[ Dr. Nur Cholish Madjid / Bilik-Bilik Pesantren ]

 
Pesantren dalam
Perkembangan Politik Kita 

KETERKAITAN antara pesantren dengan politik dapat dipahami dengan melihat kedudukan pesantren sebagai “trustee”masyarakat santri, dimana para santri ini mengharapkan bimbingan kultural, khususnya dalam hubungannya dengan agama Islam. Pesantren secara keseluruhan mempunyai peranan dalam mendefinisikan situasi pada umat Islam, khususnya untuk kaum santri. Pendefinisian itu menghasilkan suatu pandangan politik tertentu, yang pada gilirannya melahirkan pengelompokan politik tertentu pula.

Ideologi kaum santri harus dibedakan dari agama Islam itu sendiri, karena kekhususan sifat dan corak keislaman kaum santri, sebagaimana telah dikemukakan, telah banyak mendapat warna lokal, yaitu kejawaan. Perbedaannya terletak pada tekanan perhatiannya (kalau ada atau mungkin potensial ada) terhadap masyarakat. Meskipun perbedaan ini ada, namun sudah tentu kita tidak bisa memungkiri adanya keterkaitan antara ideologi kaum santri dengan ajaran Islam itu sendiri.

Maka pesantren merupakan salah satu tempat dilahirkannva suatu aliran ideologi politik tertentu di Indonesia dengan pembelaan yang jelas atas penilaian-penilaian tertentu, baik yang positif maupun yang negatif. Ideologi politik itu dilembagakan dalam partai politik NU (Nahdlatul 'Ulama). Memang dapat dibenarkan untuk menggeneralisasikan NU sebagai partai politik Islam, sama dengan Masyumi, PSII, dan Perti, yaitu partai-partai politik Islam yang ada pada waktu itu. Tetapi dengan generalisasi itu maka keterpisahan NU dari yang lain, atau ketika NU memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952 di Palembang, menjadi tidak dapat diterangkan. Demikian pula, dengan generalisasi itu dasar-dasar percekcokan politik yang selama ini terjadi tidak bisa disingkapkan secara gamblang.

Walaupun begitu bukanlah hal yang mudah untuk mengenali secara kongkrit obyek ideologi politik NU, sebagaimana juga tidak mudah mengenali ideologi partai-partai politik Islam yang lain. Sudah tentu pada sidang-sidang konstituante tahun 50-an partai-partai politik Islam ini mengajukan konsep tentang negara Islam, yang tampaknya sangat kuat diilhami oleh ideologi serupa itu di India yang menghasilkan partition. Tetapi sebegitu jauh konsep itu belum pernah dirumuskan dengan matang, dan penjualannya kepada massa masih terbatas pada umat Islam khususnya pada kaum santri. Ini dilakukan melalui jargon-jargon yang memang dapat dipahami dan menyentuh emosi umat karena telah menjadi sistem budaya mereka, seperti potong tangan untuk mencuri dan rajam untuk zina.

Karena latar belakang pendidikan para tokohnya adalah pendidikan Barat (Belanda), maka partai Masyumi dalam mengemukakan ideologi politik jelas lebih articulate daripada NU. Dari sini bisa kita pahami kalau Masyumi cenderung menemukan artikulasinya yang terkuat dalam sektor-sektor ideologi yang bersifat Barat daripada Islam. Maka dalam alam politik Indonesia kita dapati bahwa yang paling kuat membela dan memperjuangkan terlaksananya konsep-konsep seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan kebebasan pers adalah Masyumi, selain—tentunya— Partai Sosialis, Partai Katholik, dan Kristen. Agaknya konsep-konsep ini merupakan titik pertemuan antara mereka, sehingga sejarah Indonesia mencatat kerjasama yang erat sekali antara mereka dalam front yang melawan Soekarno, baik dalam sikap menyangkut kehidupan demokrasi yang mereka perjuangkan maupun dalam sikap-sikap yang lebih sistematik kepada gerakan-gerakan PRRI dan Permesta dalam tahun 1958. Sementara itu artikulasi idiologi Masyumi dalam kerangka keislamannya hanya memperoleh dan melahirkan jargon-jargon yang agak samar-samar maknanya, seperti konsep “syurâ”.

Karena itu dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1955, Masyumi lebih berpeluang memegang kepemimpinan. Sedangkan partai-partai Islam lainnya, termasuk NU jatuh di bawah bayang-bayang Masyurni dalam artikulasi kelompok dan partai-partai Islam. Hal ini disebabkan adanya persamaan tema perjuangan, yaitu "Negara Islam". Tetapi persatuan itu hanya untuk sementara waktu saja mampu menyembunyikan watak dan hakikat pertentangan yang ada. Watak dan hakikat pertentangan itu muncul kembali dengan lebih jeias setelah Bung Karno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959. Dalam dekrit ini Bung Karno membubarkan Konstituante hasil pilihan rakyat, dan mendekritkan kembali ke UUD 45. NU menerima dekrit itu dengan tidak banyak persoalan, tetapi Masyumi menolaknya atas dasar nilai-nilai demokrasi Barat. Penolakan ini selanjutnya menyeret Masyumi pada kegiatan-kegiatan politik praktis, terutama khususnya yang banyak dikaitkan dengan Masyumi adalah lahirnya gerakan PRRI.

Untuk lebih mendramatisir perpisahan kembali MasyumiNU itu, dalam proses selanjutnya NU menempuh kerjasama politik dengan Bung Karno, yang melahirkan sikap menerima Manipol, dengan kerangka politiknya NASAKOM (Nasional, Agama, dan Komunis). Walaupun terdapat motif yang lebih murni di balik politik NU itu, tetapi tidak ayal lagi, sikap NU tersebut mengundang kritik yang amat tajam dari tokoh-tokoh Masyumi. Maka tidak mengherankan bahwa tema-tema politik NU selanjutaya adalah kembali di sekitar perhatiannya pada kepentingan kaum "Ahl~u 1-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah", dengan intensitas pola perjuangan yang lebih ditujukan pada kalangan intern kaum santri sendiri. Jargon-jargon yang mereka lahirkan adalah kegiatan besar yang tidak menguntungkan Masyumi, khususnya keikut-sertaan mereka menilai Masyumi sebagai partai terlarang dan kontra-revolusi yang harus dihancurkan. Dan ini sangat sejajar dengan garis perjuangan PKI terhadap Masyumi dan organisasi-organisasi mantelnya. Tampaknya luka-luka politik yang memisahkan NU dari Masyumi pada tahun 50-an kembali terkuak. Seperti telah disinggung, salah satu sebab perpisahan itu adalah karena NU tidak merasa safe dalam tubuh Masyumi yang didominasi oleh tokoh-tokoh berpendidikan Barat dan karenanya berhaluan reformasi. Puncak ketidakpuasan NU pada Masyumi adalah ketika keinginan NU untuk memiliki hak prerogatif atas kursi Menteri Agama dipatahkan Masyumi dengan diangkatnya tokoh Muhammadiyah, yaitu Faqih Usman menjadi menteri agama pada Kabinet Natsir Sebenarnya menteri agama pertama adalah dari Muhammadiyah (Rasyidi). kemudian menteri-menteri agama sesudahnya adalah dari NU. sampai kabinet Natsir (Masyumi) pada tahun 1951 ketika kedudukan itu diberikan kepada tokoh Muhammadiyah, dan ini yang mendorong NU memisahkan diri dari Masyumi.

Untuk kalangan NU, lebih-lebih rank and file, jabatan menteri agama adalah yang paling ideal dan prestigious. Agaknya ini disebabkan orientasi keagamaannya yang kuat sekali, dan karena identifikasinya dengan "Islam Indonesia", dan didukung oleh kenyataan bahwa mereka adalah single kelompok yang terbesar. Tokoh-tokoh NU merasa jika menteri agama itu berasal dari mereka maka itu berarti mereka mampu memberi sumbangan kepada republik, atau dengan ungkapan lain, mereka lebih mampu menunjukkan "political performance". Memang NU pernah menyumbangkan tenaganya untuk jabatar-jabatan menteri sekular, seperti menteri dalam negeri (Sunaryo). menteri ekonomi (Sunardjo), dan menteri keuangan (Moh. Hassan). Tetapi peranan mereka dalam performance itu bukanlah merupakan peranan yang spektakuler di Indonesia.

Bahkan lebih jauh lagi bisa dikatakan bahwa masyarakat santri itu sedikit banyak merupakan piramida tersendiri dalam piramida Republik Indonesia. Dalam "piramida minor" itu terdapat susunan menjulang dengan menteri agama di puncaknya, sedangkan dalam “piramida major" yang menjadi puncak piramida adalah presiden. Dan susunan Departemen Agama sedikit banyak analog dengan susunan Republik. Di situ ada pengadilan agama yang sebanding dengan pengadilan negeri dan Mahkamah Agung, di situ juga terdapat jawatan penerangan agama yang sebanding dengan Departemen Penerangan. Dan yang lebih penting lagi tentunya adalah bagian pendidikannya yang membawahi suatu sistem pendidikan agama dengan wilayah meliputi seluruh Indonesia, dan ini sedikit banyak menjadi saingan sistem pendidikan umum di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Maka tidak mengherankan bahwa pendidikan pesantren dalam perkembangannya lebih lanjut, khususnya sekemerdekaan, tampak diorientasikan pada pembentukan rank and file serta massa partai NU. Hal ini memperoleh reinforcement karena adanya pemanfaatan timbal balik antara kepentingan ideologi Ahlussunnah wal Jamâ'ah dengan kepentingan ekonomi. Hubungan ini terjalin melalui opini yang dibentuk oleh pendapat umum yang mengesankan bahwa saluran kepegawaian dalam departemen agama pada waktu itu berada dalam monopoli NU. Kesan ini pada akhirnya berujung pada kenyataan adanya mobilisasi kekuatan NU melalui distribusi kesempatan kerja dalam lingkungan Departemen Agama. Hal inilah yang mendorong kalangan pesantren menjadikan tingkat pendidikan menengahnya sebagai PGA, atau sekurang-kurangnya Mu’allimin. Sehingga banyak sekali pesantren yang menerima bahkan mengharap akan madrasahnya menjadi madrasah negeri, dalam arti guru-gurunya dibayar oleh pemerintah. Sayangnya pada waktu itu, kesempatan kerja yang didistribusikan masih terbatas pada jabatan guru agama di sekolah-sekolah. kFususnN-a sekolah-sekolah dasar.

Keputusan pesantren menerima perubahan status madrasahnya menjadi madrasah negeri itu sangat menguntungkan dari segi keuangan pesantren. Pesantren tidak lagi terlalu banyak menyandarkan diri kepada pemasukan dari para santri atau pun sedekah dari masyarakat untuk menggaji para gurunya. Karena biaya rutin untuk para guru ini sangat besar jumlahnya, maka sebuah pesantren yang masih menggantungkan keuangannya dari sedekah masyarakat tentunya akan kesulitan menanggungnya. Apalagi jika dituntut sesuai dengan gaji guru standar seperti yang disediakan oleh pemerintah. Sebagaimana kita ketahui gaji tenaga pengajar di pesantren adalah relatif kecil, dan sangat kecil dibandingkan dengan gaji pegawai negeri.

Pembagian kerja itu mencapai puncaknya dengan segala macam dampak negatif yang terjadi, yaitu ketika pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama pada tahun 1968 membuka kesempatan Ujian Guru Agama (UGA), dengan alasan bahwa kebutuhan akan guru-guru agama begitu mendesak dan tidak dapat dipenuhi oleh lulusan PGA yang ada. Hal ini banyak sekali mengundang penyalahgunaan kekuasaan dan menimbulkan permasalahan yang sulit diatasi pemerintah. Persoalannya menjadi begitu penting dan gawat sehingga hampir seluruh instansi pemerintah, sampai presiden pun turun tangan dalam mengatasinya. Sulitnya persoalan itu diatasi disebabkan keterkaitannya dengan kepentingan kultural, politik, dan ekonomi. UGA dan pengangkatan guru-guru agama merupakan sistem balas jasa kepada rank and file yang efektif sekali di tangan NU karena prestasinya yang cukup tinggi di masyarakat desa, dan lebih-lebih karena arti ekonominya.

Contoh Kasus di Pondok Rejoso

Kebenaran umum itu juga berlaku untuk pesantren Rejoso. Penegerian madrasah-madrasahnya, yaitu MIN, MTsAIN, dan MAAIN adalah hasil artikulasi politik dengan lingkungannya. Demikian pula ketika mereka memperkenalkan Madrasah Mu'allimin, yang kemudian diubah lagi menjadi PGA, dan akhirnya "dinegerikan". Semua mempunyai sangkut paut dengan janji kerja, suatu sistem reward yang kini sangat dihargai di Indonesia dimana pertanian sudah semakin menyempit karena pertumbuhan penduduk.

Backlash dari itu adalah bahwa kini mulai terjadi suatu hal yang ironis pada jalan pikiran pendidikan Rejoso dan pondok pesantren umumnya, yaitu dulu pendidikan pesantren dibanggakan sebagai lembaga pendidikan yang tidak bertujuan mencetak pegawai negeri, sekarang ternyata hanya mampu mencetak pegawai negeri Departemen Agama saja!

Ketika itu kesempatan kerja di Departemen Agama sudah mulai menunjukkan tanda kejenuhan. Bukan karena seluruh keperluan departemen itu telah terpenuhi semua menurut kualitasnya yang layak, tetapi karena jumlah atau angka mutlak yang ada sudah terlalu besar dibandingkan dengan departemen lainnya. Dan yang ada itu pun harus diperebutkan secara terbuka oleh peminat-peminatnya, dimana unsur achievement mulai ditekankan, dan dengan sendirinya unsur afiliasi politik semakin kendor. Apalagi kenyataan bahwa menteri agama bukan dari tokoh-tokoh NU terus, bahkan ada yang dulu merasakan permusuhan dari NU menjadi menteri agama. Demikian pula jabatan-jabatan strategis lainnya dalam Departemen Agama ini, di pusat dan daerah dipegang oleh orang lain (bukan NU). Memang betul bahwa keinginan untuk menjadi guru agama masih terasa kuat di kalangan kaum santri pada waktu itu, khususnya yang menjadi murid PGA. Tetapi jelas sekali bahwa waktu itu pun sudah muncul kesadaran akan keterbatasan jangkauan kerja bagi para santri tersebut.

Kesadaran itu menyebabkan terjadinya switch pada jenis sekolah dengan kemungkinan janji kerja yang lebih luas. Jenis sekolah itu adalah SMP dan SMA. Bahkan pada akhir tahun 1975 dipertimbangkan perlunya mendirikan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Dan pada tahun itu pula pesantren Rejoso menerima tawaran dari perwakilan P dan K Jatim di Surabaya untuk penegerian SMA-nya, yang tentu saja disambut dengan gembira oleh Kiai Musta'in Ramli.

Apa yang dikehendaki dengan adanya SMP dan SMA itu, khususnya SMA, selanjutnya mulai menjadi kenyataan. Semakin tahun semakin banyak murid SMA Rejoso yang berhasil lulus dalam ujian persamaan negeri, dan karenanya mereka berpeluang untuk melanjutkan ke perguruan-perguruan tinggi umum yang ada. Untuk lulusan Rejoso ini lebih menyukai meneruskan di Unibraw Malang, Unej Jember, dan Unair Surabaya. Bahkan cukup ironis bahwa Undar sendiri tidak banyak kebagian mahasiswa baru dari SMA Rejoso ini.

Kalau dalam sistem pendidikan ini daya jangkau pesantren Rejoso cenderung meningkat, maka dalam bidang politik pun pesantren ini menunjukkan kecenderungan yang sama. Jika semula dapat dikatakan bahwa pesantren ini adalah mutlak berada dalam genggaman partai politik NU dalam orientasinya, maka dalam perkembangannya tidak lagi demikian. Banyak yang merasakan, atau menarik kesan, bahwa Rejoso mempunyai sikap simpatik terhadap GOLKAR, suatu partai yang pada waktu itu sangat berkepentingan ingin melemahkan NU, sekurangkurangnya bersikap netral atau diam.

Hal itu semua dimulai menjelang pelaksanuan pemilu tabun 1971, ketika GOLKAR, dalam hal ini dengan keterlibatan langsung pemerintah, khususnya departemen dalam negeri, dengan giat mengadakan kampanye ke pondok-pondok sambil memberikan bantuan uang jutaan rupiah. Pesantren Rejoso, sendiri pada wakru itu mendapatkan 25 juta rupiah. Memang donasi yang besar itu tidak disertai permintaan resmi agar para penerimanya memberikan dukungan politik bagi GOLKAR. Sehingga beberapa pesantren tetap menerima donasi itu namun masih sempat mempertegas pendiriannya dalam hal politik, seperti yang dilakukan pesantren G0NTOR. Tetapi bagi kebanyakan orang donasi itu diberikan dengan maksud menarik simpati penerimanya, yang pada akhirnya diharapkan si penerima ini meninggalkan NU dan bergabung dengan GOLKAR.

Beberapa pesantren seperti pesantren Burengan di Kediri dengan tegas menerima dan menyatakan dirinya sebagai pesantren GOLKAR. Sedangkan Rejoso persoalannya lebih kompleks.. Di satu pihak sebagai pesantren yang berada di daerah Jombang, Rejoso dinilai tidak sepantasnya meninggalkan NU. Sedangkan di pihak lain, Rejoso ini sebagai salah satu dari 4 pesantren di Jombang yang paling berpengaruh, dan memiliki sistem pendidikan yang paling modern dengan adanya SMP, SMA, Fakultas Hukum, dan Fakultas Sospol—ternyata alumninya belum semujur alumni pesantren lainnya. Dari ke 4 pesantren “bibit NU” di Jombang itu Rejoso adalah satu-satunya yang belum pernah memperoleh kedudukan tertinggi dalam tubuh NU, maupun dalam pemerintahan melalui NU. Rais ‘Aam yang pernah menjabat sampai saat itu berturut-turut adaIah K.H Moh Hasyim Asya'ari dari pesantren Tebuireng, K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari pesantren Tambakberas dan K.H Moh Bisri Syamsuri dari pesantren Denanyar. Sedangkan dua mentri agama dari Jombang yang pernah ada adalah K.H. Abd. Wahid Hasyim dari pesantren Tebuireng dan K.H. Wahib Wahab dari pesantren Tambakberas. Sedangkan Rejoso, tampaknya tidak pernah melahirkan tokoh dalam bidang politik maupun pemerintahan yang mampu mencapai jabatan setinggi itu. K.H. Musta'in Ramli sudah tentu seorang kiai besar dan ternama, tetapi bidangnva ialah tasawuf atlebih jelas lagi sebagai pemimpin tarekat Naqsyabandiyah-Qadiriyah. Yang paling kuat kecenderungan politiknya ialah Kiai Maksum Khalil, tetapi beliau telah wafat sebelum mencapai jabatan yang cukup berpengaruh. Jabatan tertinggi yang pernah beliau peroleh adalah ketua cabang Jombang dan anggota konstituante. Kiai Dahlan memang memperoleh jabatan yang terhormat dalam NU, yaitu sebagai anggota Syuriah, dan di situ beliau menunjukkan kemampuan yang tinggi sebagai ahli hadits dan ahli tafsir. Tetapi karena Syuriah dalam pola sistem NU merupakan subsistem yang lebih mendekati sistem budaya, dalam hal ini agama, maka nama Kiai Dahlan tidak pernah muncul ke permukaan dalam bidang politik ini. Kiai Bisri Kholil juga memperoleh kedudukan yang lumayan dalam NU, yaitu sebagai anggota DPR pusat. Namun hanya itulah yang pernah diperolehnya, maksudnya tidak begitu menentukan dalam tubuh organisasi NU. Demikian pula Kiai Sofyan Kholil, yang pernah diangkat menjadi anggota DPR pusat menggantikan Jamhari yang ketika itu meninggal.

Kenyataan-kenyataan itu tampaknya berpengaruh kepada diri pribadi Kiai Musta'in Ramli, dan merupakan faktor yang dia pertimbangkan dalam mengambil keputusan politik. Dia pernah mengatakan kepada saya: "Saya toh tidak dapat menitipkan amanat pesantren Rejoso kepada orang-orang Tambakberas atau Tebuireng yang ada di pusat itu! Maka saya harus berjalan sendiri. menembus kepusat sendiri!"

Tampaknya dia seeks national prominence dan untuk itu dia menempuh jalan yang membuatnya cukup "progresif" menurut ukuran seorang kiai. Dia membina hubungan langsung dengan Ali Murtopo, orang kuat kedua di Republik. Demikian pula dengan Sudjono Humardhani, yang boleh dikatakan orang ketiga terkuat. Dan beliau juga cukup erat berhubungan dengan Sudomo, yang pada waktu itu menjabat sebagai Pangkopkamtib Kastaf. Tokoh-tokoh itu semuanya, juga Presiden sendiri pernah mengunjungi Pondok Rejoso meski dalam kesempatan yang berbeda. Yang paling mengesankan adalah persahabatannya dengan Sudomo, seorang Kristen, tetapi juga dengan sendirinya yang paling menimbulkan kontroversi terhadap Kiai Musta'in ini. Bagi seorang kiai, bergaul rapat dengan seorang Kristen, apalagi pejabat yang ada hubungannya dengan masalah keamanan, adalah sesuatu yang dipandang tidak layak dilakukan, dan kedengaran sangat unorthodox.. Begitu rapatnya hubungan itu, sehingga Sudomo selain pernah berkunjung ke Rejoso juga memerlukan mengunjungi pembukaan kongres ke 5 Jam'iyah Thariqah Naqsyabandiyah yang diselenggarakan di Madiun pada bulan Mei 1975. Dalam kongres itu dia terpilih sebagai Ketua Umum Jam'iyah yang meliputi seluruh Indonesia itu, dan dengan begitu ia betul-betul mendapatkan national prominence. Tidak lama sesudah kongres, dia memimpin rombongan menghadap Presiden Soeharto di Jakarta. Salah seorang tokoh Islam yang ikut dalam rombongan itu adalah Kiai Wahib Wahab, bekas menteri agama, saudara iparnya (kakak istri Kiai Mustatin yang terakhir). Sudomo pula yang menyebabkan dia dapat mengadakan perjalanan keliling dunia bersama istrinya, antara lain ke Amerika ini (New York, Washington, dan lain-lain). Demikian pula, tampaknya Sudomo pula yang menyebabkan dia dapat pergi haji pada tahun 1975 bersama dengan istrinya dan 5 orang tokoh pesantren Rejoso yang lain.

Selain itu dia berkendaraan sebuah Mercedes dan sebuah lagi Fiat. Dalam hubungannya dengan mobil mewah ini, Kiai Musta'in pernah mengatakan kepada saya: "Baru-baru ini saya ke Jakarta. Saya menemui orang penting, lalu saya katakan: ‘Hai, pak mobil saya di rumah sudah mulai rusak-rusak. Ada baiknya kalau saya dibelikan mobil!’ Dan dia lalu membelikan mobil ini." Dan dapat dipastikan bahwa hal itu terjadi sebagai "hasil" interaksi politik dengan orang-orang pusat.

Tetapi hubungan baik Kiai Musta'in tidak terbatas dengan tokoh-tokoh di pusat. Beliau tidak melupakan pembinaan hubungan baik dengan tokoh-tokoh di daerah Jawa Timur sendiri. Misalnya beliau bersahabat dengan Witarmin, Pangdam Brawijaya pada waktu itu. Kemudian beliau juga membina hubungan dengan Pangdak, Gubernur, dan dengan hampir semua Bupati. Hubungannya dengan gubernur Jawa Tengah dan Jawa Barat khususnya setelah beliau menjabat Ketua Umum Jam'iyah Thariqah Mu'tabarah, juga tampak semakin mendua.

Sudah tentu sikap Kiai Musta'in ini sangat mempengaruhi pondok Rejoso. Salah satu bentuk pengaruh politiknya yang terasa sekali adalah di kalangan mahasiswa Undar, yaitu sikap-sikap politik mahasiswa ini yang lebih simpatik terhadap pemerintah, baik terhadap pemerintah pusat maupun daerah. Terhadap pemerintah pusat, dapat dilihat sikap mahasiswa Rejoso yang tak begitu puas dalam kaitannya dengan kontroversi Rencana Undang-undang Perkawinan, dan sikap ini berbeda misalnya dengan Tebuireng. Ketika terjadi peristiwa Malari pada awal 1974, mahasiswa Rejoso justru menjadi sandaran pemerintah untuk mendapatkan jaminan keamanan. Sedangkan Tebuireng menyambut kedatangan beberapa tokoh pusat yang datang untuk mengadakan "fact finding" dengan demonstrasi yang cukup keras. Padahal dalam rombongan itu hadir pula Jenderal Rahmat Kartakusumah dan Dr. Ruslan Abdul Gani, pemimpin-pemimpin yang cukup dikenal bersimpati kepada orang-orang santri (Islam). Sehingga tidak mengherankan kalau demonstrasi Tebuireng itu kemudian dinilai oleh banyak orang sebagai demontrasi yang salah alamat.

Begitu pula dalam hal pemerintah daerah, mahasiswa Rejoso menunjukkan sikap yang lebih kooperatif daripada mahasiswa Tebuireng. Hal ini dinyatakan sendiri oleh bupati Jombang kepada saya dalam satu pertemuan langsung dan melalui wawancara. Sikap kooperatif itu misalnya terbukti dari peranan positif dan dengan berpartisipasi dalam kegiatan KNPI, suatu proyek pemerintah pusat, kalau tidak GOLKAR, di bidang pembinaan pemuda Indonesia. Inilah yang menyebabkan pemerintah Daerah memberi wewenang kepada pesantren Rejoso untuk menunjuk ketua Majelis Ulama Jombang. Kemudian Rejoso, dalam hal ini Kiai Musta'in menunjuk Kiai Sofyan Kholil sebagai ketua Majelis Ulama tersebut.

Berdasarkan kenyataan di atas maka tidak mengejutkan pada waktu itu terdapat kecenderungan bahwa hubungan antara pondok Rejoso dengan NU merenggang. Salah satu perrmintaan NU Jombang, yaitu untuk dapat membangun kantor NU di tanah UNDAR, ditolak tegas oleh Kiai Musta'in. Dan tokoh-tokoh pondok itu terkesan membiarkan adanya pernyataan resmi bahwa pondoknya adalah netral politik, yang berarti Rejoso meninggalkan NU. Bahkan suara serupa itu juga terdengar dari Haji As’ad Umar, tokoh ketiga dalam pondok, yang juga bekas ketua DPRD Jombang—jabatan ini sebenarnya diperoleh melalui fraksi NU—dan sebelumnya terkenal fanatik pada partainya.

Itu semua merupakan warna pondok Rejoso yang tampak dari luar. Dan untuk mereka yang berkepentingan, misalnya GOLKAR, juga Kiai Musta'in sendiri dan tokoh-tokoh Rejoso, penampakan ini pun dirasakan cukup memadai untuk menunjukkan di mana sebenarnya posisi pondok Rejoso itu. Tetapi untuk memahami betul hakikat pondok itu beserta keseluruhan bagian-bagiannya, patut direnungkan perkataan Kiai Mustatin berikut ini: "Memang sebaiknya pondok ini (Rejoso) netral politik, yaitu untuk kepentingan kemajuan pendidikan yang diselenggarakannya. Tetapi nanti dalam pemilu saya sendiri tidak bisa lain kecuali mesti memilih partai Islam!".


www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt