DAKWAH
UNTUK KAUM DLU'AFA
DALAM mengatasi kemiskinan, dakwah setidaknya bisa ditempuh melalui
dua jalan. Pertama, memberi motivasi kepada kaum muslimin yang mampu untuk
menumbuhkan solidaritas sosial. Akhir-akhir ini, di kalangan umat Islam,
ada kecenderungan solidaritas sosial menurun. Kedua, yang paling mendasar
dan mendesak adalah dakwah dalam bentuk aksi-aksi nyata dan program-program
yang langsung menyentuh kebutahan. Ini sering disebut orang dengan dakwah
bil hal.
Dakwah dalam bentuk yang kedua ini, sebenarnya sudah banyak dilaksanakan
kelompok-kelompok Islam, namun masih sporadis dan tidak dilembagakan, sehingga
menimbulkan efek kurang baik, misalnya dalam mengumpulkan dan membagikan
zakat. Akibatnya lalu, fakir miskin yang menerima zakat cenderung menjadi
orang yang thama' (dependen). Itu hanya karena teknis pembagian zakat yang
tidak dikelola dengan baik. Dalam hal ini ada beberapa pesantren yang sudah
mencoba melembagakan atau mengatasi masalah itu.
Pendekatan untuk mengatasi masalah kemiskinan ini seperti disebutkan
di atas adalah pendekatan basic need approach (pendekatan kebutuhan dasar).
Tentu saja dalam hal ini tidak bisa dilaksanakan dengan menggeneralisasi.
Kita harus membagi masyarakat miskin menjadi beberapa kelompok dengan melihat
kenyataan yang berkembang dalam lingkungan masyarakat miskin itu sendiri.
Apa kekurangan mereka? Apa yang menyebabkan mereka miskin? Bisa jadi mereka
miskin karena kebodohan atau keterbelakangan. Dalam hal ini kita harus
berusaha agar mereka dapat maju, tidak bodoh lagi. Bisa juga karena kurangnya
sarana, sehingga mereka menjadi miskin atau bodoh. Untuk mengatasinya,
adalah dengan cara melengkapi sarana tersebut.
Karena gerakan yang sporadis dan tidak dikelola dengan baik, akhirnya
fakir miskin cenderung menjadi orang thama’. Maksud saya, pengembangan
masyarakat miskin tidak begitu caranya. Kita jangan memberi ‘ikan’ terus
menerus, tapi harus memberi kailnya. Tetapi dengan memberi kail saja tentu
tidak cukup, karena mereka juga harus diberitahu, cara mengail yang baik,
lahan yang baik dan bagaimana ia dapat menggunakan kail untuk mendapatkan
ikan.
Berarti mereka tidak hanya cukup dengan diberi modal, tetapi mereka
juga harus diberi keterampilan. Inilah yang saya maksudkan dengan pendekatan
itu. Masalah yang dihadapinya, keterbelakangan atau kebodohan harus diatasi
dengan memberikan keterampilan, dan baru kemudian modal. Ini juga belum
bisa meyakinkan sepenuhnya, sepanjang belum ada uji coba.
Kadang-kadang, masyarakat miskin di kampung lebih menyukai hal yang
paling praktis, maunya mencukupi tapi juga mudah dan praktis. Untuk itu
di samping kita memberi keterampilan dan modal, kita harus meyakinkan atau
memberikan motivasi hingga fakir miskin itu memiliki kemauan berusaha dan
tidak hanya menanti dan boros.
***
MENURUT pandangan Islam, secara formal zakat yang diberikan langsung
oleh muzakki (pembayar zakat), idak melalui imam yang dalam hal ini adalah
pemerintah, harus dibayarkan dalam bentuk harta zakat itu, tidak boleh
ditukar dengan bentuk yang lain. Zakat langsung harus dalarn bentuk mal.
Dan harta itu bisa dijadikan modal.
Sebaliknya menurut apa yang saya ketahui dari petunjuk-petunjuk dalam
fiqih, zakat yang dikelola pemerintah justru dibayarkan bukan dalam bentuk
uang. Kalau si mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) punya keterampilan
menjahit, maka berilah mesin jahit. Kalau keterampilannya hanya mampu mengemudikan
becak, berilah becak. Tetapi itu sebenarnya bisa diatur. Saya sudah mencobanya.
