DAKWAH
DAN PEMBERDAYAAN RAKYAT
DAKWAH dalam arti bahasa berarti mengajak, me nyeru, memanggil.
Berangkat dan pengeritian bahasa itu, lalu dihubungkan dengan nash Al-Qur’an
dan Hadits yang berkaitan dengan dakwah Islam, Syekh Ali Mahfudh dalam
kitabnya Hidayatu al-Mursyidin me netapkan definisi dakwah
sebagai benkut:
Mendorong (memotivasi) untuk berbuat baik, mengikuti
petunjuk (Allah), menyuruh orang mengerjakan kebaikan, melarang mengerjakan
kejelekan, agar dia bahagia di dunia dan akherat.
Definisi di atas menunjukkan, dakwah adalah usa ha sadar
yang disengaja untuk memberikan motivasi kepada orang atau kelompok (biasa
disebut kelompok sasaran) yang mengacu ke arah tercapainya tujuan di atas.
Ilmu manajemen menyebut, salah satu syarat keberhasilan
usaha motivasi adalah terpenuhinya kebutuhan kelompok sasaran. Dengan demikian,
melakukan kegiatan dakwah yang pada dasarnya adalah memberi motivasi kepada
orang lain, perlu memperhatikan kebutuhan kelompok sasaran. Apalagi muara
dakwah tidak lain dari tercapainya kesejahteraan dunia dan akhirat. Sesungguhnya
dakwah dalam pengertian ini adalah memberdayakan masyarakat atau rakyat.
Pelaku dakwah tentunya harus mengetabui secara persis,
menggali kebutuhan kelompok, menggali potensi (manusia, alam dan teknologi)
yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam jangka pendek mau
pun jangka panjang. Kemampuan melakukan penggalian kebutuhan tidak saja
diharapkan bisa mengetahui kebutuhan atau masalah yang mendesak dan mendasar,
tetapi juga kemampuan mengantisipasi kebutuhan masyarakat dalam jangka
panjang, atas dasar kebutuhan sekarang, perkembangan sosial budaya, perkembangan
teknologi dan lingkungan di masyarakat.
Dalarn teori motivasi dikenal adanya hirarki kebutuhan
(hierarchy of need). Artinya ada semacam hirarki yang rnengatur
dengan sendirinya kebutuhan manusia, mulai kebutuhan fisik, keamanan, sosial,
penghargaan dan aktualisasi diri.
-
Kebutuhan fisik seperti gaji, upah, tunjangan, honorarium,
bantuan pakaian, sewa rumah, uang transportasi dan sebagainya.
-
Kebutuhan keamanan seperti jaminan masa tua (pensiun), santunan
kecelakaan, jaminan asuransi kesehatan, aman dari tindak kejahatan.
-
Kebutahan sosial seperti orang menjadi anggota kelompok fformal
atau informal, menjadi ketua organisasi atau yayasan.
-
Kebutuhan penghargaan agar orang menghargai, usaha dirinya
seperti status, titel, promosi, perjamuan.
-
Kebutuhan aktualisasi diri, seperti keinginan memaksimalkan
potensi diri, menjadi pemuda pelopor, jadi tokoh ideal, atlet pemecah rekor.
Secara umum kebutuhan fisik (makan, sandang, papan) rnenempati
urutan teratas. Barulah kebutuhan keamanan dan seterusnya. Dengan kata
lain, ketika kebutuhan fisik umumnya sudah terpenuhi, manusia baru termotivasi
memenubi kebutuhan lain.
Namun teori ini juga mengakui adanya pengecualian. Ada
seseorang yang lebih rnementingkan kebutuhan aktualisasi diri daripada
kebutuhan fisik. Contohnya Mahatma Gandhi di India. Meskipun Gandhi secara
fisik melarat, tapi berani berjuang bahkan berani mogok makan dalam rangka
kemerdekaan diri dan bangsanva. barangkali banyak kasus seperti Gandhi,
misalnya pejuang-pejuang kemerdekaan kita, atau para kiai yang shalih
dan wara’ atau para santri dan pendukungnya, adalah figur yang
tidak terlalu memerlukan kebutuhan fisik. Mereka lebih membutuhkan aktualisasi
diri atau sosial.
Berangkat dari teori ini, dakwah harus disesuaikan dengan
masyarakat sasaran. Materi dakwah juga perlu dipilah antara untuk kader
dakwah dan masyarakat sasaran. Motivasi untuk kader tidak harus sama dengan
motivasi untuk kelompok sasaran.
Pemilahan sasaran dakwah secara jeli juga penting, mengingat
ketimpangan ekonomi dalam masyarakat sebenarnya semakin melebar. Kalau
kita melihat data sekunder kependudukan di Indonesia, maka dapat disebutkan,
pada tahun 1990 pendapatan rata-rata setiap orang sebesar Rp 620,- tiap
hari. Jumlah itu untuk biaya makan, minum, pendidikan, kesehatan, rokok,
perawatan rumah, beli minyak, sewa listrik dan sebagainya.
Ukuran itu digunakan untuk saudara-saudara kita yang mempunyai
pabrik, rumah tingkat, deposito pada bank asing, mau pun yang hidup di
bawah kolong jembatan dan kekurangan gizi parah. Tidak peduli bagi 30%,
penduduk yang hidup tanpa tanah, air bersih atau tanpa perawatan kesehatan
dan tanpa pengobatan. Tidak peduli juga bagi 50% penduduk buta huruf yang
berusia di atas 15 tahun. Mereka semua diasumsikan berpendapatan sama.
Padahal kalau melihat data primer secara empiris, dari desa atau kota,
betapa melaratnya rakyat kecil. Sebagian besar di antara penduduk Indonesia
yang miskin, mayoritas adalah muslim.
Gambaran di atas rnenurjukkan betapa besar dan luas, sasaran
dakwah. Dengan demikian organisasi pemuda yang mempunyai banyak potensi
barangkali secara bertahap tetapi pasti harus lebih terpanggil, untuk berdakwah.
***
PENTING untuk diperhatikan, bila
dakwah berorientasi pada pemenuhan kebutuhan kelompok, maka perlu pendekatan
yang partisipatif, bukan pendekatan teknokratis. Dengan pendekatan itu,
kebutuhan digali oleh motivator dakwah (kader) bersama kelompok sasaran
yang akan diberdayakan. Pemecahan masalah direncanakan dan dilaksanakan
oleh kader kelompok. Bahkan kegiatan pun dinilai bersama, untuk rnemperbaiki
aktifitas selanjutnya. Pendekatan macam ini, perlu sistem monitoring dalam
pelaporan yang up to date. Inilah
yang sekarang di kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat sedang populer disebut
“riset aksi”.
Dengan demikian dakwah tidak dilakukan dengan perencanaan
global yang turun dari atas (top down), yang kadang-kadang sampai
di bawah tidak menyelesaikan masalah. Perencanaan model top down
sering mengabaikan pemetaan masalah, potensi dan hambatan spesifik berdasarkan
wilayah atau kelompok, apalagi per jenis kegiatan. Tipe satu kelompok masyarakat
di satu desa, tidak akan sama dengan kelompok lain di tempat yang berbeda.
Dakwah inilah yang sekarang disebut dengan dakwah bil
hal atau dakwah pembangunan, atau dakwah bil hikmah menurut
bahasa Al-Qur'an. Seperti yang tercantum dalam surat Al-Nahl ayat 125,
“Serulah manusia ke jalan, Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik, dan bantulah mereka dengan cara yang baik."
Dra Chadidjah Nasution menyebutkan, dakwah bil hikmah
adalah berdakwah dengan memusatkan pikiran kepada tugasnya atau tidak mencampuradukkan
masalah-masalah lain di dalam pikirannya, sehingga da'i dapat mengetahui
apakah yang dibutuhkan oleh penerima dakwahnya.
Orang menyebut dakwah bil hal, barangkali merupakan koreksi
terhadap dakwah selama ini yang banyak terfokus kepada dakwah mimbar
yang monoton dari sisi penerima dan pembicaranya, sementara dana dan
daya habis untuk kegiatan semacam itu tanpa perubahan berarti.
Namun kalau melakukan dakwah bil hal atau dakwah bil hikmah,
apakah lalu dakwah bil lisan atau mau'’idhah hasanah ditinggalkan?
Sama sekali tidak. Sebab tetap ada media untuk dakwah model mau'idhah
hasanah. Dakwah mimbariyah tetap perlu dalam konteks tertentu, misalnya
soal giliran khatib Jum'at, atau seorang kepala keluarga yang memberi nasihat
kepada anak istri dan anggota keluarga lain, sebagai pengasuh/guru untak
menasehati anak didik.
Juga tidak ditinggalkan cara berdakwah yang ketiga, yaitu
mujadalah yang lebih ahsan atau seperti dalam forum dialog,
seminar, simposium, atau diskusi-diskusi.
Melihat sasaran dakwah yang begitu luas, sementara perkembangan
teknologi begitu pesatnya, maka dakwah perlu menggunakan media sesuai dengan
kelompok sasaran. Klasifikasinya ditinjau dari umur, status sosial, tingkat
pendidikan dan kebutuhan kelompok sasaran itu sendiri.
