Pengantar
Pesatren:
Kontinuitas dan Perubahan
Oleh Azyumardi Azra
MENGAPA pesantren bisa survive sampai hari ini? Pertanyaan ini mungkin
kedengarannya mengada-ada. Tetapi terus terang, pertanyaan ini sering menggoda
saya; dan mungkin juga banyak pengamat pendidikan Islam Indonesia lainnya.
Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai
kawasan Dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional Islam
seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap setelah tergusur
oleh ekspansi sistem pendidikan umum —untuk tidak menyebut sistem pendidikan"sekuler";
atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum; atau setidak-tidaknya
menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan
umum.
Untuk memperjelas argumen di atas dapat dikemukakan nasib atau pengalaman
beberapa daerah pada kawasan dunia Muslim lainnya dalam proses perubahan
dan modernisasinya. Pada umumnya, lembaga pendidikan tradisional Islam
di kawasan Timur Tengah secara sederhana terdiri dari tiga jenis; madrasah,
Kuttâb, dan masjid. Sampai paruh kedua abad ke-19, ketiga lembaga
pendidikan tradisional Islam ini relatif mampu bertahan. Tetapi, sejak
perempatan terakhir abad ke-19 gelombang pembaruan dan modernisasi yang
semakin kencang telah menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak mungkin
lagi dikembalikan seperti pada eksistensi semula lembaga-lembaga pendidikan
Islam tradisional.
Pembaruan dan modernisasi pendidikan Islam, tidak ragu lagi bermula
di Turki menjelang pertengahan abad ke-19 sebelum akhirnya menyebar hampir
ke seluruh wilayah kokuasaan Turki Utsmani di Timur Tengah. Tetapi penting
dicatat, program pembaruan pendidikan di Turki semula tidak menjadikan
medresse (madrasah) —lembaga pendidikan tradisional Islam— sebagai sasaran
pembaruan. Yang terjadi adalah pembentukan sekolah-sekolah baru sesuai
dengan sistem pendidikan Eropa, yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan
reformasi militer dan birokrasi Turki Utsmani. Dalam konteks ini kita bisa
melihat, misalnya kemunculan "Mekteb-i Ilm-i Harbiye" (sekolah militer)
pada tahun 1834 sesuai dengan model Prancis.
Tetapi dalam selang waktu yang tidak terlalu lama (1938), Sultan Mahmud
II (1808-1839) juga melancarkan pembaruan pendidikan Islam dengan memperkenalkan
Sekolah Rusydiyah, yang sepenuhnya mengadopsi sistem pendidikan Eropa.
Sistem Sekolah Rusydiyah ini independen atau bahkan berlawanan dengan medresse.
Selanjutnya pada tahun 1846, Sultan ' Abd al-M ajid mengeluarkan peraturan
yang memisahkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum; medresse berada
di bawah jurisdiksi Syaikh al-Islam, sedangkan sekolah umum —dengan berbagai
tingkatannya— ditempatkan di bawah tanggung jawab langsung pemerintah.
Tetapi, penting dicatat bahwa sekolah umum yang diharapkan menjadi tulang
punggung modernisasi itu ternyata berkembang relatif lambat. Ini mendorong
pemerintah Turki Utsmani untuk mengeluarkan ketetapan "Ma'arif Umumiye
Nizamnamesi" (1869) guna memperluas dan mempercepat perkembangan sistem
pendidikan umum model Eropa, dengan mengorbankan medresse. Pukulan terakhir
terhadap medresse terjadi pada tahun 1924, yaitu ketika Mustafa Kemal Ataturk
menghapuskan sistem medresse dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah
umum.
Pengalaman yang sama juga ditempuh oleh Mesir. Modernisasi sistem dan
kelembagaan pendidikan di Mesir dimulai oleh Muhammad Ali Pasya. Pada 1833
ia mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah dasar umum, yang dalam perkembangan
awalnya hidup berdampingan dengan madrasah dan Kuttâb. Sekolah dasar
umum yang segera berkembang di seluruh wilayah Mesir semula dimaksudkan
untuk menyiapkan calon-calon siswa sekolah militer, yang juga didirikan
Muhammad Ali. Semula isi pendidikannya sebagian besar adalah subyek-subyek
Islam, ditambah beberapa mata pelajaran umum. Tetapi, dalam perkembangannya
lebih lanjut, penekanan lebih diberikan pada subyek-subyek umum. Dalam
waktu yang bersamaan, Muhammad Ali Pasya juga mendirikan sekolah-sekolah
umum tingkat lanjutan, yang dikenal dengan nama sekolah al-Tajhiziyah.
Sekolah ini terutama mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti berhitung, ilmu
ukur, aljabar, dan menggambar, selain juga memberikan beberapa mata pelajaran
agama.
Sementara itu, madrasah dan Kuttâb secara umum tidak mengalami
perkembangan yang berarti. Kuttâb hanya menjadi semacam pelengkap
bagi sekolah umum, khususnya untuk mendapatkan tambahan pelajaran agama.
Bahkan pada tahun 1868, Khedive Ismail mengeluarkan ketetapan untuk mengintegrasikan
madrasah dan kuttâb ke dalam sistem pendidikan umum. Meskipun demikian,
upaya ini tidak banyak berhasil; sistem pendidikan madrasah dan kuttâb
tetap bertahan dalam masa penjajahan Inggris. Tetapi setelah kemerdekaan,
dengan alasan integrasi atau nasionalisasi sistem pendidikan nasional Mesir,
pemerintah Gamal Abdel Nasser pada tahun 1961 menghapuskan sistem madrasah
dan kuttâb.
Pengalaman Turki dan Mesir agaknya cukup memadai untuk menggambarkan
proses-proses memudar dan lenyapnya sistem pendidikan tradisional Islam
dalam gelombang modernisasi yang diterapkan para penguasa di masing-masing
negara tersebut. Situasi-situasi sosiologis dan politis yang mengitari
medresse di Turki atau madrasah dan kuttâb di Mesir dalam segi-segi
tertentu agaknya berbeda dengan situasi sosiologis yang mengitari pesantren
di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut, pada gilirannya membuat pesantren
mampu bertahan.
Modernisasi Pendidikan dan Pesantren
Modernisasi paling awal dari sistem pendidikan di Indonesia, harus diakui,
tidak bersumber dari kalangan kaum Muslim sendiri. Sistem pendidikan modern
pertama kali, yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam,
justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Ini bermula dengan
perluasan kesempatan bagi pribumi dalam paruh kedua abad ke-19 untuk mendapatkan
pendidikan. Program ini dilakukan pemerintah kolonial Belanda dengan mendirikan
volkschoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa (nagari) dengan masa belajar
selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an.
Pada tahun 1871, terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar
16.606 orang; dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar
52.685 siswa.
Tetapi sekolah desa ini, setidak-tidaknya dalam perkembangan awalnya,
cukup mengecewakan Bagi pemerintah Belanda; sekolah desa ini tidak berhasil
mencapai tujuan seperti yang mereka harapkan, karena tingkat putus sekolah
yang sangat tinggi dan mutu pengajaran yang amat rendah. Di sisi lain kalangan
pribumi, khususnya di Jawa terdapat resistansi yang kuat terhadap sekolah-sekolah
ini, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah
kolonial Belanda untok "membelandakan'' anak-anak mereka. Respon yang relatif
baik —untuk tidak mengatakan antusias— terhadap sekolah desa ini justru
rnuncul di Minangkabau, sehingga banyak surau —yang merupakan lembaga pendidikan
tradisional Islam— yang ditransformasikan secara formal menjadi sekolah-sekolah
nagari. Sekolah-sekolah nagari yang semula merupakan surau tersebut, ternyata
tidak sepenuhnya mengikuti kurikulum yang digariskan pemerintah Belanda,
sehingga mendorong Belanda untuk melakukan standardisasi kurikulum, metode
pengajaran dan lain-lain.
Poin penting dalam eksperimen Belanda dengan sekolah desa atau sekolah
nagari sejauh dalam kaitannya dengan sistem dan kelembagaan pendidikan
Islam, adalah transformasi sebagian surau di Minangkabau menjadi sekolah
nagari model Belanda. Memang, berbeda dengan masyarakat Muslim di Jawa
umumnya yang memberikan respon yang dingin, banyak kalangan masyarakat
Muslim Minangkabau memberikan respon yang cukup baik terhadap sekolah desa.
Perbedaan respon di antara masyarakat Jawa dengan Minangkabau ini banyak
berkaitan dengan watak kultural yang relatif berbeda di antara kedua masyarakat
ini, dan juga berkaitan dengan pengalaman historis yang relatif berbeda
baik dalam proses dan perkembangan Islamisasi maupun dalam berhadapan dengan
kekuasaan Belanda.
Selain mendapatkan tantangan dari sistem pendidikan Belanda, pendidikan
tradisional lslam juga harus berhadapan dengan sistem pendimodern Islam.
Dalam konteks pesantren, tantangan pertama datang dari sistem pendidikan
Belanda sebagaimana dikemukakan di atas. Bagi para eksponen sistem pendidikan
Belanda, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, sistem pendidikan pesantren
harus ditinggalkan atau setidaknya, ditransformasikan sehingga mampu mengantarkan
kaum Muslim ke gerbang rasionalitas dan kemajuan. Jika pesantren dipertahankan,
menurut Takdir, berarti mempertahankan keterbelakangan dan kejumudan kaum
Muslim. Tetapi, sehagaimana kita ketahui, pesantren tetap bertahan dalam
kesendiriannya.
Tantangan yang lebih merangsang pesantren untuk memberikan responnya,
justru datang dari kaum reformis atau modernis Muslim. Gerakan reformis
Muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20 berpendapat, bahwa
untuk menjawab tantangan dan kolonialisme dan Kristen diperlukan reformasi
sistem pendidikan Islam. Dalam konteks inilah kita menyaksikan munculnya
dua bentuk kelembagaan pendidikan modern Islam; pertama, sekolah-sekolah
umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam; kedua madrasah-madrasah
modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan
modern Belanda. Dalam bentuk pertama, kita bisa menyebut, misalnya Sekolah
Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1909, dan sekolah-sekolah
umum model Belanda (tetapi met de Qur'an) yang didirikan organisasi semacam
Muhammadiyah. Sedangkan pada bentuk kedua kita menemukan "Sekolah Diniyah"
Zainuddin Labay al-Yunusi, atau Sumatera Thawalib, atau madrasah yang didirikan
al-Jamitatul al-Khairiyah, dan kemudian juga madrasah yang didirikan organisasi
al-Irsyad.
Bagaimanakah respon sistem pendidikan tradisional Islam, seperti surau
(MinangLabau) dan pesantren (Jawa) terhadap kemunculan dan ekspansi sistem
pendidikan modern Islam ini? Karel Steenbrink dalam konteks surau tradisional
menyebutnya sebagai "menolak sambil mengikuti", dan dalam konteks pesantren
menyebutnya sebagai "menolak dan mencontoh". Sembari menolak beberapa pandangan
dunia kaum reformis, kaum tradisi di Minangkabau memandang ekspansi sistem
dan kelembagaan pendidikan modern Islam sebagai ancaman langsung terhadap
eksistensi dan kelangsungan surau. Untuk itu, dalam pandangan mereka, surau
harus mengadopsi pula beberapa unsur pendidikan moderen— yang telah diterapkan
kaum reformis—kbususnya sistem klasikal dan penjenjangan. Tetapi penting
dicatat, adopsi ini dilakukan tanpa mengubah secara signifikan isi pendidikan
surau itu sendiri.
Respon yang hampir sama juga diberikan pesantren di Jawa. Seperti kalangan
surau di Minangkabau, komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi
keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama mereka juga — kecuali
dalam batas tertentu— mengikuti jejak langkah kaum reformis, untuk bisa
tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan
"penyesuaian" yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas
pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti
sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal.
Dalam kaitan ini, Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta mengambil tempat
paling depan dalam merambah bentuk respon pesantren terhadap ekspansi pendidikan
Belanda dan pendidikan modern Islam. Pesantren Mambaul Ulum yang didirikan
Susuhunan oleh Pakubuwono pada tahun 1906 ini merupakan perintis bagi penerimaan
beberapa mata pelajaran umum dalam pendidikan pesantren. Menurut laporan
inspeksi pendidikan Belanda pada tahun tersebut, Pesantren Mambaul Ulum
telah memasukkan mata pelajaran membaca (tulisan Latin), aljabar, dan berhitung
ke dalam kurikulumnya.
Rintisan Pesantren Mambaul Ulum ini kemudian diikuti beberapa pesantren
lain. Pesantren Tebuireng misalnya, pada tahun 1916 mendirikan sebuah "Madrasah
Salafiyah" yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi
juga memasukkan boberapa pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa Melayu,
ilmu bumi, dan menulis dengan huruf Latin ke dalam kurikulumnya. Model
ini kemudian diikuti banyak pesantren lainnya. Salah satu yang terpenting
adalah Pesantren Rejoso di Jombang, yang mendirikan sebuah madrasah pada
tahun 1927. Madrasah ini juga memperkenalkan mata-mata pelajaran non-keagamaan
dalam kurikulumnya.
Respon yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam
pengalaman Pondok Modern Gontor. Berpijak pada basiis sistem dan kelembagaan
pesantren, pada tahun 1926 berdirilah Pondok. Modern Gontor. Pondok ini
selain memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga
mendorong para santrinya untuk mempelajari bahasa Inggris —selain bahasa
Arab— dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra-kurikuler seperti olahraga
dan kesenian.
Bahkan sejumlah pesantren bergerak lebih maju lagi. Berkaitan dengan
gagasan tentang "kemandirian” santri setelah menyelesaikan pendidikan .mereka
di pesantren, beberapa pesantren memperkenalkan semacam kegiatan atau latihan
ketrampilan (vocational) dalam sistem pendidikan mereka. Salah satu organisasi
Islam yang memberi penekanan khusus pada aspek vocational ini adalah organisasi
Persarekatan Ulama di Jawa Barat. Organisasi ini mendirikan sebuah lembaga
pada tahun 1932 atas basis kelembagaan pesantren yang kemudian disebutnya
sebagai "Santi Asrama". Haji Abdul Halim yang merupakan pendiri Persarekatan
Ulama memperkenalkan pemberian latihan ketrampilan bagi para santri.
Deskripsi singkat di atas sedikit banyak menjelaskan bagaimana respon
pesantren dalam menghadapi berbagai perubahan di sekelilingnya. Dalam menghadapi
semua perubahan dan tantangan itu, para eksponen pesantren terlihat tidak
tergesa-gesa mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan
modern Islam sepenuhnya, tetapi sebaliknya cenderung mempertahankan kebijaksanaan
hati-hati (cautious policy); mereka menerima pembaruan (atau modernisasi)
pendidikan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas; sebatas mampu
menjamin pesantren bisa tetap survive.
Pengalaman pesantren dalam memberikan responnya pada masa pasca-proklamasi
kemerdekaan lagi-lagi memperlihatkan kealotan pesantren. Pada periode ini
pesantren menghadapi tantangan lebih berat lagi. Khususnya disebabkan adanya
ekspansi sistem pendidikan umum dan madrasah modern. Kaum Muslim sekarang
ini umumnya memiliki semakin banyak pilihan dalam mencarikan pendidikan
buat anak-anak mereka: ada sekolah-sekolah umum, sekolah-sekolah Islam
(seperti yang dikelola Muhammadiyah dan organisasi-organisasi MIslam lainnya),
ada pula madrasah-madrasah, dan tentu saja, pesantren itu sendiri. Dampak
yang paling jelas dari perkembangan ini adalah stagnasi, jika tidak kemerosotan
jumlah para santri di pesantren-pesantren pada umumnya. Tetapi kesulitan
ekonomi yang dihadapi Indonesia pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, membuat
pendidikan pesantren yang amat murah itu kelihatannya menjadi alternatif
terbaik kagi banyak kalangan Muslim miskin di banyak wilayah pedesaan Jawa.
Namun penting dikemukakan, bahwa di sisi lain, jumlah santri di pesantren-pesantren
besar terus mengalami pertambahan yang konstan. Pesantren-pesantren besar
ini semakin banyak menarik santri, tidak hanya dari sekitar wilayah mereka,
tetapi juga dari luar Jawa. Termasuk di antara pesantren yang mengalami
perkembangan semacam ini adalah Pesantren Tebuireng, Pesantren Lirboyo,
Pesantren Tambakberas, dan Pondok Modern Gontor. Dalam penelitiannya pada
tahun 1955, Departemen Agama mencatat terdapat 30.368 pesantren, dengan
santri sejumlah 1.392.159 orang. Sebagai perbandingan saja, pada tahun
1972 diperkirakan jumlah pesantren adalah sekitar 32.000 buah dengan sekitar
2 juta santri. Angka-angka ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren mengalami
ekspansi, meski berada di bawah sistem dan kelembagaan pendidikan lainnya.
Mirip dengan pesantren pada masa kolonial, pesantren di masa kemerdekaan
juga memberikan respon terhadap ekspansi sistem pendidikan umum yang disebarkan
pemerintah dengan memperluas cakupan pendidikan mereka. Sedikitnya terdapat
dua cara yang dilakukan pesantren dalam hal ini: pertama, merevisi kurikulumnya
dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan ketrampilan umum; kedua,
membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan
pendidikan umum.
Cara pertama, seperti telah dikemukakan di atas, telah dimulai kalangan
pesantren sejak masa Belanda, meski dengan skala yang sangat terbatas.
Tetapi dalam masa kemerdekaan, pembaruan kurikulum itu terus menemukan
momentumnya. Namun perlu ditegaskan, bahwa pembaruan kurikulum ini tidak
berjalan merata di seluruh pesantren; bahkan pesantren-pesantren yang menerima
pembaruan tersebut hanya menerapkannya secara terbatas. Tambahan lagi,
terdapat banyak pesantren yang dipimpin oleh kiai lebih konservatif yang
umumnya cenderung sangat resistan terhadap pembaruan kurikulum atau substansi
pendidikan pesantren.
Dalam masa-masa kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada dekade
1950-an dan awal 1960-an pembaruan pesantren banyak berkenaan dengan pemberian
ketrampilan, khususnya dalam bidang pertanian, yang tentu saja diharapkan
bisa menjadi bekal bagi para santri, selain untuk menunjang ekonomi pesantren
itu sendiri. Penekanan pada bidang ketrampilan ini dengan mudah bisa dipahami;
dalam rnasa-masa sulit seperti itu, pesantren semakin dituntut untuk self
supporting dan self financing. Karena itu, banyak pesantren di pedesaan
—seperti di Tebuireng dan Rejoso— mengarahkan para santrinya untuk terlibat
dalam kegiatan-kegiatan vocational di bidang pertanian, seperti penanaman
padi, kelapa, tembakau, dan kopi. Hasil penjualan dari usaha pertanian
seperti itu selaniutnya digunakan untuk membiayai pesantren. Pada wakru
yang bersamaan, pesantren-pesantren besar, seperti Gontor, Tebuireng, Denanyar,
Tambakberas, dan Tegalrejo mulai pula mendirikan dan mengembangkan koperasi.
Melalui koperasi ini, minat kewirausahaan para santri dibangkitkan, untuk
kemudian diarahkan menuju pengembangan dan pengelolaan usaha-usaha ekonomi
yang sangat diperlukan bila sang santri kembali ke masyarakat.
Begitu juga cara kedua, yang sebenarnva telah mulai dikembangkan beberapa
pesantren sejak masa Belanda, seperti dikemukakan di atas. Tetapi dalam
masa kemerdekaan, cara kedua ini semakin menemukan momentumnya. Khususnya
karena persaingan pesantren dengan sistem kelembagaan madrasah modern yang
ditempatkan di bawah tanggung jawab dan pengawasan Departemen Agama —yang
sejak 1950-an melancarkan pembaruan madrasah setelah sebelumnya ''menegerikan''
banyak madrasah swasta.
Untuk meresponi perkembangan ini, semakin banyak pesantren yang mendirikan
madrasah di dalam kormpleks pesantren masing-masing. Dengan cara ini, pesantren
tetap berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian aslinya, yakni tempat
pendidikan dan pengajaran bagi para santri (umumnya mukim) yang ingin memperoleh
pengetahuan Islam secara mendalam; dan sekaligus merupakan madrasah bagi
anak-anak di lingkungan pesantren. Boleh jadi, sebagian murid-murid madrasah
ini juga menjadi santri mukim di pesantren yang bersangkutan. Tetapi, setidaknya
dengan terdaftar sebagai murid madrasah, mereka kemudian mendapat pengakuan
dari Dapartemen Agama, dan dengan demikian memiliki akses lebih besar tidak
hanya dalam meianjutkan pendidikan, tetapi juga dalam lapangan kerja. Dalam
perkembangan selanjutnya, tidak jarang ditemukan pesantren yang memiliki
lebih banvak murid madrasah daripada santri yang betul-betul melakukan
tafaqquh fi 'l-dîn.
Lebih jauh lagi, beberapa pesantren tidak berhenti dengan eksperimen
madrasahnya. Beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-iembaga pendidikan
umum yang berada di bawah sistem Departemen Pendidikan dan Kebudayaan;
bukan sistem pendidikan agama yang berada di bawah Departemen Agama. Dengan
kata lain, pesantren bukan hanya mendirikan madrasah, tetapi juga sekolah-sekolah
umum, yang mengikuti sistem dan kurikulum Departemen P & K.
Di antara pesantren-pesantren yang dapat dipandang sebagai perintis
dalam eksperimen ini adalah Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang,
yang pada September 1965 mendirikan Universitas Darul Ulum, yang terdatar
pada Departemen P & K. Universitas ini terdiri dari 5 fakultas dan
hanya 1 fakultas yang merupakan fakultas agama Islam. Pesantren lain yang
juga menempuh cara ini adalah Pesantren Miftahul Mu’allimin di Babakan
Ciwaringin, Jawa Barat, yang mendirikan sebuah STM. Dalam masa-masa lebih
belakangan, eksperimen seperti ini dilakukan oleh semakin banyak pesantren,
sehingga menimbulkan kekhawatiran banyak kalangsn yang ingin mempertahankan
identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk tafaqquh fi ‘l-dîn,
atau mempersiapkan calon-calon ulama, bukan untuk kepentingan-kepentingan
lain, khususnya pengisian lapangan kerja.
Pada saat yang sama terdapat kecenderungan kuat pesantren untuk melakukan
konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan
manajemen. Secara tradisional, kepemimpinan pesantren diimpin oleh satu
orang atau dua orang kiai, yang biasanya merupakan pendiri pesantren yang
bersangkutan. Tetapi perkembangan kelembagaan pesantren ini, terutama disebabkan
adanya diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya, yang juga mencakup
madrasah dan sekolah umum, maka kepemimpinan tunggal kiai tidak memadai
lagi. Banyak pesantren kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan, yang
pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif.
Salah satu contoh dalam hal transisi kepemimpinan pesantren adalah Pesantren
Maskumambang di Gresik, yang sejak didirikan pada tahun 1859 dipimpin oleh
keturunan pendirinya, KH Abdul Jabbar. Tetapi pada tahun 1958 kepemimpinan
pesantren ini deserahkan kepada Yayasan Kebangkitan Umat Islam. Dengan
perubahan pola kepemimpinan dan manajemen ini, maka ketergantungan kepada
seorang kiai seperti pada pesantren-pesantren jaman dulu jarang terjadi
lagi. Kenyataan ini merupakan salah satu faktor penting yang membuat pesantren
semakin lebih mungkin untuk bertahan dalam menghadapi perubahan dan tantangan
zaman.
Pesantren menghadapi pengalaman dan mencoba eksperimen yang pada dasarnya
sama dalam masa pemerintahan Orde Baru. Bertitik tolak pada pertumbuhan
ekonomi, pemerintah Orde Baru juga menaruh harapan kepada pesantren untuk
menjadi salah satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Dengan demikian,
pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya,
yakni: pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam; kedua, pemeliharaan
tradisi Islam; dan ketiga, reproduksi ulama.
Sesuai dengan ideologi developmentalism pemerintah Orde Baru, pembaruan
pesantren dalam masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan
substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan
tantangan zaman. Dalam konteks ini, misalnya, substansi ilmu kalam yang
diajarkan di pesantren diharapkan bukan lagi Teologi Asy'ariyah atau Jabariyah,
tetapi teologi yang kondusif bagi pembangunan, yakni teologi yang lebih
mendorong bagi tumbuhnya prakarsa, usaha atau etos kerja.
Selain itu, pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi
(atau, tepatnya refungsionalisasi) pesantren sebagai salah satu pusat penting
bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukannya
yang khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yarg berpusat
pada masyarakat itu sendiri (people-centered development) dan sekaligus
sebagai pusat pengembangan pembngunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented
development).
Dalam kaitan gagasan itulah pesantren diharapkan tidak lagi sekedar
mermainkan ketiga fungsi tradisional tadi, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan
kesehatan; pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan;
pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup; dan lebih
penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Dalam konteks terakhir, terlihat semakin banyak pesantren yang terlibat
dalam aktivitas-aktivitas vocational dan ekonomi, seperti dalam usaha-usaha
agribisnis yang mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan,
dan kehutanan; pengembangan industri rumah tangga atau industri kecil seperti
konveksi, kerajinan tangan, pertokoan, dan koperasi.
Bisa disimpulkan bahwa respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan
Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat
Indonesia sejak awal abad ini mencakup: pertama, pembaruan substansi atau
isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan vocational;
kedua, pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal, penjenjangan; ketiga,
pembaruan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga
pendidikan; dan keempat, pembaruan fungsi, dari semula hanya fungsi kependidikan,
dikembangkan sehingga juga mencakup fungsi sosial-ekonomi.
Ekspansi Pesantren
Dengan demikian jelaslah bahwa pesantren bukan hanya mampu bertahan.
Tetapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan konsesi yang diberikannya,
pesantren pada gilirannya juga mampu mengembangkan diri, dan bahkan kembali
menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional
Indonesia secara keseluruhan.
Secara fisik pesantren mengalami kemajuan yang cukup fenomenal. Berkat
peningkatan kemajuan ekonomi ummat Islam, sekarang ini tidak sulit mencari
pesantren-pesantren yang memiliki gedung-gedung dan fasilitas-fasilitas
fisik lainnya yang cukup megah dan mentereng. Pesantren, dengan demikian,
tidak lagi bisa sepenuhnya diasosiasikan dengan fasilitas fisik seadanya,
dengan asrama yang penuh sesak dan tidak higienis, misalnya.
Ekspansi pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren yang
semula hanya rural based institution kemudian berkembang menjadi lembaga
pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di
Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Yogyakarta, Malang, Semarang, Ujungpandang,
atau wilayah sub-urban Jakarta seperti Parung atau Cilangkap. Seperti dikemukakan
Zamakhsyari Dhofier, di antara pesantren perkotaan yang muncul pada 1980-an
adalah Pesantren Darun Najah dan Ashidiqiyah di Jakarta; Pesantren Nurul
Hakim, al-Kautsar, Darul Arafah di Medan, dan Darul Hikmah di Pekanbaru.
Dengan demikian, pesantren tidak lagi identik dengan kelembagaan pendidikan
Islam yang khas Jawa; tetapi juga diadopsi oleh wilayah-wilayah lain. Istilah
"pesantren" itu sendiri telah cukup lama digunakan misalnya di Sulawesi,
atau Kalimantan. Belakangan istilah "pesantren" juga diadopsi di Sumatera
Barat untuk menggantikan nama kelembagaan pendidikan Islam tradisional
lainnya, yakni "surau" yang terlanjur mengandung konotasi pejoratif. Sehingga
sekarang di Pasar Usang, sebuah wilayah sub-urban kota Padang, Sumatera
Barat, muncul sebuah pesantren yang bernama "Pesantren Modern Prof. Dr.
Hamka".
Tak kurang pentingnya dalam pembicaraan tentang "ekspansi'' pesantren
adalah pengadopsian aspek-aspek tertentu sistem pesantren oleh lembaga
pendidikan umum. Sebagai contoh adalah pengadopsian sistem pengasramaan
murid SMU "unggulan" yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir, walau
dengan menggunakan istilah Inggris, “boarding school”, seperti yang dilakukan
SMU Madania di Parung. Kalau kita perhatikan, sistem “boarding” sebenarnya
merupakan salah satu karakteristik dasar sistem pendidikan pesantren, yang
dikenal sebagai sistem santri mukim. Persoalan tentang apakah “boarding
system” pada sekolah unggulan seperti Madania. Itu akan berhasil atau tidak,
tentu saja merupakan persoalan lain yang memerlukan kajian tersendiri.
Daya Tahan dan Kontinuitas Pesantren
Dunia pesantren, dengan meminjam kerangka Hossein Nasr, adalah dunia
tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas
tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, tidak terbatas
pada periode tertentu dalam sejarah Islam, seperti periode kaum Salaf,
yaitu periode para sahabat Nabi Muhammad dan tabi'in senior. Anehnya, istilah
"salaf” juga digunakan oleh kalangan pesantren —misalnya “pesantren salafiyah"—
walaupun dengan pengertian yang jauh berbeda, jika tidak bertolak bdengan
pengertian umum mengenai salaf seperti baru saja dikemukakan. Istilah salaf
bagi kalangan pesantren mengacu pada pengertian "pesantren tradisional"
yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktik Islam sebagai warisan
sejarah, khususnnya dalam bidang syari'ah dan tasawuf. Perbedaan pesantren
di dalam memahami pengertian "salaf" ini dielaborasi lebih jelas lagi oleh
Cak Nur dalam Bagian Pertama, Bab III, “Sistem Nilai di Pesantren dan Ahlussunnah
wal Jama'ah”.
Di sisi lain, dalam pengertian lebih, umum, kaum Salafi adalah mereka
yang memegang paham tentang "Islam yang murni" pada masa awal yang belum
dipengaruhi bid'ah dan khLurafat. Karena itulah kaum Salafi di Indonesia
sering menjadikan pesantren dan dunia Islarn tradisional lainnya sebagai
sasaran kritik keras mereka; setidaknya karena keterkaitan lingkungan pesantren
atau kiai dengan tasawuf atau tarekat. Bagi kaum Salafi umumnya, tasawuf
dan tarekat merupakan pandangan dunia dan pengamalan Islam yang bercampur
dengan bid'ah dan khurafat. Meski kritik semacam ini masih terus terdengar
sampai sekarang, tetapi pesantren tetap bertahan.
