[ Dr. Nur Cholish Madjid / Bilik-Bilik Pesantren ]

 
Permasalahan Umum Yang Dihadapi Pesantren 

LEPAS dari persoalan analisa sejarah apakah pesantren merupakan kelanjutan dari sistem gilda para pengamal tasawuf di Indonesia dan Timur Tengah pada masa lalu, atau merupakan wujud dari sistem pendidikan Hindu-Budha yang telah terislamkan, yang jelas kini banyak orang yang mulai mengakui bahwa pesantren, termasuk juga madrasah, sudah merupakan suatu kenyataan hidup yang melekat di bumi Indonesia. Bahkan peranan dan kedudukan pesantren di masyarakat kita ini ternyata lebih besar, lebih kuat, dan lebih penting dari perkiraan "resmi" sebelumnya.

Kesadaran yang mulai tumbuh mengenai pesantren itu sering disertai dengan sikap apresiatif secukupnya. Misalnya dengan memberi penilaian bahwa sistem pesantren adalah merupakan sesuatu yang bersifat "asli" atau "indegenous" Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan. Penilaian itu menempatkan dunia pesantren pada deretan daftar perbendaharaan nasional, dan menumbukkan pengakuan akan peranannya dalam pertumbuhan dan perkembangan pendidikan nasional.

Namun tidak tertutup kemungkinan adanya penilaian resmi yang pincang (sekurang-kurangnya sebagai sisa masa lalu). Misalnya dalam pembicaraan atau penulisan resmi, hampir tidak terdapat penyebutan pesantren sebagai unsur pokok dalam sistem pendidikan nasional. Bahkan peranan dan sumbangan pesantren pada sistem pendidikan nasional dinilai belum mampu menandingi organisasi-organisasi pendidikan lainnya.

Hal itu tampaknya karena pesantren dilihat sebagai berada di luar "jalur resmi" atau "standar" dalam hal pendidikan, dan dilihat sebagai gejala yang seolah-olah seham saya tidak boleh ada. Sebab yang "resmi" dan "baku" atau "standar" ialah apa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem dan filsafat pendidikan tertentu yang kini dikenal sebagai "sekolah" atau lebih populer "sekolah umum". Namun kembali pada apa yang disebutkan tadi, syukurlah bahwa kecenderungan yang lebih positif sekarang mulai tampak di ufuk dunia pemikiran para sarjana kita, khususnya di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Pesantren sendiri dalam melihat dirinya, seperti dapat diduga, terbagi menjadi bermacam kelompok. Untuk penyederhanaan, di sini kita sebutkan saja bekerapa kelompok yang perlu. Pertama, yang merupakan bagian terbesar, yaitu kelompok pesantren yang tidak menyadari dirinya, apakah bernilai baik atau bernilai kurang baik. Mereka menganggap bahwa apa yang terjadi adalah terjadi begitu saja, tanpa ada persoalan serius yang perlu mereka pikirkan. Kedua, adalah kelompok yang seperti seorang zealot atau fanatikus yang karena kefanatikannya ini membuat penilaian mereka kurang obyektif. Kelompok ini menilai bahwa pesantren dengan segala aspeknya adalah pasti positif dan mutlak harus dipertahankan. Ketiga, adalah kelompok yang kehinggapan perasaan rendah diri. Perasaan ini bisa menumbuhkan sikap pesimis dan kurang percaya diri dalam "mengejar" ketertinggalannya, sehingga mereka menganggap identitas pesantrennya tidak perlu lagi dipertahankan. Tentunya ini akan berakibat rusaknya identitas pesantren secara keseluruhannya. Dan keempat, mungkin kelompok ini yang paling sedikit jumlahnya, yaitu pesantren-pesantren yang sepenuhnya menyadari dirinya sendiri baik segi-segi positif maupun negatifnya, sanggup dengan jernih melihat mana yang harus diteruskan dan mana yang harus ditinggalkan. Kelebihan mereka dalam melakukan introspeksi secara obyektif ini menjadikannya memiliki kemampuan beradaptasi secara positif pada perkembangan zaman dan masyarakat.

Adapun peranan pesantren di masa lampau adalah terlalu banyak untuk diceritakan atau dibahas segi-segi positifnva Maka biarkan hal itu menjadi suatu kesaksian sejarah yang mencatat tanpa salah kebijakan yang telah dibuktikan oleh para ulama kita. Kalau kita telusuri secara historis keberadaan pesantren ini, maka akan kita temukan kenyataan yang tak terbantah bahwa pesantren lahir pada zamannya yang tepat. Pada saat itu pesantren sangat fungsional memberi jawabar terhadap tantangan zaman, misalnya dalam menghadapi penetrasi asing kolonial, baik dalam bidang politik dan terlebih lagi dalam bidang sosial-budaya. Tetapi peranan pesantren masa kini, apalagi masa mendatang, adalah peranan dalam menjawab tantangan yang membuatnya berada di persimpangan jalan. Yaitu persimpangan antara meneruskan peranan yang telah diembannya selama ini atau menempuh jalan menyesuaikan diri samasekali dengan keadaan. Yang dimaksud baru menyesuaikan diri dengan keadaan itu adalah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu-pengetahuan (modern), termasuk di dalamnya bagian yang merupakan ciri utama kehidupan abad ini, yaitu teknologi.

Dalam melihat kemungkinan peranan pesantren di masa depan itu, ada baiknya kita mengingat sejenak "riwayat pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada mulanya semua cabang ilmu pengetahuan adalah berpangkal pada ilmu agama. Lembaga ilmiah di Barat, yaitu universitas-universitas, adalah sebagia besar bersemai dari pokok lembaga keagamaan, katakanlah "pesantren" Kristen. Tetapi karena terkena "hukum besi perkembangan dan diferensiasi, ilmu pengetahuan ini akhirnya bersikap independen atau sedikitnya otonom dari teologi, dan menempuh jalan pertumbuhannya sendiri sehingga tak lagi berada dalam kekuasaan kontrol agama (Kristen). Diibaratkaan sebuah busur, gereja telah rnelepaskan anak panah ilmu pengetahuan, namun sayangnya anak panah itu melesat begitu hebat sehingga tidak lagi dapat diketemukan kembali.

Maka mungkin saja dalam hubungannya dengan tugas pengembangan ilmu pengetahuan ini nasib pesantren Islam di Indonesia ini akan sama dengan nasib gereja dan seminari Kristen di Eropa itu. Atau apakah memang terdapat perbedaan prinsipil dalam hal pandangan dunia Islam dan Kristen sehingga lembaga keislaman tidak akan tertimpa nasib malang sebagaimana lembaga-lembaga kekristenan? Ini adalah pertanyaan yang jawabnya pastilah tidak sederhana, khususnya jika memang dikehendaki penilaian yang murni, apa adanya, dan tidak bersifat dongengan belaka.

Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi masih sedang dengan kuat berada dalam kekuatan dan genggaman tangan orang-orang Barat, tetapi karena efeknya telah begitu keras menguasai kehidupan seluruh umat manusia secara mondial, maka kita di Indonesia ini pun selain kebagian nangkanya juga tak luput dari getahnya, yang berupa ekses-ekses negatif. Hal itu menyeret seluruh umat manusia, termasuk kita bangsa Indonesia, ke dalam persoalan bagaimana menempatkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi itu dalam daerah pengawasan nilai agama atau moral dan etika. Begitu imperatifnya tantangan ini sehingga kegagalan dalam menjawabnya akan berarti membiarkan dunia dan umat manusia secara perlahan atau cepat meluncur ke dalam jurang kehancuran. Ataukah memang begitu tafsiran eskatologi kita sebagaimana termuat dalam al-Qur'ân?

Kita tentu merasa keberatan jika dikatakan bahwa pesantren tidak sepenuhnya mampu mengemban tugas keilmuan. Tetapi saya kira kita lebih keberatan lagi—atau begitulah seharusnya—jika dikatakan bahwa pesantren telah kehilangan keampuhannya dalam menunaikan tugas moralnya. Sebab sebagai sumber nilai, ajaran agama yang ditekuni pesantren adalah terutama berfungsi dalam pengembangan tugas moral. Dan tampaknya memang begitulah yang sekarang ini sedang berjalan. Tetapi misalnya amanat ilmu itu hanya diserahkan ke "sekolah umum", toh bukan berarti akan terlepas dari persoalan zaman. Mungkin persoalan yang kita hadapi bisa kita kategorikan menjadi dua, yaitu:

Primer, yaitu persoalan bagaimana menyuguhkan kembali isi pesan moral yang diembannya itu kepada masyarakat abad ini begitu rupa sehingga tetap relevan dan mempunyai daya tarik. Tanpa relevansi dan daya tarik itu keampuhan atau efektifitasnya tidak dapat diharapkan. Ibarat rokok, isinya boleh dan mungkin malah harus tetap kretek, sebab ternyata lebih sehat dari jenis “cigarette”dan mampu mengisi selera dunia. Tetapi toh harus dipikirkan bagaimana membungkusnya dan menanganinya lebih baik, dan tentunya lebih higienis, sehingga akan memiliki hak hidup pada zamsekarang karena memenuhi standar yang dituntutnya.

Sekunder, yaitu persoalan yang sebenarnya sudah disarnpaikan di atas, yaitu bagaimana menguasai sesuatu yang kini berada di tangan orang lain.

Lebih buruk lagi kemungkinannya jika pesantren hanya memilih peranan moral saja, dengan tidak disertai dengan usaha meningkatkan mutu penyuguhan (ini pun bertolak dari sisi bahwa dari segi isi sudah tidak ada persoalan lagi). Maka yang akan terjadi adalah semakin lemahnya hak hidup pesantren di tengah kehidupan abad ini, untuk kemudian tidak diakui samasekali dan lenyap. Tidak mudah mengatakan apakah hal itu akan menguntungkan atau merugikan, atau menunjuk siapa yang untung dan siapa yang rugi, (misalnya dapat dikiaskan dengan kasus lenyapnya kesultanan-kesultanan di Indonesia sekarang), tetapi yang jelas pesantren dengan segala aspeknya akan menjadi tinggal kenangan lama.

Maka dari itu, kemungkinan ideal yang bisa dilakukan pesantren adalah dengan mengambil posisi sebagai pengembang amanat ganda (duo mission) yaitu amanat keagamaan atau moral dan amanat ilmu pengetahuan. Dua amanat ini dilakukan serentak dan proporsional sehingga tercapai keseimbangan yang diharapkan. Tuntutan utama pelaksanaan amanat ganda ini adalah efisiensi yang menyangkut:

  1. Penggunaan waktu, dana, dan daya (juga ruang) dengan sehaik-baiknya. Kalau bisa faktor-faktor itu harus dipergunakan dua kali lebih efektif daripada yang ada sekarang ini.
  2. Mungkin "streamlining" apa yang diperlukan sebagai pengetahuan. Barangkali hal ini tidak perlu mengenai isi atau materi, tetapi metode atau cara penyampaian dalam pengajaran rnisalnya. Juga menyangkut pengintensifan segi-segi yang bersifat pembentukan watak dari penciptaan suasana keagamaan.
  3. Dan mungkin pula pemilihan yang tepat tentang ilmu pengetahuan yang terdekat dalam jangkauan penguasaan. Lebih-lebih desakan keperluan ini relatif mudah dideteksi, yaitu tinggal melihat dan membaca kondisi masyarakat sesuai dengan ruang dan waktunya.
Akhirnya barangkali ada sangkut-pautnya dengan persoalan kita sekarang ini untuk mengingat-ingat dan merenung-renung peringatan dalam al-Qur'ân, bahwa "Adapun buih maka akan lenyap tak berbekas, sedangkan sesuatu yang berguna untuk umat manusia maka akan tetap menghujam di Bumi."

www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt