[ KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial ] |
Dimensi sosial-ekonomi sebagai garapan utama bagi gerakan, yang menjadi tolok ukur bagi kesejahteraan kehidupan umat Islam di Indonesia, ia tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan erat dengan ihwal dan sikap mental masyarakat sebagai pelaku ekonomi, sekaligus sebagai sasaran gerakan. Pengaruh dan tantangan bagi gerakan ini, juga muncul dari kompleksitas masalah politik, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pluralitas garapan bagi gerakan Islam di Indonesia yang ada saat ini, pada dasarnya merupakan potensi tersendiri, bila aktualisasinya mampu memenuhi pluralitas pandangan dan wawasan di berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek itu meskipun dibedakan secara diferensial, namun satu dengan yanglain saling berinteraksi dalam proses pencapaiannya. Karena itu, aktualisasi gerakan Islam yang beragam menuntut adanya interaksi dalam prosesnya yang strategis, untuk menghindarkan benturan-benturan atau kesenjangan. Antara gerakan ekonomi yang terkesan berwatak material dan gerakan dakwah yang lebih berwatak material dan gerakan dakwah yang lebih berkesan mengedepankan moralitas dan spiritualitas misalnya, mesti ada interaksi, untuk menghindari ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan yang bertentangan dengan gagasan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. *** HARUS diakui, belakangan ini muncul gerakan Islam yang beragam bentuk dan aksinya. Mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa, kaum remaja sampai golongan tua, terlibat dalam berbagai gerakan Islam, yang bergerak secara sporadis dan parsial mau pun yang diwadahi oleh lembaga, yayasan dan organisasi kemasyarakatan Islam. Secara umum kenyataan ini lahir lahir dari adanya kesadaran kritis atas aneka ragam tantangan, akibat transformasi sosial, teknologisasi dan globalisasi di berbagai bidang. Gerakan sebagai wahana dinamisasi gagasan itu telah mampu memperluas wawasan sosial dan mempertajam kepekaan masyarakat untuk mengantisipasi masalah keakanan, meski belum menawarkan solusi alternatif. Meskipun visi dan motifnya sama, gerakan Islam punya titik tekan dan strategi yang beragam. Ada yang menitiktekankan dakwah Islamiyah, pendidikan kebudayaan, kesenian, kesehatan dan perekonomian. Namun gerakan yang bergerak di bidang ekonomi masih sangat kecil secara kuantitatif maupun kualitatif. LSM/LPSM (Lembaga Swadaya Masyarakat/Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) Islam yang pada umumnya menekankan kegiatannya pada peningkatan kualitas hidup masyarakat (khususnya ekonomi) masih sangat sedikit. Kalau toh ada, sebagian besar terbatas pada lingkup daerah, belum berskala nasional. Dari segi manajemen, mereka belum mapan. Soal dana juga masih sangat dependen, tergantung pada founding atau lembaga donor luar negeri. Sekian banyak ormas Islam yang ada juga belum serius menangani peningkatan ekonomi umat Islam di sektor taktis mau pun strategis. Di sana sini, gerakan mereka sekadar merespon peluang-peluang sesaat yang muncul di sela-sela kompetisi pelaku ekonomi dominan. Tentu saja kondisi itu tidak memberikan harapan dan prospek bagi umat Islam, kecuali hanya mengatasi kendala-kendala internal. Tantangan di masa depan hampir dapat dipastikan makin berat. Berat karena kesiapan umat Islam menghadapi era tingggal landas dan era industrialisasi sangat lemah, akibat rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan dan permodalan. Tidak mustahil, mereka kembali akan terposisikan sebagai obyek mobilisasi dan eksploitasi pelaku-pelaku ekonomi di tengah kompetisi global. Gerakan-gerakan Islam di bidang ekonomi sekaligus dituntut mampu menggerakkan solidaritas sosial di kalangan umat Isam. Agenda lain adalah menumbuhkan etos kerja dan kepedulian akan perlunya sistem manajerial yang mempunyai daya saing untuk menghadapi kemungkinan dominasi ekonomi golongan tertentu. Lemahnya etos kerja selama ini, adalah karena kecilnya sumber daya insani di kalangan kaum muslimin. Sementara itu, sikap konsumtif cenderung meningkat tanpa diimbangi sikap yang produktif. Salah satunya, ini merupakan dampak dari kecenderungan hidup serba praktis dan pragrnatis. Lebih ironis lagi, bersamaan dengan sikap konsurntif itu, muncul sikap materialis. *** PANDANGAN orang tentang hidup ini selalu beda-beda. Bagi umat Islam, hidup bukan sekedar untuk hidup. Hidup bukanlah tujuan. Kehidupan manusia merupakan proses yang akan berakhir di dunia ini dengan datangnya kematian. Sebagai proses, maka hidup tentu memerlukan berbagai sarana. Sarana yang paling mendasar secara fisik adalah kesehatan dan ekonomi. Namun dua hal ini mempunyai dimensi moral dan spiritual bagi manusia. Model pembangunan yang difokuskan padaa pertumbuhan ekonomi, cenderung memisahkan dan mengasingkan aspek moralitas ini. Akibatnya, gerakan ekonomi selalu berhadapan secara antagonis dengan sistem nilai moral dan spiritual. Gerakan ekonomi berjalan bebas tanpa nilai dan menciptakan logikanya sendiri. Kompetisi yang muncul berjalan tanpa kontrol, dan cenderung ke arah individualisme, materialisme dan konsumerisme. Kemiskinan nilai moral dan spiritual itu, mendorong masyarakat ekonomi maju berpandangan eksploitatif terhadap manusia dan alam. Gerakan Islam di bidang ekonomi dituntut mampu membentuk masyarakat Islam yang mempunyai integritas aspek moral dan aspek ekonomi secara utuh. Pengembangan aspek ekonomi itu sendiri merupakan proses interaksi dari serangkaian upaya peningkatan sarana yang menunjang bagi kehidupan manusia. Penumbuhan etos kerja yang diarahkan pada kualitas sumber daya manusia yang seimbang dengan sumber daya alam mau pun penyediaan dan penciptaan lapangan kerja, merupakan agenda besar bagi gerakan ekonomi Islam. Ini akan menjamin pada penciptaan keadaan ekonomi yang seimbang, dan diilhami oleh moralitas spiritual. Harus diakui, selama ini gerakan-gerakan ekonomi di kalangan Islam belum mempunyai strategi jangka pendek mau pun jangka panjang. Sementara peta ekonomi masyarakat Islam belum dirumuskan secara kongkrit. Masyarakat Muslim di Indonesia yang jumlahnya tidak kurang dari 80%, dan berada di pedesaan, masih banyak yang tergolong dlu'afa. Namun secara persis, berapa persen mereka yang di bawah garis kemiskinan? Apa sebab mereka jadi dlu'afa, apa karena kebodohan, keterbelakangan, kesulitan mendapatkan pekerjaan? Apakah karena alam yang tidak mendukung? Ataukah sistem dan struktur politik, budaya dan lingkungan tidak kondusif? Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat penting dicari jawabnya secara kongkrit, sebagai agenda bagi perumusan strategi pengembangan ekonomi masyarakat Islam yang sarat dengan nilai-nilai moral, di tengah krisis sistem ekonomi kontemporer yang bebas nilai. Tanpa dipandu strategi yang jelas, gerakan ekonomi Islam sering terjebak pada pola monoton, yang tampaknya bergerak, tapi hakikatnya mandeg. Sekarang ini memang sudah mulai muncul pengusaha-pengusaha muslim kelas menengah yang cukup maju. Namun pada umumnya mereka masih sibuk membenahi dan memantapkan dirinya sendiri dan masih sering mengalami pasang surut. Kelompok ini be lum mampu atau belum tertarik untuk menumbuhkan jaringan-jaringan kerja ekonomi di kalangan masyarakat muslim yang lemah terutama di pedesaan. Pengalaman dan keterampilan teknik mereka belum terakumulasi secara luas di tengah masyarakat muslim yang lemah, sehingga proses transformasi masih terasa lamban. |