Ada tiga desa yang saya coba dengan memberikan motivasi kepada masyarakat
desa itu. Kemudian, zakat di desa itu dilembagakan. Salah satu di antaranya
dilembagakan dalam bentuk koperasi. Panitia (bukan amil) bertugas hanya
sekadar rnengumpulkan zakat dan mengatur pembagiannya. Hasilnya tidak langsung
dibagikan dalam bentuk uang, tetapi diatur demikian rupa supaya tidak bertentangan
dengan agama. Mustahiq diserahi zakat berupa uang, tetapi kemudian ditarik
kembali sebagai tabungannya untuk keperluan pengumpulan modal.
Dengan cara ini, mereka menciptakan pekerjaan dengan modal yang dikumpulkan
dari harta zakat. Ternyata berhasil. Meskipun kita tidak bisa melenyapkan
atau menghapuskan kemiskinan sama sekali, paling tidak kita telah berhasil
menguranginya.
Pernah suatu kali, saya mencobanya terhadap seorang pengemudi becak
di kota Pati. Saya lihat dia memang tekun mangkal di pasar untuk bekerja
sebagai tukang becak. Pada saat kesempatan pembagian zakat tiba, saya zakati
dia. Hasil zakat bulan Syawal itu, berupa zakat mal, zakat fitrah dan infaq,
dikumpulkan dan saya salurkan dengan membelikan untuknya, sebuah becak.
Sebelumnya dia hanya pengemudi becak milik orang non-pribumi. Namun sekarang
dia telah memiliki dua buah becak.
Usahanya ini berkembang, dan sehari-harinya ia tidak harus mengemudikan
becak dengan mengejar target setoran. Dengan mengemudikan becak hingga
jam tiga sore, hasilnya sudah cukup untuk makan dan menjaga kesehatan.
Setelah itu ia bisa kumpul-kumpul mengikuti pengajian. Dengan cara ini,
meskipun dia tidak rnenjadi kaya, tetapi jelas ada perubahan sosial.
Untuk lebih jelasnya, apa yang saya kembangkan di tiga desa itu adalah
sebagai berikut. Zakat dari pihak muzakki diberikan kepada panitia, yang
kebetulan salah seorang atau beberapa di antaranya memang ada yang pantas
menerima zakat (mustahiq). Pembagiannya diatur sedemikian rupa, sehingga
apa yang diterimanya itu dijadikan modal. Kepentingan-kepentingan sosial
lainnya, seperti keperluan lembaga, tentu saja juga diberikan bagiannya.
Untuk lebih menyebar luaskan gagasan seperti itu, tentu saja lembaga-lembaga
sosial keagamann dapat mengambil peran. Kalau kita berbicara mengenai peran
para ulama dalam hal pembangunan dan khususnya dalam mengatasi masalah
kemiskinan ini, mereka dapat berperan sebagai inisiator, bisa pula sebagai
motivator dan sekaligus bisa menjadi fasilitator, tergantung kemampuan
dan kenyataan lingkungan di daerahnya masing-masing.
Dalam hal ini saya tidak membicarakan peranan Majelis Ulama, tetapi
ulama. Sedangkan bagi MUI sendiri, menurut hasil Munas ketiga, masalah
itu sudah dibicarakan. Keputusan Majelis Ulama menyinggung masalah-masalah
yang berkenaan dengan kemiskinan, kebodahan dan sebagainya. Lalu tugas
majelis adalah koordinasi di antara ormas-ormas Islam yang mempunyai lapangan
dan basis.
Kini, masalahnya adalah bagaimana Majelis Ulama mampu dengan kredibilitas
yang dimiliki, mengatasi perbedaan-perbedaan yang berkembang di masing-masing
ormas Islam. Tentu saja hal itu tidak sulit dilakukan. Namun, apa yang
sebenarnya menjadi masalah, saya sendiri tidak tahu, karena tidak terlibat
dalam Majelis Ulama Pusat.
***
SUDAH jelas, bahwa ajaran Islam tidak menghendaki kemiskinan. Berbagai
macam komponen ajaran Islam sendiri menunjang pernyataan itu. Namun harus
diakui, hingga sekarang masalah itu belum mendapat perhatian serius dari
kaum muslimin. Menurut ajaran Islam, memberi nafkah kepada golongan fakir
miskin adalah kewajiban kaum muslimin yang mempunyai kemampuan, dan itu
memang relatif. Ajaran seperti itu belum pernah disinggung, apalagi dijabarkan,
dan bahkan hal itu kurang disadari.
Berkenaan dengan infaq, kalau ada keinginan untuk melembangakannya,
kita harus mampu menginventarisasi, paling tidak menyensus ekonomi kaum
muslimin. Sehingga, kita mempunyai data, siapa yang disebut mampu dan siapa
pula yang tidak mampu. Terhadap yang rnampu, dikenakan kewajiban memberikan
nafkah bagi orang yang tidak mampu, sesuai dengan ajaran fiqih. Tetapi
hingga sekarang kita tidak mempunyai bait al-mal yang teratur. Bait al-mal-nya
saja belum ada, apalagi teratur. Jadi di luar zakat dan sedekah, masih
ada kewajiban umat Islam yang mampu, hukumnya wajib bagi orang-orang muslim
yang mampu untuk memberi rafkah kepada fakir miskin, dalam keadaan tidak
adanya bait al-mal al-muntadhim (yang teratur). Inilah jalan Islam.
Kewajiban zakat itu, persuasif atau tidak, ini juga masalah, karena
kecenderungan turunnya solidaritas sosial (takaful al-ijtima'i) di kalangan
umat Islam. Tetapi menurut pandangan saya, gagasan yang terakhir ini sangat
mungkin dilakukan. Sekarang organisasi-organisasi Islam banyak memiliki
ahli dalam bidang penelitian. Kita tinggal menambah dengan baberapa spesialis
lainnya yang juga banyak dimiliki umat Islam, bagaimana mengadakan sensus
ekonomi dan bagaimana desain ekonomi untuk menentukan si Polan ini miskin
dan si Polan itu mampu. Apakah yang mampu sudah memenuhi kewajiban? Apakah
dibayarkan langsung atau tiidak? Sekarang sudah saatnya kita membicarkan
masalah konsep tersebut.
Kalau kita tetap menginginkan pola ekonomi itu, ini tidak terlepas dari.
Undang-undang Dasar dan Pancasila, di mana pasal 33 menyebutkan bahwa ekonomi
(melalui koperasi) adalah usaha bersama dan kekeluargaan. Tentu saja perlu
dijabarkan dalam bentuk peraturan-peraturan koperasi. Bahwa koperasi harus
berkembang, tidak bisa ditolak. Nah sekarang, sebenarnya kita harus terpanggil
untuk mempertanyakan konsepnya bagaimana? Bagaimana koperasi menurut Islam?
Belum seorang pun membicarakan konsep koperasi menurut Islam. tetapi
sudah 'keburu', lembaga-lembaga Islam mendirikan koperasi, sesuai dengan
aturan dari luar. Mereka menggunakan anggaran dasar sedemmian rupa. Tetapi
praktek-praktek koperasi yang dijalankan kelompok-kelompok Islam, tidak
pernah dipersoalakan apakah sesuai dengan mu'amalah yang harus kita patuhi?
Sesuaikah dengan ajaran Islam? Ini belum pernah dijabarkan.
Masalahnya adalah karena kita belum membuat konsep. Saya sendiri belum
mempunyai suatu konsep tertulis dan matang, tetapi pikiran-pikiran seperti
di atas sudah lama muncul dan saya lontarkan di forum-forum tertentu, terutama
di kalangan NU, setelah muktamar (1984). Terkadang dengan terlalu berani
saya munculkan di forum-forum Syuriyah NU; Sekarang ini kita perlu mengurangi
pembicaraan tentang masalah-masalah yang hanya menjawab halal dan haram!
Ini bukan berarti kita tidak menyetujuinya.
Kalau kita sudah menyetujuinya sebagai yang halal, kita juga harus membicarkan
pendekatan konseptualnya untuk umat. Kalau haram, kita diharuskan membicarakan
bagaimana pemecahannya agar umat tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam.
Untuk itu perlu konsep. Konsep seperti apa? Kalau kansep itu bersifat individual
tentu tidak mungkin diterapkan secara massal, sebelum diterima umum.
Uji coba yang sedang saya kembangkan belum sepenuhnya berupa koperasi.
Saya masih membatasinya pada usaha bersama (UB). Sebab, saya telah mencoba
membuat proposal untuk mengadakan diskusi mengenai pembangunan koperasi
dalam bentuk qiradl. Tetapi hingga sekarang proposal itu belum ada yang
setuju, sehingga dengan demikian saya belum bisa menerapkan koperasi sesuai
dengan konsep yang sudah matang.
Keinginan saya, kalau ini bisa, hasil diskusi itu bisa dibukukan dan
akan bermanfaat bagi anggota rnasyarakat yang membutuhkannya. Sekarang
kita harus dapat menyusun konsep-konsep aktual. Masyarakat memang menerima
bentuk koperasi. Namun apakah itu syirkah atau qiradl, itu soal lain. Tetapi
akan ngawur saja, kalau bekerja tanpa memiliki konsep yang jelas. Kelompok-kelompok
cendekiawan muslim dari berbagai sangat dibutuhkan keterlibatannya, karena
itu tentu saja tidak bisa dengan biaya dan upaya individual.
Meskinya, gagasan itu tumbuh dari ormas-ormas Islam. Mengharapkan terjadinya
pertumbuhan secara alami, akan sulit terjadi. Barangkali dalam hal ini,
MUI bekepentingan berperan sebagai inisiator, untuk menumbuhkan gagasan
itu dan melemparkannya kepada ormas Islam yang ada. Kalau perlu, bahkan
mengeormas tersebut hingga mempunyai gagasan serupa. Kumpulkan cendekiawan-cendekiawan
berdasarkan kelompok tertentu. Tetapi pertemuan itu tentu saja tidak berakhir
begitu saja. Pertemuan itu harus diakhiri dengan perumusan suatu keputusan
yang konseptual dan utuh.
Hasil seminar yang pernah kita lakukan, selalu tidak diikuti dengan
implementasi. Hal itu bisa jadi karena konsep seminar berorientasi pada
ilmu pengetahuan bukan beroritentasi pada strategi. Kita harus membedakan
antara konsep yang berorientasi pada ilmu dan konsep yang berorientasi
pada strategi. Namun konsep apapun harus dirumuskan dan implementabel.
Berkenaan dengan gagasan mewujudkan lembaga bait al-mal al-muntadhim,
saya berpendapat, lembaga itu adalah wewenang pemerintah. Dalarn hal ini
dana yang dapat dijadikan sumber adalah infaq dan shadaqah bisa pula ghanimah
(harta rampasan perang). Namun masalah yang akan muncul kemudian adalah
masaIah manajemen.
Yang terpenting adalah, soal kesamaan wawasan. Potensi umat Islam secara
kuantitatif dan kualitatif dapat mendukung dan mengatasi masalah di atas.
Saya melihat kenyataan itu. Di Jawa Tengah, kelompok pengusaha menengah
muslim sangat banyak, bahkan ada di antaranya yang dapat dikategorikan
sebagai kelompok atas. Jelas mereka mampu, tetapi wawasan dan kecenderungan
belum ada titik singgung di antara kita. Titik temu itu perlu diusahakan.
Tetapi siapa yang harus memprakarsai?
***
MASALAH kemiskinan sangat terkait dengan masalah lingkungan. Sebelum
berbicara soal lingkungan menurut konsepsi Islam, lebih dahulu harus diklasifikasi
masalah lingkungan dari segi fisik dan non-fisik. Dari segi non-fisik,
ajaran Islam memang tidak menghendaki terjadinya kerusakan. Katakanlah
kerusakan moral, tidak dikehendaki Islam.
Saya melihat, kaum muslimin sekarang ini sedang dihadapkan pada tantangan
perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi telah mengiring masyarakat
dari orientasi pada nilai-nilai Islam kepada orientasi pada nilai-nilai
ekonomi. Ini berbahaya. Dewasa ini setiap kegiatan akan diperhitungkan
sesuai dengan untung-rugi berdasarkan nilai ekonomi. Perbuatan apa pun
dilakukan, tanpa memperhitungkan resikonya terhadap moral masyarakat, tapi
didasarkan pada pertimbangan untung rugi secara ekonomi.
Berkenaan dengan lingkungan fisik, kita harus kembali kepada manusia
untuk menggunakan dan memanfaatkan apa yang ada di alam ini, disertai upaya
melestarikan lingkungan hidup. Sudah baran tentu, kalau manusia tidak memanfaatkannya,
itu adalah mubazir dan bisa mencelakakan. Intinya bahwa penggunaan alam
harus harus didasarkan pada rnanfaat dan maslahat.
Menurut ajaran Islam, kebutuhan dapat dibagi menjadi; pertama yang bersifa'
dlaruri (primer) atau sifat hajji (mendasar) dan kedua yang bersifat sekunder.
Manfaat dan maslahat memang sulit diukur, tetapi itu bisa dirasakan dan
dilihat. Semuanya harus diarahkan pada kepentingan hidup, kepentingan bersama,
kepentingan agama dan lain-lain. Tidak perlu membagi-baginya menurut kepentingan
ukhrawi, kepentingan moral atau akhlak, kepentingan dunia dan lain sebagainya,
karena tentu saja kepentingan ukhrawi tidak mungkin tanpa adanya kepentingan-kepentingan
duniawi.
Selama ini majelis-majelis taklim, nampaknya belum menyentuh masalah-masalah
seperti itu, belum menyentuh masalah-masalah riil dalam masyarakat. Masih
berkisar pada masalah moral atau akhlak. Namun para ulama, saya kira tidak
bisa disalahkan, karena antara ulama dan umara yang berwenang masih sering
terjadi miskomunikasi. Masalah yang timbul seharusnya diinformasikan kepada
para ulama. Kalau dalam masalah lingkungan, ulama masih bersikap statis,
itu 1ebih disebabkan karena ketidaktahuan.
Belum adanya partisipasi mereka dalam hal ini, karena mereka tidak banyak
mengelola masalah lingkungan. Itu sebabnya mereka masih terbatas pada masalah-masalah
moral. Kalau mereka tahu, tanpa perlu dihirnbau, mereka akan berpartisipasi.
Untuk itu komunikasi dan informasi masalah ini perlu digalakkan, karena
masalahnya memang terletak di sana.
***
SUDAH jelas, Islam mendorong orang untuk bekerja. Ada hadits yang mengatakan,
"Asyaddu al-naas 'azaban yauma al-qiyamah al-maghfiy al-bathil" (Siksaan
paling berat pada hari kiamat, adalah bagi orang yang hanya mau dicukupi
orang lain dan hidup menganggur). Al-Qur'an juga menyebutkan, "Apabila
kamu telah selesai menunaikan shalat Jum'at, menyebarlah untuk mencari
rezki Tuhanmu”.
Ada banyak hal yang menyebabkan terjadinya pengangguran. Faktor pendidikan
yang rendah, keterampilan kurang memadai, di samping kemampuan untuk menciptakan
lapangan kerja terbatas. Anak-anak sekarang hanya menunggu pekerjaan, bukan
mencari dan menciptakan pekerjaan. Yang saya maksudkan menunggu pekerjaan,
adalah mencari pekerjaan pada lapangan kerja yang sudah mapan dan jelas.
Sedangkan mencari kerja, adalah orang tidak hanya terfokus pada satu sasaran
pekerjaan, namun berusaha secara kreatif menciptakan lapangan kerja.
Dalam mengatasi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, himbauan
saya kepada kelompok muda adalah, jangan cepat putus asa. Sebab dengan
putus asa, kreativitas mandeg. Bagaimana kecilnya kreativitas itu, ia akan
selalu tumbuh dan berkembang. |