Karena itu, tetap bertahannya pesantren agaknya secara implisit mengisyaratkan
bahwa tradisi dunia Islam dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan
di tengah deru modernisasi; meskipun, sebagaimana dikemukakan di atas,
bukan tanpa kompromi. Pada awalnya, dunia pesantren terlihat "enggan" dan
“rikuh" dalam menerima modernisasi; sehingga tercipta apa yang disebut
Cak Nur sebagai "kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar" (bagian
ketiga, Bab II). Tetapi secara gradual, sebagaimana telah disinggung di
atas, pesantren kemudian melakukan akomodasi dan konsesi tertentu untuk
kemudian menemukan pola yang dipandangnya cukup tepat guna menghadapi modernisasi
dan perubahan yang kian cepat dan berdampak luas. Tetapi, semua akomodasi
dan penyesuaian itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan esensi dan hal-hal
dasar lainnya dalam eksistensi pesantren.
Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya untuk melakukan
adjustment dan readjustment seperti terlihat di atas. Tetapi juga karena
karakter eksistensialnya, yang dalam bahasa Cak Nur disebut sebagai lembaga
yang tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga "mengandung
makna keaslian Indonesia (indigenous) (Bagian Pertama, Bab I). Sebagai
lembaga indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis
masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain, pesantren mempunyai keterkaitan
erat yang tidak terpisahkan dengan komunitas lingkungannya. Kenyataan ini
bisa dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian pesantren pada suatu
lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren
itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, hibah, dan sebagainya. Sebaliknya,
pesantren pada umumnya “membalas jasa" komunitas lingkungannya dengan bermacam
cara; tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan,
tetapi bahkan juga bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi bagi masyarakat
lingkungannya. Dalam konteks terakhir inilah pesantren dengan kiainya memainkan
peran yang disebut Clifford Geertz sebagai "cultural brokers" (pialang
budaya) dalam pengertian seluas-luasnya.
Tetapi, keterkaitan erat antara pesantren dengan komunitas lingkungannya
yang dalam banyak hal terus bertahan hingga kini, pada segi lain, justru
dapat menjadi "beban" bagi pesantren itu sendiri. Terlepas dari perubahan-perubahan
sosio-kultural dan keagamaan yang terus berlangsung dalam kaum Muslim Indonesia
sekarang ini, harapan masyarakat kepada pesantren tidak berkurang. Bahkan,
sesuai dengan gelombang santrinisasi yang terus berlangsung dalam masyarakat
Muslim Indonesia belakangan ini, harapan pada pesantren semakin meningkat.
Peran yang diharapkan (expected role) dimainkan pesantren semakin banyak.
Pesantren diharapkan tidak hanya mampu menjalankan ketiga fungsi tradisionalnya
di atas dan menjadi pusat pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat, tetapi
juga peran-peran sosial lain, seperti menjadi "pusat rehabilitasi sosial".
Dalam konteks terakhir ini, bagi banyak keluarga yang mengalarni kegoncangan
atau krisis sosial-keagamaan, pesantren merupakan alternatif terbaik untuk
menyelamatkan anak-anak mereka.
Di sini sebuah pertanyaan penting patut diajukan; mampukah pesantren
memenuhi semua harapan itu? Jawaban saya singkat saja; wa 'l-Lâh-u
a'lam bi 'l-shawâb.
***
Pustaka
-
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1982).
-
Dhofier, Zamakhsyari, "Peran Pesantren dan Pengembangan
Pendidikan dan Pendewasaan Masyarakat", makalah, t.t.
-
Direktori Agribisnis Melalui Pondok Pesantren 1994/1996 (Jakarta:
Departemen Pertanian RI, 1996).
-
Fadjar, A. Malik, "Sintesa antara Perguruan Tinggi dan
Pesantren Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif", rnakalah
pada Diskusi Panel "Pola Keterkaitan Pesantren, Perguruan Tinggi dan LSM
dalam Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat" (Bandung: Lembaga
Kemahasiswaan Salman ITB, t.t., 1996).
-
Hing, Lee Kam, Education and Politics in lndonesia 19451965
(Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1995).
-
Kuntowijoyo, "Peranan Pesantren dalam Pembangunan Desa: Potret
sebuah Dinamika", dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung:
Mizan, 1991).
-
Nama dan Data Potensi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia
(Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag
RI, 1984/1985).
-
Nasr, Seyyed Hossein, Traditional Islam in the Modern
World (London: KPI, 1987).
-
Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia,
1900-1942 (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973).
-
Rahardjo, M. Dawam (ed.), Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta:
LP3ES, 1980).
-
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of
an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982).
-
Saqib, Ghulam Nabi, Modernization of Muslim Education
(Lahore: Islamic Book Service, 1977).
-
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan
Islam dalam Kurun Moderen (Jakarta: LP3ES,1974).
-
Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:
Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995)
|