KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial |
BAGI umat Islam, ijtihad adalah suatu kebutuhan dasar, bukan saja ketika Nabi sudah tiada, tapi bahkan ketika Nabi masih hidup. Hadits riwayat Mu'adz Ibn Jabal adalah buktinya. Nabi tidak saja mengizinkan, tetapi menyambut dengan gembira campur haru begitu rnendengar tekad Mu'adz untuk berijtihad, dalam hal-hal yang tidak diperoleh ketentuannya secara jelas dalam al-Qur'an mau pun Hadits. Apabila di masa Nabi saja ijtihad sudah bisa dilakukan, maka sepeninggal beliau, tentu jauh lebih mungkin dan diperlukan. Di kalangan umat Islam mana pun, tidak pernah ada perintah yang sungguh-sungguh menyatakan, ijtihad haram dan harus dihindari. Dalam kitab al-Radd 'ala man afsada fi al-ardl, sebuah kitab "sangat kuning", al-Sayuthi dengan tandas berkesimpulan, pada setiap periode ('ashr), harus ada seorang, atau beberapa orang, yang mampu berperan sebagai mujtahid. Harap diingat, bahwa yang dikatakan Sayuthi adalah orang yang mampu menjalankan peran sebagai mujtahid. Artinya, yang dituntut oleh Sayuthi -juga umat Islam secara keseluruhan- adalah orang yang bukan saja punya nyali untuk memainkan fungsi itu, tapi nyali yang secara obyektif didukung oleh kapasitas dan kualifikasi yang memadai. Di sini sering terjadi kekacauan. Apabila seorang ulama tidak mengklaim dirinya telah melakukan ijtihad, ini tidak bisa dengan serta merta diartikan (dituduh?) anti ijtihad. Barangkali ia telah melakukan ijtihad, tapi tidak disertai proklamasi, bahwa dirinya telah berijtihad. Mungkin ia merasa, apa yang dilakukannya masih terlalu kecil. Pengakuan biasanya erat dengan keinginan menyombongkan diri. Para ulama kita dulu pada umumnya sangat peka terhadap sikap atau ucapan yang berkesan takabur (sombong). Di kalangan ahli fiqih, ijtihad merupakan terminologi yang berjenjang. Ada yang digolonglan ijtihad mutlak, ada pula yang disebut ijtihad muqayyad, atau muntasib. Yang pertama adalah ijtihad seorang ulama dalam bidang fiqih, bukan saja menggali hukum-hukum baru, tapi juga memakai metode baru, hasil pemikiran orisinal. Inilah tingkat ijtihad para peletak mazhab, yang pada masa-masa pertumbuhan fiqih, sekitar abad 2-3 hijriah, jumlahnya mencapai belasan. Tapi karena seleksi sejarah, akhirnya yang bertahan dalam arti diikuti mayoritas umat Islam- hanyalah empat; Abu Hanifah (peletak mazhab Hanafi), Malik bin Anas (peletak mazhab Maliki), Muhammad bin Idris al-Syafi'i (peletak mazhab Syafi'i) dan Ahmad bin Hanbal (peletak mazhab Hanbali). Sedang ijtihad muqayyad, atau muntasib, adalah ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum (istinbath al ahkam), dengan piranti atau metode yang dipinjam dari hasil pemikiran orang lain. Misalnya dalam lingkup mazhab Syafi'i kita mengenal nama-nama seperti al-Nawawi, al-Rafi'i atau Imam Haramain. Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan fungsi itu dengan otoritas yang diakui (mu'tamad), tetapi metode (manhaj) yang digunakan adalah manhaj Syafi'i. Demikian pula Abu Yusuf dalam lingkungan mazhab Hanafi, dan sebagainya. Mazhab tidak lain adalah metode penggalian hukum, bukan hukum yang dihasilkan dengan metode itu sendiri. Oleh sebab itu, apabila ada seorang ulama memperoleh kesirnpulan hukum yang berbeda dengan kesimpulan Syafi'i, akan tetapi metode yang digunakan untuk mencapai kesirnpulan itu adalah metode Syafi'i, maka ulama itupun masih berada dalam pangkuan mazhab Syafi'i. Demikian pula orang yang berijtihad dengan menggunakan metode Hanafi, Maliki, atau Hanbali. Soal orang yang bersangkutan mengakui bermazhab atau tidak, adalah soal lain yang lebih berkaitan dengan soal kejujuran intelektual. TENTANG pemaharnan syari'ah secara kontekstual (muqtadla al-hal), ini memerlukan pengetabuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang mujtahid. Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli dengan kemaslahatan (kepentingan) masyarakat. berbicara mashlahah berarti berbicara hal-hal yang kontekstual. Mazhab Syafi'i merupakan aliran yang kurang mempopulerkan dalil mashlahah dalam hal yang tidak diperoleh penegasan oleh nash, tetapi metode qiyas-lah (analogi) yang selalu ditekankan. Oleh sebab itu ia lebih suka berbicara tentang apa yang disebut 'illat (alasan hukum). Menurut dia, mashlahat sudah tersimpul di dalam 'illat. Tetapi hukum yang ditelorkan melalui qiyas, tidak boleh bergantung kepada mashlahah yang tak tegas rumusan mau pun ukurannya. Sebagai contoh, di dalam berbicara soal qashr (meringkas jumlah raka'at shalat) di perjalanan. Mazhab Syafi'i menolak meletakkan masyaqqah (kesulitan yang sering terjadi di perjalanan) sebagai alasan ('illat) bagi diperbolehkannya qashr. 'Illat meng-qashr adalah bepergian itu sendiri, yang lebih jelas ukurannya. Sedang hilangnya masyaqqah diletakkan sebagai hikmah (keuntungan) yang tidak mempengaruhi ketentuan diperbolehkannya qashr. Artinya, dengan memakai ukuran yang jelas berupa safar (bepergian), maka masyaqqah yang tak jelas ukurannya akan hilang. Masyaqqah amat relatif sifatnya dan banyak dipengaruhi misalnya, oleh keadaan fisik dan kesadaran seseorang. Memang kadang-kadang terasa tidak adil, ketika misalnya seorang yang sehat wal afiat bepergian jauh dengan kondisi nyaman, berkendaraan pesawat udara diperbolehkan mengqashr shalat. Sementara orang jompo yang susah payah menempuh jarak belasan kilometer tidak boleh melakukannya. Dalam hal ini harap dimaklumi, hukum ditetapkan dengan maksud berlaku umum. Di sinilah perlunya ukuran yang jelas. Oleh mazhab Syafi'i, hal itu ditakar dengan jarak tempuh. Sesuatu yang relatif tidak bisa dijadikan 'illat (kausa hukum), tidak bisa menjadi patokan bagi peraturan yang dirnaksudkan berlaku umum. Dan jika memang masyaqqah itu benar-benar dialami oleh seseorang ketika dia belum mencapai syarat formal untuk mendapatkan rukhshah (kemudahan), maka dia akan mendapatkan kemudahan dari jalan lain. Di kalangan mazhab Syafi'i dikenal pula kaidah penggalian hukum fiqih seperti dar'u al-mafasid muqaddam 'ala jalbi al-mashalih. Artinya, mencegah kerusakan hanrus diupayakan terlebih dahulu sebelum upaya mendapatkan manfaat (mashlahah). Kaidah lain, al-mashlahah al-mahaqqaqah muqaddamah 'ala al-nuashlahah al-mutawahamah. Artinya, mashlahah yang telah jelas harus terlebih dahulu didapatkan sebelum mashlahah yang belum jelas. Kaidah-kaidah yang demikian bisa dilihat pada kitab al-Asybah wa al-Nadzair. Meskipun tidak secara tegas, seorang mujtahid disyaratkan memiliki kepekaan sosial. Syarat demikian secara implisit telah terekam baik di dalam persyaratan-persyaratan yang ada mau pun di dalam mekanisme penggalian hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Syafi'i dikenal memiliki qaul qadim (kumpulan pendapat lama) yang dilahirkan di Baghdad dan qaul jadid (pendapat baru) yang dilahirkan setelah kepindahannya ke Mesir. Padahal ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits yang ia ketahui sama juga. KAJIAN masalah hukum (bahtsul masa'il) di NU menurut hemat saya masih belum memuaskan, untuk keperluan ilmiah mau pun sebagai upaya praktis menghadapi tantangan-tantangan zaman. Salah satu sebabnya yang pokok adalah keterikatan hanya terhadap satu mazhab (Syafi'i). Padahal AD/ART NU sendiri menegaskan, bahwa NU menaruh penghargaan yang sama terhadap empat mazhab yang ada. Ketidakpuasan juga muncul akibat cara berpikir tekstual, yaitu dengan menolak realitas yang tidak sesuai dengan rumusan kitab kuning, tanpa memberikan jalan keluar yang sesuai dengan tuntutan kitab itu sendiri. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan oleh komisi bahtsul masa'il NU masih memerlukan upaya peningkatan yang serius. Paling tidak supaya apa yang dilakukannya dapat mencapai tingkat ijtihad, meskipun hanya muqayyad sifatnya, tapi tidak sekedar mentathbiq (mencocokkan) kasus yang terjadi dengan referensi (maraji') tertentu saja. Tapi apapun yang dihasilkan, komisi bahtsul masa'il NU tidak pernah bermaksud untuk rnengikat warganya dengan putusan-putusan itu. Jika ada di antara warga yang mentaatinya, maka hal itu hanyalah karena ikatan moral saja. Barangkali berbeda dengan putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang secara organisatoris dimaksudkan untuk mengikat seluruh warga Muhammadiyah. Dengan demikian keputusan komisi bahtsul masa'il tersebut, meski telah merupakan kesepakatan, hanyalah bersifat amar ma'ruf atau menampakkan alternatif yang dianggap terbaik di antara sekian alternatif yang ada. Sebab, sekali keputusan menyangkut masalah khilafiyah (yang masih diperselisihkan), NU tetap menghargai hak seseorang untuk memilih pendapat yang dimantepi, terutama jika menyangkut soal ubudiyah, yang notabene lebih merupakan urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya. Maka dalam kesempatan bahtsul masail, berbagai pendapat yang ditemukan dari kitab kuning dipilih salah satunya, disertai tingkat kekuatan masing-masing ta'bir (keterangan) sebagai dasar hukum. Berbeda soalnya jika yang melakukan putusan adalah pemerintah. Masalah khilafyah yang sifatnya nonubudiyah murni tersebut bisa diangkat sebagai masalah negara. Jika hakim yang bertindak atas nama negara -asal saja tindakan itu sah di muka agama- memberikan putusan, maka keputusan itu mengikat masyarakat. Misalkan para hakim (qadli/ulama) berkumpul untuk menyeragamkan penyelesaian terhadap masalah khilafiyah dengan memilih satu dari pendapat-pendapat yang ada, maka pilihan mereka harus menjadi pilihan masyarakat. Kewajiban demikian bukan sekadar secara administratif, akan tetapi didukung pula oleh alasan-alasan agama. Ada kaidah hukmu al-qadli yarfa'u al-khilaf, artinya putusan hakim (pemerintah) menyelesaikan perselisihan pendapat. KAIDAH-KAIDAH pengambilan hukum yang diciptakan ulama masa lalu tetap bisa dipakai sebagai metode hingga sekarang. Yang perlu digarisbawahi, sejak semula mereka menegaskan, sifat kaidah-kaidah tersebut adalah aghlabiyah (berlalcu secara umum, general), hingga ada perkecualian yartg tidak bisa diselesaikan oleh kaidah-kaidah tersebut. Jadi jika ada kritik, paling-paling terhadap satu dua kaidah yang justru tidak berlaku secara aghlabiyah, yang tidak memadai lagi. Kasus-kasus yang dikecualikan lebih banyak daripada yang bisa dicakupnya. Satu kaidah dalam ushul fiqih yang barangkali dianggap orang sebagai menggiring fiqih kepada bentuk yang tidak kontekstual, adalah al-'ibrah bi 'umum al-lafdhi la bi khusus al-sabab. Kaidah ini banyak diterjemahkan begini, "Yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum fiqih adalah rumusan (tekstual) suatu dalil, bukan sebab yang melatarbelakangi turunnya ketentuan (dalil) tersebut". Menerjemahkan "la" dengan "bukan" seperti terjemahan di atas adalah salah. "La" di situ berarti 'bukan hanya" (la li al-'athaf bukan la li al-istidrak). Jadi latarbelakang, asbab al-nuzul maupun asbab al-wurud (sebab-sebab turun ayat al-Qur'an dan Hadits), tetap menjadi pertimbangan penting dan utama. Terjemahan yang benar dari kaidah itu adalah, "Suatu lafadh (kata atau rumusan redaksional sebuah dalil) yang umum ('amm), mujmal mau pun muthlaq (yang berlaku umum) harus dipahami dari sudut keumumannya, bukan hanya dari latarbelakang turunnya suatu ketentuan. Dengan demikian ketentuan umum itu pun berlaku terhadap kasus-kasus cakupannya, meskipun mempunyai latarbelakang berbeda. Sebab jika dalil-dalil al-Qur'an mau pun hadits hanya dipahami dalam konteks ketika diturunkannya, maka akan banyak sekali kasus yang tidak mendapatkan kepastian hukum. Istilah pembaharuan fiqih sebenarnya kurang tepat, karena kaidah-kaidah dalam ushul fiqih mau pun qawa'id al-fiqhiyyah sebagai perangkat menggali fiqih sampai saat ini tetap relevan dan tidak perlu diganti. Barangkali yang lebih tepat adalah pengembangan fiqih melalui kaidah-kaidah tadi, menuju fiqih yang kontekstual. Kegiatan semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad dalam pengertian ishtilahi, melainkan ijtihad menurut pengertian bahasa. Upaya semacam itu telah cukup sebagai pengembangan fiqih. Adalah pesantren, yang paling memungkinkan mengerjakan kegiatan demikian. Kurikulum yang selama ini dipakai tidak perlu diubah, sebab dengan kekayaan itu justru akan tergali warisan ulama masa lalu. Akan tetapi kekurangan dalam pemakaian metode belajar dan mengajar jelas perlu segera ditanggulangi. |
|