Dengan menyebarnya rnedia yang beragam, segala kecanggihan
teknologi di tengah masyarakat serta cepatnya arus informasi, tanpa menggunakan
media yang sesuai, maka kelompok sasaran akan enggan dan malas menerima
penampilan dakwah yang dilakukan secara konvensional. Pada akhirnya dakwah
yang dilakukan tidak memenuhi selera sasaran dan tujuan, meski berjalan,
tetapi tetap berada di tempat. Mundur tidak maju pun tidak.
Data statistik menunjukkan kemunduran jumlah pemeluk agama
Islam di Indonesia. Ini banru secara kuantitatif.Belum lagi kalau yang
berkurang adalah orang yang ‘abid dan shaleh, maka itu sudah
menyangkut kualitas. Artinya angka orang yang benar-benar muslim mungkin
lebih sedikit dari yang diduga orang.
Di samping menggunakan media yang dapat diterima oleh
kelompok sasaran, diperlukan arah dan strategi yang matang. Soalnya, dakwah
beorientasi pada pencapaian sasaran itu, tidak berada dalam “ruangan" yang
hampa. "Ruang" sudah berisi budaya, teknologi, sistem nilai dan peraturan
perundangan yang mengikat. Kelompok sasaran dakwah adalah warga negara
Indonesia yang bernaung di bawah negara kesatuan yang mempunyai peraturan
perundang-undangan. Agar dakwah berdaya guna dan berhasil guna, maka harus
mengacu pada pencapaian tujuan dan memakai strategi yang bisa mengatasi
hambatan yang diperkirakan.
Dari sini da'i dituntut untak melakukan persiapan sosial
yang matang, perencanaan yang mendasar sampai kepada data empiris, terkoordinasi
misalnya dengan sesama organisasi NU mau pun non-NU. Sehingga dengan demikian
tidak terjadi over lapping antar sesama organisasi NU atau persaingan
tidak sehat dengan organisasi lain.
Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan dakwah
dengan jangkauan begitu luas dan begitu beragam pendekatannya? Kalau kita
menyandarkan diri kepada A1-Qur'an surat Ali Imron ayat 104, maka kewajiban
dakwah itu diharuskan kepada sebagian atau segolongan umat Islam. Maka
dari itu ada yang berpendapat, dakwah hukumnya fardlu kifayah.
Namun persoalannya siapa segolongan umat itu? Golongan
kiai, golongan orang kaya, golongan intelektual atau sebagian dari setiap
golongan tersebut? Melihat kompleknya masalah. dakwah tersebut diatas,
maka semua lapisan muslim yang mempunyai kelebihan bertanggung jawab untuk
melakukan dakwah sesuai dengan kemampuan dan sasarannya.
Dakwah juga bisa dalam bentuk pengembangan masyarakat.
Keduanya tidak jauh berbeda. Sebab pengembangan masyarakat atau pemberdayaan
rakyat adalah proses dari serangkaian kegiatan yang mengarah kepada peningkatan
taraf hidup dan kesejahteran masyarakat. Proses tersebut mengandung kegiatan
yang diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan sikap, gaya hidup, pola
berpikir serta meningkatkan kesadaran masyarakat. Setidaknya ada kesamaan
antara keduanya. Ia sama-sama ingin mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat atau sekelompok sasaran. Dan ia sama-sama meningkatkan kesadaran
dari berperilaku tidak baik, untuk berperilaku yang baik.
Di samping ada kesamaan di atas, usaha dakwah bil hal
mempunyai implikasi terhadap pengembangan masyarakat, yaitu:
-
Masyarakat yang menjadi sasaran dakwah, pendapatannya bertambah
untuk membiayai pendidikan keluarga, atau memperbaiki kesehatan.
-
Dapat menarik partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sebab
masyarakat terlibat sejak perencanaan sampai pelaksanaan usaha dakwah bil
hal.
-
Dapat menumbuhkan atau mengembangkan swadaya masyarakat dan
dalam proses jangka panjang bisa menumbuhkan kemandirian.
-
Dapat rnengembangkan kepemimpinan daerah setempat, dan terkelolanya
sumber daya manusia yang ada. Sebab anggota kelompok sasaran tidak saja
jadi obyek kegiatan, tetapi juga menjadi subyek kegiatan.
-
Terjadinya proses belajar-mengajar antara sesama warga yang
terlibat dalam kegiatan. Sebab kegiatan direncanakan dan dilakukan secara
bersarna. Hal ini menimbulkan adanya sumbang saran secara timbal balik.
|