua sekaligus sebagai lembaga tafaqquh fiddin dan lembaga sosial kemasyarakatan, pada dasarnya memiliki karakter Islami yang kuat, watak kemandirian, jiwa perjuangan, kebiasaan bermusyawarah, dan lebih dari itu adalah watak ikhlas. Jiwa dan watak seperti inilah yang jarang ditemui pada lembaga pendidikan lain, sehingga untuk berintegrasi ke dalam pesantren atau mengintegrasikannya pada sistem lain, mutlak diperlukan kajian mendalam dan serius. Maka, apapun perubahan dan perkembangan yang terjadi atau yang diinginkan, tentu tidak seharusnya mengganggu -kalau tidak bisa dikatakan menghilangkan- jiwa dan watak pesantren. Kita ingat ketika SU-MPR di tahun 1988 membicarakan masuknya pesantren ke dalam GBHN seperti yang terjadi dalam SU-MPR 1993. Pendapat kontroversial bermunculan sebagai respon atas masuk tidaknya pesantren dalam GBHN. Silang pendapat antara masuk dan "tetap di luar" yang semula bermotivasi pada eksistensi pesantren, justru sempat bergeser pada tendensi politis. Sementara itu, dari pihak pesantren sekurangnya ada tiga sikap yang muncul. Pertama, ada yang berambisi harus jelas dan tegas masuk GBHN dengan alasan mempertahankan eksistensinya, tanpa menyampaikan konsep eksistensi dalam formulasi yang tuntas dan lengkap. Sikap kedua, justru menentang yang pertama, karena dikhawatirkan masuknya intervensi dari luar ke dalam pesantren secara lebih dominan, akan rnempengaruhi kemandirian pesantren. Agaknya selama ini rnasih ada yang belum menyadari adanya intervensi pihak luar dan lebih dari itu mereka beranggapan, masuknya peranan luar ke dalam pesantren berarti akan mengganggu eksistensi pesantren. Sikap kedua ini tidak rnau tahu terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Sedangkan sikap ketiga, memilih berdiam diri. Tidak jelas, apakah sikap ini muncul dari keputusasaan atau dari kedewasaannya dalam menerima sebuah kenyataan secara konsekuen. Nuansa perbedaan sikap di kalangan pesantren seperti itu apabila dianalisis agak jauh paling tidak dapat mengacu pada suatu hipotesis, bahwa eksistensi pesantren secara utuh perlu dikaji ulang baik dari sisi makrohistorisnya yang tentu mengenal adanya perubahan sesuai dengan proses sejarahnya, mau pun dari mikro-sinkronisnya yang menyangkut ciri intrinsik, visi dan fungsi dasarnya. Sehingga dengan demikian, untuk memasukkan pesantren ke dalam GBHN, terlepas dari kepentingan apapun, tentu memerlukan pula analisis-analisis seperti itu. Tidak asal memasukkan ke GBHN, yang tentu saja akan mengarah pada ketidakjelasan demi ketidakjelasan.(1) Pesantren dari dulu senantiasa berprinsip al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Dengan prinsip yang lentur itu, pesantren senantiasa mencoba terus terbuka. ***
|