Pesantren:
Dari Pendidikan Hingga Politik*
KALAU kita tengok keberadaannya, pesantren merupakan institusi
pendidikan yang melekat dalam kehidupan Indonesia sejak beratus tahun lalu.
Sehingga, Ki Hajar Dewantara pernah mencita-citakan model pesantren ini
sebagai sistem pendidikan Indonesia. Menurutnya, selain sudah lama melekat
dalam kehidupan di Indonesia, model ini (pesantren) juga merupakan kreasi
budaya Indonesia, setidak-tidaknya Jawa, yang patut untuk dipertahankan
dan dikembangkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pesantren telah banyak memberikan
andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerita berikut ini mungkin bisa
menggambarkan bagaimana pesantren turut menjalankan fungsi pendidikan.
KH Hamam Dja'far pimpinan Pondok Pesantren Pabelan Magelang
Jawa Tengah memberi perintah kepada santrinya, "Cari grup kesenian tradisional
Badui yang menjadi juara festival seni tradisional di Yogyakarta". Namun,
perintah itu membuat santri yang menerimanya tergagap. Bukan hanya karena
perintah itu datang langsung dari sang kiai, tetapi kemana mencari kelompok
kesenian tradisional tersebut. Jangankan nama kelompoknya, jenis keseniannya
pun tak dikenalnya.
Berjam-jam si santri mencari jawaban. Akhirnya diputuskan untuk mencari
tahu koran apa saja yang dibaca oleh KH. Hamam Dja'far pagi itu. Setelah
mengumpulkan beberapa koran yang telah dibaca sang kiai, santri tersebut
menemukan sebuah berita tentang festival seni tradisional di Yogyakarta.
Berawal dari sana, si santri menemukan kelompok kesenian Badui yang dimaksud
oleh kiai. Akhirnya, grup kesenian itu pun diundang pentas di Pondok Pesantren
Pabelan, Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Yang terlihat dari
sekilas kisah di atas, hanyalah upaya seorang santri melaksanakan perintah
kiai. Namun, jika ditarik lebih jauh, peristiwa tersebut bisa menggambarkan
rangkaian dari sebuah proses pendidikan yang dilakukan di sebuah pesantren.
Pertama dengan menyodorkan problematika kepada anak didik. Kemudian mendorongnya
untuk berolah pikir menyelesaikan masalah tersebut. Di sini terlihat sang
kiai mengajak santrinya untuk membaca, mencari pengetahuan lewat media
masa atau buku, dan mengapresiasi terhadap sebuah bentuk kesenian.
Menjalankan fungsi pendidikan memang menjadi tugas pokok sebuah pesantren.
Identitas pesantren adalah lembaga pendidikan, walaupun dalam perjalanannya
berbagai fungsi juga dijalankan oleh lembaga ini. Namun demikian, peran
sebagai lembaga pendidikan adalah yang utama. Bahkan, menurut ketua PBNU,
Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—selama pesantren dapat menjalankan
fungsi pendidikan yang relevan bagi kehidupan masyarakat, selama itu pula
pesantren dapat menjaga keberadaan dan kelangsungan hidupnya.
Menyelenggarakan pendidikan yang relevan bagi kehidupan masyarakat menjadi
tuntutan yang tidak bisa dihindari oleh pesantren kalau tidak ingin "mati
kesepian", seperti yang dialami oleh pesantren-pesantren di Malaysia. Pesantren
di Negeri Jiran—kini jumlahnya sekitar 40 buah—itu tidak dapat memelihara
relevansi keberadaannya dengan tuntutan kehidupan yang ada. Mereka tidak
mau menerima sistem sekolah, apalagi memberikan ijazah atau diploma; yang
diutamakan hanya pendidikan ritual keagamaan. Sementara tuntutan kebutuhan
masyarakat terhadap pendidikan tidak hanya terbatas pada mendapat ilmu,
tetapi juga jalan untuk memasuki pasar kerja, yang itu menuntut adanya
diploma.
Akibatnya, pesantren-pesantren di Malaysia menjadi tidak relevan bagi
kehidupan masyarakat, sehingga lambat laun ditinggalkan. Anak-anak muda
tidak tertarik lagi untuk bergabung dalam pesantren, karena kebutuhan mereka
di kemudian hari tidak tertampung di sana. Kondisinya jauh berbeda dengan
perjalanan pesantren di Indonesia. Pesantren di Indonesia—khususnya di
Jawa—telah berumur ratusa tahun, dan hingga kini masih terus bertahan bahkan
jumlahnya cenderung meningkat.
Menurut data Departemen Agama, pesantren tertua di Indonesia ialah Pondok
Pesantren Luhur Dondong Semarang yang didirikan pada tahun 1906 oleh Kiai
Syafi'i Pijoro Negoro -konon kiai ini adalah salah seorang komandan pasukan
Sultan Agung saat menyerbu Batavia. Tahun 1985 jumlah pesantren di seluruh
Indonesia tercatat sebanyak 6.239 buah, dan hingga kini (1996) jumlahnya
mencapai sekitar 6.800 buah.
Pesantren di Indonesia dengan cepat mengantisipasi kebutuhan masyarakat
dan menyesuaikan sistem pendidikannya. Banyak pesantren yang sudah memiliki
SMA, bahka mengelola perguruan tinggi umum seperti Universitas Darul Ulum.
Mengenai pengadopsian sistem pendidikan ini Abdurrahman Wahid berpendapat
terjadi proses timbal balik antara pesantren dengan lembaga-lembaga di
luar pesantren. Pesantren mengadopsi sistem pendidikan dari luar, dan sebaliknya
lembaga-lembaga di luar pesantren juga mengadopsi tradisi
pesantren, seperti terlihat dari maraknya penyelenggaraan pesantren kilat.
Sebagai sebuah wilayah sosial, pesantren memiliki kelenturan
dan resistensi dalam menghadapi setiap perubahan zaman. Untuk menentang
kolonialisme, pesantren melakukan uzlah (menghindar atau menutup
diri) terhadap sistem yang dibawa oleh kolonialisme—termasuk pendidikan.
Dan kini, agar tetap relevan bagi kehidupan masyarakat, pesantren membuka
diri dengan mengadopsi sistem sekolah.
Pesantren melakukan perubahan secara bertahap, perlahan,
dan hampir sulit untuk diamati. Para kiai secara berlapang dada mengadakan
modernisasi lembaga di tengah perubahan masyarakat Jawa, tanpa meninggalkan
sisi positif sistem pendidikan Islam tradisional. Selain itu perubahan
yang memang perlu dilakukan dijaga agar tidak merusak segi positif yang
dimiliki oleh kehidupan pedesaan.
Pesantren dengan sistem dan karakter tersendiri telah
menjadi bagian integral dari suatu institusi sosial masyarakat, khususnya
pedesaaan. Meski mengalami pasang-surut dalam mempertahankan misi dan eksistensinya,
namun sampai kini pesantren tetap survive. Bahkan beberapa di antaranya
muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah-masalah
sosial masyarakat desa. Seperti yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Pabelan
dan juga beberapa pesantren lainnya.
Bersama dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Pesantren
Pabelan telah menjadi contoh bagi kegiatan pengembangan masyarakat melalui
pesantren. Pesantren yang menerima penghargaan Aga Khan tahun 1980 ini
menjadi inspirator bagi masyarakat sekitar dalam membangun rumah yang sehat.
Selain itu, Pesantren Pabelan ini juga mendorong masyarakat peduli terhadap
pendidikan anak-anaknya dengan membebaskan biaya pendidikan buat sekitar
200 santri yang berasal dari desa sekitar Pabelan. Pesantren ini juga dikenal
sebagai inovator di bidang pertanian dengan memberikan bantuan ternak ayam,
lele dumbo, dan salak pondoh bagi petani di desa sekitarnya. Aktifitas
yang dilakukan adalah mengganti intelektualisme verbal menjadi intelektualisme
yang lebih mementingkan "kerja tangan". Di sini terlihat bahwa pesantren
bukan hanya penyelenggara pendidikan tetapi juga penyelenggara dakwah yang
mengajak pada perubahan masyarakat, antara lain dengan penyebaran keterampilan,
pengembangan manajemen usaha kecil, eksperimentasi dalam pertanian, industri
kecil, dan sebagainya.
Efektifitas pesantren untuk menjadi agen of change
sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya pesantren juga
menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat, community learning
centre. Seperti dicontohkan oleh Gus Dur tentang Pondok Pesantren Denanyar
Jombang. Seminggu sekali kaum ibu dari daerah sekitar pondok, dan desa-desa
lain datang ke masjid pesantren untuk mengikuti pengajian yang diberikan
oleh kiai yang diundang pesantren. Kegiatan ini sudah berlangsung selama
lebih dari 50 tahun dan tidak pernah surut.
Hasil dari kegiatan tersebut bukan orang-orang yang berijazah,
yang mengikuti pendidikan formal, tetapi sikap hidup bersama. Ajaran-ajaran
yang dituturkan oleh kiai telah membentuk pandangan, nilai-nilai, dan sikap
hidup masyarakat. Padahal, pembangunan oleh pemerintah sering tidak mampu
menjangkau sisi ini. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid pernah berkomentar,
"Selama pesantren masih berfungsi demikian maka dia akan tetap demikian,
dan akan menjadi oase bagi masyarakat."
Pesantren melakukan pmasalah sosial masyarakat sekitarnya
tidak dengan strategi dan teori pembangunan yang digunakan pemerintah.
Gerak pesantren dilandaskan pada amal saleh, sebagai refleksi dari penghayatan
dan pemahaman keberagamaan sang kiai, pemimpin pesantren.
Ini yang membuat setiap pesantren mempunyai keistimewaan
sendiri-sendiri dalam melakukan kiprahnya, yang dipengaruhi oleh figur
kiai, serta lingkungan sosial pada suatu ruang dan waktu tertentu. Namun,
ada satu hal yang sama yang melandasi gerak tersebut, yaitu berangkat dari
sikap dan keyakinan agama, serta orientasi pada masyarakat.
Oleh karena itu, melakukan pengamatan terhadap dunia pesantren
dengan memakai pendekatan formatif, dan teori ilmu-ilmu sosial Barat akan
menyesatkan. Pendekatan tersebut tidak akan dapat menjangkau realitas yang
sesungguhnya dari dunia pesantren.
Pemberian identitas pesantren hanya sebagai lembaga pendidikan
menjadi semakin tidak memadai dengan kemenangan NU dalam Pemilu 1955. NU
yang didukung oleh sebagian besar kiai dan ulama tampil dalam jajaran empat
partai politik terbesar di Indonesia masa itu. Kenyataan ini menyadarkan
banyak pihak bahwa kiai dan ulama mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan
politik. Kekuatan ini yang membuat kiai beserta peserta pesantrennya selalu
menjadi sasaran "tarik menarik" antara kekuatan sosial politik hingga kini.
Sebagai kelompok elit pedesaaan—baik dari struktur sosial
ekonomi, maupun politik—kiai memiliki pengaruh dan kharisma yang kuat,
yang menempatkan mereka menjadi kekuatan politik tersendiri dalam sejarah
politik Indonesia.
Dari struktur ekonomi, kehidupan kiai sangat berkecukupan.
Oleh karena itu, mereka tidak disibukkan dengan persoalan nafkah. Perhatiannya
tercurah pada fungsinya sebagai pemimpin, da'i, dan pengajar. Untuk itu,
para kiai merasa perlu memahami kehidupan politik yang sedang berkembang,
dengan "kearifannya”, mereka mengambil sikap. Tanpa dipaksakan sikap tersebut
akan diikuti oleh jama'ahnya, dan ini yang membuat kiai mempunyai posisi
kuat baik di tingkat lokal maupun nasional—dalam pengambilan keputusan
politik.
Fenomena tersebut tampak dari keputusan para kiai pada
waktu perang kemerdekaan, masa-masa menjelang orde baru, dan sebagainya.
Pondok Pesantren Luhur Dondong Semarang misalnya, pada waktu perang kemerdekaan
atas keputusan kiainya dijadikan markas BKR/TKR (Badan Keamanan Rakyat/Tentara
Keamanan Rakyat) yang selalu dikenal sebagai Markas Medan Barat. Di bawah
pimpinan Letkol Iskandar Idris, para kiai dan santri Luhur Dondong bergabung
dengan BKR/TKR melawan penjajah. Dan sampai tahun 1949 pondok ini digunakan
sebagai Markas gerilya TNI.
Hal yang sama dilakukan oleh Pesantren Suryalaya Tasikmalaya.
Abah Sepuh atau KH. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad—pendiri pondok—membina
orang-orang yang kemudian menjadi pimpinan ABRI antara lain Solichin GP,
dan Umar Wirahadikusumah, dengan menyediakan pesantrennya sebagai markas
TKR. Latar belakang ini yang membuat pesantren Suryalaya memiliki kedekatan
dengan ABRI hingga kini. Dan banyak lagi pesantren yang mengambil keputusan
sama, yang didasarkan pada pemahaman terhadap keadaan yang berkembang.
Contoh lain, KH Hasyim Asy'ari dengan fatwanya yang menyatakan
bahwa "wajib 'ain" (kewajiban yang harus dilaksanakan setiap individu)
bagi umat Islam Indonesia untuk mengangkat senjata melawan Belanda, telah
membangkitLan semangat umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dan
menentang kehadiran sekutu.
Rumusan piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945—yang menjadi
draf awal sebelum sampai pada rumusan Pancasila— tidak lepas dari peran
KH Wahid Hasyim yang pada saat itu termasuk dalam anggota Badan Penyelidik
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPPKI).
Keputusan politik Abah Anom atau KH Ahmad Shohibul Wafa
Tajul Arifin—pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, putra dari
Abah Sepuh—untuk mendukung Sekber Golkar sejak awal berdirinya tahun 1963
misalnya, bukan sebuah keputusan yang lahir tanpa pemahaman mendalam tentang
dinamika kehidupan politik yang ada. Kelanjutan
dari keputusan itu adalah terjalinnya "kedekatan" pribadi antara Abah Anom
dengan Presiden Soeharto sampai saat ini.
Di sisi lain, KH Ahmad Siddiq—mantan Rais Aam PBNU— pada pembukaan Muktamar
NU di Krapyak Yogyakarta (1989) dengan tegas menyatakan keputusan NU menerima
Pancasila sebagai asas berbangsa dan bernegara sudah final, dengan menjabarkan
berbagai landasan yang melatarbelakangi keputusan itu, memberi inspirasi
berkembangnya hubungan yang "harmonis" antara pemerintah dan Islam. Kecurigaan
terhadap Islam (sebagai kelompok masyarakat) pun sedikit demi sedikit mulai
menipis. Masih banyak lagi peristiwa lain yang menjadi gambaran peran dan
pemahaman kiai terhadap kehidupan politik yang sedang berkembang.
Dari sana terlihat bahwa pesantren beserta kiainya tidak hanya bergerak
di wilayah pendidikan—meski itu fungsi pertama dan utama dasar pemikirannya.
Kenyataannya menunjukkan bahwa pesantren juga memiliki misi dakwah kepada
masyarakat luas. Dan kiai atau ulama yang notabene masuk golongan cendekiawan
mau tidak mau terlihat dalam perubahan sosial, dan pergerakan nasional.
Mereka dengan segala kapasitas dirinya telah menempati posisi tertentu
dalam struktur sosial masyarakat.
Keunggulan-keunggulan itu adalah kekayaan bagi bangsa ini, jika dapat
memperlakukannya dengan baik dan sewajar-wajarnya dalam skenario besar
kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun akan berubah jadi “bencana" jika
hanya jadi alat kepentingan politik sesaat yang tidak jelas ujung pangkalnya.
Ahli Agama Bukan Pilihan Satu-satunya
Ahli agama alumni pesantren senantiasa diasosiasikan dengan predikat
tersebut. Memang tidak salah karena pada awal perjalanannya, pesantren
memang identik dengan ladang penyemaian calon kiai atau ahli-ahli agama
Islam.
Namun, dalam perkembangannya, pesantren bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu
agama, tetapi juga membuka pintu bagi pengajaran bidang ilmu lainnya. Di
sisi lai pendidikan agama juga tidak lagi menjadi monopoli pesantren. Sekolah-sekolah
negeri dan swasta pun melakukannya secara proporsional.
Dari segi historis, sistem pendidikan pesantren sebenarnya bukan monopoli
dunia pendidikan Islam Indonesia. Lembaga serupa pesantren sudah ada pada
masa Nusantara berada di bawah kekuasaan Hindu-Budha. Islam meneruskan
dan mengislamkannya. Oleh karena itu, sebagai sebuah lembaga pendidikan,
pesantren tidak hanya punya makna keislaman tapi juga keaslian Indonesia.
Keistimewaan ini dilihat oleh Ki Hajar Dewantara. Tokoh pendidikan ini
pernah mencita-citakan model pesantren sebagai model sistem pendidikan
Indonesia. Dorongan itu yang kemudian oleh Ki Sarino Mangunpranoto—murid
Ki Hajar Dewantara—diekspresikan dengan mendirikan Sekolah Farming di Ungaran.
Menurut Dr. Nurcholish Madjid, seandainya Indonesia tidak mengalami
penjajahan, maka pertumbuhan sistem pendidikan Indonesia akan mengikuti
jalur pesantren. Pendapat ini dilontarkan mengacu pada sejarah pendidikan
di Barat. Hampir semua universitas terkenal di sana cikal bakalnya adalah
perguruan-perguruan keagamaan.
Namun, kenyataan berbicara lain. Pesantren karena faktor historisnya,
menentang kolonialisme dan mengambil jalan uzlah (mengasingkan diri)
posisinya menjadi jauh terperosok ke daerah pedesaan. Dan lambat laun terjadi
kesenjangan antara dunia pesantren dan dunia nyata abad ke-20 yang dikuasai
dan diatur oleh pola budaya Barat, yang memang tidak dikuasai oleh pesantren.
Akibatnya, pesantren tidak memiliki kemampuan untuk menguasai dan mengatur
kehidupan yang relevan.
Untung saja Indonesia pernah memiliki Menteri Agama KH A. Wahid Hasyim,
yang dengan kebijakannya mencoba menjembatani antara dunia pesantren dengan
di luar pesantren. Tokoh NU ini melakukan pembaruan pendidikan agama Islam
di Indonesia lewat Peraturan Menteri Agama No 3/1950. Dia menginstruksikan
pemberian pelajaran umum di madrasah, dan memberi pelajaran agama di sekolah
negeri dan swasta.
Dengan kebijakannya itu, dunia pesantren dapat tetap relevan dengan
perkembangan kebutuhan pendidikan masyrakat, dan dunia luar dapat mengadopsi
"keunggulan" yang ada pada pesantren. Wahid Hasyim telah menjadi penghubung
antara peradaban pesantren dengan peradaban Indonemodern.
Lambat laun pesantren pun "memodernisasi" dirinya. Pesantren tidak hanya
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga mengadopsi sistem pendidikan
nasional. Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, adalah pesantren pertama
yang mendirikan SMP dan SMA. Langkah ini diikuti oleh yang lain, sehingga
tidak asing lagi pesantren punya TK, SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi,
disamping Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Mualimin/Mualimat.
Pesantren Hidayatullah Balikpapan misalnya, jenjang pendidikan yang dimilikinya
dari TK hingga perguruan tinggi (Universitas Hidayatullah), selain Kuliah
Mubalighin/Mubalighah, dengan jumlah santri seluruhnya 1.834 orang.
Sementara Pondok Pesantren Pabelan menyelenggarakan pendidikan antara
SMP (Tsanawiyah) dan setara SMA (Aliyah), dan memberikan pendidikan keterampilan
mulai dari komputer, fotografi, pertanian, pertukangan, elektronika, hingga
administrasi manajemen dan bahasa Inggris. Hal yang sama juga dilakukan
oleh Pesantren Luhur Dondong Semarang.
Dengan semakin luasnya spektrum ilmu yang diberikan kepada santri, maka
pilihan terhadap masa depan pun menjadi penuh variasi. Alumni pesantren
tidak lagi hanya menjadi ahli agama, tetapi terbuka peluang untuk memasuki
profesi-profesi lain, seperti peneliti, penulis, wartawan, pengusaha, dokter,
bahkan menjadi ABRI.
Namun, Abdurrahman Wahid mengingatkan, sebagai lembaga pendidikan yang
khas Islam, pesantren tetap harus memberikan dasar-dasar pengembangan karakter,
kepribadian, penciptaan sikap hidup, dan penataan basis kehidupan yang
tercermin dalam akhlak, cara memimpin, cara-cara pergaulan, dan dalam pengambilan
keputusan.
Pemberian dasar kehidupan ini diberikan oleh setiap pesantren pada jenjang
pendidikan dasarnya. Tetapi pada jenjang pendidikan berikutnya, ketika
santri telah sampai pada tingkat pengetahuan tertentu, pengajaran agama
baru dikhususkan. Sehingga santri yang tidak ingin jadi ahli agama bisa
masuk SMP, SMP, dan sebagainya. Hanya santri-santri yang memang berminat
menjadi ahli agama yang melakukan pendalaman lebih jauh terhadap ilmu-ilmu
agama. Ini membuat pesantren kaya diversifikasi orang dan kelembagaan.
Contoh diversifikasi ini tampak misalnya pada Pesantren Bahrul Ulum
Tambak Beras Jombang. Di sana Madrasah Tsanawiyah dan Aliyahnya telah memakai
kurikulum negeri dengan konsekuensi muatan agamanya dikurangi, dan lebih
mempersiapkan orang-orang terdidik di berbagai bidang. Aliyah pendidikan
agama dimasukkan dalam Aliyah PK (Pendidikan Khusus). Tetapi, di Pondok
itu diselenggarakan Mualimin, yang memang mencetak kiai.
Mengenai perlunya diversifikasi ini, Abdurrahman Wahid pernah berkata,
"Apa pun yang terjadi fungsi penciptaan sikap dasar dalam
kehidupan harus tetap ada. Selain juga menyiapkan tenaga terdidik dalam
arti memiliki keahlian." Harus ada kesadaran pada para pengasuh
pesantren bahwa tidak semua santri bisa diarahkan menjadi
ahli agama. Selain karena tidak semua manusia bisa menjalaninya, juga kebutuhan
akan ahli agama tersebut.
Selain terjadi pengembangan orientasi, pesantren pun mengalami
perubahan sistem pengajaran. Pendidikan Islam tradisional akrab dengan
sistem sorogan (individual) dan bandongan atau juga lebih
sering disebut sistem weton, yang dilakukan dalam kelompok-kelompok
kecil.
Sorogan, dalam kajian Zamaksyari Dhofier (Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai - LP3ES), adalah bagian
paling sulit dalam sistem pendidikan Islam tradisional. Sistem ini menuntut
kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi murid. Karena, murid
diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan persis seperti yang dibacakan
oleh ustadz. Dari terjemahan itu santri mengetahui fungsi dan arti
kata dalam suatu kalimat bahasa Arab. Dengan sistem ini jumlah murid yang
"dipegang" oleh seorang ustadz tidak lebih dari 3-4 orang dalam
suatu waktu. Dari sorogan baru santri dapat masuk ke bandongan.
Secara kualitatif mungkin kedua sistem tersebut punya
kelebihan, karena santri dapat dibimbing secara personal dan intensif oleh
ustadz. Namun, jika jumlah murid sedemikian banyak, sistem tersebut
sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu, hampir semua pesantren memakai
sistem klasikal dalam pengajarannya. Pondok Pesantren Pabelan misalnya,
menggunakan model klasikal, hanya pada kasus-kasus tertentu memakai sorogan
dan bandongan. Begitu pula dengan Luhur Dondong dan Hidayatullah.
Perubahan-perubahan, serta berbagai adaptasi yang dilakukan
tidak terlepas dari peran kiai (pemimpin pondok). Sebagai seorang arsitek
kemasyarakatan, para kiai harus memperhatikan "selera" masyarakat. Kiat
inilah yang membuat kiai mampu bertahan mengembangkan lembaga-lembaga pesantren
dari waktu ke waktu, disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.
Dari Kiai ke Yayasan
Kelangsungan hidup dan perkembangan pesantren sangat tergantung
pada kemampuan pribadi sang kiai. Kebesaran kiai akan mengimbas pada pesantrennya.
Oleh karena itu, mempersiapkan kiai pengganti yang memiliki kebesaran dan
kemampuan setara dengan pendalulunya menjadi sebuah "proyek" suksesi yang
dirancang dengan matang oleh setiap pesantren.
Kegagalan menyiapkan pengganti akan menjadi "bencana"
buat pesantren tersebut. Seorang kiai selalu memikirkan kelangsungan hidup
pesantrennya setelah dia meninggal, dan bagaimana agar tradisi yang dibangunnya
tidak punah hanya karena dia telah tiada. Untuk menjaga tradisi pesantren
itu, biasanya kiai menggalang solidaritas dan kerja sama di antara mereka.
Ini dilakukan dengan membangun tradisi bahwa calon kuat
pengganti seorang kiai adalah keluarga terdekat, biasanya adalah putra
tertua. Ini misalnya tampak pada pewarisan kepemimpinan di Pondok Pesantren
Pabelan Yogyakarta. Pengganti KH Hamam Dja'far adalah putranya Nadjib Dja'far,
meski di pesantren itu ada yang lebih senior dari Nadjib, yaitu H Ahmad
Mustofa dan Muhammad Balya adik KH Hamam Dja'far, atau paman dari Nadjib.
Cara lain yang juga lazim ditempuh adalah mengembangkan
jaringan tradisi pesantren lewat perkawinan antara keluarga kiai. Hadratus
Syekh KH Hasyim Asy'ari pendiri NU mengawinkan putranya KH Wahid Hasyim
dengan Solechah—nama gadisnya Munawarah—putri KH Bisri Syamsuri pendiri
Pesantren Denanyar, Jombang. Dari perkawinan ini lahir Abdurrahman Wahid.
Selain itu, untuk mencari pengganti yang dapat menjaga
tradisi yang dibangunnya, sang kiai biasanya juga mengawinkan putrinya
dengan muridnya yang terpandai. KH Fatah Hasyim mengawinkan putrinya dengan
seorang muridnya yang pandai, Kiai Muhammad Sahal Mahfudh—yang kemudian
menggantikan ayahnya KH Mahfudh menjadi pemimpin Pesantren Maslakul Huda
Kajen, Pati.
Atau dengan menjalin ikatan ke"alumni"an—Zamaksyari Dhofier
menyebutnya rantai transmisi intelektual antara sesama kiai dan keluarganya.
KH Cholil Bisri, pemimpin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang,
dikirim ayahnya mengaji di Lirboyo Kediri dan Krapyak Yogyakarta. Tradisi
ini diikutinya dengan mengirimkan putranya, Yahya Bisri, mengaji di Krapyak.
KH Sahal Machfudz adalah alumni Pondok Pesantren Maslakul Huda Rembang,
sebelum dia memimpin pesantrennya sendiri.
Dengan cara-cara tersebut para kiai saling terjalin dalam
ikatan kekerabatan yang kuat. Semakin terkenal seorang kiai semakin luas
jaringan kekerabatannya dengan kiai-kiai lain. Sehingga tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa kepemimpinan pesantren—khususaya di Jawa—terbatas
hanya ada di kelompok-kelompok kerabat tertentu, yaitu kiai.
Namun, lambat laun tumpuan hidup pesantren pada kiai ini
mulai bergeser. Kesadaran baru memasuki dunia pesantren, bahwa tidak selamanya
putra tertua, atau kerabat dekat kiai dapat membawa tongkat estafet kepemimpinan
pesantren dengan baik. Contoh untuk itu telah banyak, seperti pondok pesantren
yang didirikan oleh milik Mbah Saren di Solo. Untuk kondisi pesantren ini,
Abdurrahman Wahid pernah berkomentar, "Dulu pondok itu sangat terkenal,
tapi sekarang hanya jadi asramanya tukang jahit. Kalau malam mereka di
pesantren mengaji, wiridan, dan sebagainya paginya menjahit di Pasar Klewer."
Namun, ada juga pewaris yang dengan cemerlang mengembangkan pesantren
yang "diwariskan" kepadanya. KH Abdurrahman Chudori misalnya, dia dapat
mengembangkan Pondok Pesantren Tegdengan baik setelah ayahnya wafat.
Mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan itu, banyak pesantren
yang kemudian menata manajemen kelembagaannya. Tidak lagi bertumpu pada
perseorangan, tetapi dikelola dalam bentuk yayasan. Pesantren Mambaul Ma'arif
Denanyar Jombang misalnya, membentuk yayasan untuk mengelola pesantren.
Bentuk pengelolaan lewat yayasan dengan kepemimpinan kolektif
ini juga dilakukan oleh Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Luhur Dondong
Semarang, Suryalaya Tasikmalaya, dan lain-lainnya. Model manajemen lain
yang diambil adalah, figur pimpinan tetap pada keturunan langsung dari
pendiri, namun untuk menjaga kualitas pendidikan di pondok diundang kiai-kiai
dan ulama-ulama dari luar untuk mengajar. Model ini diterapkan di Pondok
Pesantren Tebuireng Jombang. Dalam istilah Gus Dur, cara ini adalah cara
meminjam kualitas. Dan masih banyak cara lain yang ditempuh untuk mengantisipasi
setiap keadaan agar pondok tetap survive.
Dengan mengembangkan berbagai model pengelolaan, kalangan
pesantren berupaya mengembangkan pesantren dalam dimensi-dimensi baru,
untuk menghadapi perubahan zaman yang juga berdimensi majemuk.
***
*Artikel ini diambil dari Laporan Tim Kompas, 14 Oktober
1996 hal. 20 dan 21, yang ditulis oleh SN Wargatjie, M Syaifullah, Thomas
Pudjo Widiyanto, dan Elly Roosita, dalam Peringatan 70 tahun usia Pondok
Modern Gontor Ponorogo. |