[  H i w a r  ]

HAK ASASI MANUSIA
DARI MORALITAS AGAMA MENUJU UNIVERSALITAS NILAI
Oleh: Tholak Imam M.*
 

Prolog

Kendatipun isu santer HAM (Hak Asasi Manusia) sudah merebak sejak setengah abad silam, namun gagasan besar ini, terus menerima respon dan kilas balik pemikiran antara para pakar di Barat dan Timur.  Sikap menerima dan menolak deklarasi tersebut pun menjadi buah bibir semua  orang. Walau bagaimanapun terasa cukup lamban umat (baca: pemikir) Islam yang merespon masalah ini. Apakah dengan satu alasan betapa khazanah pemikiran Islam (syari'ah) yang subur itu sarat dengan nilai-nilai universal kemanusiaan, yang bersumber dari moralitas agama sebagai landasan normatifnya ? Ataukah dengan dalih bahwa apa yang sudah diperkenalkan oleh al Ghazali - yang juga diijmak oleh mayoritas pemikir Islam tentang - al kulliyâ t alkhoms dalam bukunya Ihya' 'Ulum al Dien itu, sudah merupakan harga mati yang sulit untuk ditawar dan dipertanggungjawabkan. Lebih muykilnya disaaat ide tersebut mau tidak mau berbenturan dengan pranata sistem internasional yang ngentrend dekade terakhir ini, dari muatan HAM sebagaimana yang akan kita bahas dalam tulisan berikut ini.

Yang jelas al dloririyâ tul al khamsu seperti yang sudah kita mafhum - yang juga disebut dengan al kulliyâ t al khamsu perlu dikaji ulang sejauh mana relevansi nilainya, setelah konsepsi ini berjalan sekitar  tujuh abad lamanya. Relevansi yang dimaksud dalam kajian ini adalah mencari terobosan pemikiran baru tentang HAM, yang lebih luwes dan adil sebagaimana yang tertuang dalam al Qurâ n dan al Sunnah, dalam frame work humanisme, yang lebih menjamin. Tulisan ini mengupayakan lintas pemikiran universalitas HAM , yang tidak condong membuat vis a vis antara Islam dan Barat, tapi bagaimana dua segmen peradaban ini, bisa bertemu dalam bingkai moralitas internasional, yang dalam hal ini subtansi utamanya adalah HAM sebagai nilai universal insaniyah, sebagaimana dikemukakan Dr. Bassam Tibbi.(1) Dan tulisan ini  berusaha melintasi sejarah Barat yang penuh dengan diskriminatif terhadap hak asasi manusia, hingga munculnya istilah clash civilization nya Samuel Huntington dan End of Historinya Francis Fukoyama.
 

Diskripsi Historis HAM

Dalam rentang waktu yang relatif lama sebenarnya sudah mulai diperkenalkan ideologisasi HAM, walaupun yang perlu dicerna dan diamati dengan serius, bahwa betapa kelahiran HAM ini adalah penunjang utama yang menciptakan revolusi spktakuler, dalam sejarahnya. Tidakkah HAM ini yang membidani lahirnya revolusi di Amerika yang di kenal dengan sebutan Bill of Right of Virginia tahun 1776, dan revolusi Perancis yang disebut dengan Declaration des Deroits des Homes et des citoyens pada tahun 1789 sampai kepada Declaration of Human Right oleh PBB tahun 1948. Tampaknya ada satu faktor dan motif utama yang harus ditelusuri dalam rangka mencari dan memaknai arti dua revolusi diatas dalam kaitannya dengan pengembangan nilai HAM.(2)

Dualisme pandangan manusia yang dipertaruhkan saat terjadinya revolusi diatas adalah bahwa manusia dalam opini masyarakat Eropa dan Amerika adalah sebagai insan yang tidak mungkin melepaskan dirinya dari lingkungan alam, yang sebagai unsur eksternal (luar dirinya) dalam prkatek  satu kebebasan. Di sisi lainnya bahwa dalam keyakinan masyarakat Eropa terhadap diri dan lingkungannya adalan mahluk ekonomi, sehingga tindakan eksploitatif menjadi sandaran utama dalam kehidupan dan kesejahteraan dunia semata.(3)  Dilihat dari dua model pandangan masyarakat Eropa dalam memaknai kebebasan pada awalnya berangkat dari pandangan independen kehidupan individual pada saat yang sama juga tidak lupa bahwa kehausan material manusia untuk memenuhi hasratnya pun menjadi penunjang semangat nilai persamaan, persaudaraan dan kebebasan.

Dalam sejarahnya HAM sejak dideklarasika pada 10 Desember 1948 silam, tidaklah berjalan dengan mulus, ada mata rantai memorandum dan kesepakatan-kesepakatan yang telah ditempuh melalui seminar-seminar internasional, untuk sosialisasi universalitas HAM. Bahkan untuk sampai kepada tujuan tersebut dibentuklah intitusi pengawas pelaksanaan HAM yang ada di bawah naungan HAM itu sendiri. Selain bertujuan untuk mengajak negara-negara selain Eropa untuk mengakui dan melaksanakan dengan serius rancangan konstitusional materi HAM. Dan oleh karenanya negara-negara dunia ketiga negara-negara Islamp khususnya tidak lepas dari rayu PBB untuk menandatangani. Maka pada tahun 1966 ketika diterbitkannya undang-undang intersional HAM, terjadi perdebatan sengit antara negara-negara Eropa yang dimotori oleh Amerika Serikat dan negara-negara Asia dalam masalah relativisme budaya (culture) yang ada dalam undang-undang tersebut. Persoalan relativisme ini kemudian menjadi tolok ukur penerimaan dengan puas ide HAM diatas,  oleh negara-negara Islam atau negara dunia ketiga.(4) 

Kendatipun sungguh disayangkan permasalahan ini, dengan didukung oleh empat puluh lebih negara maju, menyetujui sepenuhnya keinginan Amerika, untuk menyatakan bahwa nilai-nilai yang termuat dalam deklarasi tersebut dengan dalih universalitas. Ini terlihat dalam sikap yang disuarakan RRC dan sebagian kecil peserta muktamar dari Asia Timur dan beberapa negara Islam lainnnya. Lebih marak lagi ketika diadakannya konferensi internasional di Wina tahun 1993.(5)

Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah bagaimana dengan negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang umumnya dan negara-negara Islam khususnya, merespon deklarasi universal HAM ini. Dari polemik yang terjadi saat konferensi di Wina 1993 silam, sudah bisa dibaca posisi dan komitmen pemikiran negara-negara tersebut ketika berhadapan dengan konsepsionaliasi Barat tentang HAM. Yang dalam asumsi atau anggapan negara-negara berkembang dan negara Islam bahwa relatifisme budaya dan pengalaman praktek HAM ini, menjadi masalah utamanya. Sikap seperti ini tidak saja meletakkan negara Islam dalam keranjang fundamentalisme, bila harus menggunakan pemahaman moralitas internasionalnya Dr. Bassam Tibbi dalam hal ini, namun juga membuka peluang kepada monopoli nilai agama (value religius) atas nama moralitas agama yang melabelkan "islami" terhadap HAM itu sendiri.(6) Maka sebagai kilas baliknya ulama' Islam lalu ramai-ramai untuk menyusun perundang-undangan tentang HAM dengan menonjolkan etika dan moralitas Islam tentang hak-hak universal "islami" di London tahun 1981. 

Sementara di Mesir pun sebagai negeri yang mayoritasnya Islam dan selalu tanggap tentang persoalan keislamanpun, dalam mengakses ide HAM ini, sangatlah terlambat, karena pusat kajian HAM di negeri ini baru berdiri pada tahun 1993-an.(7) Bersamaan dengan Mesir, Indonesia dalam menangani masalah ini, karena KOMNAS HAM tahun 1993 itupun karena saking banyaknya tindak kekerasan  yang ada di Timor-timur.(8)

Untuk itu pada pembahasan selanjutnya tulisan ini, masih akan concern terhadap nilai-nilai agama yang diharapkan bisa sedikit inklusif dan terbuka, untuk mencari peluang kran dialog yang sehat khususnya terhadap masalah HAM universal. Karena menurut anggapan banyak sejarawan bahwa dari agamalah, perseteruan antara segmen peradaban dunia itu bertemu dan saling kenal, dalam proses selanjutnya di-follow up-i dengan sikap sikap antagonistik dan permusuhan. Disinilah letak pembahasan yang sebenarnya menjadi keresahan dan kebingungan para pemikir Islam barangkali, serta orang yang dengan serius mengikuti tarik ulur nilai antara Barat dan Islam, dan juga antara peradaban-peradaban yang ada di dunia ini.
 

Pandangan agama-agama tentang HAM

Secara aklamatis mayoritas pemikir sepakat bila dikatakan bahwa semua peradaban yang ada di dunia, telah melahirkan intitusi dan juga kontitusinya, yang secara kultural telah mewariskan budaya-budayanya sendiri. Disini, sama sekali tidak akan memungkiri adanya hubungan intim yang mendarah daging antara peradaban dan institusi yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh nuansa paham keagamaannya. Oleh karenanya dengan tetap percaya akan andil besar pemahaman sekaligus elaborasi pemikiran keagamaan yang turut membentuk konstitusi diatas. Maka mencermati hal tersebut, lebih pas bila dinyatakan  bahwa agamalah yang membentuk suatu peradaban. Karena agama pada intinya adalah merupakan kekayaan yang menyimpan kekuatan moral dan sosial dalam kehidupan manusia. Maka HAM dalam tinjauan ini lebih menekankan kepada HAM lewat kacamata peradaban yang pernah ada dalam kesejarahan manusia itu sendiri.

Dalam tradisi peradaban Mesir konu sebenarnya sudah mulai dikenal bagaimana kehidupan spiritual keagamaan lebih ditonjolkan daripada kehidupan materialistik masyarakat. Maka perundang-perundangan yang dikenal saat itu dengan sebutan "Hamurabi", jelas menposisikan manusia sebagai orang yang suci, yang hukumannya pun begitu sadis. Bagi orang yang melanggar hukum tersebut, seperti mencuri, berzina atau  tindakan penculikan harus dikenakan hukuman mati.(9) Sementara di timur, seperti yang ada dalam tradisi masyarakat India dan Sasan, cenderung feodalistik. Adanya starata dan kelas dalam masyarakat, seperti brahma yang angkuh dan syudra yang lemah tak berdaya. Lebih ironis lagi dalam praktek HAM dalam tradisi India saat itu, kurang memperhatikan hak-hak syudra dan dalam beragai hal brahma lah yang pasti menang dan berbuat semena-mena terhadap rakyat lemah.  Ini menunjukkan bahwa pada tahapan ini hak-hak inidividu dan sosial yang pada selanjutnya diperjuangkan oleh revolusi besar sebagaimana yang terjadi di Amerika, Perancis dan Ingris belum tertanam dalam masyarakat.(10)

Lain halnya kalau kita membaca rekaman sejarah perlakuan masyarakat Eropa secara umum, khususnya di era Plato. Dengan praktek kehidupan barbarian sebagaimana telah menjamur di Timur, di tengah masyarakat Plato pun terjadi pemihakan-pemihakan hirarkhi sosial. Apalagi bila diperhatikan bagaimana rakyat jelata dan wanita diharamkan untuk terjun ke dalam dunia politik. Tampak jelas perilaku otoritanisme masyarakat Plato saat itu.(11)   Hitungan 2500 tahun memperingati demokrasi Athena, menurut hitungan sejarah berdirinya demokrasi  Yunani sejak tahun 507 SM. Sebagaimana yang dianalisa oleh harian umum Independen terbitan 17-Juni 1993 dengan tajuk analisanya "Hari-hari Indah di bawah kekejaman Raja Yunani", sungguh mengejutkan analisa tersebut, bahwa pada seperempat akhir, 5 tahun sebelum masehi demokrasi itu, telah berubah menjadi kekerasan dan kebiadaban. Dan ternyata Barat yang oleh kita anggap barbarian itu lebih bisa untuk kemudian menciptakan konstitusi dan pranata sosial yang lebih demokratis, ketimbang otoritanisme Timur, yang hanya berkutat kepada tradisi-tradisi lama yang sulit untuk diubah?(12)
 

Paradigma Teori HAM; Barat dan Islam

I. Paradigma HAM Versi Barat
Ada satu anggapan yang sebenanya bermula dari sinisme dan keirian, ketika kita berusaha mengkaji dan menulis tentang Barat dengan segala dimensinya, termasuk juga disaat kita berhadapan dengan satu masalah yang jelas-jelas Islam tidak mempunyai gerak andil di dalamnya. Sampel konkritnya adalah ketika ulama' Islam merespon masalah teori paradigmatik yang dikembangkan oleh Barat tentang HAM. Ini bisa dibaca dari beberapa literatur sejarah dinamika HAM, khususnya pada dua dasawarsa ini. Oleh karenanya dengan tetap memposisikan teori dan metodologi pendekatan Barat tentang HAM yang dalam takarannya materi-materinya tidaklah menempatkan satu budaya dan peradabanpun diatas yang lain. Maka jaminan universalitas nilai yang ada cukup representatif untuk semua kalangan, tanpa memandang ras, agama dan negaranya. 

Lebih-lebih bila dilihat dari alam nyata dan tranparan, betapa kegeraman emosi dan pikiran muncul yang kadang tanpa kendali dari masyarakat Islam. Setidaknya ini terjadi karena tak seorangpun dari orang Islam yang turut aktif dalam proyek garapan HAM itu sendiri, baik itu sejak dilendingkannya HAM sampai diakuinya HAM ini oleh mayoritas negara Eropa, seperti yang dinyatakan oleh Dr. Hassan Wirajuda.(13)

Sebagian kecil data sejarah HAM dan perkembangannya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama adalah sisi sejarah Eropa sebelum dan sesudah dideklarasikannya HAM. Kedua dari segi paradigmatik dan teoritis universal tentang HAM sebagaimana tercermin dalam materi-materi yang telah dideklarasikan oleh PBB. Dan yang lebih penting sejauh mana mereka juga menjadikan HAM sebagai kedok topeng untuk melakukan ekspansi ekonomi dan politik dalam kebijakan internasional.

Untuk yang pertama sejarah bangsa Eropa dan Barat yang tengah membangun sendi-sendi peradabannya, ternyata masih belum  menemukan fomulasi orisinil tentang pranata-pranata institusional dan konstitusional yang tepat. Cobalah kita memotocopy carbon kesejarahan Eropa yang dengan gencar dan habis-hasisan melakukan kolonialisme ke berbagai penjuru dunia, untuk sama-sama memperebutkan piala "kemenangan" ekonomi bagi bangsanya. Dimulai penjajahan Ingris dan Perancis ke Mesir, kolonialisme semakin menjalar ke belahan bumi Asia, dimulai dengan Portugal, Belanda dan Jepang. Deskripsi ini betapa Barat punya hasrat dan impian besar untuk menaklukkan dunia, walau dengan cara sembunyi di balik layar ataupun secara terang-terangan. Endingnya peperangan dunia berakhir tahun 1945 dengan kemenangan Barat dan Eropa, akan tetapi panen hasil yang diperoleh oleh Barat dalam perang dunia, cukup berhasil baik secara materil dan spirituil.(14)

Keangkuhan Barat juga akhirnya mengendor setelah perang dunia tadi, sembari mencari jalan-jalan lain dalam rangka newkolonialisme, karena tinggal satu sarang musuh yang belum mereka tundukkan, yaitu komunisme sebagai peta kekuatan dunia Timur. Satu-satunya jalan yang lalu mereka tempuh adalah, jalur perdamaian dan persamaan hidup manusia, yang lalu mengantarkan Eropa kepada diiklankannya proyek mega internasional yang bernama human right atau HAM. Pada putaran kaset sejarah selanjutnya adalah semakin kuatnya Barat dengan kekuatan moralitas HAM ini. Yang akhirnya mengantarkan masyarakat masyarakat eropa kepada "khayalan sejarah" yang pernah mereka bayangkan. 

Jatuhnya sarang komunis 1989 itu, menjadi titik pemisah antara Barat yang semula berhadapan tembok beton kekuatan komunisme, menjadi timur yang lebih banyak didominasi Islam. Tapi dengan deklarasi HAM ini, mestikah atau rasionalkah kita melontarkan asumsi dan prasangka dibalik deklarasi HAM tersebut? Atau malah kita akan menganggap HAM ini sebagai legitimasi kekuatan Barat untuk menghancurkan sarang musuhnya dalam hal ini Islam, sebagimana sebagian kita menganalisa bahwa isu globalisasi adalah cara licik yang dimainkan Barat untuk kemenangan mereka? Jawabannya terus terang perlu objektifitas kita sebagai kekuatan baru yang akan turut bargaining dengan Barat secara damai tanpa desas desus yang macam-macam.

Sementara untuk sisi yang kedua tentang teori yang dikembangkan oleh Barat dalam masalah HAM, tidak mungkin dilepaskan keterikatan eratnya dengan abad pencerahan Eropa pada abad pertengahan, yang segala sesuatunya dikembalikan kepada ajran-ajaran sekular yang sejak semula dirintis kaum rasionalis, dalam memeratakan peran anatara dogma-dogma kristiani yang dipegang dan diwariskan oleh oleh kaum agamawan. Pemikiaran ini ditegaskan oleh Samuel Huntington dalam sebuah tulisannya "al gharb mutafarrid lâ  kaunî y".dalam menganalisa peradaban Barat yang selama ini dinyatakan bahwa  peradaban Barat itu dipaksakan kepada peradaban lain untuk mrngikutinya.(15)

Salah satu contohnya adalah apa yang dikemukakan oleh Dr. Muhammad Ahmad Mufti dan Dr. Shâleh Samîal Wakîel dalam sebuah bukunya al nadzrah al siyâ siyah al islâ miyah fî  al huqû q al insâ n al syar'iyah bahwa sumber yang menjadi dasar dan landasan yang direduksi oleh aliran-aliran filsafat modern di Barat pada abad ke XVIII pada hakekatnya adalah hasil satu pemikiran yang dipertahankan John Lock pada 1690 tentang pentingnya penegakan HAM, yang kemudian dieksplanasi ulang oleh Blakstows pada pertengahan abad ke XVIII.(16)

Pembatasan kekuasaan penguasa dan pengakuan terhadap hak-hak rakyat atas dasar dan pijakan peraturan yang bernama al huqû q al thabî yyah atau law nature yang menjadi landasan asas pemikran HAM seperti yang dikembangkan Barat. Rasionalisasi hukum alam ini dalam kaitannya dengan HAM menjadi batasan dasar dalam peraturan-peraturan yang ada di Barat, sebagai legitimasi bahwa sebenarnya hak-hak tersebut sudah ada sebelum beridirinya suatu kekusaan alias negara.(17)

Hak-hak alamiyah yang merupakan periode awal dan starting point dalam sejarah munculnya indidividualisme, yang erat hubungannya dengan kebebasan sosial politik, khususnya dalam praktek kekerasan yang diperlakukan oleh pemegang kekuasaan. Kendatipun demikian banyak orang yang mempertanyakan orisinalitas hak-hak alamiyah sebagai standart nilai HAM ini. Bahwa hanyakah Lock, Rosseou atah Hobes yang bisa menafsirkan hak-hak itu di zamannya? Sebab secara ontologis keberadaan law nature sudah ada sebelum adanya kekuasaan  itu sendiri?

Kausul jawaban lanjutan dalam mengkristalkan konsepsi ini sejauh mana validitas landasan ini, ternyata baru ditemukan oleh mereka yang sepenuhnya mendukung paham individualisme dan libralisme, di saat mereka berhadapan kekuatan politik. Darwin mengungkapkan bahwa keinginan individu untuk eksis di tengah masyarakat menjadi pendorong munculnya HAM secara natural. Dari pendekatan hak-hak individu ini bersemilah paham ekonomi bebas (baca: kapitalisme) yang mendongrak lahirnya sistem ekonomi kapitalis, yang mana negara tidak mempunyai hak untuk ikut campur dalam mengembangkan sistem ini.(18) Oleh karenanya righ to self determination dalam interpretasi yang global, termasuk diantara sekian materi yang mendapatkan penekanan khusus dalam materi yang ada dalam HAM.(19)

II. Paradigma HAM Versi Islam
Sebagai agama samawi terakhir yang diturunkan Allah lewat nabiNya Muhammad, diakui oleh kita semua sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin. 
Wa mâ  arsalnâka illâ  rahmatan li al 'âlamien. 
Ayat ini sebagaimana ditegaskan al Qurâ n mengandung banyak makna dan interpretasi. Dan secara otomatis Islam menurut mayoritas ulama' juga secara tidak langsung mempunyai hak-hak alamiyah, sesuai dengan kata 'alamien itu tadi. Tapi adakah pendekatan sosiologis atau antropologis ketika kita berusaha untuk mencari satu formulasi yang mapan tentang HAM versi Islam? Artinya pendekatan tadi bisa untuk diterima oleh orang lain tanpa ada kesan ekstrim atau keras sekalipun? Ayat di atas sebenarnya sudah memberikan satu isyarat tentang terjalinnya satu hubungan intim nan harmonis yang dibumbui dengan sikap, persaudaraan, persamaan serta kebebasan, tidak saja antara manusia dan alam, namun tak kalah urgennya hubungan manusia dengan manusia lainnya. Jadi epistemologi HAM dalam Islam menurut penulis sudah jelas seperti yang digambarkan dalam ayat ini. Apalagi kita merujuk kepada teks-teks lain yang berupa penghormatan Allah terhadap manusia.(20)

Bahkan kalau kita menyadari dalam-dalam - ini jika kita berbicara tentang HAM dalam kesejarahan Islam, ternyata hanya di zaman nabilah Islam itu betul-betul plural dengan wajah civil society modern, seperti kata, Ernest Gelners dan Robert N Bellah.(21) Penjiwaan HAM dengan segala dimensi dan aspeknya, dari ekonomi, budaya, politik dan sosialnya kita temukan di dalamnya. Lebih-lebih kalau kita berbicara dengan gaya seorang skriptualis, hampir bisa dipastikan kita akan menemukan bukti-bukti tekstual normatif yang tersaji dalam al Qurân dan al Hadist.

Yang mengherankan justru yang terjadi di dunia Islam dalam perkembangannya menyikapi praktek HAM ini, dari abad ke abad tak seperti yang ditampakkan dan diillustrasikan Barat kepada dunia. Yang berlaku malah keterbalikan sejarah bahwa justru yang paling kuat adalah otoritanisme dan pembelengguan. Yang mana pengalaman ini terjadi di Eropa pada abad pertengahan. Dengan tidak menafikan  bahwa Baratpun sering melumuri HAM ini untuk mencapai tujuannnya.(22)

Benar apa yang dilakukan Dr. Jamalud Athiyah dalam mendekatkan pandangannya tentang HAM yang berangkat dari kehormatan dan kebebasan manusia, dengan dalil-dalil al Qurân dan al Hadî st yang kuat. Lebih dari itu dalam melihat HAM ini beliau bermula dari pandangan kekhilafahan manusia, yang mempunyai tangung jawab sosial — lebih-lebih moral terhadap terciptanya perdamaian masyarakat global.(24) Selain itu pendekatan lain dalam menjiwai nilai moralitas agama Islam sangatlah menonjol ketimbang tawaran-tawaran lain dalam rekonstruksi pemahaman universalitas HAM. Seakan-akan pemikir Islam keberatan bila sendainya konsep itu dikonvergensikan dengan konsepsi Islam sendiri. Artinya pada akhir pembahasan HAM universal semakin diabaikan, karena melihat persoalan perbedaan landasan dan defrensiasi blue print HAM sebagaimana diterangkan dalam materi-materi yang sudah ada. Ini semakin diperkuat oleh beberapa pemikiran yang belakngan ini muncul sebagai sikap antagonistik dalam hal ini.(25) Peletakan manusia sebagai unsur kedua setelah Allah (baca: Kholifah) dalam pandangan Islam telah memberikan perbedaan yang mendasar dalam teori HAM versi Islam. Lebih-lebih kebebasan mutlak yang dikantonginya. Yang salah kaprah kadang-kadang mengasumsikan kuatnya penafsiran ayat ini dengan kekuasaan.

Pandangan HAM yang bernuansa "islami" seakan-akan telah mengkristal dalam ajaran Islam. Padahal bila diteliti lebih detail tentang nilai-nilai HAM yang ada dalam deklarasi internasional HAM pertama, tidakkah menguatkan pandangan tentang hak-hak individu dalam interaksi dengan masyarakatnya, serta kewajiban-kewajiban sosial yang harus dipatuhi. Maka sungguh konferensi internasional HAM di London berupaya untuk membeberkan teori HAM "islami" kepada orang lain (baca: Barat) untuk juga menguatkan eksistensi HAM versi Islam itu sendiri, atau malah ingin membuat tawaran baru dalam masalah HAM ini. Tapi oleh banyak pengamat seperti Abdullâh Majdî al Na'îem  salah seorang aktivis gerakan HAM di Sudan, yang lebih moderat dalam memandang HAM internasional. Malah dalam kajian dan beberapa tulisannya lebih diterima di tengah masyarakat Barat. Keberpihakan nilai antara Islam dan Barat dalam HAM ini sangatlah nampak, khususnya ditubuh masyarakat Islam sendiri. Itu bisa kita baca dari beberapa literatur yang ada di tengah kita, seperti Syaikh al Ghozali dengan Huqûq al insân baina ta'â lîm al islâm wa i'lân al umam al muttahidah serta karya Jamâl al Bannâ dalam bukunya "Manhaj al islâm fî taqrî r huquq al insân". Terlihat dalam menanggapi isu ini betapa keduanya sangat menonjolkan misi keislamannya dan sangat tidak setuju dengan pandangan Barat tentang HAM ini.

Banyak kritikan terhadap HAM versi Islam bahwa ada kejanggalan  dalam deklarasi yang dihasilkan di London. Ternyata materi-materi yang dimuat adalah merupakan modifikasi sana-sani terhadap rancangan HAM universal yang ada. Setelah melalui berbagai penambahan dan pengimbuhan terhadap materi itu.
 

Moralitas Agama atau Universalitas Nilai

Legitimasi adanya moralitas agama-agama tidak bisa dipungkiri telah memberikan inputnya terhadap konsepsi HAM, di setiap agama, walau secara praktikal seringkali kita menemukan tindakan-tindakan kriminal dan pelanggaran terhadap nilai HAM. Semua agama memberikan tuntunan ajaran perdamaian kepada semua pemeluknya. Ini bisa dibaca pada betapa besarnya kesadaran masyarakat terhadap HAM, baik itu dalam ajaran Kristiani dan Yahudi atau syari'at Islam itu sendiri. Kendatipun demikian dengan tidak memarginalkan nilai-nilai yang ada di setiap agama tadi, ada satu tawaran yang butuh analisa matang dalam menaggapi isu HAM ini dalam kaitannya dengan dialog peradaban sebagaimana yang diresahkan oleh Bassam Tibbi, sebagai orang yang telah lama tahu tentang Barat dan warisan kultur peradabannya. Yang menurut penulis pula jika ini dikembalikan kepada agama-agama yang kemungkinan bias ekslusifisme agama tersebut, muncul ke dalam universalitas HAM yang kita perjuangkan.

Dengan demikian untuk membuang biasan ini, perlu adanya rambahan jalan tengah baru dalam memahami dalam-dalam isu HAM. Prof. Dr. Bassam Tibbi Dosen Universitas Gottingen Jerman dalam satu artikelnya yang menyikapi HAM ini, ada satu lemparan ide menarik tentang apa yang beliau sebut dengan - International morality - (moralitas internasional). Yang menurut hemat Bassam harus ditempuh satu cara untuk menembus jaring pertentangan antara Barat dan Islam. Dalam kaitannya dengan HAM ada beberapa pemikiran yang dilemparkan kepada kita.

Pertama: Karena ada satu tuntutan mendesak untuk mempertemukan antara Barat dan Islam, maka harus ada jalan yang ditempuh dalam rangka dialog tersebut yaitu, apa yang disebut dengan moralitas internasional sebagi dasar lintas budaya. Artinya walaupun konsep HAM itu ditinjau secara historis lahir dari Eropa pada hakekatnya ia bertujuan untuk semua manusia tanpa melihat dan memperhatikan agama warna kulit. Jelas sikap ekstrim ajaran agama dalam hal ini harus dilebur untuk mencari kedekatan visi dan orientasi masa depan dalam kerangka yang lebih mapan. Maka ketika ada yang menanggapi mengapa kita sebagai orang Islam tidak memberikan porsi yang besar terhadap masalah ini. Jawabannya dikira sangat simpel. Apakah HAM itu hanya membatasi kepada komunitas  religius atau agama dalam masyarakat?(26)

Kedua: Sekularisasi terbatas terhadap syari'ah. Ini erat kaitannya dengan apa yang disebut dalam literatur Islam klasik dengan istilah fiqh al maqâ shid. Dalam penegertian ini bukanlah Bassam ingin merombak total sistem value yang sudah tertata rapi, tapi sebagai inisiatif ijtihad dalam melihat kaca mata HAM dalam kaitannya dengan syari'ah sebagai norma sosial dari pada sekedar norma agama. Yang perlu diperjelas dalam masalah sekularsisasi dan sekularisme bahwa yang pertama adalah merupakan jalan proses ke arah pengakuan nilai-nilai universal HAM itu sendiri. Sementara seklurisme merupakan satu paham Barat yang sengaja untuk memisahkan nilai sosial dan nilai moral agama ansich.

Kendatipun sangatlah berat bagi negara-negara Islam atau dunia ketiga yang mempunyai komitmen tinggi terhadap praktek hukum Islam. Semisal Saudi Arabiya dan Iran yang sejak revolusi 1979 republik yang mendasarkan aturan hukumnya kepada al Qurâ n, tidak mau untuk menandatangani HAM yang ditawarkan PBB. Termasuk juga Sudan ketika pemerintahan al Nimeiri 1983-1985, begitupun Pakistan dibawah regim Zia Ulhaq tahun 1977. Justifikasi dan legitimasi hukum Islam yang dilakukan oleh beberapa negara diatas pada hakekatnya telah menjadikan syari'at Islam sebagai dalih untuk menutupi kebiadaban penguasa dalam perampasan hak-hak demokrasi masyarakat, sebagai mana dicerminkan dalam praktek politik oleh negara-negara tersebut.(27)

Dalam mengetengahkan konsep " proses islamisasi" seperti yang diistilahkan oleh banyak kalangan dengan ukuran standart maksimal praktek hukum Islam yang didambakan oleh masyarakat, tampaknya lebih mendahulukan ambiguitas dan tempat layak di penghujung abad ke XX ini. Sehingga untuk mencairkan "es batu"  ambiguitas ini dan ketegangan diatas mampu diminimalisir . Masih dibutuhkan pemikiran yang jitu dan moderat.

Sudah bukan lagi rahasia bahwa HAM dalam proses sejarahnya termasuk juga Eropa banyak menodai makna dan nilai yang ada di dalamnya. Terkadang juga menjadikan HAM ini sebagai alat sejarah menumbuk kekuatan lainnya. Namun bila standart ini yang menjadi acuan sampai kapanpun nilai-nilai tersebut tidak akan menjadi impian nyata mereka yang merindukan kedamaian. Oleh karenanya tidak mustahil bahwa dengan pengakuan universalitas nilai HAM harus menjadi titik temu dari semua unsur peradaban yang ada, tidak saja Islam tapi juga, Barat, konghucu dan peradaban lainnya. Nampaknya universalisasi inilah menjadi satu tawaran kebersamaan ini.
 

Epilog

Mencari garis kongruen antara HAM versi Islam dan Barat sebenarnya terletak pada kita umat Islam mau menerima atau menolak sepenunya atau sebagian dari rancangan itu. Yang jelas mengingat  kemusthilan untuk mencabut deklarasi internasional HAM, mengajukan konsep "Islamisasi" HAM  serba tanggung. Di satu sisi banyak klaim yang muncul bila kita dengan serentak beruyun menyusun kerangka baru HAM dengan versinya yang "islami" sebagai satu ancaman terhadap Barat, dan mungkin segmen lainnya yang sudah mengakui absahnya HAM. Di sisi lain wajah Islam yang berseri kurang tampak, kalau hanya karena HAM itu dari Barat lalu kita menolaknya. Sekaligus menghilangkan kaca mata fundamentalisme Islam— sebagai kesan umum di tengah masyarakat Barat, menjadikan masa depan Islam hampir rapuh.

Oleh karenanya Islam yang tersenyum dan berseri sebagai rahmat li al 'âlamîn menjadi nuansa baru di tengah dunia memasuki era baru dunia. Masih banyak tantangan Islam yang harus dijawab dengan lapang dan luwes tentu hanya dengan sikap toleran dan menerima orang lain, kita bisa menikmati arti keislaman yang benar.

***

Catatan-catatan

  1. Bassam Tibbi  (media cendikia)17
  2. Al-Nadzariyah al Siyasiyah
  3. Kuliyah Umum HAM oleh Bapak Duta Besar Dr. Hassan Wirajuda
  4. Jurnal Kajian Islamika No. 2 Edisi  Oktober - Desember 1993 hal. 91
  5. Al 'Arabiy 112-113 (al Iyhar al Nadhori-Sa) 
  6. Op. cit. 92
  7. Majalah al 'Arabiy
  8. Kuliyah Umum Dr, Hassan Wirajuda
  9. jamal al banna 8
  10. Ibid 9
  11. Ibid 10
  12. Ibid 10
  13. Nurhasan Wirajuda
  14. Jamal al Banna 134
  15. Ibid 134
  16. al Qahirah 1/1997
  17. Al Nadzrah al Siyasiyah al Islamiyah fi Huquq al Isnsan al Syar'iyyah  hal. 26
  18. Ibid 27
  19. Ibid 28
  20. Al  Arabiy edisi januari 1998 hal 114 dan bandingkan dengan al Nadzrah al Siyasiyah al Islamiyah fi Huquq al Isnsan al Syar'iyyah  hal. 29
  21. Annisa' 1, al Isra' 70 al hujurat 13
  22. Islam agama Kemanusiaaan 
  23. Jamal al Banna 
  24. Al Infithar 6-8, al Rahman 3-4, al tien4 al Isra' 70, sementara dari Hadist adalah satu kejadian yang mana Abu Dzar  pernah mengjek seseorang dan menghina ibunya, lalu ditegur oleh Nabi bahwa kamu (Abu Dzar) adalah orang yang punya sikap seperti orang jahiliyah. Hadist lain yang lebih mengena adalah bahwa ketika Nabi sedang kumpul bersama para sahabatnya ada salah mayat yang lewat di depan Nabi dan sahabatnya, ketika sahabat ribut karena yang lewat orang Yahudi, Nabi dengan tegas mengatakan "Apakah kita dia itu tidak mempunyai jiwa kehormatan (nafs) sebagaimana kita ? "(al Muslim al Mu'ashir 5-6) 
  25. al Muslim al Muasgir
  26. Jamal al Banna dan Syeikh Ghozali. Dalam hal ini justru sangatlah kentara ketika Syaikh al Ghazali memberikan teori HAM islami, sebagaimana telah menjadi satu kesekatan dalam knferensi internasional di London yang melahirkan beberapa materi tentang HAM versi Islam. Sementara Jamal al Banna lebih dari sekedar cemohan terhdap diktat universalits HAM yang ada, namun justru mengganggap bahwa apa yang dipraktekkan Barat dalam hal ini HAM diletakkan sebagai kelanjutan kolonialisme.
  27. Jurnal Kajian Islamika Basaam Tibbi hal. 17
  28. Islamika Oktobr - Desember 1993 91
 

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir