[ Dr. Nur Cholish Madjid / Bilik-Bilik Pesantren ]

 
Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren 

I. Sekilas Tentang Pesantren

Pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.

Seandainya negeri kita ini tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren itu. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair, atau pun yang lain, tetapi mungkin namanya "universitas" Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri, di mana hampir semua universitas terkenal cikal-bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga, seandainya kita tidak pernah dijajah, pesantren-pesantren itu tidaklah begitu jauh terpencil di daerah pedesaan seperti kebanyakan pesantren sekarang ini, melainkan akan berada di kota-kota pusat kekuasaan atau ekonomi, atau sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana, sebagaimana halnya sekolah-sekolah keagamaan di Barat yang kemudian tumbuh menjadi universitas-universitas tersebut.

Dari keterangan sederhana itu saja mungkin kita sudah dapat menarik suatu proyeksi tentang apa peranan dan di mana letak sebenarnya sistem pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia yang merdeka (artinya: tidak dijajah), untuk masa depan bangsa yang lebih "berkepribadian”. Gambaran konkritnya dapat dibuat dengan menganalogikan sebuah pesantren di Indonesia ambil sebagai misal Tebuireng) dengan sebuah kelanjutan “pesantren" di Amerika Serikat (ambil sebagai misal "pesantren" yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat Boston) Tebuireng menghasilkan apa yang bisa dilihat oleh rakyat Indonesia sekarang ini (di sini tak perlu dipaparkan lagi), dan "pesantren”-nya pendeta Harvard itu telah tumbuh menjadi sebuah universitas vang paling “prestigious”di Amerika. dan hampir secara pasti memegang kepeloporan dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern dan gagasan-gagasan mutakhir. Demikian pula kaitannya dengan kekuasaan. Universitas Harvard memegang rekor dalam menghasilkan orang-orang besar yang menduduki kekuasaan tertinggi di Amerika Serikat. Tetapi di Indonesia sebagaimana kita ketahui, peranan "Harvard" itu tidak dimainkan oleh Tebuireng, Tremas ataupun Lasem, melainkan oleh suatu pergunian tinggi umum yang sedikit banyak merupakan kelanjutan lembaga masa penjajahan: UI misalnya.

Fenomena ini tentu memancing timbuinya pertanyaan, mengapa bisa terjadi demikian? Kalau kita tinjau secara agak mendalam, antara dunia pesantren dengan panggung dunia global abad ke XX, sebenarnya terjadi kesenjangan atau "gap”. Di satu sisi, dunia global sekarang ini masih didominasi oleh pola budaya Barat dan sedang diatur mengikuti pola-pola itu. Sedang di sisi lain pesantren-pesantren kita disebabkan faktor-faktor historisnya, belum sepenuhnya menguasai pola budaya itu (yang sering dikatakan sebagai pola budaya "modern"), sehingga kurang memiliki kemampuan dalarn mengimbangi dan menguasai kehidupan dunia global. Bahkan, untuk rnemberikan responsi saja sudah mengalami kesulitan.

Kesenjangan waktu atau time lag memang mengandung konotasi ada yang berposisi ketinggalar, konservatif, ataupun, kolot. Tetapi membentuk konotasi keagamaan sebagai kekolotan sudah tentu tidak benar. Dalam hal Universitas Harvard tadi misalnya, relevansinya dengan perkembangan zaman, bahkan kepemimpinan, tidaklah diperoleh dengan meninggalkan samasekali jiwa "kepesantrenannya”, (dalam arti: fungsi pokok atau historis sebagai tempat pendidikan keagamaan). Di sana masih terdapat bagian-bagian yang mengajarkan teologis, disamping monumen-monumen keagamaan yang banyak terdapat dalam lingkungan kampusnya seperti gereja-gereja, chapel-chapel, dan koleksi barang-barang keagamaan. Bahkan dalam bidang teologia itu Harvard tetap meneruskan peranan historisnya sebagai penganut madzhab unitarianisme.

Penyajian fenomena di atas menunjukkan bahwa untuk memainkan peranan besar dan menentukan dalam ruang lingkup nasional, pesantren-pesantren kita tidak perlu kehilangan kepribadiannya sendiri sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki pesantren-pesantren itu sebenarnya merupakan ciri khusus yang harus dipertahankan, karena di sinilah letak kelebihannya.

Tetapi, kita menemui keadaan yang hampir tidak menopang proyeksi itu. Jika tidak karena harapan-harapan yang idealistik dilandasi oleh hubungan sentimentil seorang Muslim Indonesia dengan dunia pesantren, hampir-hampir kita mengatakan bahwa pesantren, justru karena keasliannya, merupakan “fosil" masa lampau yang cukup jauh untuk bisa memainkan peranannya sebagaimana kita harapkan.

Jika diadakan suatu "moment opname” atau pemotretan sesaat, maka akan tampak gambaran tentang pesantren yang kurang kondusif bagi peranan-peranan besar tadi. Tidak perlu mengadakan tinjauan pada keadaan fisiknya, sebab dalam analisa terakhir penempatan segi fisik ini jatuh dalam urutan kedua dalam skala prioritas. Yang perlu kita tinjau adalah segi non-fisiknya. Sebab titik tolak perubahan, perkembangan, pertumbuhan, dan kemajuan adalah segi non-fisik yang berupa sikap jiwa keseluruhan.

Kekurangan pertama adalah terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren. Agaknya tidak banyak pesantren yang mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikannya dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Mungkin kebutuhan pada kemampuan itu relatif terlalu baru. Tidak adanya perumusan tujuan itu disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kiai atau bersama-sama para pembantunya secara intuitif yang disesuaikan dengan perkembangan pesantrennya. Malahan pada dasarnya memang pesantren itu sendiri dalam semangatnya adalah pancaran kepribadian pendirinya. Maka tidak heran kalau timbul anggapan bahwa hampir semua pesantren itu merupakan hasi1 usaha pribadi atau individual (individual enterprise).

Adanya pengaruh semangat pribadi para pendirinya terhadap pesantren itu memang tidak bisa dihindarkan dan ini bukanlah kesalahan mereka. Para pendiri itu tidak an sich salah, kalau saja hambatan bagi perkembangan pesantren tidak tlmbul dari dominasi pengaruh ini. Sebab, seorang prlbadi tentulah tidak lebih daripada kapasitas-kapasitas fisik maupun mentalnya. Ia memiliki kemampuan-kemampuan yang terbatas. Umpamanya saja, dari segi non-fisik, pribadi tersebut mengetahui beberapa hal, tetapi bisa dipastikan lebih banyak Iagi hal lain yang belum diketahuinya. Keterbatasan akan pengetahuan itu tentu akan tercermin pula dalam keterbatasan kemampuan mengadakan responsi pada perkembangan-perkembangan masyarakat.

Dalam pepatah Arab disebutkan bahwa "al-insan-u 'aduw-un ma jahiluhu (manusia menjadi musuh dari apa yang tidak diketahuinya)." Berkaitan dengan ini banyak sekali kasus yang dapat dijadikan contoh: seorang kiai yang kebetulan tidak dapat membaca-menulis huruf latin mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menolak atau menghambat dimasukkannya pengetahuan baca-tulis latin ke dalam kurikulum pelajaran pesantrennya. Itu adalah kasus kecil dan sederhana, sehingga mudah terlihat. Kasus lain yang lebih kompleks seorang tokoh pesantren yang tidak mampu lagi mengikuti dan menguasai perkembangan zaman mutakhir tentu cenderung untuk menolak mengubah pesantrennya mengikuti zaman tersebut meskipun dengan begitu pesantrennya akan menjadi lebih berjasa kepada masyarakat.

Kurangnya kemampuan pesantren dalam meresponi dan mengimbangi perkembangan zaman tersebut, ditdengan faktor lain yang sangat beragam, membuat produk-produk pesantren dianggap kurang siap untuk "lebur" dan mewarnai kehidupan modern. Tidaklah mengherankan apabila muncul gambaran diri seorang santri itu, dibanding dengan tuntutan-tuntutan kehidupan nyata pada zaman sekarang, adalah gambaran diri seorang dengan kemampuan-kemampuan terbatas. Sedemikian terbatasnya kemampuan itu sehingga peranan-peranan yang mungkin dilakukan ibarat hanya bersifat tambahan yang kurang berarti pada pinggiran-pinggiran keseluruhan sistem masyarakat saja, dan kurang menyentuh, apalagi mempengaruhi nukleus dan inti-poros perkembangan masyarakat itu. (Harap ingat perbandingan dengan peranan lulusan "pesantren" Harvard di atas). Meskipun gambaran diri itu tetap memiliki warna keagamaan —biasanya memperoleh gelar sebagai kiai, alim, ustadz atau sekedar santri— namun diukur dari keharusan-keharusan keagamaan itu sendiri masih menunjukkan kekurangan-kekurangan.

Pada umumnya pembagian keahlian para lulusan atau produk pendidikan pesantren berkisar pada bidang-bidang berikut:

    A. Nakwu-Sharaf:

    Kalau dalam bahasa kita istilah nahwu-sharaf ini mungkin bisa diartikan sebagai gramatika bahasa Arab. Bannyak orang berhasil memperoleh status sosial-keagamaan —jadi berhak atas titel kiai, ustadz, atau yang lainnya—hanya karena dianggap ahli dalam gramatika bahasa Arab ini. Bentuk konkrit keahlian itu biasanya sangat sederhana, yaitu kemampuan mengaji atau mengajarkan kitab-kitab nahwu-sharaf tertentu, seperti Ajurumiyah, ‘Imrithi, Alfiyah, atau—tingkat tingginya—kitab Ibnu ‘Aqil. Knotasi keagamaan dalam keahlian di bidang ini semata-mata karena bahasa objek studinya adalah bahasa Arab. Status sosial keagamaan yang mereka dapatkan itu tidak akan hilang meskipun yang bersangkutan sendiri mungkin tidak menggunakan "ilmu alat"-nya ini untuk secara sungguh-sungguh mempelajari ilmu agama, sebagaimana yang menjadi tujuannya semula.

    B. Fiqh

    Para ulama fiqh sendiri mendefinisikannya sebagai sekumpulan hukum amaliah (sifatnya akan diamalkan) yang disyaratkan dalam Islam. Pengetahuan tentang hukum-hukum (agama, atau syari'at) memang untuk jangka waktu yang lama sekali memegang dominasi dunia pemikiran atau intelektual Islam. Perkembangan agama Islam terjadi sedemikian rupa sehingga terdapat keharusan adanya pembakuan sistem hukum untuk mengatur masyarakat. Pembakuan itu sendiri terjadi pada sekitar abad kedua Hijriah. Karena hubungannya yang erat dengan kekuasaan, rmaka pengetahuan tentang hukum-hukum agama merupakan tangga naik yang paling langsung menuju pada status sosial politik yang lebih tinggi. Sehingga meningkatlah arus orang yang berminat mendalami keahlian dalam bidang hukum ini, dan terjadilah dominasi fiqh tersebut. Jadi tidaklah aneh bahwa keahlian dalam fiqh merupakan konotasi terkuat bagi kepemimpinan keagamaan Islam. Tetapi, demi pembahasan patutlah di sini dipertanyakan apakah keahlian dalam fiqh seluruhnya relevan dengan keadaan sekarang?

    C. 'Aqa’id

    Bentuk plural dari 'aqidah yang padanannya dalam bahasa kita adalah keyakinan. 'Aqa'id ini meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan dan keyakinan seorang Muslim. Meskipun bidang pokok-pokok kepercayaan atau 'aqa'id ini disebut ushuluddin (pokok-pokok agama) sedangkan fiqh disebut soal furu' (cabang-cabang), tetapi kenyataannya perhatian pada bidang pokok ini kalah besar dan kalah antusias dibanding dengan perhatian pada bidang fiqh yang hanya merupakan cabang (furu’) itu. Agaknya ini disebabkan oleh kecilnya akses yang dimiliki bidang 'aqa’id pada struktur kekuasaan (sosial politik) bila dibandingkan dengan akses yang dimiliki bidang fiqh. Selain itu, bidang 'aqa’id yang juga disebut ilmu kalam ini memang membuka pintu bagi pemikiran filsafat yang kadang sangat spekulatif. Sebagai akibatnya, keahlian di bidang ini tampak kurang mendalam. Dan untuk dapat dikatakan ahli dalam bidang 'aqa'id ini cukuplah dengan menguasai kitab-kitab sederhana seperti Aqidat-u al-'Awam, Bad'u al-Amal, Sanusiyah, dan kitab-kitab yang tidak begitu "sophisticated” lainnya.

    D. Tasawuf

    Sampai saat ini belum ada definisi tentang tasawuf yang secara lengkap bisa menjelaskannya. Dan jangan banyak berharap bahwa orang yang terjun dalam dunia tasawuf sendiri dapat menjelaskan secara gamblang tentang dunianya itu. Malah mungkin perkataan tasawuf sendiri asing baginya. Dia hanya mengetahui tentang tarekat, suluk, dan wirid. Mungkin ditambah dengan sedikit dongeng tentang tokoh-tokoh legendaris tertentu, seperti Syeikh 'Abdul Qadir Jaylani. Kadang ini diikuti sikap hormat yang berlebihan kepada tokoh-tokoh mereka sendiri, baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup. Hal ini sebenarnya menunjukkan kedangkalan pemahaman mereka terhadap tasawuf itu sendiri. Untuk mendapatkan status sosial-religius yang terpandang dalam bidang tasawuf ini, seseorang itu cukup sekedar mampu memimpin suatu gerakan tarekat dengan menjalankan wirid pada hari-hari dan saat-saat tertentu, baik secara mandiri maupun sebagai "khalifah" atau "badal" dari seorang tokoh lain yang lebih besar. Sesungguhnya bidang tasawuf atau sufi adalah bidang yang sangat mendalam, dan berkaitan dengan rasa atau semangat keagamaan itu sendiri. Dan sebenarnya bidang ini adalah yang paling menarik dalam struktur kehidupan beragama. Tetapi pesantren-pesantren tidak ada yang secara sungguh-sungguh menggarapnya. Padahal tasawuf ini merupakan bidang yang sangat potensial untuk memupuk rasa keagamaan para santri, dan menuntun mereka memiliki budi pekerti mulia.

    E. Tafsir

    Salah satu bidang keahlian yang jarang dihasilkan pesantren adalah bidang tafsir al-Qur'an. Padahal bidang inilah yang paling luas daya cakupnya, sesuai dengan daya cakup Kitab Suci yang mampu menjelaskan totalitas ajaran agama Islam. Kalau kita perhatikan, pemikiran-pemikiran fundamental yang muncul dalam dunia Islam biasanya dikemukakan melalui penafsiran-penafsiran al-Qur'an. Lemahnya pengetahuan di bidang ini akan membuka kemungkinan munculnya penyelewengan-penyelewengan dalam menafsirkan al-Qur'an. Sehingga bisa dibayangkan betapa strategisnya keahlian di bidang ini untuk mengantisipasinya. Sayang sekali pesantren-pesantren "kurang berminat" dalam menggarap bidang ini, terlihat dari miskinnya ragam kitab tafsir yang dimiliki perpustakaannya. Kitab tafsir yang dikaji pun biasanya tidak jauh dari kitab Tafsir Jalalayn.

    F. Hadits

    Kalau di bidang tafsir tidak banyak produk pesantren kita yang "mumpuni”, terlebih lagi di bidang Hadits ini. Apalagi jika diukur dari segi penguasaan segi riwayah dan dirayah. Padahal kalau diingat bahwa kedudukan Hadits sebagai sumber hukum agama (Islam) kedua setelah al-Qur'an, keahllan di bidang ini tentunya sangat diperlukan untuk pengembangan pengetabuan agama itu sendiri.

    G. Bahasa Arab

    Berbeda dengan bidang tafsir dan Hadits, di bidang bahasa Arab ini kita bisa melihat fenomena yang cukup menggembirakan. Pesantren-pesantren kita telah mampu memproduksi orang-orang yang memiliki keahlian lumayan dalam bahasa Arab. Keahlian di bidang ini harus dibedakan dengan keahlian dalam nahwu-sharaf di atas. Sebab, titikberatnya adalah pada penguasaan "materi" bahasa itu sendiri baik pasif maupun aktif. Kebanyakan mereka kurang mengenal lagi kitab-kitab nahwu-sharaf seperti yang biasa dikenal di pondok-pondok. Tetapi mereka mengenal buku-buku bahasa Arab dan sastranya yang terbit rata-rata pada awal abad kedua puluh ini, yang sebagian besar merupakan karya pujangga-pujangga Mesir. Memang pada awal abad kedua puluh litu dunia Arab, terutama Mesir, banyak menghasilkan buku bahasa maupun sastra Arab. Ini tidak bisa dilepaskan dari adanya pengaruh—langsung maupun tidak langsung—renaisance Arab di Mesir-Syria akhir abad ke-19, yang muncul setelah adanya kontak-kontak antara dunia Arab dengan dunia Barat, kbususnya melalui "jembatan" penjajahan Perancis dan kemudian Inggris. Karena kaitannya yang cukup erat dengan renaisance itu, maka gejala baru dunia pesantren ini sedikit banyak mengandung "modernity complex", perasaan atau sekedar keinginan untuk disebut modern. Maka dari itu relatif bersikap terbuka kepada ilmu-pengetahuan modern. Dan ini teruditerapkan oleh pesantren-pesantren yang sudah modern. Sebagai indikatornya adalah masuknya pelajaran bahasa Inggris di pesantren-pesantren tersebut.

Memang banyak segi manfaat dari produk pesantren yang modern ini, dan mungkin mereka lebih unggul dibanding dengan produk pesantren lainnya. Bahkan jelas telah terbukti —sekalipun tidak dalam konteks sejarah yang cukup panjang— bahwa pesantren semacam ini adalah yang paling memenuhi selera kaum Muslim dalam memasuki era modernisasi pada saat itu, yaitu selera untuk dapat disebut sebagai orang modern tetapi tidak kehilangan identitas kemuslimannya. Karena itu orientasi kulturalnya menjadi lebih sederhana. Ini terlihat pada penggabungan pengetahuan bahasa Arab dan bahasa Inggris yang melambangkan perpaduan antara unsur keislaman dan unsur kemodernan. Namun tetap harus diakui bahwa status sosial pemimpin-pemimpin Islam berlatar belakang pendidikan agama masih di bawah pemimpin-pemimpin Islam yang latar belakangnya pendidikan umum. Yang terakhir ini lebih dihormati dan status sosialnya lebih tinggi dibanding dengan yang pertama, sekalipun mereka yang dari pendidikan agama sudah mulai "dicampur" dengan unsur-unsur modern. Dalam hal ini ingat saja kelompok para pemimpin besar anggota-anggota Studenten Islam Studie Club-nya Pak Roem dan kawan-kawan. Sebab, dalam "ujian" kemampuan mengadakan responsi pada masalahmasalah perkembangan sosial yang semakin kompleks itu ternyata orang-orang berpendidikan umum tetap lebih unggul dan "leading" daripada mereka yang berpendidikan agama, biarpun "semodern" lulusan Dar-u al-Ulum di Kairo!

Bagi orang-orang yang berpendidikan umum ini, untuk dapat menduduki status sosial tertinggi dalam hirarki atau piramida masyarakat Islam cukup dengan hanya menunjukkan kesungguhan dalam komitmen religiusnya. Tentunya, ini juga harus diikuti dengan sikap bersahabat terhadap mereka yang berlatarkan pendidikan agama. Sebab, dan ini yang harus kita sadari, sampai saat ini dunia masih didominasi oleh pola-pola aturan konsep modern (Barat). Dan pola-pola tersebut lebih banyak disampaikan melalui pendidikan umum daripada melalui pendidikan agama. Sekalipun tidak bisa kita pungkiri legitimasi kepemimpinan ada dalam ukuran-ukuran agama.

H. Fundamentalisme

Ada lagi hasil pendidikan pesantren yang perlu dibicarakan di sini, yaitu —untuk mudahnya namakan saja— fundamentalisme. Yang dimaksud di sini adalah mereka yang dilatih begitu rupa oleh pesantrennya sehingga memiliki semangat fundamentalistik yang tinggi sekali. Curahan perhatian biasanya diutamakan pada bidang fiqh, tetapi tentu dengan cara dan orientasi yang berbeda dengan model "fiqh" tersebut di atas. Jenis ini biasanya dapat berfungsi hanya dalam lingkungan yang sangat terbatas saja, mengingat kadar fundamentalisme dan puritanisme mereka yang sering melahirkan sikap-sikap kaku.

Selain jenis-jenis produk pesantren di atas sudah tentu masih terdapat jenis-jenis lain yang tak perlu diketengahkan secara khusus di sini, seperti jenis keahlian dalam ilmu falak, kanuragaan, qira’at, dan "ilmu hikmah".

II. Refleksi dan Kemungkinan

Merenungkan bidang-bidang keahlian pendidikan pesantren tersebut —termasuk merenungkan tujuan pendidikannya sekalipun tldak terumuskan— akan menginsafkan kita bahwa tidak mungkin membuat sikap yang serba absolut, baik membenarkan maupun menyalahkan adanya pengkhususan pada bidang-bidang itu. Kesemuanya ada dalam daerah tinjauan yang serba relatif. Secara positif mungkin saja suatu jenis pengkLususan akan merupaka

kelebihan suatu pesantren terhadap pesantren lainnya. Tetapi dengan sendirinya itu berarti menuntut kesungguhan dalam penggarapan dan pengerjaannya. Artinya, suatu kekhususan bidang keahlian tidak akan merupakan ciri kelebihan suatu pesantren yang patut dihargai jika tidak digarap secara serius atau hanya menurut apa adanya saja. Tentunya keseriusan peggarapan ini harus diikuti dengan kejelasan program, penggunaan metode yang komprehensif, kecakapan pelaksana, dan kelengkapan sarananya. 

Tetapi dari segi lain, pengkhususan bidang-bidang tersebut hanyalah bersifat sektoral. Ia baru memiliki arti jika merupakan bidang-bidang tak khusus atau spesialisasi yang mendalam. Karena itu tidak mungkin diterapkan untuk setiap orang. Tidak setiap orang memiliki kemampuan atau merasa tertarik pada spesialisasi ini. Tentunya mereka memerlukan sesuatu yang lebih universal (tidak sektoral sifatnya) dari agamanya. Sesuatu itu dapat diraba bentuk nyatanya melalui sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya tugas, risalah, "mission" dan fungsi dari agama itu sendiri untuk hidup ini? Siapakah sebenarnya, atau bagaimana sesungguhnya bentuk kepribadian seorang "agamawan", "rajul-un dîniy-un itu? Di manakah sesungguhnya letak utama manifestasi atau pancaran keagamaan itu? Bahkan dapat ditambahkan, apakah sebenarnya pengetahuan agama yang lebih fungsional dalam kehidupan ini dan secara asasi mempengaruhinya?

Mungkin saja seseorang sudah cukup sebagai agamawan karena telah dengan taat menjalankan norma-norma hukum agama sebagaimana terdapat dalam fiqh, atau memegang teguh kaidah-kaidah kepercayaan sebagaimana diajarkan oleh ilmu 'aqa'id, atau dengan khusyu' dan rajin menjalankan ibadah sunah serta wirid-wirid sebagaimana anjuran tasawuf atau tarekat. Tetapi jelas bukanlah termasuk dalam kategori agamawan jika seorang itu hanya ahli—biarpun mendalam—dalam bahasa Arab, apalagi nahwu-sharaf saja. Sebetulnya keberadaan ilmu-ilmu "alat" ini memang untuk mempelajari agama itu sendiri. Hanya saja patut disayangkan banyak orang yang seperti diibaratkan pepatah "tenggelam dalam syarat lupa pada tujuan", karena banyak menghabiskan tenaga, harta, dan umur hanya untuk memperdalam ilmu-ilmu alat itu saja, tanpa sampai pada pengetahuan agama itu sendiri.

Pada bagian yang mendasar sekali, segi agama yang universal dan diperlukan oleh setiap pribadi itu adalah ajaran-jaran agama yang menjadi "grounds for meaning" (istilah seorang sosiolog), atau “asas-asas makna hidup". Dengan kata lain, ajaran-ajaran agama yang menjadi sumber pokok pancaran nilai-nilai kehidupan disebut universal karena selain merupakan keperluan setiap individu, juga kapasitas fungsionalnya sebagai sumber nilai tidak terkena oleh batasan-batasan ruang dan waktu. Bagian dari ajaran-ajaran agama yang bersifat asasi itu membentuk apa yang dinamakan dalam bahasa pengetabuan sosial sebagai "weltanschauung".

Weltanschauung Islam itu membicarakan tiga masalah pokok, yaitu Tuhan, manusia, dan alam (setelah dikotomi mutlak antara Tuhan/Khaliq dengan makhluk), termasuk bentuk-bentuk hubungan antara masing-masing ketiga unsur itu. Dalam tiga kategori pembahasan filsafati itu telah tercakup persoalan-persoalan penting seperti alam-gaib, eskatologi (doktrin tentang saat-saat terakhir kehidupan dan wujud seluruhnya), tentang Nabi dan Rasul, dan lain-lainnya.

Pembahasan di atas tidak bisa lepas dari perspektif-perspektit yang lebih bersifat asasi. Dalam pembahasan hubungan antarmanusia umpamanya, yang dimaksud bukanlah sekedar materi-materi pembicaraan tentang "mu'amalah (ma'a 'l-khalqi)" dalam fiqh, melainkan lebih pada ajaran-ajaran yang memberikan pendekatan falsafi tentang siapa itu manusia dan bagaimana seharusnya hak dan kewajiban kemanusiaan dalam hubungan antarsesamanya. Maka pembahasannya akan lebih banyak berkisar pada doktrin tentang kesamaan kemanusiaan (egalitarianisme), hak-hak asasi, dan keadilan sosial. Dari sudut pandangan itu materi-materi yang menjadi pembahasan dalam bab "mu'amalah" merupakan salah satu bentuk aspek pelaksanaan ajaran-ajaran asasi, dan sifatnya lebih praktis, sehingga sangat mungkin akan terpengaruh kondisi yang ada. Tentang ketuhanan misalnya, mungkin saja kita masih memerlukan pemahaman melalui pendekatan sifat-sifatnya, seperti yang diajarkan dalam metode Matûridy-Asy'âry. Tetapi jelas kita memerlukan keinsyafan ketuhanan yang lebih fungsional dalam ruhani kita. Umpamanya keinsyafan bahwa Tuhan mutlak memiliki sifat pengasih, penyayang, pengampun, penyantun kepada umat manusia, "omnipresent" (senantiasa hadir mutlak), dan keseluruhan sifat Tuhan dalam al-asma'-u 'l-husna. Penting juga diinsyafi tentang sifat kemutlakan Tuhan yang tak terjangkau kemampuan manusia, namun manusia dapat berproses mendekatinya dengan taqarrub. Sedangkan dalarn hubungan antara manusia dengan Tuhan kita juga tidak hanya mempelajari persoalan-persoalan ubudiyah saja. Tetapi membahas dan menanamban keinsyafan yang mendalam tentang makna nilai-nilai keagamaan seperti taqwa, taqarrub, tawakkal, ikhlas, dan seterusnya. Dari penglihatan ini, ibadat dalam arti ritus merupakan sarana edukatif bagi terbentuknya kualitas-kualitas tersebut dalam jiwa manusia.

Tumbuhnya kesadaran pada manusia tentang apa alam ini dan bagaimana bentuk hubungan ideal antara manusia dengan alam sangat relevan dengan pola kehidupan sekarang. Pembahasan ini banyak sekali "bahannya" dalam kitab suci al-Qur'an, dan tentu akan menghasilkan suatu sistem doktrin yang sebanding —bukan berarti sama, malah mungkin bertentangan— dengan doktrin-doktrin lain, seperti doktrin-doktrin Karl Marx. Sebagaimana kita ketahui Marxisme mengandung antara lain materialisme filsafat dan materialisme sejarah. Demikian juga, al-Qur'an banyak memberi keterangan yang sangat fundamental tentang lingkungan hidup manusia, baik alam benda maupun alam sosial, yang kesemuanya berada dalam kepastian aturan Allah melalui sunnah-Nya. Sehingga kalau kita menginsyafinya akan tumbuh dalam diri kita kesadaran untuk memelihara lingkungan hidup disertai dengan kesadaran historis dan sikap-sikap yang tepat.

III. Kesimpulan dan Pelaksanaan

Gagasan-gagasan yang dikemukakan di atas bersifat sangat tentatif. Seandainya deskripsi, analisa, dan tinjauan tadi benar, maka ada dua kesimpulan pokok yang bisa kita tarik, yaitu:

Pertama, pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Tetapi mungkin diperlukan suatu tinjauan kembali sedemikian rupa sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna hidup dan weltanschauung Islam, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan secukupnya tentang kewajiban-kewajiban praktis seorang Muslim sehari-hari. Pelajaran-pelajaran ini kemungkinan dapat diberikan melalui beberapa cara. di antaranya:

    a. Mempelajari al-Qur'an dengan cara yang lebih sungguh-sungguh daripada yang umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan menitik beratkan pada pemahaman makna dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Ini memerlukan kemampuan pengajaran yang lebih besar. Yaitu pengajaran kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat atau surat-surat yang dibacanya dengan menghubungkannya dengan ayat-ayat. atau surat-surat lain (yang belum terbaca pada saat itu). Pelajaran ini mungkin mirip dengan pelajaran tafsir, tetapi dapat diberikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan cukup dengan al-Qur'an secara langsung.
    b. Melalui pertolongan sebuah bahan bacaan atau buku pegangan. Penggunaan cara ini sangat tergantung pada kemampuan para pengajar dalam mengembangkannya secara lebih luas.
Selain itu baik sekali memanfaatkan mata-pelajaran lain untuk "disisipi" pandangan-pandangan keagamnan tadi. Dan menanamban kesadaran dan penghargaan yang lebih wajar pada hasil-hasil seni-budaya Islam atau senibudaya umumnya. Hal ini penting sekali untuk menumbuhkan kepekaan rohani, termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang menjadi inti rasa keagamaan.

Selain dari segi yang lebih universal ini, pesantren dapat mengadakan pendalaman-pendalaman pada segi lainnya dalam suatu tingkat yang lebih lanjut dan bersifat "takhassus". Suatu catatan berkaitan dengan hal tersebut adalah keharusan mengadakan pengaturan kembali alokasi waktu dan tenaga pengajaran sehingga terjadi penghematan dan intensifikasi bagi pelajaran-pelajaran lainnya.

Kedua, pesantren harus tanggap dengan tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Di bagian ini pun, sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang, harus tejurusan-jurusan alternatif bagi anak didik sesuai dengan potensi dan bakat mereka.

Jadi tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Selain itu produk pesantren ini diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada (Indonesia dan dunia abad sekarang). 


www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt