Sintesa
Antara
Perguruan Tinggi dan Pesatren*
Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif
Oleh Prof. Drs. A. Malik Fajar, M.Sc.
PERGURUAN tinggi dan pesantren adalah dua tradisi pendidikan yang mempunyai
banyak perbedaan. Perguruan tinggi merupakan gejala di perkotaan, sedangkan
pesantren merupakan gejala di pedesaan; perguruan tinggi identik dengan
kemodernan, pesantren identik dengan ketradisionalan; perguruan tinggi
lebih menekankan pendidikan yang bersifat liberal, pesantren lebih menekankan
sikap konservatif yang bersandar karena berpusat pada figur sang kiai;
dan seterusnya. Persepsi dualisme dikotomik semacam itu mungkin saja kurang
begitu tepat, karena pada kenyataannya banyak juga pesantren yang telah
melakukan perubahan baik secara struktural maupun kultural. Munculnya
banyak pesantren dengan klaim pesantren modern, yang bisa saja terkesan
supervisial bagaimanapun telah menjadi petunjuk penting hahwa pesantren
tidak selamanya memperlihatkan perkembangan yang statis atau status
quo. Maka kalau perguruan tinggi sering diberi citra "wah",
tidak berarti keberadaannya lebih unggul dibandingkan pesantren. Bahkan,
kalau dilihat dari sisi kemandirian, pesantren mempunyai kelebihan. Dan
kalau mau jujur, sebenarnya lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap
munculnya fenomena masyarakat pendidikan berlebih (overeducated society)
yang dapat dilihat pada semakin membludaknya pengangguran intelektual
di kota sekarang ini, adalah perguruan tinggi itu.
Berbicara tentang sisi kelebihan pesantren, saya teringat polemik kebudayaan
yang berlangsung pada tahun 30-an. Salah seorang cendekiawan yang terlibat
dalam polemik tersebut ialah Dr. Soetomo. Yang menarik dari pemikiran Soetomo
adalah anjurannya agar asas-asas sistem pendidikan pesantren digunakan
sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia. Meskipun pemikiran
Soetomo kurang mendapat tanggapan yang berarti, tetapi patut digarisbawahi
bahwa paling tidak pesantren telah dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan
dalam proses pembentukan identitas budaya bangsa Indonesia. Dalam sejarah
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, agaknya tidak dapat
dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local
genius. Di kalangan umat Islam sendiri, pesantren sedemikian
jauh telah dianggap sebagai model institusi pendidikan yang mempunyai keunggulan
baik pada sisi tradisi keilmuannya—yang oleh Martin van Bruinessen dinilai
sebagai salah satu tradisi agung (great tradition),
maupun pada sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat
Islam. Seandainya negeri kita ini tidak mengalami penjajahan, kata Nurcholish
Madjid, tentulah pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti
jalur-jalur yang ditempuh pesantren itu. Sehingga perguruan tinggi tidak
akan berupa Ul, ITB, IPB, UGM, Unair, dan lain-lain, tetapi mungkin akan
bernama Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan sebagainya.
Kemungkinan ini ditarik, masih menurut Nurcholish Madjid, setelah melihat
dan membuat kias secara kasar terhadap pertumbuhan sistem pendidikan di
negara-negara Barat, dimana perguruan-perguruan tinggi terkenal di sana
cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan keagamaan. Mungkin juga, seandainya
kita tidak pernah dijajah, pesantren-pesantren tidak begitu jauh terperosok
ke dalam daerah pedesaaan yang terpencil seperti sekarang, rnelainkan tentunya
akan berada di kota-kota pusat kekuasaan atau ekonomi, sekurang-kurangnya
tidak terlalu jauh dari sana, sebagai halnya sekolah-sekolah keagamaan
di Barat yang kemudian tumbuh menjadi universitas-universitas.
Pendapat Nurcholish Madjid di atas mungkin terkesan klise atau
gagasan yang utopis bagi orang yang sudah terlanjur
terbingkai dalam wacana modernisme. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan
kelebihan yang di milikinya, bukan tidak mungkin pesantren akan dilirik
sebagai alternatif di tengah pengapnya suasana pendidikan formal di Indonesia,
termasuk juga perguruan tinggi sebagai jenjang pendidikan formal yang paling
tinggi. Pada dekade 70-an dan 80-an ketika LSM menjadi mainstream
gerakan pemberdayaan rakyat, pesantren seringkali dilibatkan
sebagai mitra dalam pembangunan masyarakat pedesaaan. Kenapa
pesantren? Sebab, jika dipandang dari perspektif people centered
development—sebuah model pembangunan alternatif
yang pernah diintrodusir oleh David C. Korten—pesantren dinilai lebih dekat
dan mengetahui seluk-beluk masyarakat yang berada di lapisan bawah. Maka
dari ujung pulau Madura sebuah pesantren dikenal dengan nama An-Nuqayah,
yang terdapat di desa Guluk-guluk, Sumenep, tampil dengan rintisan Program
Pengembangan Masyarakat yang membawa perubahan yang luar biasa terhadap
lingkungan sekitarnya. Atas hasilnya itu, An-Nuqayah nendapatkan hadiah
dan penghargaan Kalpataru karena prestasinya dalam menyelamatkan lingkungan.
Namun demikian, tidak berarti pesantren lepas dari kelemahan. Justeru
dalam zaman yang ditandai dengan cepatnya perubahan di semua sektor dewasa
ini pesantren menyimpan banyak persoalan yang menjadikannya agak tertatih-tatih,
kalau tidak malah kehilangan kreativitas dalam merespon perkembangan zaman.
Beberapa pesantren yang ada pada saat ini, masih saja secara kaku (rigid)
mempertahankan pola salafiyah yang dianggapnya masih sophisticated
dalam menghadapi persoalan eksternal. Padahal sebagai suatu institusi
pendidikan, keagamaan, dan sosial, pesantren dituntut melakukan kontekstualisasi
tanpa harus mengorbankan watak aslinya. Kenapa ini bisa terjadi? Pertama,
dari segi kepemimpinan pesantren secara kukuh masih terpola dengan
kepemimpinan yang sentralistik dan hirarkis yang berpusat pada satu orang
kiai. Ikhwal pendirian pesantren memang memiliki sejarah yang unik. Berdirinya
pesantren biasanya atas usaha pribadi kiai. Maka, dalam perkembangan selanjutnya
figur sang kiai sangat menentukan hitam putihnya pesantren. Pola semacam
ini tak pelak lagi melahirkan implikasi manajemen yang otoritarianistik.
Pembaruan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena sangat tergantung
pada sikap sang kiai. Tambahan pula, pola seperti ini akan berdampak kurang
prospektif bagi kesinambungan pesantren bagi masa depan. Banyak pesantren
yang sebelumnya populer, tiba-tiba hilang begitu saja karena sang kiai
meninggal dunia.
Kedua, kelemahan di bidang metodologi. Telah umum diketahui bahwa
pesantren mempunyai tradisi yang kuat di bidang transmisi keilmuan klasik.
Namun, karena kurang adanya improvisasi metodologi, proses transmisi itu
hanya melahirkan penumpukan keilmuan. Menurut Martin van Bruinessen, ilmu
yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah.
Jadi, proses transmisi itu merupakan penerimaan secara taken for granted.
Muhammad Tholhah Hasan, salah seorang intelektual Muslim di kalangan
Nahdlatul Ulama (NU) pernah mengeritik, bahwa tradisi pengajaran yang demikian
memberikan dampak lemahnya kreativitas. Dan kalau yang mendapatkan penekanan
di pesantren itu adalah ilmu fiqh (fiqh orriented), maka penerapan
fiqh menjadi teralienasi dengan realitas sosial keilmuan serta teknologi
kontemporer.
Ketiga, terjadinya disorientasi, yakni pesantren kehilangan kemampuan
mendefinisikan dan memposisikan dirinya di tengah realitas sosial yang
sekarang ini terjadi perubahan yang demikian cepat. Dalam konteks perubahan
ini, pesantren mengalami dilema antara keharusan mempertahankan dirinya
dengan kebutuhan menyerap budaya baru yang datang dari luar pesantren.
Kalau oleh M.M. Billah, pesantren diberi ciri kontekstual, yaitu ciri-ciri
lingkungan sekitar (sosial dan fisik) di mana pesantren berada, yang tersadap
oleh dan memberi warna pada ciri-ciri pesantren, maka ciri kontekstual
tersebut terjadi pemekaran sejalan dengan terjadinya urbanisasi dan industrialisasi,
yang juga sudah mulai merambah ke desa. Pesantren dituntut untuk melakukan
reorientasi terhadap peran pendidikan, keagamaan, dan sosialnya. Kalau
"tempo doeloe", ketika struktur komunal desa masih bertahan, hubungan pesantren
dengan masyarakat tampak begitu interaktif. Bahkan, pesantren dapat memerankan
dirinya sebagai cultural broker—meminjam istilah Clifford Geertz.
Bagaimana dengan sekarang ini? Agaknya sudah menjadi fenomena umum, bahwa
sebagian besar pesantren hanya kebagian peran melakukan konservasi atau
cagar budaya.
Nah, kalau belakangan kita menyaksikan terjadinya sintesa atau
konvergensi antara pesantren dengan perguru tinggi, hal itu dapat
dipandang sebagai perkembangan yang konstruktif. Seperti kita ketahui,
banyak pesantren yang mendirikan perguruan tinggi, dan sebaliknya. Atau
di beberapa kota mulai didirikan pesantren yang bernuansakan dunia
perguruan tinggi, meskipun di dalamnya tidak ada pendidikan yang secara
formal disebut perguruan tinggi. Di Surakarta misalnya, terdapat pondok
pesantren Hj. Nurriyah Sobron yang didirikan oleh Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS). Contoh lainnya seperti Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton,
Probolinggo, yang sudah didirikan sebuah institut. Di Malang terdapat Pondok
Pesantren Al-Hikam yang santrinya dari kalangan mahasiswa. Masih di Malang,
Universitas Islam Malang (Unisma) kabarnya sedang merencanakan pesantren
mahasiswa. Yang menarik lagi adalah ide dari CIDES tentang pendirian Pondok
Pesantren Politeknik. Perkembangan lain yang juga menarik untuk dicermati
adalah pertumbuhan pesantren kilat yang sekarang sudah trend di beberapa
kota di Indonesia, seperti Surabaya dan Jakarta.
Fenomena apa ini sebenarnya? Kenapa dua pendidikan yang
tidak saja mencerminkan perbedaan secara institusional, tapi juga filosofis
dan kultural, tiba-tiba saling mendekat dan menariknya terjadi konvergensi?
Barangkali inilah yang disebut zaman pascamodern atau postmodern. Dengan
meninggalkan penjelasan di sekitar epistemologi postmodern, dalam
era ini kita menyaksikan suatu bentuk realitas dunia yang mulai memperlihatkan
suatu unitas, tetapi sekaligus di dalamnya ada pluralitas. Misalnya saja
kecenderungan besar (megatrend) terjadinya globalisasi yang menjadikan
dunia lain menjadi transparan. Tetapi dalam globalisasi ini pula, kita
dihadapkan pada persoalan pluralitas, yang menyiratkan bahwa dunia tidak
hanya dapat dibagi secara dualisme-dikotomik. Dalam kehidupan kultural,
kita menyaksikan saling mendekatnya wacana tradisional dengan wacana modern.
Dalam kehidupan agama, dimensi spiritualitas dan mistisisme mulai mendapat
perhatian. Dunia pendidikan tampaknya tidak dapat melepaskan diri dari
arus besar ini. Maka pola pendidikan lama, yaitu pendidikan yang bercorak
tradisional di satu pihak, dan pendidikan yang bercorak modern di pihak
lain, kini mulai dikritik banyak orang, karena hanya menghadirkan pribadi
yang pincang (split personality).
Perguruan tinggi yang mempunyai keunggulan dari sisi rasionalitas
dan ditambah dengan pengayaan di bidang skil, tetapi minus pengayaan moral,
dalam kenyataannya hanya rnenghasilkan manusia yang cerdas tetapi kurang
mempunyai kepekaan etik dan moral. Sebaliknya, pesantren mempunyai keunggulan
dari segi moralitas tetapi minus tadisi moral, meskipun mampu melahirkan
pribadi yang tangguh secara rnoral, tetapi lemah secara intelektual. Dengan
memperhatikan implikasi yang sifatnya demikian mendasar, sebagaimana telah
digambarkan jika pendidikan dibiarkan bertahan dalam pola dualisme-dikotomik,
maka sudah waktunya dicari usaha ke arah terciptanya suatu sintesa konvergensi
atau sinergisitas sehingga dapat dicapai suatu kesatuan antara moralitasrasionalitas,
ruhaniah-jasmaniah.
Persoalannya kini, sintesa yang bagaimana yang kita inginkan?
Tentu saja kita tidak hanya menginginkan dalam bentuknya yang bersifat
fisik semata, karena sintesa semacam ini tidak akan mendapatkan hasil yang
ideal. Menurut hemat saya, yang terpenting sintesa tersebut harus betul-betul
rnampu menggambarkan integrasi keilmuan. Karena itu, sintesa tersebut pertama-tama
hendaknya mampu melakukan dekonstruksi terhadap realitas keilmuan yang
bersifat dualisme-dikotomik. Persoalan ini bukanlah persoalan yang sederhana,
karena menuntut kita untuk membongkar akar-akar teologis-filosofis terjadinya
dualisme-dikotomik tersebut. Masalahnya bukan saja sekadar mencari pembenaran
Qur'ani yang terkesan artifisial terhadap berbagai produk keilmuan yang
berkembang sekarang ini, yang tidak berakar pada tradisi keilmuan dalam
pesantren. Dalam pandangan saya, sudah waktunya kita merekonstruksi wacana
kelimuan yang selama ini terpilah-pilah secara rigid antara "ilmu-ilmu
agama" di satu pihak, dan "ilmu-ilmu umum" di pihak lain. Kalau wacana
seperti ini yang dipakai, jangan-jangan apa yang kita sebut dengan perguruan
tinggi pesantren atau pesantren perguruan tinggi, bila siang diberi
"ilmu-ilmu umum" sedangkan malam diberi kitab kuning.
Jika kita coba menguak kembali konsep ilmu dalam alQur'ân, maka
akan segera tampak jelas cacat teologis dan filosofis pembidangan keilmuan
yang bersifat dualisme-dikotomik itu. Dalam sebagian besar ayat-ayat al-Qur'ân,
seperti yang diungkapkan oleh Mahdi Ghulsyani, konsep ilmu secara mutlak
muncul dalam maknanya yang masih umum (generik). Lihat misalnya, Q.s. 39:9;
Q.s. 2:31; Q.s. 12:76; dan Q.s. 16:70. Tambahan pula, klasifikasi ilmu
ke dalam ilmu agama dan non-agama (umum), menurut Murtadla Mutahhari, akan
menyebabkan kesalahan memandang (miskonsepsi) bahwa ilmu "non-agama" terpisah
dari Islam, dan tampak tidak sesuai dengan watak universalitas agama Islam
yang menyatakan dapat merahmati kehidupan semesta ini.
Jika demikian masalahnya, maka sintesa antara perguruan tinggi dengan
pesantren menghadapi persoalan yang serius, karena kedua institusi tersebut
sudah terlanjur dikembangkan dalam wacana keilmuan yang dualisme-dikotomik.
Tetapi, persoalan tersebut dapat segera dituntaskan jika saja ada keberanian
moral dan intelektual dari semua pihak yang berkepentingan dengan gagasan
sintesa antara perguruan tinggi dan pesantren. Di samping persoalan keilmuan
di atas, persoalan lainnya yang perlu dipikirkan adalah masalah manajemen
dan kepemimpinan, pembentukan tradisi baru serta keterkaitan institusi
dengan perkembangan masyarakat, sehingga sintesa yang diinginkan betul-betul
menyeluruh, bukan hanya bersifat artifisial.
***
Daftar Pustaka
-
Alfian (ed.), Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan (Jakarta:
Gramedia, 1987).
-
David C. Korten, Getting to Twenty First Century: Voluntary
Action and Global Agenda (Inc., USA: Kumarian Press, 1990).
-
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubaban Sosial (Jakarta:
P3M, 1987).
-
Nurcholish Madjid, "Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren", dalam
M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun
dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985).
-
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren
dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan,
1995).
-
Mahdi Ghulsyani, The Holy Quran and The Science of Nature
(Teheran Islamic Propagation Organitation, 1986).
-
Billah, "Pikiran Awal Pengembangan Pesantren", dalam M. Dawam Rahardjo
(ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah
(Jakarta: P3M, 1985).
***
*Makalah ini diambil dari Diskusi Panel "Pola Keterkaitan
Pesantren, Perguruan Tinggi dan LSM dalam Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi
Masyarakat", yang diselenggarakan oleh Lembaga Kemahasiswaan dan Yayasan
Pembina Masjid Salman ITB, (Bandung tanpa tanggal dan tahun). |