Kesenjangan
antara
Pesantren dengan Dunia Luar
I. Potensi Pesantren
Kalangan pesantren tentu merasa bersyukur, bahkan berhak untuk bangga,
karena meningkatnya perhatian masyarakat luas pada dunia pendidikan dan
lembaga pesantren. Dari sebuah lembaga yang hampir-hampir tak diakui eksistensi
dan peran positifnya, menjadi sebuah bentuk pelembagaan sistem pendidikan
yang berhak mendapatkan "label" asli Indonesia. Maka orang pun mulai membicarakan
kemungkinan pesantren menjadi pola pendidikan nasional. Kemungkinan ini
diperbesar dengan munculnya anggapan bahwa sistem pendidikan yang kini
secara resmi berlaku adalah warisan pemerintah Belanda, karena itu masih
mengandung ciri-ciri kolonial, yang tentunya tidak bisa kita terapkan sepenuhnya
di negeri kita.
Bahkan lebih dari itu: pesantren diharapkan dapat berperan menciptakan
dukungan sosial bagi pembangunan yang sedang berjalan. Sebuah dukungan
yang dinamis, spontan, dan langgeng. Apalagi jika kita kaitkan dengan keperluan
untuk menemukan suatu pola pembangunan yang bersifat "indigenous", asli
sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia sendiri, maka akses pesantren untuk
memenuhi keperluan tersebut semakin besar. Tidak bisa kita pungkiri bahwa
pesantren adalah sebuah lembaga sistem pendidikan-pengajaran asli Indonesia
yang paling besar dan mengakar kuat.
Tetapi, di sini kita tidak boleh tergesa-gesa menyimpulkan dan terlampau
optimis. Sebab, jika harapan-harapan dan penilaian-penilaian dari luar
tersebut cukup serius, berarti beban tanggung jawab yang diletakkan di
atas pundak para pendukung pesantren akan menjadi semakin berat. Padahal
kalau kita lihat kenyataannya, pesantren-pesantren kita masih memiliki
banyak kekurangan. Tentunya lebih baik kita benahi dulu kekurangan-kekurangan
tersebut dengan berusaha mencarikan penyelesainnya. Bertolak dari adagium
bahwa sebuah introspeksi atau kritik pada diri sendiri adalah tidak bisa
sepenuhnya obyektif, maka kalangan “dalam" pesantren sendiri tentunya tidak
dapat mengindentifikasi semua kekurangan-kekurangan tersebut. Namun tidak
ada salahnya kalangan pesantren memulainya. Sebagaimana diajarkan dalam
sebuah pepatah "Buatlah perhitungan sebelum diperhitungkan."
II. Hambatan-hambatan
Seiring dengan berkembangnya zaman maka persoalanpersoalan yang harus
dihadapi dan dijawab oleh pesantren juga semakin kompleks, dan harus kita
sadari mulai dari sekarang. Persoalan-persoalan yang dihadapi ini tercakup
juga dalam pengertian persoalan yang dibawa kehidupan modern atau kemodernan.
Artinya, pesantren dihadapkan pada tantangan-tantangan yang ditimbulkan
oleh kehidupan modern. Dan kemampuan pesantren menjawab tantangan tersebut
dapat dijadikan toloK ukur seberapa jauh dia dapat mengikuti arus modernisasi
jika dia mampu menjawab tantangan itu, maka akan memperoleh kualifikasi
sebagai lembaga yang modern. Dan sebaliknya, jika kurang mampu memberikan
respon pada kehidupan modern, maka biasanya kualifikasi yang diberikan
adalah hal-hal yang menunjukkan sifat ketinggalan zaman, seperti kolot
dan konservatif.
Suatu kenyataan sederhana tetapi cukup tajam adalah adanya anggapan
bahwa perkataan "modern" itu mempunyai konotasi "Barat". Meskipun tidak
mutlak benar, kita tidak bisa menyalahkan anggapan ini, karena pada dasarnya
masih banyak yang mengakui bahwa nilai-nilai yang dianggap modern itu memang
didominasi nilai-nilai dari Barat. Berpijak pada anggapan tersebut kita
digiring untuk mengakui bahwa peradaban modern yang melanda dunia, termasuk
Indonesia, adalah hasil invasi peradaban Barat. Karena itu ada orang yang
mengatakan bahwa "modernisasi" sesungguhnya penghalusan dari pengertian
"westernisasi".
Tetapi sebetulnya nilai-nilai modern itu sifatnya adalah universal,
berbeda dengan nilai-nilai Barat yang lokal atau regional saja. Maka dari
itu, yang menjadi arus bawah dari peradaban modern adalah sesuatu yang
bersifat universal, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi tantangan
zaman modern pada hakikatnya adalah tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tantangan yang bersifat khusus Barat adalah hanya akibat sampingan, dan
tentunya tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa sekarang ini orang-orang
Barat masih memegang dominasi kepemimpinan dunia.
Semula implikasi dari kemodernan itu jelas positif, yaitu berupa kemajuan-kemajuan
yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi, setelah melihat
dampak yang dibawa oleh kemajuan-kemajuan tersebut makin banyak orang yang
bersikap kritis dengan mengemukakan implikasi negatifnya. Bentuk implikasi
negatif yang sering dilontarkan adalah merosotnya nilai-nilai kehidupan
rohani, tercerabutnya budaya-budaya lokal , dan degradasi moral (terutama)
yang melanda generasi muda kita.
Dalam kasus di Indonesia, perwujudan proses modernisasi itu paling kuat
ditunjukkan dalam pembangunan yang memang sedang giat kita laksanakan.
Pembangunan adalah suatu usaha perubahan sosial. Tujuannya untuk perbaikan
dan peningkatan kehidupan secara keseluruhan, meskipun urgensi awalnya
adalah yang tersirat dalam semboyan "cukup sandang, pangan, dan papan".
Tetapi kaitannya luas sekali, seperti masalah perubahan sikap mental dari
agraris menjadi industri, penciptaan kesempatan kerja seimbang dengan pertumbuhan
tenaga kerja yang ada, masalah demografis, masalah motivasi juga menyangkut
kondisi sosial masyarakat.
Apabila pesantren diharapkan memberikan responsi atas tantangan-tantangan
itu, maka kaitannya ialah dengan dua aspek: yang universal, yaitu ilmu
dan teknologi; dan yang nasional, yaitu pembangunan di Indonesia.
Jika kita dapat memahami pengertian umum tentang kehidupan modern serta
mengetahui bagaimana bentuk-bentuk nyatanya, maka harus diakui bahwa memang
ada semacam ketidakcocokan antara dunia pesantren dan dunia luar yang dinilai
sebagai “’ashry”, "menzaman" atau modern. Demikian pula apabila kita mengetahui
tuntutan-tuntutan dan keharusan-keharusan dalam masa pembangunan, maka
masih harus dipertanyakan apakah pondok pesantren betul-betul mampu untuk
memberikan responsi. Hal ini memerlukan penelaahan dan peninjauan yang
cukup mendalam dan, tentu saja, harus obyektif. Mendorong terjadinya penelaahan
dan peninjauan itu secara bersama-sama adalah menjadi salah satu tujuan
penulisan buku ini.
III. Kondisi Pesantren
Berikut ini akan dikemukakan beberapa ilustrasi tentang keadaan pesantren
yang merupakan segi ketidak-cocokannya dengan dunia modern. Keadaan-keadaan
itu yang menyebabkan lembaga pesantren "lagging behind the time" atau tidak
mampu menjawab tantangan zaman. Sudah tentu ilustrasi ini adalah hasil
generalisasi, artinya merupakan penarikan kesimpulan umum, tanpa memperhatikan
pengecualian-pengecualian yang mungkin ada.
(1) Lingkungan:
Sepintas saja dapat diketahui bahwa lingkungan pesantren merupakan hasil
pertumbuhan tak berencana, sekalipun menggambarkan pola budaya yang diwakilinya.
Marilah kita teliti satu persatu:
-
Pengaturan "tata kota"—istilah ini kita pinjam dari planologi kota—pesantren
memiliki ciri yang khas, yaitu letak masjid, asrama atau pondok, madrasah,
kamar mandi, kakus (wc) umum, perumahan pimpinan, dan lain-lain, umumnya
sporadis.
-
Kamar-kamar asramanya sempit, terlalu pendek (kepala mentok ke plafon),
jendela terlampau kecil, dan pengaturannya pun semrawut. Selain itu minim
peralatan, seperti dipan, meja kursi, dan tempat untuk menyimpan pakaian.
-
Jumlah kamar mandi dan kakus (wc) tidak sebanding dengan banyaknya jumlah
santri yang ada. Atau malah ada pesantren yang tidak menyediakan fasilitas
ini sehingga para santrinya mandi dan buang air di sungai. Kalaupun ada
kondisinya tidak memenuhi syarat sistem sanitasi modern yang sehat.
-
Halamannya tidak teratur dan biasanya gersang sehingga pada musim kemarau
berdebu dan pada musim hujan becek. Kadang-kadang sampah berserakan di
sana-sini.
-
Madrasah atau ruang kelas yang digunakan tidak memenuhi persyaratan metodik-didaktik
atau ilmu pendidikan yang semestinya, seperti ukuran yang terlalu sempit
atau terlalu luas. Antara dua ruang kelas tidak dipisahkan oleh suatu penyekat,
atau pun kalau ada penyekatnya tidak tahan suara sehingga gaduh. Perabotannya
yang berupa bangku, papan tulis, dan lain-lain juga kurang mencukupi badari
segi kualitas maupun kuantitasnya.
-
Tempat ibadat (masjid/mushalla) pada umumnya keadaannya juga mengecewakan:
kebersihan lantainya kurang terjaga—ini ada hubungannya dengan sistem penyediaan
air wudlu/kolam—, arsitektur bangunan dan pembagian ruangannya tidak menunjukkan
efisiensi dan kerapian, kurangnya sistem penerangan, dan lain-lain. Tentu
jauh sekali bila dibandingkan dengan keadaan gereja-gereja atau masjid-masjid
modern di kota.
Sebenarnya masih ada indikator-indikator lain yang bisa menunjukkan bahwa
lingkungan pesantren pada waktu itu memang merupakan lingkungan yang kurang
berencana. Namun dari penggambaran di atas kami kira cukup mewakili kondisi
pesantren yang ada pada saat itu.
(2) Penghuni/Santri:
Menarik memang untuk dapat memahami apa segi-segi yang merupakan "discrepancy"
antara dunia pesantren dan dunia di luar pesantren dilihat dari sudut para
penghuninya. Keseharian para santri penghuni pesantren ini ternyata memberikan
fenomena menarik bila dibandingkan dengan kehidupan di luar pesantren.
Untuk lebih jelasnya berikut ini kami sajikan beberapa kondisi yang menyangkut
mereka mulai dari pakaian, kondisi kesehatan, perilaku, dan penyimpangan-penyimpangan
yang mungkin mereka lakukan:
-
Pakaian: bukannya karena mereka adalah "kaum sarungan' (ejekan Hadi Subeno
almarhum), tetapi cara memakainya yang penting. Umumnya para santri tidak
membedakan antara pakaian untuk belajar, dalam kamar, keluar pondok pesantren,
bahkan untuk tidur pun tidak berbeda.
-
Kesehatan: penyakit yang biasanya diasosiasikan dengan para santri adalah
penyakit kudis (ingat ejekan "santri gudigen" dalam bahasa jawa). Meskipun
sekarang ini sudah jarang kelihatan, tetapi kondisi yang "favourable" untuk
penyakit kulit itu masih banyak terdapat di pesantren.
-
Tingkah laku: sudah menjadi rahasia umum bahwa para santri mengidap penyakit
rasa rendah diri dalam pergaulan ketika harus berasosiasi dengan masyarakat
di luar mereka. Mungkin ini yang menyebabkan adanya tingkah laku yang kurang
konsisten pada para santri. Untuk lingkungan intern mereka sangat "liberal".
Ini ditunjukkan dengan tingkah laku termasuk pembicaraan mereka yang hampir-hampir
seenaknya. Tetapi, ketika mereka berhadapan dengan orang luar sikap ini
tidak tampak. Bisa dikatakan mereka kurang "gallant". Apalagi jika mereka
berhadapan dengan "orang lain" (agama, ras, pandangan politik, faham keagamaan
intern, atau malah sekedar dari pesantren lain).
-
Salah satu hal yang bisa sangat mengejutkan peninjau dari luar adalah adanya
suatu praktek di kalangan para penghuni pondok, meskipun ini jarang terjadi,
yang justru sangat bertentangan dengan ajaran moral agama sendiri. Praktek
itu agaknya merupakan akibat buruk dari sistem asrama yang tidak membenarkan
pergaulan (sekedar pergaulan saja) dengan jenis kelamin lain. Praktek yang
pernah dilakukan oleh kaum Nabi Luth dan yang dalam al-Qur'an mendapatkan
kutukan Tuhan ini justru di pesantren (tidak semua pesantren) hampir dianggap
sebagai "taken for granted".
(3) Kurikulum:
Segi kurikulum adalah segi yang lebih penting daripada yang lainnya.
Dalam segi ini terdapat ketidak-cocokan antara dunia pesantren dengan dunia
luar:
-
Agama: yang masuk dalam pengertian pelajaran agama biasanya apa saja (yang
untuk mudahnya) "tertulis dan mengandung unsur bahasa Arab". Fiqh merupakan
segi yang paling utama. Kemudian menyusul aqaid. Sedangkan tasawuf, salah
satu dari trio ilmu-ilmu Islam, hanya merupakan anjuran yang lemah dan
menjadi hak istimewa orang-orang tertentu saja.
-
Nahwu-Sharaf: adalah aneh bahwa pelajaran gramatika bahasa (Arab) cenderung
untuk dimasukkan ke dalam ilmu agama. Nahwu Sharaf menempati kedudukan
penting sekali, sehingga menuntut waktu dan tenaga yang sangat banyak (ingat:
menghafal sya'ir-sya'ir Awâmîl, Imrithî, dan Alfiyah).
Mungkin nahwu sharaf ini memang penting sebagai “ilmu alat" mempelajari
agama yang tertulis dalarn kitab-kitab berbahasa Arab, tetapi di pesantren-pesantren
keadaannya. sudah tidak proporsional lagi serta kurang relevan.
-
Keagamaan: berbeda dengan perkataan agama di atas yang lebih tertuju pada
segi formil dan ilmunya saja, perkataan keagamaan ini dimaksudkan sesuatu
yang lebih mengenai semangat dan rasa agama (religiusitas). Dalam hal ini
justru banyak pesantren kurang bersungguh-sunggguh, seakan-akan sambil
lalu saja. Pengembangan di bidang ini oleh seorang santri hanya terjadi
secara individual dan sukarela. Mengapa tidak diajarkan cara hidup keagamaan
serta pandanganpandangan-nya melalui kitab tasawuf, atau mengapa pemahaman
al-Qur'ân yang menyeluruh serta hadits-hadits tidak menduduki tempat
yang begitu penting? Padahal justru segi inilah yang akan lebih berfungsi
dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqh atau ilmu kalamnya, apalagi nahwu-sharaf
dan bahasa Arabnya.
-
Pengetahuan umum: barangkali sekarang ini praktis semua pesantren mengajarkan
ilmu-pengetahuan umum. Tetapi tampaknya dilaksanakan secara setengah-tengah,
sekedar memenuhi syarat atau agar tidak dinamakan kolot saja. Sehingga
kemampuan santri pun biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan
masyarakat umum.
-
Sistem pengajaran: sistem yang biasanya dipakai dalam pesantren itu terkenal
tidak efisien. Ini disebabkan caranya yang unik dan memang khas pesantren.
Sistem penjenjangan (graduation) yang tidak sistematis (sering terjadi
pengulangan), pemilihan kitab yang kurang relevan, cara membaca kitab dengan
terjemah harfiah (kata demi kata), dan seterusnya.
-
Intelektualisme dan verbalisme: sebetulnya dalam ilmu-ilmu fiqh, 'aqa'id,
dan nahwu sharaf itu mengandung rasionalisme (dalam fiqih ialah ushul fiqhnya,
dalam aqa'id mujâdalah kalâmiah-nya dan dalam nahwu sharaf
logika-logika i’râb dan tasrîf). Adanya unsur rasionalisme
dalam pelajaran-pelajaran itu secara tidak langsung memberikan pengaruh
kepada para santri. Pengaruh itu berupa tumbuhnya intelektualisme bercampur
dengan verbalisme yang kadang-kadang berlebihan (kegemaran santri ialah
berdebat sesamanya). Verbalisme terutama didorong oleh kuatnya sistem hafalan,
ditambah kurangnya mata-pelajaran yang betul-betul rasionalistik seperti
ilmu hitung, ilmu alam, maupun ilmu pasti lainnya. Karena itu para santri
lebih bersifat reproduktif (mengeluarkan kembali apa yang ada dalam otaknya
yang disimpan melalui hafalan) dan kurang kreatif (menciptakan buah pikiran
baru yang merupakan hasil pengolahan sendiri dari bahan-bahan yang tersedia).
Mungkin inilah yang menyebabkan timbulnya dogmatisme dan prinsipalisme
yang eksesif ketika mereka terjun dalam masyarakat luas.
(4) Kepemimpinan:
Secara apologetik sering dibanggakan bahwa kepemimpinan atau pola pimpinan
dalam pesantren adalah demokratis, ikhlas, sukarela, dan seterusnya. Mungkin
jika dibandingkan dengan pola pimpinan di sekolah-sekolah kolonial Hindia
Belanda anggapan ini memang benar. Tetapi bila diukur dengan perkembangan
zaman keadaannya menjadi lain, klise-klise itu perlu dipertanyakan lagi
kebenarannya. Banyak kriteria yang dijadikan tolok-ukur bagi seorang pimpinan
pesantren:
-
Karisma: kenyataan bahwa pola kepemimpinan seorang kiai adalah pola kepemimpinan
karismatik sudah cukup menunjukkan segi tidak demokratisnya, sebab tidak
rasional. Apalagi jika disertai dengan tindakan-tindakan yang secara sadar
maupun tidak bertujuan memelihara karisma itu, seperti prinsip "keep distance"
atau "keep aloof' (jaga jarak dan ketinggian) dari para santri, maka pola
kepemimpinan itu benar-benar akan kehilangan kualitas demokrasinya.
-
Personal: karena kepemimpinan kiai adalah karismatik maka dengan sendirinya
juga bersifat pribadi atau "personal". Kenyataan itu mengandung implikasi
bahwa seorang kiai tak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukkan
ke bawah "rule of the game"-nya administrasi dan managemen modern.
-
Religio-feodalisme: seorang kiai selain menjadi pimpinan agama sekaligus
merupakan "traditional mobility'" dalam masyarakat feodal. Dan feodalisme
yang berbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan jauh lebih berbahaya
daripada feodalisme biasa. Kiai lebih mampu mengerakkan massa daripada
pemimpin feodal biasa, apalagi banyak kiai yang sekaligus juga membanggakan
dirinya sebagai bangsawan. Seorang kiai mem"inertia" terhadap gejala-geja]a
perubahan sosial. Ini disebabkan oleh kecenderungan bawah sadar untuk tetap
mempertahankan kedudukannya yang menguntungkan itu.
-
Kecakapan teknis: karena dasar kepemimpinan dalam pesantren adalah seperti
diterangkan di atas, maka dengan sendirinya faktor kecakapan teknis menjadi
tidak begitu penting. Dan kekurangan ini menjadi salah satu sebab pokok
tertinggalnya pesantren dari perkembangan zaman.
(5) Alumni:
Banyak hal yang dapat dibicarakan tentang para alumni ini, yang merupakan
segi-segi petunjuk bagi ketidakmampuan pesantren menjawab tantangan zaman:
-
Pesantren melalui wakil-wakilnya yang cukup articulate, biasanya membanggakan
diri sebagai lembaga pendidikan yang mampu menciptakan kader-kader dan
pimpinan-pimpinan masyarakat. Tapi kalau kita perhatikan, ternyata para
alumninya hanya cocok terutama untuk jenis masyarakat yang memang sudah
dari semula menerima dan mengadopsi nilai-nilai yang ada di pesantren bersangkutan.
Sedangkan untuk masyarakat umum, mereka samasekali tidak memenuhi harapan.
Buktinya kita kesulitan menemukan tenaga-tenaga yang memadai untuk mengajar
agama di sekolah-sekolah umum sekalipun jumlah lulusan pesantren sangat
banyak. Apalagi untuk dapat mengisi kebutuhan tenaga pengajar di perguruan
perguruan tinggi. Alumni-alumni pesantren ini hanya cocok untuk mengajar
di lembaga-lembaga pendidikan yang sejenis dengan pesantren sendiri seperti
madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan sekolah keagamaan lainnya.
-
Lebih ironis lagi jika keadaan para alumni pesantren ini dihubungkan dengan
slogan yang merupakan slogan favoritnya para santri, yaitu tidak mau menjadi
pegawai negeri. Agaknya slogan ini merupakan sisa sikap isolatif dan non-kooperatif
zaman kolonial dulu. Tetapi sekarang ini perlu diperiksa kembali apakah
slogan itu merupakan sikap hasil perenungan yang sadar ataukah sekedar
seperti kata pepatah "anggurnya masam" saja. Maksudnya tidak mau menjadi
pegawai negeri sebab mereka memang tidak memenuhi syarat untuk jadi pegawai
negeri. Ini terbukti ketika dibuka kesempatan menjadi pegawai negeri, seperti
pembukaan ujian guru agama, para alumni pesantren berebut melamar pekerjaan
tersebut. Ironisnya, pintu kepegawaian itu hanya ada pada departemen agama
saja. Sehingga pesantren yang semula berkeinginan mendidik orang-orang
yang paling independen pada hakikatnya justru menghasilkan lulusan-lulusan
yang tergantung hanya pada satu departemen saja.
-
Mungkin banyak alumni pesantren yang menjadi manusia independen dengan
jalan menjadi pengusaha, petani, maupun wiraswasta lainnya, yang kemudian
dikenal dengan "enterpreneurship'', sebagaimana yang banyak dibanggakan
kalangan pesantren. Tetapi apakah peranan dan kemampuannya sebagai enterpreneur
itu lebih merupakan jasa pendidikan pesantren atau hanya karena dikondisikan
oleh suasana dalam keluarga? Sebab anak keluarga enterpreneur yang tidak
berpendidikan pesantren pun, seperti yang masuk sekolah-sekolah umum, juga
mempunyai kemungkinan yang sama untuk menjadi enterpreneur. Itu pun sekarang
ini mulai dinilai sebagai enterpreneur pra-modern yang tidak akan sanggup
bersaing dalam kehidupan dunia modern.
-
Kalaupun alumni pesantren memberi pelayanan kepada masyarakat namun peranan
kreatif dan (apalagi) peranan inovatif mereka kurang terasa dalam masyarakat.
Terhadap golongan dan umatnya sendiri umumnya mereka bersikap kompromistis
menuruti kehendak massa, sedangkan terhadap dunia luar kurang bisa bersikap
adaptatif, bahkan tidak jarang terkesan reaktif-agresif. Tentunya ini sebagai
akibat kurangnya keterbukaan dan kesanggupan pada mereka untuk mengadakan
penilaian secara obyektif dan independen segi positif dan negatif dari
sikap mereka tersebut.
-
Ada lagi hal menarik yang perlu diketengahkan sehubungan dengan para alumni
pesantren ini. Pada umumnya mereka mengajar atau mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan di tempat mereka menetap, dan tidak jarang berhasil berkembang
menjadi besar. Berpijak dari pepatah "seseorang tidak akan bisa menghasilkan
lebih dari dirinya sendiri", maka dapat dibayangkan kemampuan alumni-alumni
lembaga pendidikan itu pasti tidak akan jauh dari para pendiri dan pengajarnya.
Mungkin yang jadi masalah bukan dari segi kemampuan ini, tetapi adanya
pertanyaan apakah semua orang harus mendalami secara khusus pendidikan
agama tersebut? Sedangkan dalam al-Qur'ân pun yang diharapkan mendalami
soal agama itu hanyalah sebagian kecil saja dari masyarakat, tidak sebagian
besar, apalagi semuanya.
-
Sebagaimana telah disinggung di atas, salah satu yang diharapkan dari pesantren,
jadi juga dari para alumninya, adalah agar berpartisipasi dalam pembangunan,
khususnya pembangunan masyarakat—terlepas dari banyaknya pesantren yang
mengklaim dirinya sebagai pendidik calon-calon pemimpin masyarakat. Dalam
berpartisipasi ini tidak saja diperlukan ketrampilan dan pengetahuan dasar,
tetapi juga kesadaran untuk menerima tanggung jawab pribadi terhadap masyarakat.
Selain itu, para alumni ini dituntut memiliki kesupelan dalam membina hubungan
antarmanusia (human relation) termasuk kemampuan membina kerjasama dengan
orang lain. Sayangnya syarat-syarat ini kurang dimiliki para alumni pesantren
terutama disebabkan hal-hal di atas.
(6) Tidak Materialistis
Barangkali segi paling positif dari aspirasi pesantren, diukur dari
tuntutan kehidupan modern, adalah semangat non-materialistiknya, tidak
materialistis, atau bisa kita artikan semangat kesederhanaan. Mungkin dari
segi ini pesantren dapat memberikan sumbangsihnya yang amat berharga kepada
bangsa, meskipun jangkauannya untuk masa depan yang cukup jauh. Sekarang
ini sudah mulai disadari bahwa pembangunan yang hanya berorientasi pada
segi materi saja bukanlah jaminan bagi keberhasilan pembangunan secara
keseluruhan. Justru kehidupan materialistik modern di Barat sendiri menunjukkan
gejala-gejala destruktif yang diikuti masalah-masalah sosial yang makin
kompleks, dan sedang dicarikan jalan keluarnya.
Tetapi sikap non-materialistik dalam pesantren ini masih harus dipertanyakan
dengan sungguh-sungguh sampai di mana kesejatiannya. Non-materialisme yang
asketik dan “austere” sederhana, prasojo, dan zuhud agaknya terjadi di
pesantren sebagai akibat tak langsung dari kondisi sosial masyarakat secara
umum. Apakah suasana umum yang meliputi pesantren itu hanya merupakan refleksi
keadaan sosial-ekonomis masyarakat yang diwakilinya saja (yaitu masyarakat
pedesaan, meskipun ada yang kaya tapi masih bersifat agraris dan kurang
terpelajar). Ataukah betul-betul merupakan perwujudan dari konsep yang
sadar penuh niat?
Meskipun kita berharap pesantren dapat berperan banyak melalui semangat
non-materialistik ini, namun bila kita lihat dalam pesantren sendiri, pengajaran
semangat ini kurang mendapat tekanan dalam kurikulumnya. Bahkan bisa dikatakan
tidak ada pengarahan secara kbusus tentang kesederhanaan itu kepada para
santri. Jika pengetahuan tentang "bagaimana mengatur masyarakat (Islam)"
mengharuskan pesantren mencurahkan sedemikian banyak tenaga dan waktu untuk
mengajarkan kitab-kitab fiqh, mengapa untuk mengatur dan menjiwai kehidupan
pribadi—dan pada hakikatnya juga masyarakat—tidak merasa perlu mengajarkan
dengan penuh pengarahan kitab-kitab yang mengenai kehidupan zuhud, seperti
ilmu dan amaliyah tasawuf? Padahal seperti disampaikan pada awal bahasan
ini justru aspeknya inilah yang seharusnya lebih berfungsi dalam keagamaan
zaman modern.
Ataukah suasana kesederhanaan yang kadang-kadang diindoktrinasikan secara
verbalistik dalam ceramah-ceramah kiai, adalah lebih merupakan pelarian
diri dari suatu kegagalan? Umpamanya karena keadaan (menyeluruh) memang
tidak mengizinkan mereka menikmati kemakmuran materi (jadi seperti "anggurnya
masam" tadi). Bagaimana seandainya seorang tokoh dari pesantren dihadapkan
pada kesempatan yang leluasa untuk mendapatkan kekayaan materi? Bagaimana
jika mereka dibandingkan dengan penganut ajaran Budhisme Zen, Yoga, Sufi
dan mungkin sekali Subud? Walau bagaimana pun pesantren diharapkan bisa
berperanan di bidang ini, sebab potensinya ada.
IV. Masalah-masalah yang Dihadapi
Dari telaah di atas dapatlah disimpulkan bahwa pesantren dan sistem-sistemnya
memandihadapkan pada tantangan zaman yang cukup berat. Jika tidak mampu
memberi responsi yang tepat maka pesantren akan kehilangan relevansinya
dan akar-akarnya dalam masyarakat akan tercabut dengan sendirinya, dengan
segala kerugian yang bakal ditanggung. Sungguh ironis bahwa yang lebih
dulu menyadari bahwa pesantren sedang kehilangan relevansi sosialnya adalah
para tokoh pesantren sendiri yang kemudian seolah-olah jera mengirimkan
anak-anaknya ke pesantren.
Coba perhatikan para kiai di kota-kota besar yang telah mengalami kenaikan
status sosial (umumnya melalui jenjang karier politik), mereka lebih percaya
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah umum daripada di pesantren sendiri.
Kalau perlu mereka memasukkan putra-putrinya ini ke bidang-bidang paling
produktif, seperti ekonomi, kedokteran, dan teknik. Sementara itu mereka
"membiarkan" anak-anak desa dan orang-orang kecil tetap memasuki pesantren.
Mungkin karena massa pengikutnya akan hilang tanpa pesantren yang tradisional
itu. Karena itu mereka juga masih membela adanya pesantren dan sistem-sistemnya
yang berlaku. Tetapi mereka tidak mau membayangkan bagaimana kalau putra-putri
mereka sendiri masuk pesantren. Seolah-olah mereka berkata: "Cukuplah aku
saja, anakku jangan!" Mereka dengan sendirinya juga lebih bangga kalau
mendapatkan menantu seorang dokter atau insinyur daripada seorang kiai
maupun santri yang sudah bertahuntahun mondok. Yang bangga memungut menantu
dari kalangan pesantren itu hanyalah orang-orang desa. Begitu kira-kira
gambaran jalan pikiran mereka.
Maka dari itu tidak ada jalan lain kecuali mengusahakan sedapat mungkin
agar pesantren bisa mengejar ketinggalannya. Para pemangku tanggung jawab
pesantren ini diharuskan oleh keadaan untuk berpacu melawan waktu. Namun
untuk dapat mengejar ketertinggalannya ini masih banyak masalah yang perlu
dipikirkan terlebih dulu:
-
Tidak ada yang dapat memimpin proses perubahan pesantren kecuali "orang
dalam". Sebab untuk dapat diterimanya gagasan-gagasan baru itu, betapa
pun sulitnya pada permulaan, diperlukan kepemimpinan yang “legitimate”
atau sah menurut ukuran-ukuran pesantren sendiri.
-
Meskipun oleh pemimpin “legitimate” itu, tetap diperlukan sikap hati-hati
yang ekstra. Perubahan yang dilakukan tidak mungkin "radikal revolusioner",
tetapi diusahakan seperti pepatah: "Bagaimana benang tak putus tepung tak
terserak."
-
Kesahan atau “legitimate” pimpinan dan kaitannya dengan karisma. Tetapi
tidak cukup hanya dengan karisma saja, tetapi juga diperlukan skill atau
keahlian. Dan jika ini tidak dimiliki oleh seorang pemimpin pesantren maka
dapat dipenuhi oleh orang lain yang kedudukannya hanya sebagai pembantu
atau sebagai pemimpin teknis.
-
Biaya senantiasa merupakan persoalan yang kronis. Ini tentu harus dicarikan
jalan pemecahannya.
-
Untuk pertimbangan efisiensi, dan karena keterbatasan biaya dan lain-lain,
maka perlu disusun skala prioritas yang bisa dituangkan dalam rencana kerja,
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Mungkin sekali prioritas utama
adalah perombakan kurikulum, sebab selain biayanya relatif kecil pengaruh
dan implikasinya pun cukup besar dan luas.
|