Pesantren
dalam
Perkembangan Politik Kita
KETERKAITAN antara pesantren dengan politik dapat dipahami dengan melihat
kedudukan pesantren sebagai “trustee”masyarakat santri, dimana para santri
ini mengharapkan bimbingan kultural, khususnya dalam hubungannya dengan
agama Islam. Pesantren secara keseluruhan mempunyai peranan dalam mendefinisikan
situasi pada umat Islam, khususnya untuk kaum santri. Pendefinisian itu
menghasilkan suatu pandangan politik tertentu, yang pada gilirannya melahirkan
pengelompokan politik tertentu pula.
Ideologi kaum santri harus dibedakan dari agama Islam itu sendiri, karena
kekhususan sifat dan corak keislaman kaum santri, sebagaimana telah dikemukakan,
telah banyak mendapat warna lokal, yaitu kejawaan. Perbedaannya terletak
pada tekanan perhatiannya (kalau ada atau mungkin potensial ada) terhadap
masyarakat. Meskipun perbedaan ini ada, namun sudah tentu kita tidak bisa
memungkiri adanya keterkaitan antara ideologi kaum santri dengan ajaran
Islam itu sendiri.
Maka pesantren merupakan salah satu tempat dilahirkannva suatu aliran
ideologi politik tertentu di Indonesia dengan pembelaan yang jelas atas
penilaian-penilaian tertentu, baik yang positif maupun yang negatif. Ideologi
politik itu dilembagakan dalam partai politik NU (Nahdlatul 'Ulama). Memang
dapat dibenarkan untuk menggeneralisasikan NU sebagai partai politik Islam,
sama dengan Masyumi, PSII, dan Perti, yaitu partai-partai politik Islam
yang ada pada waktu itu. Tetapi dengan generalisasi itu maka keterpisahan
NU dari yang lain, atau ketika NU memisahkan diri dari Masyumi pada tahun
1952 di Palembang, menjadi tidak dapat diterangkan. Demikian pula, dengan
generalisasi itu dasar-dasar percekcokan politik yang selama ini terjadi
tidak bisa disingkapkan secara gamblang.
Walaupun begitu bukanlah hal yang mudah untuk mengenali secara kongkrit
obyek ideologi politik NU, sebagaimana juga tidak mudah mengenali ideologi
partai-partai politik Islam yang lain. Sudah tentu pada sidang-sidang konstituante
tahun 50-an partai-partai politik Islam ini mengajukan konsep tentang negara
Islam, yang tampaknya sangat kuat diilhami oleh ideologi serupa itu di
India yang menghasilkan partition. Tetapi sebegitu jauh konsep itu belum
pernah dirumuskan dengan matang, dan penjualannya kepada massa masih terbatas
pada umat Islam khususnya pada kaum santri. Ini dilakukan melalui jargon-jargon
yang memang dapat dipahami dan menyentuh emosi umat karena telah menjadi
sistem budaya mereka, seperti potong tangan untuk mencuri dan rajam untuk
zina.
Karena latar belakang pendidikan para tokohnya adalah pendidikan Barat
(Belanda), maka partai Masyumi dalam mengemukakan ideologi politik jelas
lebih articulate daripada NU. Dari sini bisa kita pahami kalau Masyumi
cenderung menemukan artikulasinya yang terkuat dalam sektor-sektor ideologi
yang bersifat Barat daripada Islam. Maka dalam alam politik Indonesia kita
dapati bahwa yang paling kuat membela dan memperjuangkan terlaksananya
konsep-konsep seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan kebebasan pers
adalah Masyumi, selain—tentunya— Partai Sosialis, Partai Katholik, dan
Kristen. Agaknya konsep-konsep ini merupakan titik pertemuan antara mereka,
sehingga sejarah Indonesia mencatat kerjasama yang erat sekali antara mereka
dalam front yang melawan Soekarno, baik dalam sikap menyangkut kehidupan
demokrasi yang mereka perjuangkan maupun dalam sikap-sikap yang lebih sistematik
kepada gerakan-gerakan PRRI dan Permesta dalam tahun 1958. Sementara itu
artikulasi idiologi Masyumi dalam kerangka keislamannya hanya memperoleh
dan melahirkan jargon-jargon yang agak samar-samar maknanya, seperti konsep
“syurâ”.
Karena itu dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1955, Masyumi lebih
berpeluang memegang kepemimpinan. Sedangkan partai-partai Islam lainnya,
termasuk NU jatuh di bawah bayang-bayang Masyurni dalam artikulasi kelompok
dan partai-partai Islam. Hal ini disebabkan adanya persamaan tema perjuangan,
yaitu "Negara Islam". Tetapi persatuan itu hanya untuk sementara waktu
saja mampu menyembunyikan watak dan hakikat pertentangan yang ada. Watak
dan hakikat pertentangan itu muncul kembali dengan lebih jeias setelah
Bung Karno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959. Dalam dekrit ini Bung Karno
membubarkan Konstituante hasil pilihan rakyat, dan mendekritkan kembali
ke UUD 45. NU menerima dekrit itu dengan tidak banyak persoalan, tetapi
Masyumi menolaknya atas dasar nilai-nilai demokrasi Barat. Penolakan ini
selanjutnya menyeret Masyumi pada kegiatan-kegiatan politik praktis, terutama
khususnya yang banyak dikaitkan dengan Masyumi adalah lahirnya gerakan
PRRI.
Untuk lebih mendramatisir perpisahan kembali MasyumiNU itu, dalam proses
selanjutnya NU menempuh kerjasama politik dengan Bung Karno, yang melahirkan
sikap menerima Manipol, dengan kerangka politiknya NASAKOM (Nasional, Agama,
dan Komunis). Walaupun terdapat motif yang lebih murni di balik politik
NU itu, tetapi tidak ayal lagi, sikap NU tersebut mengundang kritik yang
amat tajam dari tokoh-tokoh Masyumi. Maka tidak mengherankan bahwa tema-tema
politik NU selanjutaya adalah kembali di sekitar perhatiannya pada kepentingan
kaum "Ahl~u 1-Sunnah wa 'l-Jamâ'ah", dengan intensitas pola perjuangan
yang lebih ditujukan pada kalangan intern kaum santri sendiri. Jargon-jargon
yang mereka lahirkan adalah kegiatan besar yang tidak menguntungkan Masyumi,
khususnya keikut-sertaan mereka menilai Masyumi sebagai partai terlarang
dan kontra-revolusi yang harus dihancurkan. Dan ini sangat sejajar dengan
garis perjuangan PKI terhadap Masyumi dan organisasi-organisasi mantelnya.
Tampaknya luka-luka politik yang memisahkan NU dari Masyumi pada tahun
50-an kembali terkuak. Seperti telah disinggung, salah satu sebab perpisahan
itu adalah karena NU tidak merasa safe dalam tubuh Masyumi yang didominasi
oleh tokoh-tokoh berpendidikan Barat dan karenanya berhaluan reformasi.
Puncak ketidakpuasan NU pada Masyumi adalah ketika keinginan NU untuk memiliki
hak prerogatif atas kursi Menteri Agama dipatahkan Masyumi dengan diangkatnya
tokoh Muhammadiyah, yaitu Faqih Usman menjadi menteri agama pada Kabinet
Natsir Sebenarnya menteri agama pertama adalah dari Muhammadiyah (Rasyidi).
kemudian menteri-menteri agama sesudahnya adalah dari NU. sampai kabinet
Natsir (Masyumi) pada tahun 1951 ketika kedudukan itu diberikan kepada
tokoh Muhammadiyah, dan ini yang mendorong NU memisahkan diri dari Masyumi.
Untuk kalangan NU, lebih-lebih rank and file, jabatan menteri agama
adalah yang paling ideal dan prestigious. Agaknya ini disebabkan orientasi
keagamaannya yang kuat sekali, dan karena identifikasinya dengan "Islam
Indonesia", dan didukung oleh kenyataan bahwa mereka adalah single kelompok
yang terbesar. Tokoh-tokoh NU merasa jika menteri agama itu berasal dari
mereka maka itu berarti mereka mampu memberi sumbangan kepada republik,
atau dengan ungkapan lain, mereka lebih mampu menunjukkan "political performance".
Memang NU pernah menyumbangkan tenaganya untuk jabatar-jabatan menteri
sekular, seperti menteri dalam negeri (Sunaryo). menteri ekonomi (Sunardjo),
dan menteri keuangan (Moh. Hassan). Tetapi peranan mereka dalam performance
itu bukanlah merupakan peranan yang spektakuler di Indonesia.
Bahkan lebih jauh lagi bisa dikatakan bahwa masyarakat santri itu sedikit
banyak merupakan piramida tersendiri dalam piramida Republik Indonesia.
Dalam "piramida minor" itu terdapat susunan menjulang dengan menteri agama
di puncaknya, sedangkan dalam “piramida major" yang menjadi puncak piramida
adalah presiden. Dan susunan Departemen Agama sedikit banyak analog dengan
susunan Republik. Di situ ada pengadilan agama yang sebanding dengan pengadilan
negeri dan Mahkamah Agung, di situ juga terdapat jawatan penerangan agama
yang sebanding dengan Departemen Penerangan. Dan yang lebih penting lagi
tentunya adalah bagian pendidikannya yang membawahi suatu sistem pendidikan
agama dengan wilayah meliputi seluruh Indonesia, dan ini sedikit banyak
menjadi saingan sistem pendidikan umum di bawah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Maka tidak mengherankan bahwa pendidikan pesantren dalam perkembangannya
lebih lanjut, khususnya sekemerdekaan, tampak diorientasikan pada pembentukan
rank and file serta massa partai NU. Hal ini memperoleh reinforcement karena
adanya pemanfaatan timbal balik antara kepentingan ideologi Ahlussunnah
wal Jamâ'ah dengan kepentingan ekonomi. Hubungan ini terjalin melalui
opini yang dibentuk oleh pendapat umum yang mengesankan bahwa saluran kepegawaian
dalam departemen agama pada waktu itu berada dalam monopoli NU. Kesan ini
pada akhirnya berujung pada kenyataan adanya mobilisasi kekuatan NU melalui
distribusi kesempatan kerja dalam lingkungan Departemen Agama. Hal inilah
yang mendorong kalangan pesantren menjadikan tingkat pendidikan menengahnya
sebagai PGA, atau sekurang-kurangnya Mu’allimin. Sehingga banyak sekali
pesantren yang menerima bahkan mengharap akan madrasahnya menjadi madrasah
negeri, dalam arti guru-gurunya dibayar oleh pemerintah. Sayangnya pada
waktu itu, kesempatan kerja yang didistribusikan masih terbatas pada jabatan
guru agama di sekolah-sekolah. kFususnN-a sekolah-sekolah dasar.
Keputusan pesantren menerima perubahan status madrasahnya menjadi madrasah
negeri itu sangat menguntungkan dari segi keuangan pesantren. Pesantren
tidak lagi terlalu banyak menyandarkan diri kepada pemasukan dari para
santri atau pun sedekah dari masyarakat untuk menggaji para gurunya. Karena
biaya rutin untuk para guru ini sangat besar jumlahnya, maka sebuah pesantren
yang masih menggantungkan keuangannya dari sedekah masyarakat tentunya
akan kesulitan menanggungnya. Apalagi jika dituntut sesuai dengan gaji
guru standar seperti yang disediakan oleh pemerintah. Sebagaimana kita
ketahui gaji tenaga pengajar di pesantren adalah relatif kecil, dan sangat
kecil dibandingkan dengan gaji pegawai negeri.
Pembagian kerja itu mencapai puncaknya dengan segala macam dampak negatif
yang terjadi, yaitu ketika pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama pada
tahun 1968 membuka kesempatan Ujian Guru Agama (UGA), dengan alasan bahwa
kebutuhan akan guru-guru agama begitu mendesak dan tidak dapat dipenuhi
oleh lulusan PGA yang ada. Hal ini banyak sekali mengundang penyalahgunaan
kekuasaan dan menimbulkan permasalahan yang sulit diatasi pemerintah. Persoalannya
menjadi begitu penting dan gawat sehingga hampir seluruh instansi pemerintah,
sampai presiden pun turun tangan dalam mengatasinya. Sulitnya persoalan
itu diatasi disebabkan keterkaitannya dengan kepentingan kultural, politik,
dan ekonomi. UGA dan pengangkatan guru-guru agama merupakan sistem balas
jasa kepada rank and file yang efektif sekali di tangan NU karena prestasinya
yang cukup tinggi di masyarakat desa, dan lebih-lebih karena arti ekonominya.
Contoh Kasus di Pondok Rejoso
Kebenaran umum itu juga berlaku untuk pesantren Rejoso. Penegerian madrasah-madrasahnya,
yaitu MIN, MTsAIN, dan MAAIN adalah hasil artikulasi politik dengan lingkungannya.
Demikian pula ketika mereka memperkenalkan Madrasah Mu'allimin, yang kemudian
diubah lagi menjadi PGA, dan akhirnya "dinegerikan". Semua mempunyai sangkut
paut dengan janji kerja, suatu sistem reward yang kini sangat dihargai
di Indonesia dimana pertanian sudah semakin menyempit karena pertumbuhan
penduduk.
Backlash dari itu adalah bahwa kini mulai terjadi suatu hal yang ironis
pada jalan pikiran pendidikan Rejoso dan pondok pesantren umumnya, yaitu
dulu pendidikan pesantren dibanggakan sebagai lembaga pendidikan yang tidak
bertujuan mencetak pegawai negeri, sekarang ternyata hanya mampu mencetak
pegawai negeri Departemen Agama saja!
Ketika itu kesempatan kerja di Departemen Agama sudah mulai menunjukkan
tanda kejenuhan. Bukan karena seluruh keperluan departemen itu telah terpenuhi
semua menurut kualitasnya yang layak, tetapi karena jumlah atau angka mutlak
yang ada sudah terlalu besar dibandingkan dengan departemen lainnya. Dan
yang ada itu pun harus diperebutkan secara terbuka oleh peminat-peminatnya,
dimana unsur achievement mulai ditekankan, dan dengan sendirinya unsur
afiliasi politik semakin kendor. Apalagi kenyataan bahwa menteri agama
bukan dari tokoh-tokoh NU terus, bahkan ada yang dulu merasakan permusuhan
dari NU menjadi menteri agama. Demikian pula jabatan-jabatan strategis
lainnya dalam Departemen Agama ini, di pusat dan daerah dipegang oleh orang
lain (bukan NU). Memang betul bahwa keinginan untuk menjadi guru agama
masih terasa kuat di kalangan kaum santri pada waktu itu, khususnya yang
menjadi murid PGA. Tetapi jelas sekali bahwa waktu itu pun sudah muncul
kesadaran akan keterbatasan jangkauan kerja bagi para santri tersebut.
Kesadaran itu menyebabkan terjadinya switch pada jenis sekolah dengan
kemungkinan janji kerja yang lebih luas. Jenis sekolah itu adalah SMP dan
SMA. Bahkan pada akhir tahun 1975 dipertimbangkan perlunya mendirikan Sekolah
Pendidikan Guru (SPG). Dan pada tahun itu pula pesantren Rejoso menerima
tawaran dari perwakilan P dan K Jatim di Surabaya untuk penegerian SMA-nya,
yang tentu saja disambut dengan gembira oleh Kiai Musta'in Ramli.
Apa yang dikehendaki dengan adanya SMP dan SMA itu, khususnya SMA, selanjutnya
mulai menjadi kenyataan. Semakin tahun semakin banyak murid SMA Rejoso
yang berhasil lulus dalam ujian persamaan negeri, dan karenanya mereka
berpeluang untuk melanjutkan ke perguruan-perguruan tinggi umum yang ada.
Untuk lulusan Rejoso ini lebih menyukai meneruskan di Unibraw Malang, Unej
Jember, dan Unair Surabaya. Bahkan cukup ironis bahwa Undar sendiri tidak
banyak kebagian mahasiswa baru dari SMA Rejoso ini.
Kalau dalam sistem pendidikan ini daya jangkau pesantren Rejoso cenderung
meningkat, maka dalam bidang politik pun pesantren ini menunjukkan kecenderungan
yang sama. Jika semula dapat dikatakan bahwa pesantren ini adalah mutlak
berada dalam genggaman partai politik NU dalam orientasinya, maka dalam
perkembangannya tidak lagi demikian. Banyak yang merasakan, atau menarik
kesan, bahwa Rejoso mempunyai sikap simpatik terhadap GOLKAR, suatu partai
yang pada waktu itu sangat berkepentingan ingin melemahkan NU, sekurangkurangnya
bersikap netral atau diam.
Hal itu semua dimulai menjelang pelaksanuan pemilu tabun 1971, ketika
GOLKAR, dalam hal ini dengan keterlibatan langsung pemerintah, khususnya
departemen dalam negeri, dengan giat mengadakan kampanye ke pondok-pondok
sambil memberikan bantuan uang jutaan rupiah. Pesantren Rejoso, sendiri
pada wakru itu mendapatkan 25 juta rupiah. Memang donasi yang besar itu
tidak disertai permintaan resmi agar para penerimanya memberikan dukungan
politik bagi GOLKAR. Sehingga beberapa pesantren tetap menerima donasi
itu namun masih sempat mempertegas pendiriannya dalam hal politik, seperti
yang dilakukan pesantren G0NTOR. Tetapi bagi kebanyakan orang donasi itu
diberikan dengan maksud menarik simpati penerimanya, yang pada akhirnya
diharapkan si penerima ini meninggalkan NU dan bergabung dengan GOLKAR.
Beberapa pesantren seperti pesantren Burengan di Kediri dengan tegas
menerima dan menyatakan dirinya sebagai pesantren GOLKAR. Sedangkan Rejoso
persoalannya lebih kompleks.. Di satu pihak sebagai pesantren yang berada
di daerah Jombang, Rejoso dinilai tidak sepantasnya meninggalkan NU. Sedangkan
di pihak lain, Rejoso ini sebagai salah satu dari 4 pesantren di Jombang
yang paling berpengaruh, dan memiliki sistem pendidikan yang paling modern
dengan adanya SMP, SMA, Fakultas Hukum, dan Fakultas Sospol—ternyata alumninya
belum semujur alumni pesantren lainnya. Dari ke 4 pesantren “bibit NU”
di Jombang itu Rejoso adalah satu-satunya yang belum pernah memperoleh
kedudukan tertinggi dalam tubuh NU, maupun dalam pemerintahan melalui NU.
Rais ‘Aam yang pernah menjabat sampai saat itu berturut-turut adaIah K.H
Moh Hasyim Asya'ari dari pesantren Tebuireng, K.H. Abdul Wahab Hasbullah
dari pesantren Tambakberas dan K.H Moh Bisri Syamsuri dari pesantren Denanyar.
Sedangkan dua mentri agama dari Jombang yang pernah ada adalah K.H. Abd.
Wahid Hasyim dari pesantren Tebuireng dan K.H. Wahib Wahab dari pesantren
Tambakberas. Sedangkan Rejoso, tampaknya tidak pernah melahirkan tokoh
dalam bidang politik maupun pemerintahan yang mampu mencapai jabatan setinggi
itu. K.H. Musta'in Ramli sudah tentu seorang kiai besar dan ternama, tetapi
bidangnva ialah tasawuf atlebih jelas lagi sebagai pemimpin tarekat Naqsyabandiyah-Qadiriyah.
Yang paling kuat kecenderungan politiknya ialah Kiai Maksum Khalil, tetapi
beliau telah wafat sebelum mencapai jabatan yang cukup berpengaruh. Jabatan
tertinggi yang pernah beliau peroleh adalah ketua cabang Jombang dan anggota
konstituante. Kiai Dahlan memang memperoleh jabatan yang terhormat dalam
NU, yaitu sebagai anggota Syuriah, dan di situ beliau menunjukkan kemampuan
yang tinggi sebagai ahli hadits dan ahli tafsir. Tetapi karena Syuriah
dalam pola sistem NU merupakan subsistem yang lebih mendekati sistem budaya,
dalam hal ini agama, maka nama Kiai Dahlan tidak pernah muncul ke permukaan
dalam bidang politik ini. Kiai Bisri Kholil juga memperoleh kedudukan yang
lumayan dalam NU, yaitu sebagai anggota DPR pusat. Namun hanya itulah yang
pernah diperolehnya, maksudnya tidak begitu menentukan dalam tubuh organisasi
NU. Demikian pula Kiai Sofyan Kholil, yang pernah diangkat menjadi anggota
DPR pusat menggantikan Jamhari yang ketika itu meninggal.
Kenyataan-kenyataan itu tampaknya berpengaruh kepada diri pribadi Kiai
Musta'in Ramli, dan merupakan faktor yang dia pertimbangkan dalam mengambil
keputusan politik. Dia pernah mengatakan kepada saya: "Saya toh tidak dapat
menitipkan amanat pesantren Rejoso kepada orang-orang Tambakberas atau
Tebuireng yang ada di pusat itu! Maka saya harus berjalan sendiri. menembus
kepusat sendiri!"
Tampaknya dia seeks national prominence dan untuk itu dia menempuh jalan
yang membuatnya cukup "progresif" menurut ukuran seorang kiai. Dia membina
hubungan langsung dengan Ali Murtopo, orang kuat kedua di Republik. Demikian
pula dengan Sudjono Humardhani, yang boleh dikatakan orang ketiga terkuat.
Dan beliau juga cukup erat berhubungan dengan Sudomo, yang pada waktu itu
menjabat sebagai Pangkopkamtib Kastaf. Tokoh-tokoh itu semuanya, juga Presiden
sendiri pernah mengunjungi Pondok Rejoso meski dalam kesempatan yang berbeda.
Yang paling mengesankan adalah persahabatannya dengan Sudomo, seorang Kristen,
tetapi juga dengan sendirinya yang paling menimbulkan kontroversi terhadap
Kiai Musta'in ini. Bagi seorang kiai, bergaul rapat dengan seorang Kristen,
apalagi pejabat yang ada hubungannya dengan masalah keamanan, adalah sesuatu
yang dipandang tidak layak dilakukan, dan kedengaran sangat unorthodox..
Begitu rapatnya hubungan itu, sehingga Sudomo selain pernah berkunjung
ke Rejoso juga memerlukan mengunjungi pembukaan kongres ke 5 Jam'iyah Thariqah
Naqsyabandiyah yang diselenggarakan di Madiun pada bulan Mei 1975. Dalam
kongres itu dia terpilih sebagai Ketua Umum Jam'iyah yang meliputi seluruh
Indonesia itu, dan dengan begitu ia betul-betul mendapatkan national prominence.
Tidak lama sesudah kongres, dia memimpin rombongan menghadap Presiden Soeharto
di Jakarta. Salah seorang tokoh Islam yang ikut dalam rombongan itu adalah
Kiai Wahib Wahab, bekas menteri agama, saudara iparnya (kakak istri Kiai
Mustatin yang terakhir). Sudomo pula yang menyebabkan dia dapat mengadakan
perjalanan keliling dunia bersama istrinya, antara lain ke Amerika ini
(New York, Washington, dan lain-lain). Demikian pula, tampaknya Sudomo
pula yang menyebabkan dia dapat pergi haji pada tahun 1975 bersama dengan
istrinya dan 5 orang tokoh pesantren Rejoso yang lain.
Selain itu dia berkendaraan sebuah Mercedes dan sebuah lagi Fiat. Dalam
hubungannya dengan mobil mewah ini, Kiai Musta'in pernah mengatakan kepada
saya: "Baru-baru ini saya ke Jakarta. Saya menemui orang penting, lalu
saya katakan: ‘Hai, pak mobil saya di rumah sudah mulai rusak-rusak. Ada
baiknya kalau saya dibelikan mobil!’ Dan dia lalu membelikan mobil ini."
Dan dapat dipastikan bahwa hal itu terjadi sebagai "hasil" interaksi politik
dengan orang-orang pusat.
Tetapi hubungan baik Kiai Musta'in tidak terbatas dengan tokoh-tokoh
di pusat. Beliau tidak melupakan pembinaan hubungan baik dengan tokoh-tokoh
di daerah Jawa Timur sendiri. Misalnya beliau bersahabat dengan Witarmin,
Pangdam Brawijaya pada waktu itu. Kemudian beliau juga membina hubungan
dengan Pangdak, Gubernur, dan dengan hampir semua Bupati. Hubungannya dengan
gubernur Jawa Tengah dan Jawa Barat khususnya setelah beliau menjabat Ketua
Umum Jam'iyah Thariqah Mu'tabarah, juga tampak semakin mendua.
Sudah tentu sikap Kiai Musta'in ini sangat mempengaruhi pondok Rejoso.
Salah satu bentuk pengaruh politiknya yang terasa sekali adalah di kalangan
mahasiswa Undar, yaitu sikap-sikap politik mahasiswa ini yang lebih simpatik
terhadap pemerintah, baik terhadap pemerintah pusat maupun daerah. Terhadap
pemerintah pusat, dapat dilihat sikap mahasiswa Rejoso yang tak begitu
puas dalam kaitannya dengan kontroversi Rencana Undang-undang Perkawinan,
dan sikap ini berbeda misalnya dengan Tebuireng. Ketika terjadi peristiwa
Malari pada awal 1974, mahasiswa Rejoso justru menjadi sandaran pemerintah
untuk mendapatkan jaminan keamanan. Sedangkan Tebuireng menyambut kedatangan
beberapa tokoh pusat yang datang untuk mengadakan "fact finding" dengan
demonstrasi yang cukup keras. Padahal dalam rombongan itu hadir pula Jenderal
Rahmat Kartakusumah dan Dr. Ruslan Abdul Gani, pemimpin-pemimpin yang cukup
dikenal bersimpati kepada orang-orang santri (Islam). Sehingga tidak mengherankan
kalau demonstrasi Tebuireng itu kemudian dinilai oleh banyak orang sebagai
demontrasi yang salah alamat.
Begitu pula dalam hal pemerintah daerah, mahasiswa Rejoso menunjukkan
sikap yang lebih kooperatif daripada mahasiswa Tebuireng. Hal ini dinyatakan
sendiri oleh bupati Jombang kepada saya dalam satu pertemuan langsung dan
melalui wawancara. Sikap kooperatif itu misalnya terbukti dari peranan
positif dan dengan berpartisipasi dalam kegiatan KNPI, suatu proyek pemerintah
pusat, kalau tidak GOLKAR, di bidang pembinaan pemuda Indonesia. Inilah
yang menyebabkan pemerintah Daerah memberi wewenang kepada pesantren Rejoso
untuk menunjuk ketua Majelis Ulama Jombang. Kemudian Rejoso, dalam hal
ini Kiai Musta'in menunjuk Kiai Sofyan Kholil sebagai ketua Majelis Ulama
tersebut.
Berdasarkan kenyataan di atas maka tidak mengejutkan pada waktu itu
terdapat kecenderungan bahwa hubungan antara pondok Rejoso dengan NU merenggang.
Salah satu perrmintaan NU Jombang, yaitu untuk dapat membangun kantor NU
di tanah UNDAR, ditolak tegas oleh Kiai Musta'in. Dan tokoh-tokoh pondok
itu terkesan membiarkan adanya pernyataan resmi bahwa pondoknya adalah
netral politik, yang berarti Rejoso meninggalkan NU. Bahkan suara serupa
itu juga terdengar dari Haji As’ad Umar, tokoh ketiga dalam pondok, yang
juga bekas ketua DPRD Jombang—jabatan ini sebenarnya diperoleh melalui
fraksi NU—dan sebelumnya terkenal fanatik pada partainya.
Itu semua merupakan warna pondok Rejoso yang tampak dari luar. Dan untuk
mereka yang berkepentingan, misalnya GOLKAR, juga Kiai Musta'in sendiri
dan tokoh-tokoh Rejoso, penampakan ini pun dirasakan cukup memadai untuk
menunjukkan di mana sebenarnya posisi pondok Rejoso itu. Tetapi untuk memahami
betul hakikat pondok itu beserta keseluruhan bagian-bagiannya, patut direnungkan
perkataan Kiai Mustatin berikut ini: "Memang sebaiknya pondok ini (Rejoso)
netral politik, yaitu untuk kepentingan kemajuan pendidikan yang diselenggarakannya.
Tetapi nanti dalam pemilu saya sendiri tidak bisa lain kecuali mesti memilih
partai Islam!". |